Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Friday, June 10, 2016

Cerpen: Si Mbak


Kalau saja aku bisa menemuimu melalui mimpi aku ingin bertanya, pernahkan kau minta mati? Bukan saat leukimia datang menyerangmu, tapi ketika kau dalam keadaan sehat. Segar bugar.

Tujuh tahun kita tak ketemu. Aku masih ingat semua kebaikanmu. Kau bahkan terlalu baik, mbak. Terlalu sabar. Berapa kali diselingkuhi suamimu, kau maafkan. Berapa kali dibuat malu, kau tetap bertahan. Barangkali kau marah juga, tapi tak lama. Hanya ngomel-ngomel sebentar, lalu berdamai. Aku tahu sifatmu. Mulutmu tak kenal caci maki. Bahasamu tak pernah kasar. Rasanya tak terhitung kekerasan psikis yang kau dapatkan, tapi kau tak pernah memutus kepercayaan. Itu sebabnya pengkhianatan demi pengkhianatan terus diulangi. Kau biarkan kemanusiaanmu diinjak mati.

Kau masih muda, mbak. Cantik. Kau bisa tinggalkan suamimu yang jauh lebih tua itu untuk mendapatkan lelaki yang benar-benar mencintaimu. Tapi tak kau lakukan itu. Kau tetap saja setia menemaninya dan menolak dua lelaki yang menemuimu saat sendiri. Di rumah, di tempat kerja. Secara ekonomi kau tidak bergantung. Kau sudah mandiri meskipun hanya seorang buruh pabrik. Nyatanya kau sanggup memenuhi kebutuhanmu, anak-anakmu, bahkan kebutuhan suamimu saat ia nganggur. Rokoknya, bensinnya, cicilan motornya, dan lain-lainnya meski kadang kau harus berhutang. Tapi semua akan terbayar saat kau panen lembur.

Aku masih ingat bentuk parasmu. Bibirmu, hidungmu, pipimu, matamu. Kulitmu bersih. Aku belum lupa meski tujuh tahun tak melihatmu. Kecantikan alami perempuan Jawa dan keluguan gadis desa masih melekat.

Kau tahu, mbak, aku masih mengherankanmu yang tak pernah berprasangka. Tak punya firasat. Sedikit pun kau tak peka terhadap gejala negatif di sekitarmu. Jauh hari aku sudah merasa, tapi kau tak merasa. Semakin jelas gejala itu semakin aku sedih melihat keadaanmu. Tapi mulutku sulit bicara. Aku sudah coba memancingmu dengan menggambarkan situasi yang seharusnya kau waspadai, tapi kau tak nyambung juga.

Perempuan itu ada di samping kamarmu, lewat satu kamar lagi. Perempuan yang kerap kau tawari makan bersama di kamarmu, seperti aku. Perempuan yang kerap nonton TV di kamarmu. Yang akrab dengan anak-anakmu. Yang pernah kulihat menyelinap pagi-pagi ketika kau berangkat kerja dan dia mangkir, lalu tidur bersama lelakimu sewaktu anak-anakmu masih pulas. Kau tahu dan tak curiga melihat suamimu kerap bertandang ke kamarnya. Tapi apa kau juga tahu kalau lelakimu kerap mandi di sana? Sewaktu kau mencarinya dan bertanya pada tetangga sebelah, aku tahu dia ada di dalam kamar itu. Tapi mulutku terkunci sebab pintu itu terkunci. Sekali kulihat mereka berduaan di bawah tangga, gelap-gelapan, sewaktu aku pergi ke warung. Kau selalu ketiduran saat nonton TV. Aku tahu, mbak, kau kelelahan sebab lembur tak habis-habis. Pagi-pagi sekali kau harus bangun, belanja, masak (untuk anak dan suamimu di rumah, juga untuk bekalmu di pabrik).

Suatu malam aku pernah memergoki lelakimu masuk ke kamar perempuan itu. Kamarku dalam perbaikan, aku terpaksa ngungsi tidur di sana. Beruntung aku belum pulas benar ketika pintu terbuka. Kaget setengah mati melihatnya masuk, cepat aku bangun menutupi bagian dadaku dengan bantal. Ia kaget juga sewaktu melihatku ada di dalam, langsung keluar tutup pintu.

"Kenapa pintu nggak dikunci sih?" Tanyaku protes. "Sembrono amat lo jadi orang."

"Nggak papa cuma si babe ini. Sudah biasa dia mah."

"Enak aja ngomong, lo kan tahu gua tidurnya nggak pakai BH. Sembarangan." Aku sedikit emosi. "Ya udahlah kalau pintu nggak lo kunci, mending gua tidur di kamar sebelah biar banyak orang juga. Daripada di sini nggak tenang gua."

"Ri ... jangan, Ri ... tidur sini aja ..."

"Ya kalau gitu kunci pintunya dong."

"Ya udah, kunci aja."

Pintu kukunci.

Tapi tahukah, mbak, aku masih saja tak tenang tidur. Entah kenapa aku tak percaya pada perempuan itu. Aku takut saat tertidur nanti, lelakimu mengetuk pintu, lalu dibukanya. Bolak-balik badanku, kelap-kelip mataku. Baru bisa merem menjelang pagi ketika kulihat perempuan itu sudah pulas dan kuperkirakan si babe tak datang lagi.

Aman sampai pagi.

Di suatu malam lagi aku pernah merasa aneh ketika lampu teras tetiba padam. Tak biasanya. Kalau putus pasti cuma satu, masak bebarengan? Ada dua kemungkinan, sengaja dipadamkan atau kepencet. Mau keluar nyalakan lampu, takut. Kau kan tahu, saklar ada di ujung samping tangga. Jauh dari kamarku yang di sudut. Sudah tengah malam. Tak kudengar lagi suara TV yang menyala. Tak kudengar lagi suara manusia di luar sana. Kubiarkan saja. Ada sedikit berisik di depan kamarku, aku intip dari jendela ternyata suamimu. Aku bisa melihat jelas sebab lampu kamar selalu kupadamkan menjelang tidur. Heran, tumben si babe tidur di sini? Biasanya di depan kamarnya sendiri. Aku jadi makin takut. Cerita tentang babe dengan istri pak haji di kampung sebelah sudah santer terdengar. Aku juga ingat waktu baru pindah babe pernah datang ke kamarku dan cerita tentangmu, katanya, kau pernah selingkuh, kau perempuan nggak bener tapi babe diam saja. Dia menilai dirinya sebagai lelaki yang super sabar. Ngemong. Aku segera menangkap maksudnya. Dia ingin mendapat simpatiku. Aku tidak mudah dirayu, mbak. Aku tidak buta. Meski aku belum mengenalmu lebih jauh, dari dasar hatiku tak percaya kau begitu. Mataku bilang, kau bukan perempuan genit. Kau bahkan lugu selugu-lugunya. Dia juga pernah bilang kalau kau dulu tergabung dalam grup musik. Kau seorang gitaris. Sewaktu kutanya kau malah tertawa geli, kau tak bisa main musik apa pun. Berarti suamimu memang pintar ngarang cerita. Tukang bohong.

Esoknya aku masih memikirkan keherananku tentang lelakimu yang tidur di depan kamarku. Perasaanku tak enak. Aku lantas coba menyelidiki di sekitar area, siapa tahu dapat jawaban. Kau tahu, mbak, apa yang kutemukan? Bukan bekas tapak kaki sesiapa sebab lantainya sungguh bersih. Aku selalu mengepel dari sudut hingga ujung. Semua teras tetangga jadi bersih, termasuk terasmu. Tapi biar begitu, namanya juga di luar pintu. Terbuka. Tentu saja ada debu. Dan diantara debu-debu halus yang terbawa angin itu aku mendapati jembut. Ya, jembut, mbak, banyaknya tiga helai kutemukan dekat pintu kamarku. Aku jadi curiga mereka tidur bersama malam itu. Ya, di teras depan kamarku, tanpa alas apalagi kasur. Dan aku semakin yakin ketika seseorang yang kebetulan malam itu numpang tidur di kamar perempuan itu mengaku sewaktu kutanya, ia keluar tengah malam ke sudut bangunan. Lama baru kembali, menjelang subuh. Aku lantas katakan keherananku tentang suamimu, tapi tanggapanmu enteng saja seolah tak ada yang perlu dikuatirkan.

"Sudah biasa ... bapaknya memang sukanya begitu. Nggak betah tidur di dalam. Panas, katanya. Namanya juga kamar sepetak isinya empat orang, belum lagi barang-barangnya banyak."

"Tapi ini di depan kamarku, mbak ... Kamarku di sudut, kamarmu dekat jalanan, artinya apa?"

"Nggak tahu."

"Mbak nggak ngerasa ada yang aneh?"

"Enggak. Cuma jam empat pagi dia bangunin aku minta dimasakin mie goreng tiga bungkus. Katanya, laper banget. Biasanya sih nggak pernah."

Ya ampun, mbak ... Itu artinya biar nggak kelihatan kalau ada orang yang lalu-lalang di jalanan. Gemasku hanya tersampai dalam hati. Mataku lekat menatap matamu. 

Akhirnya perempuan itu hamil, kau pun tak tahu. Ia coba membodohiku, katanya, sedang tak enak badan. Beberapa hari itu ia memang muntah-muntah, tak masuk kerja. Ia keluhkan juga semua badannya yang nyeri akibat haid yang tidak datang pada waktunya. Lalu segala macam jamu dan obat, juga nanas muda dikonsumsi untuk ngobati sakitnya. Mengapa nanas muda juga? Aku tidak sanggup lagi nahan emosi.

"Jujur aja lo, lo hamil kan?"

Seketika lehernya seperti tak bertulang. Kepalanya jatuh. Tunduk. Ia tak sanggup menatap mataku seperti terdakwa dalam persidangan.

"Tik, jawab! Lo hamil sama babe kan? Jangan dikira gua diem selama ini gua nggak tahu. Lo bilang kalau babe udah biasa masuk kamar lo malem-malem, apa itu gua anggap wajar? Babe itu orang lain. Bukan bapak lo, bukan saudara lo." Nadaku sedikit tinggi.

Ia melihatku sebentar, kembali menunduk. Matanya kosong menatap lantai, lalu dialihkan pada kakinya. Satu jari iseng menggosok-gosok tumitnya. Lama ia baru bersuara, lirih sekali. Mulutnya hampir tak terbuka. "Iya ..."

"Mata lo buta nggak lihat istrinya ada di situ, anak-anaknya ada di situ? Lo diajak makan di rumahnya, dimasakin. Apa yang dia punya dia bagi. Si mbak itu sebegitu baiknya sama lo, tapi lo tega ngembat lakinya. Nggak punya hati lo!"

Begitu aku memakinya, mbak. Sarkasme. Sebab aku merasakan sakitmu. Juga malu. Bagaimana kalau yang punya kontrakan tahu? Dia temanku. Aku yang membawanya sewaktu ada satu kamar kosong. Sejak peristiwa itu pemilik kontrakan berkoar, tidak terima lagi anak gadis untuk pengontrak baru. Duh! 

Setelah itu ia pulang kampung. Kontrakannya ditinggal begitu saja. Kau masih tak tahu juga. Baru sadar kehilangan satu tetangga setelah kakak lelakinya datang menemuimu, mencari suamimu, meminta pertanggung-jawaban. Suamimu harus menikahinya! Mendengar kabar itu si babe lantas kabur. Sembunyi. Tak pulang-pulang. Tapi tak seperti Bang Toyib, sebab kau tak perlu menunggu sampai tiga kali puasa, tiga kali Lebaran. Belum genap sebulan ia tertangkap keamanan kampung sewaktu mengendap-endap pulang malam hari. Yang seperti itu bukan pertama kali. Hanya kali itu tak cukup disidang di rumah RT, lelakimu bahkan dibawa paksa ke kampung perempuan itu. Malam itu juga kau pun turut dibawanya ke sana. Jam dua malam. Kau tak bisa berbuat apa-apa. Kau relakan suamimu menikahi perempuan itu demi menghindari hukuman penjara. Air matamu jatuh saat akad nikah yang kau saksikan di depan mata.

Kalau saja aku bisa menemuimu melalui mimpi aku ingin bertanya, pernahkan kau minta mati? Bukan saat leukimia datang menyerangmu, tapi ketika kau dalam keadaan sehat. Segar bugar. Seperti aku ...

(Tebet Dalam, 7 Juni 2016)

Selamat jalan, mbak. Beristirahatlah dalam damai. Kau telah menemukan kebahagiaanmu yang sejati.

Photo Source: Google Images

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates