Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Tuesday, May 7, 2013

Review Film Kisah 3 Titik



Photo Source: Google Images
Directed by: Bobby Prabowo
Produced by: Lola Amaria
Written by: Charmantha Adjie
Starring: Ririn Ekawanti, Lola Amaria, Maryam Supraba
Studio: Lola Amaria Production
Runnng time: 104 minutes
Country: Indonesia
Language: Indonesian

Sewaktu mendengar rilis sebuah film berjudul ‘Kisah 3 Titik’ yang mengangkat kehidupan buruh, saya langsung penasaran. Sebagai orang yang memiliki pengalaman selama kurang lebih 8 tahun menjadi buruh pabrik, tentu saya ingin membandingkan kisah dalam film tersebut dengan realita yang saya alami. Maka ketika ada tawaran dari seorang kawan yang mengajak nonton film ‘Kisah 3 Titik’, saya langsung menerima. Meski harus menerjang hujan saya tak peduli, karena saya tidak ingin menunda-nunda kesempatan itu. 

Kisah 3 Titik, tiga titik di sini memiliki dua makna. Selain sebagai tiga pihak yang terkait dalam masalah perburuhan --pengusaha, pemerintah, dan buruh itu sendiri, juga sebagai tiga perempuan yang menjadi tokoh dalam film ini, memiliki nama depan yang sama --Titik. 

Tokoh pertama, Titik Sulastri (Ririn Ekawati). Seorang janda muda yang ditinggal mati oleh suaminya, namun masih harus mengurusi anak perempuannya yang masih kecil, juga bayi di dalam kandungannya. Ia bekerja di sebuah perusahaan garment sebagai tukang potong. Karena statusnya sebagai buruh kontrak, maka Ia harus merahasiakan kehamilannya.

Tokoh kedua, Titik Dewanti Sari (Lola Amaria), adalah wanita kelas menengah yang baru promosi jabatan sebagai manajer di perusahaan tempat Titik Sulastri bekerja. Dari rasa empatinya dan dengan tujuan baik --memanusiakan manusia, Ia coba melawan atasannya untuk membela kaum buruh di perusahaan itu.

Tokoh ketiga, Titik Kartika (Maryam Supraba), adalah perempuan yang dikenal tomboy. Anak seorang preman yang sejak kecil akrab dengan kekerasan, sehingga tidak memiliki rasa takut menghadapi siapa pun. Ia bekerja di pabrik sepatu sebagai tukang jahit.

Berdasarkan pengalaman dan kaca mata saya pribadi, saya menangkap ada beberapa bagian cerita yang dilebih-lebihkan, sehingga terkesan tidak masuk akal. Titik Sulastri misalnya, mana ada perusahaan dengan sistem target mau mempekerjakan perempuan lemah dan sakit-sakitan dalam waktu lama. Biasanya, tak sampai seminggu juga dipecat. Kecuali sudah menjadi karyawan tetap –kalau dipecat, perusahaan harus mengeluarkan pesangon. Atau dengan sistem borongan –gaji yang didapat sesuai dengan hasil kerjanya. Lalu Titik Dewanti Sari yang memiliki jabatan sebagai manajer perusahaan. Sangat berlebihan ketika Ia harus berbicara dengan suara lantang di depan atasannya, memaksakan keinginan baiknya secara terang-terangan membela para buruh di tempat kerjanya. Tak berbeda dengan keberanian Titik Kartika --seorang diri melawan preman-preman perusahaan demi membela anak-anak sekolah yang dipekerjakan di tempatnya bekerja. Keduanya tidak memiliki akal dan tidak menggunakan rasio untuk mengukur kekuatan. Sangat terlihat dipaksakan untuk menjadi tokoh perempuan yang inspiratif, namun gagal.

Kalau masalah intrik mengintrik yang disuguhkan, bukan rahasia lagi. Sudah menjadi realitas sosial, termasuk kemiskinan kaum buruh dengan petak-petak kamar kontrakan yang sempit dan kumuh. Yang banyak ditonjolkan dalam cerita ini hanya buruh dan pengusaha, sedangkan pemerintah menjadi ‘titik’ yang samar --hanya diwakilkan melalui keberanian sang manajer mempertahankan idealismenya. Seperti ada rambu-rambu yang membuat Charmantha Adjie ketakutan untuk melanggarnya. Tidak memiliki keberanian untuk berposisi membuat film ini TIDAK TOTAL dalam mengembangkan ceritanya, serta GAGAL menjadikan film Kisah 3 Titik menjadi film yang BERBEDA.  

Karena membosankan, maka kesuksesan ketiga artis dalam memerankan karakternya masing-masingpun menjadi tidak menarik. Yang tersisa dan yang bisa saya nikmati hanya wajah mereka yang  memang manis-manis. Ceritanya datar --tidak ada klimaks, membuat saya tidak merasakan kepuasan setelah nonton film ini. Perlawanan-perlawanan yang ditunjukkan para tokoh hanya perlawanan semu yang berujung pada penderitaan dan  ketidakberdayaan. Seperti tayangan sinetron yang membodohi, melecehkan logika. Hanya menunjukkan resiko tanpa memberikan solusi.

Pada akhirnya, film Kisah 3 Titik ini hanya meninggalkan TIGA masalah dan TIGA pertanyaan dari TIGA tokoh yang masih membutuhkan penjelasan sebagai jawaban. Film yang mengecewakan, film yang tak pernah selesai …

(Casablanca, 7 Mei 2013)

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates