“Aku rasa waktunya sudah cukup untuk membaca. Sekarang saatnya
diskusi. Tapi sebelumnya aku mau tanya. Dari materi yang tadi sudah dibaca, ada
yang tahu tidak, sebenarnya gender itu apa sih?”
Sesuai dengan jadwal perjuangannya hari ini, Zi memberikan
pendidikan kepada para buruh pabrik perempuan. Pendidikan itu diselenggarakan
di sebuah gedung Sekolah Dasar dekat sekretariat yang disewa dari uang iuran
anggota.
“Jenis kelamin.”
“Ya. Ada yang lain?”
“Pekerjaan rumah tangga.”
“Oke. Jawabannya aku tulis di papan dulu ya? Nanti baru kita
diskusikan.”
Suasana mendadak sepi. Tidak ada lagi yang menjawab.
“Lho, kok diam semua? Ayo jawab, jangan takut salah. Nggak
dimarahin kok. Jawab saja sesuai dengan pemahaman kawan-kawan.”
Zi sengaja tidak memberikan definisi tentang gender di dalam
materi yang ia buat, untuk melatih mereka berpikir dan mendefinisikannya
sendiri.
“Perbedaan antara laki-laki dan perempuan.”
“Ya, ditulis lagi. Masih ada yang mau jawab?”
“Perbedaan pekerjaan menurut jenis kelamin.”
“Boleh, ditulis dulu. Ayo, siapa lagi …”
Kembali senyap.
“Oke, kalau sudah tidak ada lagi, kita bahas bersama ya ...
Nah, di materi itu kan ada gambar perempuan yang memanggul barang sehabis
berjualan di pasar. Di situ ada keterangan, perempuan itu sebagai penopang
ekonomi keluarga. Terus, ada lagi gambar laki-laki yang menggendong anak sambil
memegang sapu. Keterangannya, lelaki itu menyayangi keluarganya, lembut dan
keibuan, tidak malu menyapu atau mengepel rumahnya. Jadi sebenarnya, gender itu
adalah perbedaan sifat dan peran pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk
oleh masyarakat. Masyarakat beranggapan, bahwa perempuan adalah sosok yang
lemah lembut, keibuan, berambut panjang dan kerjanya hanya mengurus keluarga
atau rumah tangga. Sedangkan laki-laki adalah sosok yang jantan perkasa,
pencari nafkah, berambut pendek dan kuat mengangkat barang-barang yang berat.
Sekarang, lihat lagi gambar yang tadi. Pernah tidak, kawan-kawan menemui yang
seperti itu di sekitar tempat tinggal kawan-kawan?”
“Pernaaah.” Mereka menjawab serentak.
“Banyak lagi, kak, yang kayak gitu.” Salah seorang
menambahkan.
“Nah artinya, bahwa gender itu dibentuk oleh masyarakat,
bukan kodrat. Merupakan tatanan yang dapat diubah dan dipertukarkan. Tapi
kenapa sifat dan peran pada laki-laki dan perempuan masih dibedakan, dimana
laki-laki dianggap lebih berkuasa daripada perempuan? Karena perbedaan itu
diterima dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Kemudian, keyakinan dan
kebenaran itu diproduksi secara masif atau kuat dalam keluarga, komunitas,
masyarakat dan negara. Dan pandangan yang terbangun dalam masyarakat ini menyebabkan
relasi atau hubungan perempuan dan laki-laki menjadi timpang, karena dominasi
dan kekuasaan yang dilestarikan melalui keluarga, komunitas, masyarakat dan
negara. Jadi sebenarnya, sifat dan peran pada laki-laki dan perempuan dapat
diubah dan dipertukarkan. Ada laki-laki yang lemah, sehingga ia tidak mampu
mengangkat barang-barang yang berat. Penakut, cengeng, ia bahkan sangat luwes
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ada juga perempuan perkasa yang mampu
mengerjakan tugas laki-laki. Dulu aku punya tetangga seperti itu. Sampai urusan
rumah bocor, dia sendiri yang mengerjakan. Naik ke atas genting. Orangnya
keras, tidak sabaran. Menurut dia, suaminya itu kurang gesit, lembek, suka
menunda-nunda pekerjaan. Ada juga temanku perempuan, jago naik pohon kelapa
yang tingginya buat aku mengerikan. Sedangkan kawan-kawan lelaki tidak ada
satupun yang berani. Mereka hanya menunggu saja kelapa yang dijatuhkan oleh
teman perempuanku itu. Semua itu bisa terjadi tergantung dari kekuatan
fisiknya, kebiasaan yang dilakukan, serta medan atau ruang yang ada di
sekitarnya. Bukan karena laki-laki atau perempuan. Dan peranan orang tua juga
berpengaruh, bagaimana mereka memperlakukan anak-anaknya sejak kecil. Lalu, apa
yang bisa membedakan laki-laki dan perempuan?”
“Jenis kelamin.” Salah satu menjawab lantang.
“Ya, benar. Yang membedakan laki-laki dan perempuan bukan
sifat dan perannya, melainkan jenis kelamin atau alat produksinya. Jenis
kelamin adalah perbedaan fisik biologis antara perempuan dan laki-laki yang
mudah dilihat dari ciri-cirinya. Contoh, perempuan memiliki rahim, sel telur,
dan kelenjar susu. Sedangkan laki-laki memiliki penis, sperma dan buah zakar.
Maka, gender tidak bisa disamakan dengan jenis kelamin. Kalau gender bukan
kodrat, dapat diubah dan dipertukarkan. Sedangkan jenis kelamin merupakan
kodrat atau bawaan lahir, relatif tidak berubah dan berlaku sepanjang masa. Ada
yang masih belum jelas? Ada yang mau bertanya?”
“Sudah. Sudah mengerti, kak.” Satu orang bersuara, yang lain
mengangguk saja.
“Oke, kalau tidak ada yang bertanya, kita lanjutkan lagi.
Dari pembahasan kita tentang gender, seharusnya ada pertanyaan, kenapa terjadi
perbedaan sifat dan peran antara laki-laki dan perempuan di masyarakat? Nah,
jawabannya ada pada materi yang satu lagi, Penindasan Perempuan. Untuk materi
ini, aku mau kawan-kawan baca lagi per-fase perkembangan masyarakat, agar
kawan-kawan lebih memahami. Setiap satu fase selesai dibaca, kita diskusikan
dan silahkan bertanya bagi yang kurang paham. Begitu seterusnya ya … Nah, di
situ kan ada lima fase. Satu, Jaman Komunal Primitif. Dua, Jaman Pertanian
Kolektif Primitif. Tiga, Jaman Perbudakan. Empat, Jaman Feodal atau Pertanian
Modern. Lima, Jaman Industri. Berarti, ada lima orang yang akan membaca. Untuk
yang pertama, siapa dulu yang mau baca?”
Tidak ada yang bersuara.
“Kalau tidak ada yang tunjuk tangan, ya sudah, berarti aku
yang tunjuk. Ehm … aku mau yang di depan sebelah kiri saja dulu. Mbak, tolong
dibaca yang keras ya, biar semua kawan-kawannya dengar.”
Perempuan itu mengangguk dan mulai membaca. “Jaman Komunal
Primitif. Pada jaman ini, kehidupan manusia masih bersifat kolektif, dimana
pembagian tugas belum mengenal pemisahan berdasarkan gender atau jenis kelamin.
Pembagian tugas hanya berdasarkan fungsi. Laki-laki, perempuan, tua, muda,
semua memiliki tugas yang sama, yaitu berburu. Jaman ini tidak mengenal
pengecualian. Mereka yang lemah, baik laki-laki maupun perempuan sehingga tidak
mampu ikut berburu, tidak akan mendapatkan makanan. Perempuan yang mengandung,
selama ia masih mampu berburu, ia akan berburu. Jika tidak, seperti perempuan
yang sudah hamil tua serta yang melahirkan, akan ditinggalkan kelompoknya yang
hidup berpindah dari satu hutan ke hutan yang lain untuk mencari sumber makanan.”
Suara mereka menggema hingga ke tanah lapang depan sekolah.
Beberapa ruang kelas terlihat kosong karena hari libur. Hanya satu kelas saja
yang terisi. Di luar gedung, tampak Inez duduk sendiri menunggu Zi.
Sekitar pukul 12 siang, acara selesai. Suasana yang semula
tenang mulai gaduh karena celoteh buruh-buruh pabrik itu. Bercanda, tertawa.
“Hai! Inez.” Inez mengembangkan senyum. “Sudah lama kau di
sini?”
“Lumayan.”
“Bagaimana kabarmu? Kok bisa sampai ke sini?”
“Kabarku baik. Kebetulan tadi aku ada urusan dengan seorang
teman yang tinggal di daerah dekat sini. Aku ingat, kau ada jadwal pendidikan
perempuan, ya sudah aku mampir saja. Kangen.”
Zi tersenyum. “Sama, aku juga kangen. Eh, kapan kau sampai?
Berapa lama sih kita nggak ketemu sejak kau ditugaskan di Bali?”
“Sebenarnya sih nggak lama. Hanya waktu aku pulang, kamu
nggak ada. Lagi tugas ke luar daerah. Giliran kamu datang, aku yang pergi. Jadi
nggak ketemu-ketemu.”
“Iya ya … kita sibuk dengan tugas masing-masing. Eh,
ngomong-ngomong sudah sepi, sudah pada pulang. Tinggal kita berdua. Kita ngobrolnya
sambil jalan aja yuk.”
“Si Rini mana? Kok nggak kelihatan?”
“Tadi ada. Bareng sama aku ke sini. Tiba-tiba dapat telephon
dari tetangganya, ibunya sakit. Kasihan, ibunya tinggal sendiri di rumah, jadi
dia pamit pulang dulu.”
“Eh, rencananya dari sini kamu mau ke mana, Zi?”
“Langsung balik ke markas.”
“Ya sudah, kalau begitu kita lewat jembatan penyeberangan
itu. Baru dari sana kita naik metromini.”
Mereka terus berjalan, saling cerita pengalaman
masing-masing tentang suasana serta kondisi masyarakat yang pernah mereka
singgahi.
“Oh iya Zi, sudah lama aku pengen tanya, kenapa sih waktu
itu kamu pulang duluan? Widi cari kamu lho ... Dia bawa ikan banyak, trus kita
bakar-bakaran sampai pagi sambil nunggu sunrise.
Coba waktu itu kamu ada di sana, kamu pasti senang. Indaaah sekali.”
“Abis, aku sendirian. Nggak enak. Yang lain pada
pasang-pasangan.”
“Kan aku sudah bilang kalau aku mau balik.”
“Nggak ingat lagi. Sudah kepanikan sendiri. Kecuali mereka
mau berbaur. Mereka pada asik berdua-dua-an. Mas Wi juga nggak bilang kalau mau
balik, jadi aku ngerasa sendirian. Nggak enak lah pokoknya.”
“Widi bilang kok sama aku. Katanya, cuma pergi sebentar
nemuin pacarnya, nanti balik lagi.”
Mendadak tubuhnya bergetar. Kaki, tangan, juga bibirnya. Zi
menggigil kedinginan. Kedua tangannya menopang dagu, menahan giginya yang
beradu. Semakin lama semakin menjadi.
“Zi, kamu kenapa?” Cemas Inez bercampur heran. “Kamu
sakit?”
Inez tak tahu kalau cerita yang baru saja disampaikan pada
Zi tentang Mas Wi, membuatnya syok. Dadanya seperti bedug masjid yang dipukul
sekeras-kerasnya. Gerakan jantungnya seperti lonceng pada jam raksasa kuno.
Matahari yang membakar kulit, tak mampu menetralisir suhu pada tubuhnya.
“Nezhh ... kih-tah cahahah-riiihh warung hhh kohh-pih
duh-luhuhuh.” Terbata-bata Zi menyampaikan keinginannya.
Inez memapahnya. Pelan berjalan menuju warung kopi,
meletakkan tubuh gadis tionghoa itu di bangku panjang.
“Kamu mau minum apa, Zi? Kopi apa teh?”
“Teheheh yang panahahahasss …” ~ Bersambung ~
(Casablanca, 2 Februari 2014)
Theme Song: (Utopia - Benci) http://www.youtube.com/watch?v=sn4B4afTZqY
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment