Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Sunday, February 16, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 8)


Masih pagi sekali. Tampak jingga langit di ufuk Timur ketika Zi tiba di sebuah pantai. Sendiri. Tak satu orang pun yang terlihat berada di sana. Hanya burung-burung camar yang lalu lalang di atas air, bercanda, berteriak saling memanggil. Dari jauh, perahu-perahu nelayan tampak seperti kapal mainan anak-anak. Meliuk-liuk diayun ombak. Sebagian berdebur tak henti menabrak karang, seperti jantungnya yang selalu berdegup setiap kali teringat kenyataan yang menyakitkan tentang pejuang pujaannya.
      
Pelan Zi mendekati pantai. Dibiarkan air menyentuh kakinya. Zi terus melangkah. Berjalan menuju ke kedalaman hingga setengah tubuhnya menghilang. Sejenak ia mendongakkan kepalanya melihat terang langit sehabis hujan. Ada pelangi di sana. Pelangi terakhir yang dipandangi sebelum ia mengakhiri hidupnya.
      
“Zi! Apa yang kamu lakukan, Zi! Zi!”
      
Zi mendengar ada yang memanggil namanya. Suara itu bersaing dengan nyanyian ombak yang dibawa angin. Zi hafal benar, itu suara Mas Wi.
      
“Zi! Ziiiii …”
      
Suara itu semakin dekat. Zi tak peduli. Kini yang tertinggal hanya kepalanya. Dan sebentar saja, tubuhnya lenyap tak bersisa.
      
Zi meronta ketika Mas Wi berusaha mengangkatnya ke permukaan. Mereka saling berteriak di antara gerakan yang timbul tenggelam.
      
“Lepaskan! Lepaskan aku!”
      
“Tidak. Aku tidak ingin kamu mati, Zi! Aku tidak ingin kamu mati!”
      
“Tapi aku ingin! Aku ingin! Lepaskan aku. Lepaskan akuuu!”
      
“Tidak! Kamu tidak boleh mati! Tidak, Zi. Tidaaak!”
      
Zi masih terus berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Mas Wi. Mendorong, menyiku, menendang. Sebentar lepas tenggelam, sebentar ditarik ke permukaan. Tenggelam lagi, ditarik lagi. Tapi rupanya, tenaga Zi tak mampu bersaing dengan kekuatan Mas Wi. Pergulatan di dalam air itu telah menguras seluruh tenaganya. Zi kelelahan, lemas, terkulai ...
      
Mas Wi menangkapnya, mendekap tubuhnya, menciumi seluruh wajahnya, ”Kamu bodoh, Zi ... Kamu bodoooh ...”
      
Zi tinggal pasrah ketika Mas Wi mengendong tubuhnya, membawa ke tepian. Hanya suaranya yang masih tersisa ditengah nafasnya yang tersengal, ”Lepaskan aku … lepaskan aku … lepaskan aku …”
      
“Kak … kak … bangun, kak.” Ami menggoyang-goyang tubuhnya.

Zi kaget, membuka matanya. “Eh, ada apa?”
      
“Kakak mengigau. Apa kakak sedang mimpi buruk?”
      
“Oh ya?”
      
“Iya.”
      
Sebentar Zi mengingat-ingat. “Tidak kok. Bukan mimpi buruk. Ehm … ini jam berapa ya?”
      
“Subuh, kak.”
      
“Ya sudah, terima kasih. Kakak mau bangun saja.”
      
Ami kembali membaringkan tubuhnya di kasur, memainkan ponselnya. Zi membuka pintu kamar menuju dapur. Tenggorokannya terasa sangat kering, ia ingin minum. Tetapi, astaga! Tidak ada satu gelas pun yang bisa dipakai. Semua dalam keadaan kotor menumpuk di kitchen sink. Bercampur dengan piring, sendok dan peralatan dapur yang lainnya. Sisa-sisa nasi, lauk, tulang dan sayur menyatu di sana, menimbulkan aroma yang sangat tak sedap. Zi memutar kepalanya, melihat sekeliling. Meja makan, kompor, lantai dan tempat sampah, semuanya belepotan terkena sisa-sisa makanan. Tak ada yang bersih. Menggelikan! Semut, kecoak, tikus bersama kotorannya yang menyebar ke mana-mana. Ampuuuuunn … Pekiknya dalam hati. Dengan rasa jijik, Zi mencuci satu gelas saja. Mengambil air minum, meneguknya dan mencuci kembali. Digantungkan pada rak piring. Ia lalu menuju kamar mandi, buang air kecil. Dilihatnya lagi sekeliling ruangan itu. Lantainya kotor, juga dindingnya. Ada tempat sampah di dalamnya, tapi tetap saja sampahnya berserakan. Ada bungkus bekas shampo, deterjen, sabun batangan, pasta gigi, serta puntung rokok yang dibuang sembarangan di sekitar area lubang pembuangan air. Zi merasa jijik menapakkan kakinya yang telanjang. Ia mencari sandal. Ya Tuhaaaaann … Sekali lagi, Zi memekik dalam hati. Semua ruangan tak ada yang rapi. Semua barang berantakan tidak pada tempatnya.
      
Tak seperti kemarin, saat Faizal mengajaknya ke sekretariat salah satu organisasi mereka. Tempatnya bersih dan rapi. Zi tidak menyangka kondisi sekber akan seperti itu. Dengan gambaran sebuah rumah desa yang besar, tinggi dan luas. Di sisi kiri dan kanannya masing-masing ada lima kamar, seperti kost-kost-an. Di tengahnya, los selayak aula untuk pertemuan besar. Lalu paling ujung ada dapur, kamar mandi, serta tempat menjemur pakaian. Pastilah tempatnya menyenangkan. Zi benar-benar salah menduga, karena ia baru sampai pada malam hari, masuk kamar, lalu tidur.
      
Suasana seperti itu bukan pertama kali ia temui di beberapa daerah. Meski demikian, Zi tetap saja merasa tak nyaman. Dan setiap kali ia menanyakan alasannya, hampir semua memiliki jawaban yang sama: Ya, maklumlah, namanya juga orang banyak.

Jawaban yang salah, menurutnya. Jawaban yang paling tidak ia sukai. Jawaban yang paling mudah diucapkan. Dijadikan alasan untuk pembenaran. Sebab bersih tidaknya sebuah rumah atau ruangan tidak tergantung pada berapa banyak penghuninya. Melainkan berapa banyak orang yang sadar tentang kebersihan. Masalahnya ada di masing-masing kepala mereka. Rumah yang besar, banyaknya jumlah penghuni, tidak menjadi masalah jika mereka bekerjasama. Bergotong royong. Bukankah dengan gotong rotong, pekerjaan yang berat menjadi ringan? Atau paling tidak mereka bertanggung jawab terhadap diri mereka masing-masing. Melayani dirinya sendiri. Membersihkan gelas dan piringnya sendiri. Hal-hal yang kecil adalah dasar. Menjadi penentu saat besar. Jika yang kecil-kecil sudah dikuatkan, akan kuat pula saat besar. Cita-cita menuju masyarakat sosialis adalah masyarakat yang bergotong royong. Masyarakat yang saling tolong menolong. Sosialisme Indonesia adalah Pancasila. Seperti usulan Bung Karno yang pernah disampaikan di depan BPUPKI tentang Pancasila, bahwa Pancasila jika disederhanakan akan menjadi Trisila. Lalu Trisila jika disederhanakan menjadi Ekasila. Dan Ekasila itu adalah gotong royong. Jadi Pancasila ya gotong royong. Selalu mengandalkan orang lain untuk melakukan pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, sama saja tidak adanya upaya untuk menghapuskan penindasan. Merupakan wujud penindasan dari hal yang paling kecil. Paling sederhana. Gotong royong tidak hanya mengandalkan orang lain. Gotong royong tidak perlu menunggu. Tapi membadankan diri. Bagaimana mereka bisa menyapu debu-debu di luar sana, jika mereka tidak mampu menyapu kotoran di rumah sendiri. Hanya orang-orang yang setia pada hal-hal kecil lah yang akan setia melakukan hal-hal besar, dimana dalam melakukan setiap pekerjaannya mereka tidak butuh penonton. Semua dilakukan karena terbiasa.     
      
Zi jadi ingat markas pusat, tempat ia dan beberapa kawannya tinggal menetap. Tempatnya bersih, rapi, sedap dipandang mata. Harusnya mereka menjadikan itu sebagai teladan. Di sana sengaja tidak mengambil seorang pekerja rumah tangga, dengan alasan agar masing-masing orang memiliki tanggung jawab terhadap tempat yang mereka tinggali. Berdasarkan hasil rapat dan kesepakatan bersama, terbentuklah kepala rumah tangga yang mengatur pembagian tugas atau piket. Tetapi pembagian tugas itu tetap tidak menghapuskan kewajiban setiap orang untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Pakai gelas ya cuci gelas. Pakai piring ya cuci piring. Piket yang dilakukan oleh beberapa orang itu hanya mengambil pekerjaan yang lebih besar di luar tanggung jawab masing-masing orang terhadap dirinya. Misalnya membersihkan ruangan, memasak, mencuci tempat makanan baik nasi, lauk mau pun sayur, serta membersihkan kamar mandi. Jika ada anggota kelompok yang kebetulan bertugas ke luar kota atau sedang ada pertemuan di pagi hari, ya sisa kelompok yang di markas lah yang menjalankan piket. Zi bahkan kerap menawarkan jasa untuk belanja ke pasar pada kelompok mana saja yang sedang kebagian piket jika ia sedang berada di markas. Hitung-hitung olah raga, jalan-jalan pagi. 
      
Memang dibutuhkan ketegasan untuk hal-hal yang seringkali dianggap sepele. Contoh lain di markas pusat, seperti saat beberapa orang sedang mengadakan rapat. Setelah acara itu selesai dilakukan, masing-masing orang akan mencuci sendiri gelas minumnya. Tak peduli itu pimpinan atau bukan. Membersihkan meja bersama-sama, membuang bungkus bekas makanan atau minuman ke tempat sampah, serta merapikan kembali kursi-kursi. Sehingga yang semula bersih dan rapi, kembali ke asalnya. Bersih dan rapi lagi.
      
Bekerja ya bekerja. Berjuang ya berjuang. Sibuk ya sibuk. Tetapi bukan berarti mengabaikan kebersihan dan kerapian, jika memungkinkan untuk dilakukan. Dengan ruangan yang bersih dan rapi, akan mendatangkan energi positif yang menyegarkan pikiran saat bekerja.
      
Pada akhirnya, semangat gotong royong hanya berhenti pada seruan saja. Menjadi sekedar kalimat yang hanya digerakkan oleh lidah ketika tidak direalisasikan dengan tindakan nyata. Sejatinya, perlu diserukan terlebih dahulu kepada diri sendiri, agar terbangun semangat gotong royong yang murni dari dalam diri. Itulah pondasi yang terkuat.
      
Pada pucuk pagi, ditemani daun-daun pohon yang manja dibelai angin, Zi membatin … Indah tak selalu gemerlap. Indah tak harus mahal. Indah tak hanya perpaduan warna warni yang memikat. Sebuah ruangan yang bersih dan tertata rapi adalah salah satu keindahan

***

      
“Oke, kawan-kawan … sampai tiga jam ke depan, kita akan membahas tentang “Kelas-kelas Sosial dan Perjuangan Kelas” berdasarkan pandangan Doug Lorimer. Apakah yang disebut kelas-kelas sosial itu? Mengapa muncul kelas-kelas dalam perkembangan masyarakat? Bagaimana kedudukan dan hubungan antar kelas dalam kehidupan sosial kita? Jawaban yang tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membawa kita pada pemahaman tentang hakekat gejala-gejala sosial yang penting di jaman modern, seperti negara, hubungan-hubungan politik dan kehidupan ideologis. Pendekatan kelas yang meng-asumsikan bahwa kehidupan masyarakat itu terbagi ke dalam kelas-kelas, merupakan salah satu prinsip metodologi Marxisme yang paling mendasar. Nah, sebelum aku jelaskan lebih lanjut dan kita diskusikan bersama, baiknya kawan-kawan baca dulu, aku beri waktu atau … dibaca langsung satu orang, yang lain mendengarkan, begitu? Bagaimana menurut kawan-kawan?”
      
“Dibaca langsung saja.” Kata salah seorang pemuda.
      
“Bagaimana, yang lain setuju?”
      
“Setujuuu …” Mereka serentak menjawab.
      
“Oke, siapa tadi yang usul?”
      
“Saya.” Pemuda itu mengangkat tangan.
      
“Kenalkan namamu.”
      
“Nama saya, Deni.”
      
“Ya sudah, kalau begitu Kawan Deni yang baca, ya? Baca yang Romawi satu dulu, Konsep Tentang Kelas Sosial.”
      
“Siap!” Jawab pemuda itu, lalu membaca, “Kelas sosial adalah pengelompokan yang ada dalam masyarakat. Namun ada pengelompokan masyarakat yang tidak berdasarkan kelas. Pengelompokan itu misalnya, berdasarkan jenis kelamin, ras, kebangsaan, pekerjaan dan sebagainya. Beberapa di antara pengelompokan itu ada yang didasarkan atas pengelompokan fisik, dalam kurung, usia, jenis kelamin, ras. Dan ada juga penggolongan yang bersifat sosial, dalam kurung, kebangsaan, pekerjaan. Pembedaan-pembedaan tersebut, dilihat dari segi politik, sebenarnya tidak dengan sendirinya menyebabkan perbedaan-perbedaan sosial, dan hanya di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu saja, maka pembedaan tersebut bisa dikaitkan dengan ketimpangan sosial. Alhasil, ketimpangan yang didasarkan pada ras, sesungguhnya lebih bersifat historis atau menyejarah ketimbang alami. Pengelompokan rasial sendiri merupakan kategori sosial, bukan kategori biologis. Pengelompokan berdasarkan ras, muncul karena ada praktek sosial kapitalisme yang memuja-muja perbedaan fisik manusia, dalam kurung, biasanya merupakan perbedaan warna kulit, yang menganggap bahwa unggul dan rendahnya nilai-nilai sosial itu berasal dari perbedaan fisik tersebut. Akibatnya, muncul pembenaran terhadapnya, juga misalnya ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin, yang sebenarnya lebih disebabkan oleh fakta-fakta historis atau kesejarahan ketimbang fakta-fakta alam. Pada tahap awal perkembangan sejarah, yakni selama “sistem komunal primitif”, kaum perempuan memainkan peranan penting atau pimpinan di tengah masyarakat. Namun peran kepemimpinan itu lambat laun pudar seiring dengan terbagi-baginya masyarakat ke dalam unit-unit keluarga yang dipisahkan satu sama lain berdasarkan pemilikan pribadi ………
      
Suasana menjadi khidmat. Para kader sedang serius mendengar, menunduk, mengamati kertas foto copy yang berisi materi pendidikan. Kegiatan itu dilakukan di sekretariat bersama, tempat Zi tinggal sementara bersama beberapa kawan seperjuangannya.

~ Bersambung ~


(Casablanca, 12 Februari 2014)

Theme Song: (Kotak - Kecuali Kamu) https://www.youtube.com/watch?v=cccW6vIPGzQ


No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates