Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Thursday, March 13, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 12)


Zi tampak sendirian di sebuah warung kopi. Tempat ia dan beberapa kawannya di gerakan biasa nongkrong. Warung sederhana di pinggir jalan itu, tak jauh dari markas. Di sini juga ia biasa membuat janji dengan kawan-kawannya yang lain. Zi memilih tempat ini, karena menurutnya, inilah salah satu cara menghidupkan ekonomi rakyat atau pemodal kecil. Di samping itu, Zi bisa berbaur dengan masyarakat bawah, seperti sopir angkutan, sopir bajaj, tukang ojeg, atau warga kampung setempat. Mengajak diskusi ringan seputar permasalahan mereka, sesekali Zi mengajak mereka bicara tentang kondisi negara saat ini. Dari sana, ia mengetahui bagaimana situasi nasional itu dilihat dari kaca mata mereka. Dari sana juga ia tahu, apa harapan mereka untuk bangsa, negara dan pemimpin Indonesia di masa depan. Sedikit demi sedikit, Zi mencoba memberi pencerahan kepada mereka tanpa terkesan mendikte, sehingga semua orang yang ada di sana, larut dalam obrolan yang mengalir.

Sambil menghisap rokoknya, memandangi jalanan yang padat kendaraan. Jam kerja sudah berlalu sejak tadi, namun masih saja jalanan itu menggambarkan kemacetan. Zi masih sendirian. Tak biasanya pada jam-jam begini, warung sepi. Warung-warung kopi rakyat yang mulai terpinggirkan oleh usaha milik para pemodal besar, yang menyediakan tempat tongkrongan di mall-mall serta super market dengan lebih nyaman. Menyamai keberadaan warung kopi rakyat dengan membuka cabang di mana-mana, seperti jamur di musim hujan. Mahasiswa, anak-anak sekolah, ibu-ibu gaul, serta buruh berkerah putih dan biru memilihnya sebagai tempat yang dianggap lebih bergengsi. Maka tumbuh suburnya usaha para pemilik modal besar atau kapitalis asing itu, tak lain karena dukungan mayoritas masyarakat Indonesia sendiri. Beberapa aktivis yang dianggapnya sadar atas penjajahan di negerinya itu, bahkan terlihat juga di sana. Sedang berkumpul bersama kawan-kawannya. Dari sana, Zi bisa menilai, betapa banyaknya orang yang hanya pandai meniru. Berteriak anti kapitalis atau lawan imperialis yang selanjutnya patut dipertanyakan kesadarannya, ketika mereka lebih memilih untuk mendukung dan menguntungkan para pemilik modal. Seharusnya kaum sadar bisa menjadi teladan untuk menghidupkan warung kopi rakyat, sebagai tindak pencerahan terhadap mereka yang belum sadar tentang bentuk penjajahan di Indonesia saat ini. Jika kaum sadar mampu memenuhi warung-warung kopi rakyat, berkumpul dan berdiskusi di sana, serta menularkan kebiasaan itu, maka tak perlu susah-susah mengusir kapitalis. Mereka akan minggat dengan sendirinya dari negeri ini, jika usahanya bangkrut. Seperti beberapa mall yang sepi pengunjung, akhirnya ditutup karena merugi.

“Neng, ibu mau pindah, neng.” Suara Bu Sum, pemilik warung kopi itu, terdengar bersaing dengan deru mesin kendaraan di luar sana.

“Mau pindah ke mana, bu?”

“Belum tahu, neng. Ini juga lagi cari tempat.”

“Memang kontraknya sudah habis? Dan sudah tidak dikontrakkan lagi oleh pemiliknya?”

“Tempat ini bukan ngontrak, neng. Ini punya suami ibu. Warisan mertua.”

“Terus, kenapa pindah?”

“Ya, pindah sendiri saja. Bapak masih tetap di sini. Tetap buka bengkel dan tambal ban di depan kalau pagi, seperti biasa. Hanya ibu minta pisah sama bapak.”

“Memangnya ada apa, bu?”

“Ibu capek. Setiap hari diomeli terus sama bapak. Marah-maraaah saja kerjanya. Ngomongnya nggak pernah enak, bahasa-bahasa kotor setiap hari dikeluarkan. Padahal ibu cari duit sendiri, cari makan sendiri. Ikut bantu juga bayar listrik, sampah, keamanan. Belum biaya sekolah anak ibu yang kecil. Duit dari bapak, nggak cukup neng.”

“Terus, anak-anak ibu yang tiga orang itu kan sudah besar, sudah pada kerja. Tanggapan mereka bagaimana?”

“Ya mereka mendukung ibu. Untungnya anak yang kedua gajinya lumayan, ngerti sama ibu. Dia yang suka bantu, kasih uang kalau gajian. Mereka juga tahu bagaimana kelakuan bapaknya.”

“Lah, dulu memang bapak bagaimana, bu.”

“Dulu waktu ngejar-ngejar ibu, ya baik. Ibu memang janda, neng, waktu ketemu bapak. Anak ibu yang pertama kan dari suami sebelumnya. Nikah awal-awal, masih baik. Lama-lama ketahuan aslinya. Ya selama ini, ibu bertahan saja. Ibu kira nanti bisa berubah. Tapi sampai anak-anak besar, tetap saja begitu. Lebih-lebih sejak rajin sholat dan ikut pengajian, ibu semakin nggak ada benarnya, neng. Sepet mata ibu lihat muka bapak cemberut terus. Nggak ada cerianya, nggak ada senyum-senyumnya.”

“Masak ya nggak pernah bercanda, bu, sama anak-anaknya gitu?”

“Nggak pernah, neng. Sama anak-anaknya juga begitu. Apalagi kalau sama anak ibu yang perempuan itu. Benci sekali bapak. Padahal, itu anak perempuan satu-satunya.”

“Anaknya sendiri kan?”

“Iya, anaknya sendiri. Nggak tahu kenapa?”

“Ya … ibu. Zi nggak bisa nongkrong di sini lagi dong kalau ibu pindah.”

“Siapa tahu nanti ibu dapat tempat di dekat sini, kan nggak jauh juga dari tempat eneng.”

“Terus, bagaimana tanggapan bapak, waktu ibu minta pisah?”

“Ya melarang, terus jadi baik gitu. Tapi ibu ragu, neng. Siapa tahu baiknya cuma sebentar, lama-lama begitu lagi.”

“Ya, mudah-mudahan bisa diselesaikan baik-baik. Tetap semangat ya, bu. Oh ya, Zi mau balik dulu ah, bu. Ngantuk.”

Setelah membayar, Zi segera pergi meninggalkan warung kopi itu. Melewati sebuah lorong, ia berjalan menuju markas. Di sepanjang perjalanan, suara hatinya berceloteh …

Bagaimana ya, orang yang tiap hari marah-marah terus? Nggak pernah senyum. Apa nggak capek? Terus … bagaimana kalau tiba-tiba libidonya tinggi? Dia pasti butuh istrinya dong. Bagaimana cara meminta atau merayunya ya? Kalau dia memaksa, meskipun itu dilakukan pada istrinya sendiri, tetap saja itu dianggap pemerkosaan. Pasti Ibu Sum belum tahu. Dan masih banyak para istri yang belum mengetahui itu. Kalaupun tahu, apa dia mau melaporkan suaminya? Hmm … yang jelas-jelas di hajar sampai babak belur saja, banyak yang tidak mau melapor. Masih saja perempuan menyayangkan suaminya kalau ditangkap dan dipenjarakan. Apalagi yang menyangkut dirinya di atas ranjang. Kebanyakan perempuan menganggap itu aib, sehingga banyak sekali korban perkosaan yang lebih memilih bungkam …

***

Sekolah Dasar Negeri yang sudah menjadi langganan Zi dan kawan-kawannya mengadakan pendidikan, pagi ini disewa lagi. Dalam ruang kelas, tampak Zi sedang menggambarkan penjelasannya di papan tulis.

“Ini adalah Fase Perkembangan Masyarakat. Di sini ada Jaman Komunal Primitif, di sini ada Jaman Pertanian Kolektif Primitif. Lalu di sini Jaman Perbudakan, kemudian Jaman Feodal atau Pertanian Modern. Dan di sini, Jaman Industri.”

Semua peserta pendidikan, terlihat sibuk mencatat. Ada yang menulis di buku. Ada yang menulis di lembaran kertas. Ada juga yang menulis dibalik foto copy materi pendidikan.

“Pada jaman komunal primitif, posisi laki-laki dan perempuan sama. Mereka sama-sama berburu. Perempuan saat hamil pun, ikut berburu. Hanya saat usia kehamilannya tua hingga melahirkan saja, perempuan beristirahat. Setelah melahirkan, mereka kembali berburu. Tangan kiri menggendong anaknya, tangan kanan membawa tombak, mereka berlari mengejar buruannya. Nah, masyarakat komunal priminif hidup berkelompok atau disebut commune dan berpindah-pindah atau disebut nomaden. Mereka memenuhi kebutuhan hidupnya selain dengan metode berburu hewan, juga meramu sayuran dan buah-buahan. Dalam sebuah komune, harta benda atau hewan hasil buruan serta sayuran dan buah-buahan, dimiliki secara kolektif oleh anggota komune, kemudian dibagikan secara adil sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota. Dalam proses pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka, muncul kebutuhan untuk melakukan pembagian tugas. Perempuan yang memiliki siklus alami reproduksi, seperti hamil, melahirkan dan menyusui, menyebabkan mereka lebih banyak mendapatkan tugas meramu. Sementara laki-laki, berburu. Karena proses berburu pada jaman itu tidak ada kepastian waktu. Bisa sebulan, dua bulan, atau berbulan-bulan baru kembali ke komune, maka stok makanan mereka lama-lama menipis. Keadaan itu yang mendorong perempuan mengembangkan metode bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Jadi, yang menemukan sistim pertanian pertama kali adalah perempuan. Nah, dari sinilah, fase perkembangan masyarakat memasuki jaman pertanian kolektif primitif.”

“Hebat ya kak, perempuan jaman dulu.” Salah seorang peserta berkomentar.

“Sekarangpun masih hebat. Asal perempuan tidak merendahkan atau melemahkan dirinya, hanya karena terlahir sebagai perempuan. Asal perempuan yakin dan mampu menghebatkan dirinya, mereka bisa sejajar dengan laki-laki.”

Perempuan-perempuan pabrik itu melongo melihat gaya bicara Zi yang berapi-api.

“Masih ingat yang kita bahas tadi tentang gender? Apa yang membedakan laki-laki dan perempuan?” Zi melemparkan pertanyaan.

“Alat produksinya.”

“Ya, benar. Bukan jenis kelaminnya. Jangan salah, ya. Oke! Bisa kita lanjut ke jaman berikutnya, jaman pertanian kolektif primitif.”

Suasana kembali tenang. Para perempuan itu serius menyimak penjelasan Zi sambil sesekali mencatat dengan caranya masing-masing.

***

Malam Minggu di markas seringkali tampak sepi. Hanya Zi tak sendirian. Masih ada beberapa kawan yang tinggal, tak memiliki acara malam Mingguan. Seperti biasa, Uda’ tak kelihatan. Setiap hari Sabtu dan Minggu, Uda’ bekerja paruh waktu sambil melanjutkan kuliahnya. Tapi kalau tiba-tiba Uda' datang di Sabtu atau Minggu, jadi malu-malu begitu. Tidak berani menatap Zi yang tercengang melihat kedatangannya. Pandangannya dibuang ke sembarang arah, sedikit salah tingkah. Kalau Mas Wi? Saat ini masih berada di luar daerah. Tetapi dari dulu tak pernah kelihatan.

Sabtu malam, kenapa masih menjadi hari yang penuh cemburu baginya? Padahal dulu, setiap ia berbicara lama di telephon, Mas Wi selalu meledek,”Pacaran terus.” Setelah Zi mengutarakan perasaannya dan tahu tentang Mas Wi, keadaannya menjadi berbalik. Bukan lagi Mas Wi yang mencemburui dirinya.

Tapi akhir-akhir ini, ada sesuatu yang aneh. Setiap bibirnya yang sudah terbiasa memanggil nama Mas Wi, lalu bayang lelaki itu hadir tak lupa senyumnya, wajah Uda’ selalu mengikuti. Menyerobot masuk menutupi wajah Mas Wi. Terus bergantian saling menindih. Kedua bayang wajah itu seolah berebut memasuki alam pikirannya. Selalu dan selalu begitu.

Zi lantas teringat sobekan kertas yang diselipkan Mas Wi dibawah pintu kamarnya. Kata-kata motivasi yang menyemangatinya, juga menderaikan air matanya. Siapa yang Mas Wi maksud akan meng-indah-kan hidupnya nanti? Mas Wi atau orang lain?

Zi masih terus bertahan dengan sakitnya di setiap Sabtu-Sabtu malam. Menunggu dan terus menunggu, seolah menjadi yang kedua …

 ~ Bersambung ~


(Casablanca, 11 Maret 2014)

Theme Song: (Tari Adinda – Yang Kedua) https://www.youtube.com/watch?v=P4KCZ5HckVc

Photo Source: Google Images


No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates