Zi tampak sendirian di sebuah warung kopi. Tempat ia dan beberapa kawannya di gerakan biasa nongkrong. Warung sederhana di pinggir jalan itu, tak jauh dari markas. Di sini juga ia biasa membuat janji dengan kawan-kawannya yang lain. Zi memilih tempat ini, karena menurutnya, inilah salah satu cara menghidupkan ekonomi rakyat atau pemodal kecil. Di samping itu, Zi bisa berbaur dengan masyarakat bawah, seperti sopir angkutan, sopir bajaj, tukang ojeg, atau warga kampung setempat. Mengajak diskusi ringan seputar permasalahan mereka, sesekali Zi mengajak mereka bicara tentang kondisi negara saat ini. Dari sana, ia mengetahui bagaimana situasi nasional itu dilihat dari kaca mata mereka. Dari sana juga ia tahu, apa harapan mereka untuk bangsa, negara dan pemimpin Indonesia di masa depan. Sedikit demi sedikit, Zi mencoba memberi pencerahan kepada mereka tanpa terkesan mendikte, sehingga semua orang yang ada di sana, larut dalam obrolan yang mengalir.
Sambil menghisap rokoknya, memandangi jalanan yang
padat kendaraan. Jam kerja sudah berlalu sejak tadi, namun masih saja jalanan
itu menggambarkan kemacetan. Zi masih sendirian. Tak biasanya pada jam-jam begini,
warung sepi. Warung-warung kopi rakyat yang mulai terpinggirkan oleh usaha milik
para pemodal besar, yang menyediakan tempat tongkrongan di mall-mall serta
super market dengan lebih nyaman. Menyamai keberadaan warung kopi rakyat dengan
membuka cabang di mana-mana, seperti jamur di musim hujan. Mahasiswa, anak-anak
sekolah, ibu-ibu gaul, serta buruh berkerah putih dan biru memilihnya sebagai
tempat yang dianggap lebih bergengsi. Maka tumbuh suburnya usaha para pemilik
modal besar atau kapitalis asing itu, tak lain karena dukungan mayoritas
masyarakat Indonesia sendiri. Beberapa aktivis yang dianggapnya sadar atas
penjajahan di negerinya itu, bahkan terlihat juga di sana. Sedang berkumpul bersama
kawan-kawannya. Dari sana, Zi bisa menilai, betapa banyaknya orang yang hanya pandai
meniru. Berteriak anti kapitalis atau lawan imperialis yang selanjutnya patut
dipertanyakan kesadarannya, ketika mereka lebih memilih untuk mendukung dan
menguntungkan para pemilik modal. Seharusnya kaum sadar bisa menjadi teladan
untuk menghidupkan warung kopi rakyat, sebagai tindak pencerahan terhadap mereka
yang belum sadar tentang bentuk penjajahan di Indonesia saat ini. Jika kaum sadar mampu memenuhi warung-warung kopi rakyat, berkumpul dan berdiskusi
di sana, serta menularkan kebiasaan itu, maka tak perlu susah-susah mengusir
kapitalis. Mereka akan minggat dengan sendirinya dari negeri ini, jika usahanya
bangkrut. Seperti beberapa mall yang sepi pengunjung, akhirnya ditutup karena
merugi.
“Neng, ibu mau pindah, neng.” Suara Bu Sum, pemilik warung
kopi itu, terdengar bersaing dengan deru mesin kendaraan di luar sana.
“Mau pindah ke mana, bu?”
“Belum tahu, neng. Ini juga lagi cari tempat.”
“Memang kontraknya sudah habis? Dan sudah tidak dikontrakkan
lagi oleh pemiliknya?”
“Tempat ini bukan ngontrak, neng. Ini punya suami ibu.
Warisan mertua.”
“Terus, kenapa pindah?”
“Ya, pindah sendiri saja. Bapak masih tetap di sini. Tetap
buka bengkel dan tambal ban di depan kalau pagi, seperti biasa. Hanya ibu minta
pisah sama bapak.”
“Memangnya ada apa, bu?”
“Ibu capek. Setiap hari diomeli terus sama bapak. Marah-maraaah
saja kerjanya. Ngomongnya nggak pernah enak, bahasa-bahasa kotor setiap hari
dikeluarkan. Padahal ibu cari duit sendiri, cari makan sendiri. Ikut bantu juga
bayar listrik, sampah, keamanan. Belum biaya sekolah anak ibu yang kecil. Duit
dari bapak, nggak cukup neng.”
“Terus, anak-anak ibu yang tiga orang itu kan sudah besar,
sudah pada kerja. Tanggapan mereka bagaimana?”
“Ya mereka mendukung ibu. Untungnya anak yang kedua gajinya lumayan,
ngerti sama ibu. Dia yang suka bantu, kasih uang kalau gajian. Mereka juga tahu
bagaimana kelakuan bapaknya.”
“Lah, dulu memang bapak bagaimana, bu.”
“Dulu waktu ngejar-ngejar ibu, ya baik. Ibu memang janda,
neng, waktu ketemu bapak. Anak ibu yang pertama kan dari suami sebelumnya.
Nikah awal-awal, masih baik. Lama-lama ketahuan aslinya. Ya selama ini, ibu
bertahan saja. Ibu kira nanti bisa berubah. Tapi sampai anak-anak besar, tetap
saja begitu. Lebih-lebih sejak rajin sholat dan ikut pengajian, ibu semakin
nggak ada benarnya, neng. Sepet mata ibu lihat muka bapak cemberut terus. Nggak
ada cerianya, nggak ada senyum-senyumnya.”
“Masak ya nggak pernah bercanda, bu, sama anak-anaknya gitu?”
“Nggak pernah, neng. Sama anak-anaknya juga begitu. Apalagi
kalau sama anak ibu yang perempuan itu. Benci sekali bapak. Padahal, itu anak
perempuan satu-satunya.”
“Anaknya sendiri kan?”
“Iya, anaknya sendiri. Nggak tahu kenapa?”
“Ya … ibu. Zi nggak bisa nongkrong di sini lagi dong kalau
ibu pindah.”
“Siapa tahu nanti ibu dapat tempat di dekat sini, kan nggak
jauh juga dari tempat eneng.”
“Terus, bagaimana tanggapan bapak, waktu ibu minta pisah?”
“Ya melarang, terus jadi baik gitu. Tapi ibu ragu, neng.
Siapa tahu baiknya cuma sebentar, lama-lama begitu lagi.”
“Ya, mudah-mudahan bisa diselesaikan baik-baik. Tetap
semangat ya, bu. Oh ya, Zi mau balik dulu ah, bu. Ngantuk.”
Setelah membayar, Zi segera pergi meninggalkan warung kopi
itu. Melewati sebuah lorong, ia berjalan menuju markas. Di sepanjang
perjalanan, suara hatinya berceloteh …
Bagaimana ya, orang
yang tiap hari marah-marah terus? Nggak pernah senyum. Apa nggak capek? Terus …
bagaimana kalau tiba-tiba libidonya tinggi? Dia pasti butuh istrinya dong. Bagaimana
cara meminta atau merayunya ya? Kalau dia memaksa, meskipun itu dilakukan pada
istrinya sendiri, tetap saja itu
dianggap pemerkosaan. Pasti Ibu Sum belum tahu. Dan masih banyak para istri
yang belum mengetahui itu. Kalaupun tahu, apa dia mau melaporkan suaminya? Hmm
… yang jelas-jelas di hajar sampai babak belur saja, banyak yang tidak mau melapor.
Masih saja perempuan menyayangkan suaminya kalau ditangkap dan dipenjarakan. Apalagi
yang menyangkut dirinya di atas ranjang. Kebanyakan perempuan menganggap itu
aib, sehingga banyak sekali korban perkosaan yang lebih memilih bungkam …
***
Sekolah Dasar Negeri yang sudah menjadi langganan Zi dan
kawan-kawannya mengadakan pendidikan, pagi ini disewa lagi. Dalam ruang kelas,
tampak Zi sedang menggambarkan penjelasannya di papan tulis.
“Ini adalah Fase Perkembangan Masyarakat. Di sini ada Jaman
Komunal Primitif, di sini ada Jaman Pertanian Kolektif Primitif. Lalu di sini Jaman
Perbudakan, kemudian Jaman Feodal atau Pertanian Modern. Dan di sini, Jaman
Industri.”
Semua peserta pendidikan, terlihat sibuk mencatat. Ada yang
menulis di buku. Ada yang menulis di lembaran kertas. Ada juga yang menulis
dibalik foto copy materi pendidikan.
“Pada jaman komunal primitif, posisi laki-laki dan perempuan
sama. Mereka sama-sama berburu. Perempuan saat hamil pun, ikut berburu. Hanya
saat usia kehamilannya tua hingga melahirkan saja, perempuan beristirahat.
Setelah melahirkan, mereka kembali berburu. Tangan kiri menggendong anaknya,
tangan kanan membawa tombak, mereka berlari mengejar buruannya. Nah, masyarakat
komunal priminif hidup berkelompok atau disebut commune dan berpindah-pindah
atau disebut nomaden. Mereka memenuhi kebutuhan hidupnya selain dengan metode berburu
hewan, juga meramu sayuran dan buah-buahan. Dalam sebuah komune, harta benda
atau hewan hasil buruan serta sayuran dan buah-buahan, dimiliki secara kolektif
oleh anggota komune, kemudian dibagikan secara adil sesuai dengan kebutuhan
masing-masing anggota. Dalam proses pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka, muncul
kebutuhan untuk melakukan pembagian tugas. Perempuan yang memiliki siklus alami
reproduksi, seperti hamil, melahirkan dan menyusui, menyebabkan mereka lebih
banyak mendapatkan tugas meramu. Sementara laki-laki, berburu. Karena proses
berburu pada jaman itu tidak ada kepastian waktu. Bisa sebulan, dua bulan, atau
berbulan-bulan baru kembali ke komune, maka stok makanan mereka lama-lama
menipis. Keadaan itu yang mendorong perempuan mengembangkan metode bercocok
tanam untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Jadi, yang menemukan sistim
pertanian pertama kali adalah perempuan. Nah, dari sinilah, fase perkembangan
masyarakat memasuki jaman pertanian kolektif primitif.”
“Hebat ya kak, perempuan jaman dulu.” Salah seorang peserta
berkomentar.
“Sekarangpun masih hebat. Asal perempuan tidak merendahkan
atau melemahkan dirinya, hanya karena terlahir sebagai perempuan. Asal
perempuan yakin dan mampu menghebatkan dirinya, mereka bisa sejajar dengan
laki-laki.”
Perempuan-perempuan pabrik itu melongo melihat gaya bicara Zi yang berapi-api.
“Masih ingat yang kita bahas tadi tentang gender? Apa yang
membedakan laki-laki dan perempuan?” Zi melemparkan pertanyaan.
“Alat produksinya.”
“Ya, benar. Bukan jenis kelaminnya. Jangan salah, ya. Oke!
Bisa kita lanjut ke jaman berikutnya, jaman pertanian kolektif primitif.”
Suasana kembali tenang. Para perempuan itu serius menyimak
penjelasan Zi sambil sesekali mencatat dengan caranya masing-masing.
***
Sabtu malam, kenapa masih menjadi hari yang penuh cemburu baginya? Padahal dulu, setiap ia berbicara lama di telephon, Mas Wi selalu meledek,”Pacaran terus.” Setelah Zi mengutarakan perasaannya dan tahu tentang Mas Wi, keadaannya menjadi berbalik. Bukan lagi Mas Wi yang mencemburui dirinya.
Tapi akhir-akhir ini, ada sesuatu yang aneh. Setiap bibirnya
yang sudah terbiasa memanggil nama Mas Wi, lalu bayang lelaki itu hadir tak
lupa senyumnya, wajah Uda’ selalu mengikuti. Menyerobot masuk menutupi wajah
Mas Wi. Terus bergantian saling menindih. Kedua bayang wajah itu seolah berebut
memasuki alam pikirannya. Selalu dan selalu begitu.
Zi lantas teringat sobekan kertas yang diselipkan Mas Wi
dibawah pintu kamarnya. Kata-kata motivasi yang menyemangatinya, juga
menderaikan air matanya. Siapa yang Mas Wi maksud akan meng-indah-kan
hidupnya nanti? Mas Wi atau orang lain?
Zi masih terus bertahan dengan sakitnya di setiap Sabtu-Sabtu
malam. Menunggu dan terus menunggu, seolah menjadi yang kedua …
~ Bersambung ~
(Casablanca, 11 Maret 2014)
Theme Song: (Tari Adinda – Yang Kedua) https://www.youtube.com/watch?v=P4KCZ5HckVc
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment