Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Tuesday, March 25, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 14)



“Dari peperangan antar komune inilah, lahir klas dalam masyarakat. Karena komune yang kalah, kemudian dijadikan budak dan prajurit perang oleh komune yang memenangkan peperangan. Dan harta kolektif milik komune yang kalah, menjadi harta milik pemimpin komune. Sebagian dibagikan kepada para prajuritnya. Pemimpin komune yang menang perang menjadi tuan budak. Peperangan yang marak terjadi antar komune mendorong adanya perubahan jaman. Nah, dari sinilah fase perkembangan masyarakat memasuki jaman perbudakan. Ada pertanyaan sampai di sini?”

Tidak ada yang menjawab …

“Ya sudah, kalau begitu kita lanjutkan ke jaman perbudakan. Pada fase ini, perempuan tidak lagi mendominasi dan memimpin dalam komune. Sebagian besar dari mereka berada dalam klas budak yang tidak memiliki hak apapun atas dirinya sendiri. Artinya, perempuan setara dengan barang. Penindasan terhadap perempuan dapat dilihat pada aspek memposisikan perempuan sebagai barang milik pribadi. Barang milik pribadi siapa? Hayo … siapa yang bisa jawab?”

“Milik pemimpin komune.”

“Ya! Betul sekali. Kenapa?” Suara tegasnya, membuat satu dua orang yang terlihat ngantuk, tersentak.

“Karena perempuan adalah budaknya.”

“Ya! Benar! Bahkan dalam hubungan seks pun diatur. Mereka dilarang melakukan hubungan seks dengan orang lain, selain dengan kepala komune. Tetapi, kepala komune bebas berhubungan seks dengan semua budak yang dimilikinya. Nah, praktek inilah yang mengilhami terjadinya keluarga monogami atau poligami yang bergaris keturunan laki-laki atau patrilineal. Bahkan para budak lelaki yang hendak menikahi budak perempuan, wajib menyerahkan terlebih dahulu calon istrinya, kepada tuan budak untuk ditiduri. Selain dimiliki untuk memuaskan hasrat seks tuan budak, perempuan juga diberi beban pekerjaan mengolah pertanian, peternakan dan meramu makanan. Meskipun pekerjaan itu dilakukan oleh para budak yang sebagian besar adalah perempuan, mereka tetap tidak memiliki hak apapun atas dirinya. Bahkan, tidak setiap hari mereka mendapatkan makanan. Pada jaman ini pula, muncul kasta dalam kehidupan masyarakat. Siapa yang memiliki budak terbanyak, dialah yang menjadi pemimpin.”

Zi menjadi intens melakukan pendidikan di setiap hari Minggu di berbagai tempat, di pusat kota. Giliran  Rini yang mendapatkan tugas mengisi pendidikan ke beberapa daerah. 

***

“Ini laporan penjualan kemarin. Ini pengeluaran, ini pemasukan. Kalau ini bukti pembelian. Semua nota-nya sudah aku tempelkan di lembaran ini, dan ini sisa barangnya. Modal awalnya kan segini, hasilnya jadi segini. Karena kemarin sebagian uangnya sudah diambil panitia untuk pengeluaran di sana, jadi tinggal segini sisanya.”

Zi sedang menjelaskan laporan keuangannya pada Octo, salah satu kawannya yang menjadi panitia.

“Ini laba tertunda, maksudnya apa?”

“Ada beberapa kawan yang berhutang rokok, belum bayar. Ini nama-namanya.”

“Oh …”

Beberapa hari yang lalu, Zi mendapatkan tugas membuka kantin selama tiga hari di acara pendidikan kader pimpinan, yang dihadiri oleh seluruh kader pilihan dari berbagai daerah. Karena modalnya dari panitia, sehingga harus dikembalikan ke panitia. Keuntungannya digunakan untuk membayar sewa gedung plus penginapan, transport, serta konsumsi para peserta. Dari mereka, untuk mereka.

“Buat apa, Zi, begitu saja pakai repot-repot bikin laporan. Aku saja dulu tidak pakai begitu. Langsung aku serahkan saja uang hasil penjualan. Beres. Lagi pula, sisa barang kan buat kita-kita juga di sini.” Anis tiba-tiba nyeletuk.

“Ya, itu kau. Buat aku, tidak bisa begitu.” Tegas Zi menjawab.

Zi lantas teringat kejadian lama, sewaktu ia mendapatkan tugas mengantar nasi bungkus untuk para petani yang sedang melakukan aksi pendudukan di depan Gedung DPR. Karena nasinya berjumlah ratusan, maka ia diberi ongkos oleh ketua untuk naik taksi. Karena kebetulan waktu itu ada seorang kawan yang membawa mobil, Zi mendapatkan tumpangan gratis. Keesokan harinya, ongkos taksi itu dikembalikan kepada ketua.

“Kenapa kamu kembalikan uang itu? Kemarin kan ketua sedang keluar. Dia tidak tahu. Besok lagi, kamu simpan saja buat pegangan kamu.” Bisik Ima, salah seorang tamu yang sering datang ke markas.  

Zi tak menjawab. Ia hanya tersenyum pada kawan yang baru dikenalnya itu. Zi mengerti maksudnya, mungkin kasihan karena Zi orang baru di markas dan kebetulan baru keluar dari tempat kerjanya. Tetapi Zi tidak setuju dengan tindakan itu. Selama itu bukan haknya, maka harus dikembalikan pada yang berhak.

Teringat kembali waktu kecil, ketika ama-nya menyuruh Zi membeli obat di toko depan rumah. Kalau  tradisi masyarakat Cina dalam keluarganya, ama sama dengan nenek. Si ama kaget menerima obat beserta uang kembalian itu. Lama, si ama memandangi Zi penuh keheranan.

“Kenapa ama?”

“Kok kembaliannya segini?”

“Kan uang ama sepuluh ribu, kalau dikurangi dengan harga obatnya segitu, ya kembaliannya segitu.”

“Bukan. Maksud ama, apa kembaliannya tidak kebanyakan?”

“Tadi Zi sudah hitung, dan benar. Coba ama hitung lagi, mungkin ama yang salah.”

“Bukan, bukan begitu. Biasanya kalau Melly yang beli, harganya lebih mahal.”

Zi baru mengerti, kalau saudara sepupunya itu tidak jujur. Ia telah melakukan korupsi dalam bentuk kecil. Sejak kejadian itu, ama-nya lebih sering menyuruh Zi untuk belanja.  

Ya, terlalu banyak orang menyepelekan hubungan perkawanan atau kekeluargaan yang berkaitan dengan keuangan. Mereka cenderung memikirkan hal-hal besar. Keuangan dalam jumlah besar, tanggung jawab yang besar. Mereka lupa pada hal-hal kecil, sehingga hanya pandai menunjuk orang lain. Berteriak anti korupsi, gantung koruptor, bunuh koruptor, tetapi mereka tidak memahami dasar-dasar korupsi. Harusnya bertanya terlebih dahulu pada diri sendiri. Pernahkah mereka menggunakan uang seseorang sekedar untuk membeli rokok sebatang, atau minuman, atau makanan kecil tanpa ijin? Pernahkah saat diberi tugas belanja, mereka melebihkan angka dari harga pembelian yang semestinya? ngentit dalam bahasa Jawa. Atau … pernahkah secara diam-diam, mereka tidak mengembalikan sisa uang belanja milik orang lain? Jika jawabannya pernah, maka mereka layak dinyatakan tidak lulus dalam ‘ujian dasar korupsi’. Karena koruptor yang sudah memakan uang rakyat berjumlah milyaran atau trilyunan rupiah itu, berasal dari korupsi kecil-kecilan di lingkungannya masing-masing. Karena semua masalah dalam negara, berangkat dari rumah setiap warga. Akarnya, hanya pada ketidak-adilan.

Demikian juga dalam penggunaan waktu. Begitu gampangnya orang-orang di negeri ini dengan sengaja mengulur waktu dari yang sudah mereka sepakati. Yang sedang menunggu, dengan santai berkata,”Biasa … jam karet …” Sedangkan yang ditunggu tidak merasa bersalah, sehingga hal itu tidak dianggap sebagai tanggung jawab. Atau dengan mudah berkata ‘maaf’, tetapi kesalahan itu terus diulangi. Berapa banyak orang yang kehilangan pekerjaan atau kesempatan, hanya karena menunda waktu? Berapa banyak orang yang kehilangan kepercayaan, karena tidak tepat waktu? Sedangkan para kapitalis begitu disiplin dan sangat menghargai waktu. Tak sedetikpun mereka lewatkan untuk terus meracuni pikiran-pikiran. Mengadakan pendidikan psikologi secara masif dan konsisten pada pengikutnya untuk mengembangkan kualitas diri, menyaingi kapitalis lain, serta menyerang psikologis orang-orang di sekitarnya, sehingga dengan cepat kapitalisme menyebar, meluas dan mengakar.

Transparansi dan disiplin waktu, adalah modal kepercayaan. Sekecil apapun mengambil hak orang lain dengan sengaja tanpa ijin, adalah korupsi.

***

Zi menghentikan aktivitasnya sejenak di depan komputer, ketika Uda’ keluar membeli makanan. Menyandarkan tubuhnya di kursi, Zi merasakan nyaman. Seperti berada dalam dekapan Uda’. Aneh, hanya karena jaket Uda’ ditanggalkan pada tempat duduknya, yang tak biasanya diletakkan di situ.

Juga ketika Uda’ menitipkan laptop di kamarnya, ia berteriak girang dalam hati. Dipandangi terus benda itu. Hanya sebuah benda, kenapa bisa membuatnya damai? Rasanya, seperti ada Uda’ di dekatnya.

Meski begitu, Zi tetap bersikap tenang. Dibiarkan tatapan Uda’ terus menghujaninya. Bahkan Uda’ yang selalu ingin menunjukkan kedatangannya dengan menyapa semua orang, Zi pura-pura tak mendengar. Tak merubah posisi tubuhnya sedikitpun, atau sekedar menggulirkan bola matanya. Uda’ kini jadi peduli dengan aktivitas Zi di depan komputer. Pura-pura lewat, lalu melirik sebentar ke layar komputernya.

Kadang … aku tidak perlu menggunakan mataku untuk melihat, ketika seluruh tubuhku telah menjadi radar yang mampu menangkap setiap geraknya. Tapi entah … apakah yang aku maknai itu seratus persen benar? Bahkan ada yang benar-benar tak mampu kuartikan. Setiap aku memiliki agenda perjuangan dan harus meninggalkan markas, mata Uda’ tak lepas memandangiku hingga aku menghilang. Padahal dulu, hal itu tak pernah sedikitpun mengusiknya. Kami datang dan pergi seperti angin lalu. Apakah itu artinya, Uda’ tak rela kehilangan aku barang sejenak? Atau Uda’ ingin mengantar kepergianku? Tentu menjadi aneh kalau tiba-tiba saja Uda’ menawarkan diri. Apa Uda’ ingin aku memintanya? Ah, itu juga tak mungkin kulakukan selama aku masih ingat. Dua tahun yang lalu, Uda’ pernah menolak ketika aku memintanya mengantar beli elpiji. Uda’ hanya memberikan kunci motornya.

Imagine Me Without You mengalun pelan dari Jaci Velasquez menghantar tidurnya ...

In my life you're all that matters 
In my eyes the only truth I see 
When my hopes and dreams have shattered
You're the one that's there for me …

 
~ Bersambung ~


(Casablanca, 19 Maret 2014)

Theme Song: (Jaci Velasquez – Imagine Me Without You) https://www.youtube.com/watch?v=R-TULb_gUg4 

Photo Source: Google Images



No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates