Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Thursday, November 1, 2012

Cerpen: Indahnya Kebersamaan


Pernahkah kau makan bersama kawan-kawanmu saat berkumpul? Pasti rasanya lebih nikmat jika dibandingkan dengan makan sendiri, meski dengan lauk seadanya. Seperti pengalamanku sewaktu masih bekerja di pabrik. Seringkali salah satu diantara kami membawa makanan dari rumah, baik berupa lauk atau kue. Sisa hajatan, lebaran, atau natalan ─bagi pemeluk agama Nasrani. Kalau sebelumnya tidak ada yang mau menyentuh di rumah, begitu dibawa ke pabrik dan dimakan beramai-ramai saat istirahat, sebentar saja sudah ludes. Bukan karena rakus, tapi ada kenikmatan tersendiri jika makan bersama. Ya, dari pada tidak ada yang makan, kadaluwarsa dan akhirnya dibuang, kan lebih baik dibawa ke pabrik. Senang rasanya melihat makanan yang kita bawa diminati kawan-kawan kita. Yang sebelumnya kita tidak bernafsu makan, jadi nafsu.

Tak ubahnya seperti pekerjaan. Jika kita merasa berat mengerjakannya sendiri, maka akan terasa ringan jika dikerjakan beramai-ramai atau gotong royong. Senang rasanya melihat kepedulian kawan-kawan kita. Yang semula kita tak bersemangat mengerjakan, menjadi semangat. Ya, itulah makna dari sebuah pertemanan …

Seperti halnya sebuah kesuksesan. Ada kata-kata bijak yang mengungkapkan: “Tak ada kesuksesan yang berdiri sendiri. Selalu ada campur tangan orang lain yang turut andil dalam menciptakan kesuksesan itu”. Karena tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan manusia lainnya.

Tak berbeda juga dengan mimpi-mimpiku. Meski hanya mimpi-mimpi kecil, aku tak bisa mewujudkannya sendirian tanpa bantuan orang lain. Salah satu mimpi kecilku adalah bakar sate beramai-ramai yang sudah bertahun-tahun tak kulakukan. Dan kali ini, aku benar-benar merindukan suasana itu. Gara-gara tercium aroma sate dari tetangga sebelah ─kanan dan kiri, aku jadi kepingin, terus membayangkan … Seandainya di KPP ada acara bakar sate, wah asik tuh …

KPP itu ya KPP PRD. Singkatan dari Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik. Kantor Pusat PRD yang berada di Jakarta. Hanya, kami biasa menyebutnya KPP saja.

Setelah mengkhayal, lalu aku update status di Face Book:

// Mungkin nggak ya di KPP ada acara bakar sate? Jadi ingat kawan-kawan di sana, gara-gara tercium aroma sate yang terbawa angin.

Kenapa berbeda sekali ya ketika membeli?

Ada kenikmatan tersendiri jika ngumpul dan dibakar rame-rame, meski dapatnya cuma sedikit.

#sama rata sama rasa

colek: Rudi Hartono, Ulfa Ilyas U, Arif Fachrudin Achmad, Edi Susilo, Iskohar Bara Api, Supriadi Prastyo, Irwan Zakaria, Rusdianto Adit Amoersetya, Agus Pranata, Agus Casyono //

Hari itu memang bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha atau dikenal juga dengan Hari Raya Qurban. Di mana-mana ─di seluruh dunia, umat Muslim yang merasa mampu atau sudah berlebihan secara finansial, pasti melakukan qurban. Ada yang qurban sapi, kerbau, kambing, atau onta. Ada yang melalui masjid atau di rumahnya masing-masing, yang penting niatnya adalah berqurban. Nah dari hewan yang sudah disembelih dan dipotong, kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada kaum dhuafa.

Pokoknya, jangan cari warung nasi deh kalau waktunya Lebaran Haji ─istilah lain Hari Raya Idul Adha. Masih mending Lebaran Idul Fitri, satu atau dua warung masih buka jika si pemiliknya tidak ikut mudik. Karena bisa dipastikan semua orang akan memasak. Kalau tidak memasak gulai, rendang, semur, atau dendeng, ya bakar sate. Dan pedagang yang paling laris di moment itu ya pedagang bumbu, arang, dan tusuk sate. Maka, sudah jadi kebiasaan jika hari itu, asap dari efek bakar sate pasti akan beterbangan dari segala arah.

Aku lalu iseng main ke KPP dengan Fifi, siapa tahu ada salah seorang kawan yang membawa daging kambing entah dari mana. Eh, pas datang ke sana ternyata hanya Lik Dir dan Rudj yang kami temui.

“Koq sepi sih … nggak ada acara bakar sate apa?” Aku mendatangi Rudj yang sedang asik dengan laptopnya.

“Ada. Lik Pit dapat koq. Ini lagi diambil Bang Harris sama Lik Hang,” kata Rudj menjawab pertanyaanku.

Setengah jam kemudian, aku mendengar ada suara yang mengembik dari luar. Semula aku kira sudah berupa daging dan siap diolah. Tapi ternyata masih berupa kambing yang masih hidup. Kami pun sempat kebingungan, siapa yang akan mengeksekusinya nanti? …

“Kalau dulu, kawan-kawan di KPP sendiri yang melakukan itu, Tar … “ Cerita Ulfa padaku. ”Tapi sudah dua kali berturut-turut tidak ada acara potong kambing waktu Idul Adha.”

“Kalau nggak salah, terakhir tahun 2009 ya, Fa.” Mbak Desi menimpali.

“Iya,” jawab Ulfa, singkat.

“Disembelihnya di sini juga?” Tanya Lik Hang.

“Sekali di mess, waktu kita masih ada mess. Dan sekali di kantor pusat, tapi di kantor pusat yang dulu.” Jawab Mbak Desi.

“Dulu siapa yang nyembelih, Des?” Tanya Lik Hang lagi.

“Oh dulu masih banyak orang. Yang motong si Bin Bin, yang nguliti ramai-ramai, ada si Yudi segala. Sekarang, Yudinya nggak ada. Lagi tugas ke luar daerah.” Jawab Mbak Desi lagi, lalu melanjutkan,”Padahal, semalam aku iseng lho BBM-an sama Yudi nanyain kambing. Eh, kata dia: Oh iya Des, ada yang ngasih. Besok, anak-anak suruh ambil.”

Lik Hang lalu menghubungi beberapa kawannya, mencari tahu siapa yang biasa menyembelih kambing. Tapi tiba-tiba, Lik Hang tertawa ngakak sendirian. Kami bertiga jadi keheranan. Aku penasaran ingin bertanya, tapi harus menunggu lama Lik Hang selesai tertawa.

“Kenapa sih, lik? Ketawanya geli banget.” Tanyaku akhirnya.

“Baru saja aku BBM-an sama Pak Jabo. Aku bilang kalau kambingnya kecil, paling beratnya sekitar 20 kilo-an. Trus dijawabnya apa coba?” Jawab Lik Hang balik bertanya sambil menahan tawa.

“Nggak tau, apa jawabnya?” Kulemparkan lagi pertanyaannya.

“Oh … berarti itu kambing aktivis, man.” Jawab Lik Hang menirukan Pak Jabo, membuat tawa kami berempat pecah, menggema hingga ke sudut-sudut ruang kantor.

Setelah dipastikan tidak ada referensi dari Pak Jabo, lik Hang mencoba menghubungi kawan-kawannya yang lain. Beberapa menit kemudian ditemukanlah satu nama. Yes! Kami menunggu siang itu.

Tapi, aku lantas putus asa dan bersiap pulang, karena orang yang ditunggu belum datang juga meski waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Coba kalau kita menggunakan rasio, kapan masaknya kalau jam segitu orangnya belum datang. Sedangkan besok hari kerja, sangat tidak mungkin bagi kami untuk begadang sampai pagi. Masing-masing memiliki agenda perjuangan. Tapi Mbak Desi menahanku dan mengajak aku mengolah daging sapi yang ternyata sudah ada di dalam kulkas, yang dibawa Kiting. 

Satu jam kemudian, datanglah kawan Dedy ─si pembantai dari Jakarta Barat. Lima belas menit, selesai semua dikuliti. Hebat! Sudah cepat, tidak meninggalkan bau anyir lagi. Maklum, sudah pakarnya!

Hmm … sebenarnya kasihan juga sih kalau ingat wajah lugu si kambing itu. Sejak awal kedatangannya, ia terus memandangiku, seperti ingin mengajakku bermain. Aku lalu menyapanya,”Hai … ” Sambil melambaikan tanganku. Dan dia menatapku lekat-lekat. Lalu aku coba mengembik, menirukan suaranya. Eh, dia jawab dengan mengembik juga. Aku diam, dia juga diam. Aku lalu masuk ke dalam. Dari dalam, aku mengembik lagi, eh dia jawab lagi. Aku ulang lagi, dia mengembik lagi. Emm … berarti bahasa kambingku sudah benar nih. Cuma sayangnya, aku tidak tahu artinya apa? Coba aku mengerti bahasa mereka, pasti aku akan terharu ketika mendengar salah seekor kambing berkata kepada kawan-kawannya yang lain saat berkumpul.

”Saya turut berduka cita, atas pembantaian terhadap saudara-saudara kita yang sudah dilakukan oleh umat Muslim di seluruh dunia hingga terjadi banjir darah di mana-mana, demi kebahagiaan para manusia. Semoga amal kebaikan mereka diterima di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala .” Lalu dengan serentak yang lain menjawab,"Amin … "

Hehehe … kok aku jadi ngelantur ya? Ah sudahlah, tak usah terlalu dipikir. Toh hidupnya sudah berakhir di golok maut sang penjagal. Seekor kambing yang masih sangat muda. Boleh dibilang, dia belum akil baligh. Masih ABG gitu deh ─anak baru gede.  Mukanya imut dan rambutnya bergelombang. Lucu dan manis. Tapi mau bagaimana lagi, mungkin aku memang harus merelakan kepergiannya ... 

Jadilah kami beramai-ramai memasak, malam itu. Mas Edi, membantu Mbak Desi mengolah sup kambing. Aku dan Ulfa mengiris daging. Pak Doming, dan Will Lee yang baru datang, membantu memasukkan daging ke dalam tusuk sate. Lik Hang membersihkan tempat bekas kambing yang dipotong. Sesekali dibantu Sahat, Lik Hang membuat bumbu untuk diserahkan kepada Lik Dir yang terlihat siap mengabdikan dirinya menjadi tukang bakar sate. Dengan membawa semangat arek-arek Suroboyo, Lik Dir membuka bajunya dan melakukan tugasnya dari awal hingga akhir tanpa meminta pengganti. Beberapa kawan yang belum terlihat, masih sibuk menyelesaikan tugasnya, termasuk Rudj. Sedangkan Fifi yang sejak tadi siang pergi, masih dalam perjalanan menuju KPP. 

Setelah semua makanan siap, Mbak Desi memanggil kawan-kawan yang lain untuk bergabung. Kami pun makan beramai-ramai menikmati hasil masakan kami diselingi tawa dan cerita. Pak Doming, Sahat, juga Ulfa memberiku ucapan ‘selamat’ karena mimpiku akhirnya terwujud. Tapi disela-sela waktu makan bersama, Sahat berkata,”Eh, kayaknya nggak asik ya nggak ada si Yudi.”

Mbak Desi menimpali,”Iya ya, nggak enak kalau lagi ramai-ramai begini nggak ada si Cabi.”

Setelah aku pikir-pikir, benar juga ya, rasanya kurang lengkap kalau tidak ada BOROMANIA …

( Casablanca, 27 Oktober 2012 )



No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates