Malam hampir pagi. Sudah tiga jam Tari merebahkan diri, namun belum berhasil juga memejamkan matanya. Di bangku sebuah terminal bus yang terkenal paling besar di Jakarta itu, ia membaringkan tubuhnya yang kurus. Dingin yang menyergap setelah hujan sore itu, membuatnya meringkuk kedinginan. Sesekali pandangannya dibuang ke atas. Sambil menikmati pemandangan langit malam itu, ia terus berpikir mencari cara untuk menemukan Dian, sahabatnya.
“Nama kamu siapa?” Tanya seorang petugas.
“Tari,” jawabnya tegas, tanpa menundukkan kepalanya sedikitpun seperti yang lainnya.
“Tari siapa? Nama lengkapnya.”
“Tari Adinda.”
“Umur kamu berapa?”
“Sepuluh tahun.”
“Sekolah di mana?”
“Sudah tidak sekolah.”
“Kamu tahu tidak kalau anak-anak tidak boleh berkeliaran di jalan?”
“Tahu,” jawabnya, seperti tak merasa bersalah.
“Kalau tahu, kenapa kamu lakukan?”
Tari tak menjawab. Namun matanya masih tetap tajam menatap.
“Anak kecil itu harusnya di rumah, sekolah, bukan di jalanan. Sudah tahu, tapi masih saja begitu.”
Tari masih tetap diam. Dan seperti sejak awal, matanya yang belok sama sekali tak bergeser dari sepasang mata milik petugas itu.
“Kenapa kamu tidak sekolah? Kamu bandel ya? Suka bolos?” Tari tetap bungkam. “Hei! Ayo jawab! Melotot saja matanya!”
Petugas mendorong kepalanya ke belakang, tapi dengan cepat ia menegakkannya kembali.
“Orang tua saya miskin. Tidak bisa bayar sekolah,” jawab Tari ketus.
“Rumah kamu di mana?”
“Jawa Timur.”
“Iya, Jawa Timurnya mana? Jawa Timur itu luas.”
“Surabaya.”
“Tinggal bilang Surabaya saja, pakai Jawa Timur ... Jawa Timur ... Punya keluarga tidak di sini?”
“Tidak.”
“Terus kamu tinggal di mana kalau tidak punya keluarga di sini?”
“Di mana saja.”
“Kamu kabur ya dari rumah?”
Tari tak menjawab. Kali ini, matanya mulai menyapu seisi ruangan. Ia pura-pura tak mendengar pertanyaan itu.
“Hei! Ditanya malah diam. Kamu kabur dari rumah?”
“Iya.”
“Kecil-kecil sudah bandel. Jauh-jauh ke Jakarta cuma jadi gelandangan. Mengotor-ngotori Jakarta saja.”
Tari tak peduli dengan ocehan petugas itu. Matanya liar ke sana ke mari. Garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, lalu memainkan ujung rambutnya yang di ekor kuda.
“Siapa nama orang tua kamu?” Tanya petugas lagi.
“Percuma … orang tua saya itu miskin. Tidak ada ongkos buat ke sini, apalagi buat nebus.”
“Saya tidak bertanya orang tuamu itu bisa nebus atau tidak! Saya cuma tanya, siapa nama orang tua kamu! Sudah salah, ngeyel lagi kamu!” Bentak Petugas.
Dari cerita dan pengalaman teman-temannya, Tari jadi tahu kalau orang yang kena razia itu bisa keluar cepat, kalau ditebus dengan sejumlah uang. Kecuali bagi yang memiliki keluarga anggota ABRI. Tari jadi teringat juga apa yang pernah dikatakan Dian, membuat ia semakin berani untuk melawan.
“Memang salah apa?” Tanyanya sambil iseng, jarinya menggosok-gosok ukulele yang sejak tadi berada di pangkuannya.
“Hei! Pakai tanya lagi. Kamu dan semua yang ada di sini ini sudah melanggar peraturan, karena kalian jadi gelandangan di Jakarta. Merusak pemandangan ibu kota, tahu!” Petugas terlihat emosi, matanya melotot dan mendekati wajah Tari, lalu mendorong kepalanya lagi ke belakang. Kali ini lebih kencang, sampai-sampai Tari hampir terjatuh dari kursinya.
Tari memandang sebentar wajah petugas itu, lalu kembali asik menggosok ukulelenya.
“Memang mau kita jadi miskin? Jadi gelandangan? Kita kan dimiskinkan negara, jadinya ya harus dipelihara dan dijamin oleh negara, seperti bunyi Undang-Undang Dasar 45 pasal 34.”
“Heh! Kebanyakan ngomong kamu ya!” Hardik petugas sambil berdiri dan tolak pinggang meninggalkan tempat duduknya.
Petugas sepertinya sudah tidak sabar lagi menghadapi mulut Tari yang cerewet itu. Tangannya yang besar sudah diayunkan untuk segera menampar sekencang-kencangnya, namun akhirnya berhenti tepat disamping wajahnya yang mungil. Dalam keadaan masih geram, mata petugas itu pun beralih pada sebuah ukulele yang berada di pangkuannya. Dan secepat kilat disambarnya alat musik itu, lalu dihancurkan ke lantai menjadi berkeping-keping.
“Maafin aku, Yan ... ukulele pemberianmu hancur.“ Bisiknya lirih, selirih angin yang bergerak di kawasan terminal itu.
Pelan ia meniupkan harmonikanya. Sebuah lagu Kulihat Ibu Pertiwi dimainkan untuk mengenang sahabatnya. Tari ingat betul apa yang pernah dikatakan Dian tentang lagu itu, hingga menjadi lagu yang sering mereka nyanyikan bersama.
Dian memiliki usia lebih tua dua tahun dari Tari. Karena ia suka membaca, maka ia banyak tahu. Untuk bisa membaca buku, Dian tak perlu membeli. Cukup dengan mengunjungi lapak Bang Bayu yang menjual buku-buku bekas di kawasan Kwitang, Dian bisa membaca buku apa saja. Bebas semaunya, karena mereka sudah kenal baik.
Awalnya, Dian berniat ingin membeli buku yang ia sukai, tapi rupanya uangnya tidak mencukupi. Hanya membaca satu halaman, Dian lalu pergi. Besoknya datang lagi, pura-pura bertanya harga buku itu sambil membaca lagi satu halaman. Dengan alasan uangnya kurang, Dian pergi lagi. Di hari yang ketiga, Bang Bayu mulai mengenalinya. Bang Bayu seperti tahu, Dian anak yang cerdas, suka membaca, namun tak mampu membeli buku. Karena merasa iba, akhirnya Bang Bayu berbaik hati membebaskan Dian membaca buku di lapaknya.
Tak hanya buku yang Dian baca, surat kabar pun di lahapnya. Untuk bisa membaca gratis, Dian mendekati agen loper koran yang ada di kawasan terminal, sehingga mereka pun akrab dan Dian bebas membaca koran setiap hari.
Dari pengetahuan yang ia dapat, diceritakan kepada sahabatnya setiap malam menjelang tidur. Seperti seorang kakak yang mendongeng kepada adiknya. Termasuk, ketika Dian menceritakan lagu Kulihat Ibu Pertiwi itu. Bagi Dian, anak seusia Tari pasti kenal dan hafal menyanyikan lagu itu, tapi belum tentu tahu makna yang sesungguhnya. Seperti pengalaman Dian ketika masih sekolah dulu, tidak ada guru yang mau menjelaskan secara gamblang tentang kondisi negaranya saat ini. Dari membaca buku, koran, serta penjelasan dari Bang Bayu itulah, Dian jadi tahu banyak hal.
“Indonesia itu kaya, Ri. Negeri kita ini tanahnya subur. Hutannya lebat dan luas. Samuderanya menyimpan banyak kekayaan.”
“Aku tahu. Guruku pernah bilang begitu. Guruku juga pernah bilang, kalau lagunya Koes Plus yang judulnya Kolam Susu itu, benar, karena Indonesia itu kaya. Tapi dari dulu aku pikir-pikir sampai sekarang … aku masih belum ngerti. Kalau Indonesia itu kaya, kenapa orang tuaku miskin. Dan masih banyak orang-orang miskin yang lainnya.”
Jalanan mulai agak lengang. Di emperan toko mereka menggelar kardus sebagai alas tidur mereka. Tari yang semula memposisikan tubuhnya sejajar dengan Dian dan menatap lampu toko, kini memiringkan tubuhnya menghadap ke arah sahabat lelakinya itu.
“Yan, kenapa kamu bilang samudera itu menyimpan banyak kekayaan? Cuma ikan saja kan? Apa karena ikannya bermacam macam, lalu kamu bilang begitu?” Mulut Tari yang bawel, mulai memberondong pertanyaan.
“Di dalam samudera itu, Ri, selain ikan dengan bermacam-macam jenis, masih ada lagi yang lainnya. Ada mutiara, yang biasa dipakai untuk mata cincin atau bandul kalung, tahu?” Dian menoleh ke arah Tari.
“He-em,” jawab Tari, mengangguk.
“Terus ada minyak, gas, dan airnya mengandung garam.”
“Ooohh … “
“Banyak sekali hasil bumi di Indonesia, Ri. Disamping hutan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, hasilnya bisa mendatangkan pendapatan bagi negara, seperti kayu, rotan, dammar, anggrek, dan buah-buahan. Sawahnya yang luas dan tanahnya yang subur, juga bisa menghasilkan beras yang berlimpah. Selain itu juga ada nikel, bouksit, batu bara, bahkan emas saja Indonesia punya.”
“Oh ya?” Matanya yang belok, jadi terlihat bertambah belok. Tari lalu bangkit dari tidurnya, duduk dan kembali bertanya,”Emas kita punya?”
“Iya, Ri. Di Papua ada gunung emas.”
"Wuiiiiihh ... kereeeeenn ..." Mata Tari berbinar, takjub.
Sejenak, Dian menghentikan ceritanya. Memandangi benda-benda langit yang tampak indah. Tari kembali merebahkan tubuhnya, miring. Menatap wajah Dian sambil menunggu anak lelaki itu melanjutkan ceritanya.
“Harusnya kita tidak miskin, Ri, seperti juga jutaan orang di sana.” Dian memalingkan wajahnya ke arah Tari dengan posisi tubuhnya masih menghadap langit, berbantal kedua lengannya. “Harusnya kita dan anak-anak yang lain tidak menggelandang seperti ini. Harusnya semua anak-anak itu sekolah. Tiap keluarga memiliki rumah dan setiap orang dijamin kesehatannya oleh negara. Tidak ada orang miskin yang tidak bisa berobat atau diusir pihak rumah sakit karena tak punya biaya, karena Indonesia kaya, Ri … “
Dian membuang pandangannya lagi ke atas, mencari bulan sabit yang tertutup awan.
“Terus, kenapa tidak seperti itu, Yan?”
“Karena kekayaan alam kita diambil oleh bangsa asing.”
“Kenapa tidak perang saja seperti tahun 45? Kita kan punya angkatan bersenjata?”
“Tidak bisa begitu, Ri … karena pemerintah kita mengijinkan mereka mengambil kekayaan kita.”
“Kenapa dikasih ijin? Kan kita jadinya seperti ini.”
“Pasti ada timbal baliknya. Pasti ada sesuatu yang mereka dapatkan dari bangsa asing itu, sehingga mereka memberi ijin untuk mengambil kekayaan negara kita.”
“Tapi guruku tidak pernah bilang begitu. Guruku cuma bilang, kalau negara kita ini kaya. Sudah.”
“Sama, Ri. Guruku juga tidak pernah bilang begitu.”
“Terus, kamu tahu dari mana?”
“Dari buku-buku dan koran. Juga dapat penjelasan tambahan dari Bang Bayu.
“Siapa itu Bang Bayu?”
“Bang Bayu itu pemilik lapak buku bekas. Aku diijinkan membaca buku di sana kapan saja aku mau, tanpa harus membeli. Makanya, Ri … kamu juga harus banyak membaca, agar pengetahuanmu terus bertambah.”
Jalanan semakin lengang. Beberapa orang-orang yang bernasib sama seperti mereka semakin banyak berdatangan. Mulai menggelar apa saja untuk dijadikan alas tidur. Dian memiringkan tubuhnya, berhadapan.
“Jadi, kalau sekarang kita dan jutaan orang di sana itu miskin, itu bukan keinginan kita atau orang tua kita. Kita dimiskinkan oleh pemerintah kita sendiri. Dan sudah seharusnya itu menjadi tanggung jawab pemerintah, sesuai dengan pasal 34 Undang-Undang Dasar tahun 1945. Kamu masih ingat bunyinya?”
“Kalau nggak salah … Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
“Ya, betul sekali. Kalau pasal 33 ayat 3, masih ingat tidak bunyinya?”
“Emm ... tidak.”
“Kalau bunyi kalimat pasal 33 ayat 3 itu: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
“Oooh itu ya ... Ya ya aku baru ingat.”
“Nah artinya, kalau kekayaan alam kita tidak diberikan kepada orang asing, tapi dikelola sendiri dan dipergunakan untuk memakmurkan atau mensejahterakan rakyatnya, maka tidak akan ada orang yang sangat miskin atau gelandangan seperti kita.”
“Bagaimana caranya? Memang, kita semua bakal dibagi-bagi duit gitu?”
“Gkgkgkkk … Ups! lupa, sudah malam.” Dian menutup mulutnya sendiri.
“Ih, kamu mah, ditanyain malah ketawa. Aku kan tidak tahu. Jangan ketawalaaaahh …” Tari meninggikan nada suaranya, lalu membalikkan badannya membelakangi sahabatnya itu.
“Eit, jangan marah dong … sini aku jelaskan lagi.” Dian meraih bahu gadis kecil itu, tapi Tari tak mau merubah posisinya. “Ayo dong, Tari … mau tidak diceritai lagi?” Bujuk Dian.
Ya, begitulah si Tari. Wataknya keras, mudah emosi, dan perasaannya terlalu sensitif. Tapi untungnya Dian sangat sabar. Mungkin karena sadar merasa lebih tua dan menganggap Tari seperti adiknya sendiri, jadi ia selalu mengalah.
Setelah beberapa kali dibujuk, Tari akhirnya bersedia membalikkan badannya dan kembali berhadapan.
“Ya sudah, tapi janji tidak pakai tertawa.”
“Iya iya, janji deh.”
Dian meletakkan tangannya tepat di kepala sahabat perempuannya itu, lalu mengusap lembut sambil tersenyum. Tari tak membalas senyuman itu, hanya matanya tak lepas menatap bola mata lelaki yang ada di hadapannya.
“Tari … Tari … senyum dulu dong. Sudah tidak marah kan?”
“Sudah. Jangan tanya-tanya. Buruan cerita.” Suara Tari terdengar ketus, tapi Dian hanya menanggapinya dengan senyum.
Dian sudah hafal benar karakter sahabatnya itu. Jika Tari benar-benar marah, pasti Dian tak akan menemukan gadis itu ada di dekatnya, apalagi mendengar suaranya.
“Iya iya iya … jadi caranya itu dengan memberikan jaminan pendidikan, jaminan kesehatan, dan jaminan perumahan. Dengan begitu, semua anak-anak pasti sekolah, semua orang yang sakit pasti bisa berobat, dan semua orang Indonesia pasti punya rumah. Begitu, Ri … “
“Emmm …” Tari mengangguk. Matanya menerawang seperti membayangkan sesuatu.
“Terus, kamu tahu lagu Kulihat Ibu Pertiwi kan?”
“Tahu.”
“Hafal?”
“Hafal.”
“Tahu artinya ibu pertiwi?”
“Pahlawan perempuan ya? Seperti ibu kita Kartini?”
“Bukan. Ibu pertiwi itu bumi yang kita pijak atau tanah air kita.”
“Tapi guruku tidak pernah bilang begitu.”
“Sama, Tari … guruku juga begitu. Sekarang, coba kamu nyanyikan, bagaimana syairnya?”
“Dimarahin orang tidaaak? Nanti mereka keberisikan lagi.”
“Tidak, pelan-pelan saja.”
Tari masih ragu, dilihat dulu sekelilingnya. Ketika dirasa aman, ia mulai bernyanyi pelan.
// Ku-lihat ibu perti-wi, se-dang bersusah hati / A-ir matanya berli-nang, mas intanmu terkenang / Hu-tan gunung sawah la-utan, sim-panan kekayaan / Ki-ni ibu sedang su-sah, me-rintih dan ber-doa //
“Nah … itu artinya, bahwa bumi yang kita pijak ini bersedih, Tari … karena kekayaannya terus dikuras. Sementara anak-anaknya seperti kita ini hidup dalam kekurangan. Lagu itu menggambarkan keadaan negara kita dari dulu sampai sekarang.”
“Ooohh … tapi guruku … “
Belum sempat Tari melanjutkan kalimatnya, buru-buru dipotong oleh Dian. “Iya … aku tahu, guruku juga begitu.” Dian tersenyum menahan tawa, lalu melanjutkan,”Ya sudah, tidur yuk. Sudah sepi. Yang lain sudah pada tidur.”
Teng … teng … teng …
Bunyi tiang listrik yang dipukul peronda, membuyarkan lamunannya. Sudah pukul tiga dini hari. Udara semakin dingin, Tari semakin meringkuk kedinginan. Sebelum memejamkan mata, ia berbisik hampir tak terdengar.
“Yan … kamu di mana, Yan …“
~ Bersambung ~
( Casablanca, 18 Januari 2013 )
Theme Song: (Tanah Airku - OST Alangkah Lucunya Negeri Ini) https://www.youtube.com/watch?v=WzLAc8MtcGo
Photo Source: Google Images |
Fiksi yg bagus...
ReplyDeleteTerima kasih, yan ... :)
DeleteSampai berapa episode ceritanya ri? :)
ReplyDeleteBelum tahu, yan. Yang jelas, sampai Tari bisa ketemu dengan sahabatnya itu. Ceritanya sih sudah dapat, tinggal bagaimana mengatur plot-nya ...
DeleteSangat menarik untuk dibaca dan dijadikan pengajaran...adakah itu photo Tari
ReplyDeleteBukan. Saya ambil foto itu dari google.
DeleteOh ya, terima kasih atas apresiasinya ... :)