“Hayooo
… binatang apa yang paling setia dengan pasangannya?”
Mas Kohar tiba-tiba melemparkan tebakan. Di ruang santai itu kami berkumpul, asik nonton TV. Mungkin efek dari tayangan kehidupan fauna, membuat Mas Kohar memiliki pertanyaan itu.
“Kura-kura,” jawab Mbak Desi sekenanya.
“Salah,” kata Mas Kohar.
Sementara aku masih berpikir, Mbak Desi mencoba menjawab lagi, “Buaya.”
“Bukan,” kata Mas Kohar lagi. ”Hayooo … apaaa ...?”
“Mana ada binatang yang seperti itu,” jawabku akhirnya. “Binatang kan nggak punya aturan. Siapa aja diembat nggak peduli itu anaknya sendiri. Itu sebabnya, kenapa manusia yang suka berzinah tak kenal korban, tak peduli keluarganya sendiri, maka kelakuannya dianggap seperti binatang.”
“Ada,” kata Mas Kohar merasa yakin.
“Nggak ada,” jawabku tak kalah yakin.
“Udah nih … nyerah?”
“Apa coba?”
“Merpati.”
“Ah, enggak ah,” kataku tak setuju.
“Oh iya … kan sudah ada lagunya Merpati Tak Pernah Ingkar Janji,” Mbak Desi menimpali.
“Ah, itu kan cuma lagu mbak mbak. Hanya keindahan kata-kata,” sanggahku.
“Tapi itu benar.” Mas Kohar meyakinkan lagi.
“Enggak ah. Aku pernah lihat sendiri kok bagaimana tingkah lakunya. Kalau Mas Kohar pernah nggak?”
“Ya pernah lah, kan aku piara merpati. Coba lihat kalau orang adu merpati. Setinggi apapun burung itu terbang, kalau ditunjukkan pasangannya, secepat kilat ia akan turun menemuinya. Coba perhatikan lagi, kenapa burung yang sudah terbang jauh dari sarangnya, tetap akan kembali? Karena ada istrinya di sana.”
Mas Kohar mencoba menjelaskan dengan panjang lebar. Aku tidak mau menyerah dalam perdebatan yang semakin sengit itu. Suara kami semakin kencang. Kami sama-sama ngotot mempertahankan argumen kami.
Perdebataban itu berakhir seri. Tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang. Jika kami sama-sama bertahan dengan keyakinan kami, itu karena kami memiliki pengalaman yang berbeda.
Dari peristiwa itu, aku jadi ingat keinginanku menuliskan pengalaman itu sejak lama. Sejak aku duduk di bangku SMP. Dan sampai sekarang, cerita itu masih tersimpan di kepalaku. Sesuatu yang mencengangkanku, melihat tingkah laku binatang yang masuk dalam kategori unggas itu.
Jika mas Kohar merasa yakin karena dia pernah memelihara, aku juga yakin dengan alasanku karena Bapakku juga memeliharanya. Dari hanya sepasang, lalu beranak pinak menjadi banyak. Sampai bapak harus membuat sarangnya menjadi bertingkat-tingkat. Bapak termasuk orang yang tidak suka membuat sesuatu dengan sekedarnya. Asal jadi. Pekerjaannya selalu rapi, sehingga rumah burung itu terlihat seperti sebuah apartemen yang indah.
Entah, bapak menyadari atau tidak kalau setiap pulang sekolah ─siang hari ─aku selalu duduk memperhatikan tingkah laku merpati-merpati itu dari balik kaca nako. Sarang burung itu dibuat Bapak persis di depan rumah, karena tinggal itu satu-satunya tanah yang bisa digunakan sebagai kandang burung. Meski kandang burung itu adanya di depan rumah, tidak mengganggu baik aromanya, kotorannya yang berceceran, atau bulunya yang seringkali rontok dan beterbangan, karena kandang burung itu tertutup tembok dan kaca nako. Sedangkan pintu rumahku menghadap ke samping atau gang. Rumah kami berada paling depan, tapi memiliki gang atau lorong dimana ada beberapa rumah yang berderet ke belakang.
Sebelumnya ada tanah di samping rumah yang lebih luas lagi. Dulu tanah lapang, tempat aku bermain bersama teman-teman. Ada pohon mangga yang besar dan tinggi. Tapi sekarang sudah menjadi rumah dan dikontrak orang. Kalau tempat burung dara itu sebelumnya adalah pekarangan rumah kami. Ada pohon kelapa, pohon pace, pohon juwet, pohon jambu, serta beberapa tanaman kecil lainnya yang ditanam bapak. Bapakku memang bertangan dingin. Apapun yang di tanamnya, selalu tumbuh subur. Dan ketika semua pohon itu akhirnya harus ditebang, hanya satu pohon yang aku sayangkan, pohon jambu. Bukan jambu air, tapi jambu biji. Itu satu-satunya pohon yang sering aku panjat, lalu duduk di atas dahannya sambil memainkan harmonika. Atau kadang hanya diam melihat pemandangan langit sore sambil berhayal.
Bagi anak seusiaku waktu itu, mengamati tingkah laku binatang sangatlah menarik. Aku jadi tahu kalau ternyata cara unggas memberi makan anaknya itu dengan cara menyuapi dengan mulutnya. Tidak seperti binatang mamalia atau karnivora yang memberi makan anaknya dengan cara menyusui.
Awalnya, aku masih belum fokus memperhatikan salah satu merpati. Semua menjadi perhatianku. Berbagai warna merpati bapak punya. Ada putih, hitam, coklat dan kelabu. Yang lucu, jika dua merpati yang berbeda warna dikawinkan. Mereka akan menghasilkan keturunan dengan aneka warna bulu. Ada yang mengikuti induk jantannya, ada yang mengikuti induk betinanya atau mengikuti kedua-duanya. Kalau yang mengikuti kedua-duanya menjadi unik, karena perpaduan kedua warna induknya itu akan menghasilkan bulu dengan warna yang berbeda dari yang lain. Kelak aku tahu, bahwa dalam perkembangbiakan merpati itu, sama seperti kucing dan anjing. Mereka selalu memiliki keturunan yang lebih dari satu dengan berbagai warna mengikuti kedua induknya.
Semakin lama semakin banyak saja merpati bapak, hingga tempatnya tak mencukupi lagi. Maka, jadilah kami makan sendiri. Ternyata daging merpati itu lebih gurih dari daging ayam. Apalagi kalau masih muda atau anak-an, dagingnya empuk dan manis. Selain itu ada juga sebagian yang dijual bapak, jika ada yang berminat membelinya.
Suatu hari, entah kenapa perhatianku jadi terfokus kepada sepasang merpati putih yang indah itu. Aku senang, dan kadang senyum-senyum sendiri menyaksikan sepasang kekasih yang terlihat saling mencintai itu. Mereka selalu terlihat mesra. Terbang berdua dan kembali pulang bersama. Aku sering melihat mereka berciuman, lalu kawin. Aku juga melihat, seperti tidak ada paksaan dari si jantan atau keterpaksaan dari si betina ketika mereka melakukan persetubuhan. Mereka saling memandang, saling bicara, barangkali juga berikrar bahwa mereka akan saling menyayangi selamanya. Dari perkawinan itu, mereka memiliki empat keturunan.
Seperti induk-induk yang lainnya, dengan penuh kasih sayang merpati betina itu menyuapi anak-anaknya secara bergantian. Sewaktu bayinya masih merah, ia hanya keluar mengambil makanan, lalu masuk ke kandang untuk menemui dan memberi makan anak-anaknya. Sampai suatu saat, bapak membantu mengeluarkan anak-anaknya ketika dirasa sudah cukup pantas berada di luar. “Biar dapat hawa segar,” begitu kata bapak.
Tapi sayang, saat perhatian sang betina tercurah kepada anak-anaknya, merpati jantan berselingkuh dengan merpati kelabu. Sempat aku bertanya-tanya, kenapa pejantan putih dan betina kelabu itu sering berciuman? Awalnya, merpati putih betina seperti tak menghiraukan kekasihnya yang terlihat akrab dengan tetangga ‘apartemen’nya itu. Terbang berdua, kembali bersama. Ia masih tetap melakukan aktivitasnya sehari-hari, memberi makan anak-anaknya.
Aku masih terus mengamati kehidupan sepasang merpati putih itu, seperti biasa sepulang sekolah. Anak-anak merpati putih itu kini sudah mulai tumbuh bulu, meski belum semua menutupi tubuhnya. Juga sudah mulai bisa berdiri, meski jalannya masih tertatih tatih. Tapi mungkin induk betina itu sudah tidak sanggup lagi menahan sakit akibat pengkhianatan kekasihnya. Ia sering terlihat murung, seperti orang melamun. Bagaimana tidak, di depan mata, sang pujaan hati bercinta dengan betina lain.
Suatu hari, aku melihat merpati betina itu benar-benar tampak murung. Ia hanya diam, tak peduli lagi dengan suara anak-anaknya yang berteriak-teriak minta makan. Sampai akhirnya, bapak yang harus menyuapi anak-anaknya. Menumbuk jagung, diberi air, lalu dimasukkan ke mulut mereka satu per satu.
Aku ikut merasa sedih melihat kondisi merpati betina itu. Tatapannya kosong, matanya sayu. Ia tak ceria lagi seperti biasanya. Dan selama aku duduk mengamatinya dari pagi, kebetulan hari itu aku libur sekolah. Aku sama sekali tak melihat ia menggunakan sayapnya untuk terbang, bercanda dengan alam atau sekedar basa basi menyapa mentari, seperti yang dulu ia lakukan bersama kekasihnya. Bahkan untuk sekedar turun ke bawah memungut jagung yang disebar bapak di lantai pun, tidak. Ia hanya keluar dari kandangnya setelah bapak membuka gembok pintu satu per satu, dan diam. Mematung.
Bapak lalu menggerus obat warung, memberi sedikit air, lalu memasukkannya ke dalam mulut merpati itu. Rupanya bapak paham, merpati putih itu sedang sakit. Bapak memang sering melakukan itu jika ada salah satu merpatinya yang terlihat kurang sehat. Hanya memberi obat warung saja, bisa membuat merpatinya sembuh keesokan harinya.
Tapi berbeda dengan yang satu ini, satu dua hari masih terlihat lemas. Ia bahkan tak keluar dari sarangnya. Dan bapak masih terus mencoba mengobatinya, hingga berhari-hari, hingga aku tak lagi melihatnya berada di antara yang lain.
“Pak, merpati putih itu masih sakit? Kok nggak pernah keluar?” Akhirnya aku bertanya pada bapak.
“Sudah mati, Ai’ … kasihan anak-anaknya masih kecil.” Jawab bapak dengan raut muka yang sedikit sedih.
Rupanya bukan obat itu yang bisa menyembuhkan sakitnya, karena yang sakit bukan badannya. Terlalu dalam luka yang menggores hatinya, hingga ia tak sanggup lagi menahannya. Entah, bapak tahu atau tidak tentang penyebab kematiannya, karena hingga saat ini, aku tak pernah membicarakan hal itu. Aku hanya menyimpannya sendiri dalam hati, lalu merenungkannya. Dan dari hasil renunganku itu, aku memiliki kesimpulan, bahwa binatang pun bisa seperti manusia, memiliki hati dan rasa yang bisa terluka karena dikhianati. Aku juga tak tahu, kenapa aku tidak ingin membicarakan itu dengan bapak seperti biasanya. Aku tak pernah mengatakan kalau aku sangat fokus mengamatinya. Ya, sepasang merpati itu …
(Casablanca, 1 Januari 2013)
Mas Kohar tiba-tiba melemparkan tebakan. Di ruang santai itu kami berkumpul, asik nonton TV. Mungkin efek dari tayangan kehidupan fauna, membuat Mas Kohar memiliki pertanyaan itu.
“Kura-kura,” jawab Mbak Desi sekenanya.
“Salah,” kata Mas Kohar.
Sementara aku masih berpikir, Mbak Desi mencoba menjawab lagi, “Buaya.”
“Bukan,” kata Mas Kohar lagi. ”Hayooo … apaaa ...?”
“Mana ada binatang yang seperti itu,” jawabku akhirnya. “Binatang kan nggak punya aturan. Siapa aja diembat nggak peduli itu anaknya sendiri. Itu sebabnya, kenapa manusia yang suka berzinah tak kenal korban, tak peduli keluarganya sendiri, maka kelakuannya dianggap seperti binatang.”
“Ada,” kata Mas Kohar merasa yakin.
“Nggak ada,” jawabku tak kalah yakin.
“Udah nih … nyerah?”
“Apa coba?”
“Merpati.”
“Ah, enggak ah,” kataku tak setuju.
“Oh iya … kan sudah ada lagunya Merpati Tak Pernah Ingkar Janji,” Mbak Desi menimpali.
“Ah, itu kan cuma lagu mbak mbak. Hanya keindahan kata-kata,” sanggahku.
“Tapi itu benar.” Mas Kohar meyakinkan lagi.
“Enggak ah. Aku pernah lihat sendiri kok bagaimana tingkah lakunya. Kalau Mas Kohar pernah nggak?”
“Ya pernah lah, kan aku piara merpati. Coba lihat kalau orang adu merpati. Setinggi apapun burung itu terbang, kalau ditunjukkan pasangannya, secepat kilat ia akan turun menemuinya. Coba perhatikan lagi, kenapa burung yang sudah terbang jauh dari sarangnya, tetap akan kembali? Karena ada istrinya di sana.”
Mas Kohar mencoba menjelaskan dengan panjang lebar. Aku tidak mau menyerah dalam perdebatan yang semakin sengit itu. Suara kami semakin kencang. Kami sama-sama ngotot mempertahankan argumen kami.
Perdebataban itu berakhir seri. Tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang. Jika kami sama-sama bertahan dengan keyakinan kami, itu karena kami memiliki pengalaman yang berbeda.
Dari peristiwa itu, aku jadi ingat keinginanku menuliskan pengalaman itu sejak lama. Sejak aku duduk di bangku SMP. Dan sampai sekarang, cerita itu masih tersimpan di kepalaku. Sesuatu yang mencengangkanku, melihat tingkah laku binatang yang masuk dalam kategori unggas itu.
Jika mas Kohar merasa yakin karena dia pernah memelihara, aku juga yakin dengan alasanku karena Bapakku juga memeliharanya. Dari hanya sepasang, lalu beranak pinak menjadi banyak. Sampai bapak harus membuat sarangnya menjadi bertingkat-tingkat. Bapak termasuk orang yang tidak suka membuat sesuatu dengan sekedarnya. Asal jadi. Pekerjaannya selalu rapi, sehingga rumah burung itu terlihat seperti sebuah apartemen yang indah.
Entah, bapak menyadari atau tidak kalau setiap pulang sekolah ─siang hari ─aku selalu duduk memperhatikan tingkah laku merpati-merpati itu dari balik kaca nako. Sarang burung itu dibuat Bapak persis di depan rumah, karena tinggal itu satu-satunya tanah yang bisa digunakan sebagai kandang burung. Meski kandang burung itu adanya di depan rumah, tidak mengganggu baik aromanya, kotorannya yang berceceran, atau bulunya yang seringkali rontok dan beterbangan, karena kandang burung itu tertutup tembok dan kaca nako. Sedangkan pintu rumahku menghadap ke samping atau gang. Rumah kami berada paling depan, tapi memiliki gang atau lorong dimana ada beberapa rumah yang berderet ke belakang.
Sebelumnya ada tanah di samping rumah yang lebih luas lagi. Dulu tanah lapang, tempat aku bermain bersama teman-teman. Ada pohon mangga yang besar dan tinggi. Tapi sekarang sudah menjadi rumah dan dikontrak orang. Kalau tempat burung dara itu sebelumnya adalah pekarangan rumah kami. Ada pohon kelapa, pohon pace, pohon juwet, pohon jambu, serta beberapa tanaman kecil lainnya yang ditanam bapak. Bapakku memang bertangan dingin. Apapun yang di tanamnya, selalu tumbuh subur. Dan ketika semua pohon itu akhirnya harus ditebang, hanya satu pohon yang aku sayangkan, pohon jambu. Bukan jambu air, tapi jambu biji. Itu satu-satunya pohon yang sering aku panjat, lalu duduk di atas dahannya sambil memainkan harmonika. Atau kadang hanya diam melihat pemandangan langit sore sambil berhayal.
Bagi anak seusiaku waktu itu, mengamati tingkah laku binatang sangatlah menarik. Aku jadi tahu kalau ternyata cara unggas memberi makan anaknya itu dengan cara menyuapi dengan mulutnya. Tidak seperti binatang mamalia atau karnivora yang memberi makan anaknya dengan cara menyusui.
Awalnya, aku masih belum fokus memperhatikan salah satu merpati. Semua menjadi perhatianku. Berbagai warna merpati bapak punya. Ada putih, hitam, coklat dan kelabu. Yang lucu, jika dua merpati yang berbeda warna dikawinkan. Mereka akan menghasilkan keturunan dengan aneka warna bulu. Ada yang mengikuti induk jantannya, ada yang mengikuti induk betinanya atau mengikuti kedua-duanya. Kalau yang mengikuti kedua-duanya menjadi unik, karena perpaduan kedua warna induknya itu akan menghasilkan bulu dengan warna yang berbeda dari yang lain. Kelak aku tahu, bahwa dalam perkembangbiakan merpati itu, sama seperti kucing dan anjing. Mereka selalu memiliki keturunan yang lebih dari satu dengan berbagai warna mengikuti kedua induknya.
Semakin lama semakin banyak saja merpati bapak, hingga tempatnya tak mencukupi lagi. Maka, jadilah kami makan sendiri. Ternyata daging merpati itu lebih gurih dari daging ayam. Apalagi kalau masih muda atau anak-an, dagingnya empuk dan manis. Selain itu ada juga sebagian yang dijual bapak, jika ada yang berminat membelinya.
Suatu hari, entah kenapa perhatianku jadi terfokus kepada sepasang merpati putih yang indah itu. Aku senang, dan kadang senyum-senyum sendiri menyaksikan sepasang kekasih yang terlihat saling mencintai itu. Mereka selalu terlihat mesra. Terbang berdua dan kembali pulang bersama. Aku sering melihat mereka berciuman, lalu kawin. Aku juga melihat, seperti tidak ada paksaan dari si jantan atau keterpaksaan dari si betina ketika mereka melakukan persetubuhan. Mereka saling memandang, saling bicara, barangkali juga berikrar bahwa mereka akan saling menyayangi selamanya. Dari perkawinan itu, mereka memiliki empat keturunan.
Seperti induk-induk yang lainnya, dengan penuh kasih sayang merpati betina itu menyuapi anak-anaknya secara bergantian. Sewaktu bayinya masih merah, ia hanya keluar mengambil makanan, lalu masuk ke kandang untuk menemui dan memberi makan anak-anaknya. Sampai suatu saat, bapak membantu mengeluarkan anak-anaknya ketika dirasa sudah cukup pantas berada di luar. “Biar dapat hawa segar,” begitu kata bapak.
Tapi sayang, saat perhatian sang betina tercurah kepada anak-anaknya, merpati jantan berselingkuh dengan merpati kelabu. Sempat aku bertanya-tanya, kenapa pejantan putih dan betina kelabu itu sering berciuman? Awalnya, merpati putih betina seperti tak menghiraukan kekasihnya yang terlihat akrab dengan tetangga ‘apartemen’nya itu. Terbang berdua, kembali bersama. Ia masih tetap melakukan aktivitasnya sehari-hari, memberi makan anak-anaknya.
Aku masih terus mengamati kehidupan sepasang merpati putih itu, seperti biasa sepulang sekolah. Anak-anak merpati putih itu kini sudah mulai tumbuh bulu, meski belum semua menutupi tubuhnya. Juga sudah mulai bisa berdiri, meski jalannya masih tertatih tatih. Tapi mungkin induk betina itu sudah tidak sanggup lagi menahan sakit akibat pengkhianatan kekasihnya. Ia sering terlihat murung, seperti orang melamun. Bagaimana tidak, di depan mata, sang pujaan hati bercinta dengan betina lain.
Suatu hari, aku melihat merpati betina itu benar-benar tampak murung. Ia hanya diam, tak peduli lagi dengan suara anak-anaknya yang berteriak-teriak minta makan. Sampai akhirnya, bapak yang harus menyuapi anak-anaknya. Menumbuk jagung, diberi air, lalu dimasukkan ke mulut mereka satu per satu.
Aku ikut merasa sedih melihat kondisi merpati betina itu. Tatapannya kosong, matanya sayu. Ia tak ceria lagi seperti biasanya. Dan selama aku duduk mengamatinya dari pagi, kebetulan hari itu aku libur sekolah. Aku sama sekali tak melihat ia menggunakan sayapnya untuk terbang, bercanda dengan alam atau sekedar basa basi menyapa mentari, seperti yang dulu ia lakukan bersama kekasihnya. Bahkan untuk sekedar turun ke bawah memungut jagung yang disebar bapak di lantai pun, tidak. Ia hanya keluar dari kandangnya setelah bapak membuka gembok pintu satu per satu, dan diam. Mematung.
Bapak lalu menggerus obat warung, memberi sedikit air, lalu memasukkannya ke dalam mulut merpati itu. Rupanya bapak paham, merpati putih itu sedang sakit. Bapak memang sering melakukan itu jika ada salah satu merpatinya yang terlihat kurang sehat. Hanya memberi obat warung saja, bisa membuat merpatinya sembuh keesokan harinya.
Tapi berbeda dengan yang satu ini, satu dua hari masih terlihat lemas. Ia bahkan tak keluar dari sarangnya. Dan bapak masih terus mencoba mengobatinya, hingga berhari-hari, hingga aku tak lagi melihatnya berada di antara yang lain.
“Pak, merpati putih itu masih sakit? Kok nggak pernah keluar?” Akhirnya aku bertanya pada bapak.
“Sudah mati, Ai’ … kasihan anak-anaknya masih kecil.” Jawab bapak dengan raut muka yang sedikit sedih.
Rupanya bukan obat itu yang bisa menyembuhkan sakitnya, karena yang sakit bukan badannya. Terlalu dalam luka yang menggores hatinya, hingga ia tak sanggup lagi menahannya. Entah, bapak tahu atau tidak tentang penyebab kematiannya, karena hingga saat ini, aku tak pernah membicarakan hal itu. Aku hanya menyimpannya sendiri dalam hati, lalu merenungkannya. Dan dari hasil renunganku itu, aku memiliki kesimpulan, bahwa binatang pun bisa seperti manusia, memiliki hati dan rasa yang bisa terluka karena dikhianati. Aku juga tak tahu, kenapa aku tidak ingin membicarakan itu dengan bapak seperti biasanya. Aku tak pernah mengatakan kalau aku sangat fokus mengamatinya. Ya, sepasang merpati itu …
(Casablanca, 1 Januari 2013)
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment