Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Sunday, December 30, 2012

' Ketika Seni Budaya Nusantara Berada di Persimpangan Jalan '


Siapa yang tidak kenal musik Rap, yang belakangan lebih dikenal dengan musik Hip Hop. Bagi orang awam, mengartikannya sangat sederhana, yaitu orang yang ngomel-ngomel tapi diiringi musik, atau orang yang nyerocos tidak karuan dengan dilatari lagu beat. Atau juga orang yang berbicara cepat dengan mengikuti tempo.

Bermacam macam mereka mendefinisikan musik Rap. Namun lebih sederhanya lagi, musik Rap adalah cerita yang berirama. Musik ini lahir di Amerika Serikat, tepatnya di kota New York tahun 1970-an. Namun ada yang lebih spesifik lagi berpendapat bahwa Rap berakar dari Afrika.

Genre musik yang lebih menekankan pada teknik berceloteh dibanding instrumen musik ini, masuk ke Indonesia pada awal tahun 1990an dan beken di tahun 2010 akhir. Bagi anak-anak muda kita, nge-rap dianggap keren. Merekapun menjadi latah setelah kemunculan Iwa K ―orang Indonesia yang pertama kali mempopulerkannya. Satu persatu musisi Rap atau Rapper lalu bermunculan baik secara group maupun solo, seperti: Saykoji, Denada, Soul id, Ebith Beat A dan masih banyak lagi.

Tapi tahukah anda, apa yang ada di pikiran saya ketika musik rap mulai populer di Indonesia?

“Hey ... Indonesia juga punya!”

Maka jika saya boleh bertanya, kenapa tidak dari dulu saja mereka mendalami genre musik itu? Kenapa setelah Rap masuk ke Indonesia, baru mereka beramai-ramai menjadi Rapper?

Jika kita mau menilik sejarah kesenian Indonesia, sebenarnya seni semacam itu sudah kita miliki jauh sebelum genre musik yang bertutur itu dikenal di negeri Paman Sam.

Kalau di Amerika Serikat kesenian itu dinamakan ‘Rap’ yang diiringi musik ‘Hip Hop’ dengan tempo cepat, sedangkan di Indonesia namanya ‘Parikan/Jula-juli’ yang diiringi dengan musik Gamelan (Gending Jawa), dengan bahasa Jawa Timuran (Suroboyoan) dan dengan tempo yang agak lambat.

Parikan/Jula-juli merupakan bagian dari kesenian Ludruk. Banyak pendapat yang mengatakan, kesenian ini merupakan embrio dari kelahiran Ludruk yang dipakai dalam bentuk ngamen —dari rumah ke rumah, keluar masuk kampung sambil jogetan sekitar tahun 1890 dan terbentuk menjadi Ludruk pada tahun 1907.

Kalau kita tengok dari sejarah lahirnya musik ini, baik Rap maupun Parikan memiliki latar belakang yang sama, yaitu akibat ‘ketertindasan’. Lirik yang dinyanyikan adalah berupa sajak/puisi yang sarat dengan kritik sosial.

Jika musik Rap lahir pada masa perbudakan, karena pedagang budak kulit putih datang dan memisahkan mereka dari keluarga dan suku mereka. Disamping itu, karena para budak juga dilarang menggunakan bahasa Ibu —bahasa asli suku mereka —maka suku-suku di Afrika mengabadikannya dalam bait-bait ritmik dan nyanyian untuk menjaga sejarah dan legenda.

Sedang Parikan lahir pada masa Feodal, di mana para tuan tanah berkuasa dan rakyat kecil mengalami masa-masa sulit. Lalu berkembang menjadi kesenian Ludruk sebagai pertunjukan rakyat yang sifatnya humoris namun bernuansa perlawanan terhadap kekuasaan dan kebudayaan adiluhung yang berkembang di kalangan elit kerajaan. Spirit perlawanan Ludruk pun berlanjut di masa kolonial Belanda dan Jepang. Parikan yang sudah menyatu ke dalam kesenian Ludruk, selain berisi sindiran juga memberi pesan moral —tentang pentingnya kerukunan dan persatuan.

Ludruk ...

Ah ... mendengar gendingnya, ingatan saya seperti di bawa ke puluhan tahun yang lalu ketika saya masih berseragam ‘putih merah’. Ketika Bapak belum mampu membelikan saya sepeda mini, saya harus berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Memasuki kampung, lalu masuk lagi gang dan melewati rumah-rumah yang berderet sembari berteduh dari matahari yang berada tepat di atas kepala, setiap kali pulang sekolah. Hampir setiap rumah, yang terdengar adalah gending Jawa dari pesawat radio yang mengiringi kesenian Ludruk. Berbaur dengan rasa lapar, menjadi bertambah lapar ketika tercium aroma masakan dari setiap rumah yang saya lewati. Lalu saya ingat Ibu. Ingin segera sampai ke rumah sambil membayangkan dan bertanya,”Ibu masak apa ya, hari ini?”

Bagaimana hal itu tidak melekat dalam ingatan saya, jika sepenggal kisah itu terus menerus terjadi setiap hari? ―kecuali hari libur. Bagaimana juga saya tidak merasa sedih, ketika sesuatu yang mengingatkan pada kebahagiaan masa kecil saya harus hilang dan tak terdengar lagi? Kesenian Ludruk adalah kebanggaan kami, pusaka warisan Jawa Timur. Haruskah punah tergerus jaman? ...

Posisi seni dan budaya daerah sekarang seperti berada di persimpangan jalan antara arus modernisasi dari barat maupun dari benua Asia yang tidak kalah gencarnya mulai merambah di kalangan para remaja. Bukan berarti kita tidak boleh menoleh kepada budaya lain, tapi sudahkah kita menggenggam erat budaya sendiri? Jangan sampai terulang kasus pembajakan dari bangsa lain terhadap budaya daerah dan lalu berteriak-teriak ketika ada bangsa lain yang mengklaim budaya Indonesia menjadi miliknya, sementara kita sendiri tidak merasa memilikinya.

Jika saja kita mau menggali sejarah kita, atau jika kesenian Ludruk masih tetap ada di tengah-tengah masyarakat. Dengan kreatifitas generasi muda, kita pun akan memiliki musik Rap dengan nama yang menggunakan bahasa kita sendiri. Parikan, atau apalah yang pasti berbeda dengan nama yang mereka gunakan. Bisa jadi, masih ada lagi seni yang serupa Rap dimiliki oleh suku di daerah lain di Indonesia yang tak pernah dimunculkan. Hingga menjadi kebanggaan bagi kita yang memiliki keanekaragaman suku, agama, bahasa, serta seni dan budaya menyatu dalam sebuah negeri yang bernama Indonesia ...

( Casablanca, 20 Oktober 2012 )

(Ludruk Kartolo Cs - Misteri Gunung Merapi 1) http://www.youtube.com/watch?v=WmQNXPnUay0

Photo Source: Google Images

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates