Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Friday, December 14, 2012

Cerpen: Perempuan Itu, Bukan Sahabatku


“ Tadi pagi, aku baca pesan Vivi mas, katanya suruh ingetin mas Tejo bikin surat keterangan kerja.” 

Aku membuka obrolanku dengan mas Tejo yang tengah menikmati secangkir kopi, pagi itu. 

“ Iya,” jawab mas Tejo singkat. 

“Emang, dia mau bikin apa mas?” 

“Bikin passport.” 

“Berarti, dia mau ke luar negeri dong.” 

“Iya,” jawabnya lagi, singkat.

Tiba-tiba ada sesuatu yang terasa berat kutahan. Terpaksa aku harus berlindung di balik komputer agar tak banyak pertanyaan, menyeka air mataku, lalu menulis cerita ini dengan tangan sedikit gemetar.

Aktivitasku terhenti ketika mas Samsul datang menjelaskan tentang pertanyaanku kemarin, seputar pekerjaan yang harus ku handle.

 *****


Sepulang dari pasar, aku mendapati Vivi sudah berada di kedai. Tanpa menyapanya aku langsung masuk ke dapur menyibukkan diri.

Aku, mas Tejo, mas Samsul dan mas Aj melakukan aktifitas kerja sehari-hari di kedai ini. Kedai Jaker Shop's. Kami beraktivitas dari pukul delapan pagi hingga pukul empat sore. Tempat ini adalah tempat usaha sebagai penyandang dana partai kami. Ruangannya tidak terlalu luas tapi santai. Kawan-kawan biasa datang untuk diskusi, main catur, atau sekedar ngobrol yang ringan sembari pesan kopi dan mie instant. Selain membuka usaha pengiriman barang dan penjualan tiket pesawat, tempat ini juga menjual alat musik, PIN, kaset CD, kerajinan, juga buku dari berbagai pengarang.

“lagi masak ya mbak?” Tanya Vivi yang tiba-tiba sudah berada di belakangku. 

“Enggak, cuma beres-beres aja.” Jawabku, masih sambil mengelap cangkir yang kucuci tadi pagi tanpa sedikit pun menolehnya. 

“Mau kemana, Vi?” 

“Mau ke Kantor Imigrasi.” 

“Sendiri?” 

“Iya,” jawabnya lirih.

Sebenarnya aku ingin bertanya lebih lanjut tentang penugasan dirinya ke luar negeri, tapi aku sudah tak sanggup lagi bersuara. Kami saling diam. Ia hanya berdiri melihatku, sementara aku tetap berusaha menyibukkan diri.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar Vivi berpamitan pada mas Samsul dan mas Tejo. Samar-samar aku mendengar dia memanggil namaku tanpa mendatangiku yang masih berada di dapur. Aku semakin tak tahan, aku berlari menaiki tangga menuju kamar, meledaklah tangisku di sana.   

Maafkan aku, Vi … jika aku terkesan tidak menyambut kedatanganmu dengan ramah. Tak seperti biasanya setiap kita ketemu. Maafkan aku … jika aku memalingkan mukaku selama menjawab pertanyaanmu dan terkesan tidak mempedulikanmu. Aku hanya tak ingin kau melihat kesedihanku, aku tak ingin kau melihat wajahku yang sudah dibanjiri air mata. Sekali lagi, maafkan aku …

*****

Siang sehabis istirahat, sepi. Tak ada customer yang datang untuk mengirimkan barangnya. Tak ada seorang kawan pun yang mampir, sekedar baca buku atau koran hari ini. Hanya mas Alif yang datang sebentar membeli rokok, kemudian pergi lagi. Mas Aj keluar dengan mas Samsul, entah kemana. Tinggal kami berdua yang tersisa, mas Tejo dan aku. Mas Tejo terlihat serius di depan komputernya, aku pun sama. Mencoba mengingat kembali pertemuanku dengan Vivi, aku mulai melanjutkan tulisanku.

Benar-benar aneh jika aku harus menangisi kepergiannya. Perempuan muda yang dulu kubenci karena keangkuhannya. Aku bertemu dia pertama kali di kantor pusat Partai Rakyat Demokratik, tempat para organiser sekaligus kader partai tinggal dan berjuang. Sebuah perumahan yang cukup besar dengan tiga lantai.

Aku baru saja kembali dari tempat kost-ku, malam itu. Sempat kaget melihat perempuan cantik dengan perawakan bongsor berada di sana. Wajah dan bodynya mirip sekali dengan Ida, kawanku sewaktu di pabrik dulu. Dalam hati aku bertanya, kenapa Ida ada di sini? Aku tercengang, dia juga tercengang. Namun perempuan itu lebih dulu membuang mukanya tanpa sedikit pun memberi kesan ramah, lalu aku cuek saja masuk ke dalam. 

“Ka, siapa sih cewek itu?” Aku bertanya pada Ika yang sedang menggosok baju di kamar mbak Desi. 

“Oh … itu kan Vivi.” 

“Sombong sekali dia.” 


“Ah, masak sih … dia baik kok.” 


“Apaan … jangankan negur, senyum aja enggak.” 


“Ya … mungkin belum kenal aja,” jawab Ika sangat bijaksana. 



Aku tidak setuju dengan pendapat Ika, tapi aku tidak ingin berdebat dengannya. Ika orang yang baik dan sabar, aku tahu … dia sedang berusaha meredam kemarahanku. Hanya menurutku, biasanya kalau kita ketemu orang yang baru kita kenal, paling tidak senyumlah …

Oh ya, aku lalu ingat nama itu. Sebelumya aku hanya mendengar namanya saja. Rupanya itu yang kata mbak Desi adiknya Rudj. Berbeda sekali dengan kakaknya. Aku mengenal Rudj sewaktu aku, mas Tejo dan mas Kuncung  menghadiri undangan Kepal SP yang sedang menyelenggarakan acara 'Parade Musik Pengamen Indonesia' di Surabaya. Rudj sangat ramah, sehingga kami cepat sekali akrab. Entah berapa tahun tak ketemu, namun di ‘Aksi Nasional Gerakan Pasal 33 (UUD 1945)’ yang diselenggarakan PRD, kami dipertemukan kembali. Aku sempat tidak mengenalinya ketika dia memanggilku, tapi Rudj masih mengingatku.

“Rudj, emang Vivi itu adikmu?” Tanyaku suatu malam menjelang tidur. 

“Iya.” 

“Angkuh banget sih.” 

“Angkuh gimana … ?” 

“Awalnya kan aku kaget lihat dia seperti kawanku di pabrik dulu, eh … lagi sama-sama ngelihat, dia buang muka” 

“Mungkin karena lihat kamu tercengang kali … ” 

“Ah, jawabanmu nggak masuk akal.” 

“Atau mungkin karena belum kenal. Kalau dia udah kenal dan cocok, asyik kok orangnya.” 

“Ah, nggak begitu juga. Biasanya, kalau orang baru ketemu itu minimal senyum. Masak ... senyum, negur, nunggu kenal deket dulu.” 

“Dia memang cuek. Aku suka kok gayanya. Ya, itu sih menurut aku.” 

“Aku juga suka Rudj yang cuek, tapi kalau kayak gitu itu namanya bukan cuek, tapi angkuh.” 

“Sudahlah … nanti kalau kamu sudah kenal, kamu pasti suka. Kamu itu sangat cocok sama Vivi. Kalian itu sama. Sama-sama mencintai seni, sama-sama memiliki jiwa seni, percayalah!” Rudj menjelaskan dengan panjang lebar, berusaha meyakinkan aku. 

Aku masih tidak terima dengan segala alasan Rudj. Bagaimana bisa kenal dan dekat, kalau semenjak itu kami saling acuh tak acuh. Meski perempuan itu ada di sampingku, jangankan teguran … senyuman pun tak pernah kuciptakan untuk manusia angkuh seperti dia. Aku jadi tahu alasannya kenapa dia memperlakukan aku seperti itu, karena menganggap dirinya senior. Ya, sangat jelas terlihat ketika aku kedatangan seorang teman. Aku dan temanku duduk di ruang tamu. Beberapa kali dia melewati kami --keluar masuk --sekali pun dia tak menolehkan kepalanya. Pandangannya lurus ke depan, seperti kami dianggap tak ada. Temanku bahkan sempat merasakan keangkuhannya, tapi tetap kututupi rasa benciku. 

Beruntung menurutku waktu itu, karena dia segera mendapatkan tugas ke luar kota dan aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Tak ada lagi perasaan yang mengganjal, tak ada kebencian apalagi dendam. Waktu telah membuat aku melupakannya.

Kurang lebih satu bulan, Vivi datang pagi-pagi sekali. Kebetulan aku sedang menyapu ruang tamu dan sepi. Hanya ada aku, karena yang lain masih tidur. Ia memberi salam dan aku menjawabnya. Kali ini ada senyum, akupun membalas senyumannya. Sempat juga aku basa basi menanyakan keberadaan Rudj, Ia menjawab bahwa kakaknya sedang berada di Jawa Tengah.

Satu hari itu, kami tak lagi bertatap muka. Aku hanya melihatnya dari kejauhan, karena Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di lantai atas. Hingga keesokan harinya, Ia mengalami kecelakaan.

Di sini lah titik balik itu terjadi, saat dia harus tinggal beberapa hari di rumah sakit. Sebagai manusia yang masih memiliki perasaan, aku pun tidak bisa untuk tak peduli dengan apa yang sedang menimpanya. Bertiga kami pergi menjenguknya di rumah sakit: aku, Ulfa dan mas Aj. Ulfa membawakan perlengkapan yang dibutuhkannya dan dengan sangat telaten menyeka tubuhnya, serta menggantikan pakaiannya. Sedangkan aku hanya sedikit membantu. Aku benar-benar kikuk waktu itu, komunikasiku pun kaku. Sempat aku terbata-bata  ketika hendak pulang dan berpamitan. Senyumku tak luwes dan hanya ujung jariku yang menyentuh kakinya sambil berkata,”Cepat sembuh ya … ” Meski tak sedikit pun ada kebencian, namun peristiwa itu masih membekas menyebabkan semuanya menjadi kaku.

*****

Selepas SMP, aku tak pernah lagi memiliki sahabat. Buat aku sahabat itu mengikat, karena semasa SMA, karakterku sepertinya sudah terbentuk. Aku cenderung menyukai kebebasan, artinya aku tidak suka dipaksa, tidak mau terlalu diatur dan aku akan berontak jika tidak seirama dengan kata hatiku. Terbukti beberapa kali aku melawan guru, bahkan kepala sekolah. Sewaktu bekerja di pabrik juga begitu, dari teman sekerja, pengawas, chief, leader, sampai orang kantor pun aku lawan. Meski karakterku keras, tak membuat aku dijauhi kawan karena mereka tahu aku juga bisa bersikap lembut. Beberapa dari mereka bahkan mengakrabiku karena merasa cocok, tapi aku tetap bersikap biasa. Aku merasa tak bisa menjadi sahabat yang baik karena aku tak mau terikat. 

Kalau Vivi … ? Ia berbeda meskipun aku juga tak pernah menganggapnya begitu. Aku hanya merasa cocok karena Ia memiliki kelengkapan. Tak hanya cantik, dia juga tegas, smart dan tidak pelit membagi ilmunya. Diajak ngobrol apa saja, nyambung. Apa pun yang aku ingin tahu, dengan sabar dijawabnya, dengan telaten dijabarkannya. Satu yang paling aku suka, dia tahu apa yang ku mau tanpa harus diminta. Itu yang belum pernah kutemui. Seperti ketika aku mau tidur, aku tidak suka melihat kamar yang kotor dan kasur yang berantakan. Melihat aku masuk kamar, Ia buru-buru merapikan tempat tidur. Aku lalu mengambil sapu untuk membersihkan lantainya. Kulakukan itu dengan semangat dan senang hati, karena moment seperti ini jarang sekali terjadi. Juga ketika suatu sore saat aku sedang lemas kelaparan karena tak ada makanan yang tersisa, Vivi dengan segera membuatkan makanan untuk kami berdua. Melihat pengertian dan semangatnya itu, aku jadi memiliki kekuatan untuk memanaskan air, membuat segelas teh hangat kesukaannya.

Kedekatan kami tak lama. Hanya seminggu setelah pulang dari rumah sakit, dia meminta ijin untuk menempati kamar yang biasa aku tempati bersama Rudj dan mbak Desi. Aku dan Vivi jadi sering ngobrol berdua dan itu kami lakukan mulai dari dalam kamar, ruang tamu, teras, hingga ke taman, depan kantor pusat PRD. Kami berdiskusi baik tentang seni, perempuan, juga tentang situasi nasional. Vivi bahkan pernah mengatakan, bahwa 'sosialisme tak akan pernah ada tanpa pembebasan perempuan'.

Berdiskusi tentang situasi nasional, kami sependapat bahwa negeri kami masih terjajah secara politik dan ekonomi. Kami meyakini, bahwa melalui partai lah kita bisa berkuasa untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap rakyat. Sebagai seorang mahasiswa, Ia memandang dari segi pendidikan. “Bagaimana bangsa Indonesia bisa cerdas? Kemiskinan diciptakan, pendidikan dijadikan barang dagangan!” Kata Vivi berapi-api. Ya, sama halnya jika dilihat dari pengalamanku sebagai buruh pabrik. Bagaimana buruh bisa sejahtera, jika undang-undang perburuhan selalu berpihak kepada pemodal asing? Dari tahun ke tahun, tak ada perubahan signifikan yang mengacu pada kesejahteraan buruh. Meski setiap tahun mereka mendapatkan kenaikan gaji, namun tak pernah bisa mengalahkan kenaikan harga barang-barang.  

Di dalam berpartai, kami memiliki senjata untuk melawan imperialisme, yaitu dengan berasaskan Pancasila dan melaksanakan Pasal 33 UUD 1945. Ini merupakan amanat yang seharusnya dijalankan demi kesejahteraan rakyat, namun justru tak pernah disentuh oleh pemerintah. Lihat saja, modal asing semakin merajai penguasaan kekayaan alam dan aset-aset strategis kita: sektor migas (85-90%), batubara(75%), mineral (89%), perkebunan (50%), perbankan ( 50,6%), farmasi (80%), telekomunikasi (70%) dan masih banyak lagi. Sedang Pancasila adalah dasar dibangunnya negara ini, ditemukan oleh Soekarno saat beliau mencoba menggali kebudayaan asli masyarakat Indonesia. Lalu dikatakannya, bahwa Pancasila itu adalah 'Gotong Royong'. Namun menurut kami, Pancasila tidak cukup hanya diserukan, melainkan juga harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dari hal yang paling kecil, dari diri sendiri, dan dari lingkungan yang terdekat.

Tanpa sadar, sebenarnya aku dan Vivi sudah melaksanakan Pancasila di dalam kamar kami. Jika saja Pancasila bisa diterapkan di lingkungan yang sangat besar di dalam sebuah negara, serta dilaksanakannya Pasal 33 UUD 1945, maka akan terciptalah 'Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia'.

Sekarang, sudah sebulan lebih aku tinggal di kedai, dan selama itu aku baru sadar bahwa apa yang dikatakan Rudj tentang aku dan Vivi waktu itu, benar. Kami memang memiliki kecocokan, kami saling merindukan sejak berpisah. Aku dan Vivi lalu berkunjung bergantian, atau saling kirim pesan melalui sms, inbox atau dinding face book.

Besok, adalah hari keberangkatan Vivi ke Australia. Sungguh … aku tak sanggup menemuinya, membuat aku semakin sedih. Selamat jalan, Vi … selamat berjuang! Aku akan selalu merindukanmu ...

( Casablanca, 14 Juni 2012 ) 


No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates