Sejak tadi malam, Jakarta diguyur hujan. Menyisakan gerimis di Subuh hari, dan perlahan mereda. Hingga pukul tujuh pagi, matahari tak juga nampak. Meski begitu, Tari tetap akan melakukan aktivitasnya. Bersiap-siap ngamen, dengan harmonika mini pemberian sahabatnya. Tapi tiba-tiba hujan kembali turun dengan sangat lebatnya. Disertai angin dan guntur, menggelegar selayak dentuman meriam, juga kilatan api yang membuatnya mengurungkan niat. Beberapa ruas jalan mulai tergenang air.
Berteduh di emperan kios
penjual koran dan majalah, Tari berharap hujan segera berhenti. Atau paling
tidak, tak ada lagi petir dan suara gemuruh yang menakutkannya. Spontan ia
mendongak. Matanya mencari-cari sesuatu. Ada yang membuat topinya basah
menembus rambut, dan dingin menyentuh kulit kepalanya. Tari merangsek,
menghindari bocor di atap luar.
Suasana di dalam, sepi.
Hanya ada satu orang ―penjaga kios ―sedang sibuk mengikat beberapa harian surat
kabar. “Ah, jadi ingat Dian. Di sini, Dian biasa mampir membaca koran gratis.”
Mengamati seluruh isi ruangan, bola matanya berhenti pada hamparan koran dan
majalah yang terpajang. “Koran! Majalah! Huuuuffftt …” Teringat lagi pesan Dian
yang memintanya untuk banyak membaca. Satu hal yang membuatnya iri. Kenapa ia
tak bisa seperti Dian yang suka sekali melahap buku-buku bacaaan, sehingga Dian
lebih banyak tahu ketimbang dirinya. Tapi ia juga tak habis pikir. Dian rela
menabung hanya untuk membelanjakan uangnya dengan membeli buku dan buku. Meski
Dian bisa membaca buku gratis di lapak Bang Bayu, tapi kalau ada buku di luar
yang ingin dibacanya, ia terpaksa harus membeli. Dan buku-buku itu,
dititipkan pada Bang Bayu.
Iseng, Tari membaca
judul di setiap koran dan majalah yang berjajar rapi. Memang begitu kebiasaannya.
Hanya membaca judulnya saja yang tertulis besar-besar. Kalau ada yang
benar-benar menarik perhatiannya, baru dilihat isinya. Itupun kalau terlalu
panjang, pasti tak habis terbaca. Kemampuannya untuk berkonsentrasi membaca
sangat terbatas. Tak bisa bertahan lama.
Pernah suatu hari, Dian
membawakan buku untuknya. Dengan alasan tak bisa membaca di keramaian, Dian
mencarikan lokasi di komplek perumahan yang sepi. Baru tiga puluh menit
berlalu, Tari sudah mengeluh.
“Yan, udah ya ... besok
aja dilanjut lagi ...”
“Ini kan udah sepi, Ri.
Tempat yang tenang buat membaca.”
“Capeeeekkk. Nih, lihat
...” Tari menunjukkan isi bukunya. “Tiga alenia ini yang terakhir aku baca.
Tapi baru sadar, ternyata cuma mataku aja yang ngeja tulisannya. Nggak ada pikiranku. Jadi aku nggak tau maksudnya apaaa …” Rengeknya manja.
“Emang pikiranmu di
mana, Tariiiii …” Dian menahan kesal.
“Jalan-jalan.”
Seperti tak punya dosa,
Tari melemparkan senyumnya. Kali ini matanya yang menatap manja, berharap
Dian tak marah.
Kalau saja Dian tahu,
sebenarnya Tari juga kesal dengan dirinya sendiri untuk urusan baca membaca.
Pikirannya suka loncat-loncatan. Beberapa kali ia harus mengulang satu kalimat
saja, hanya karena ia tak tahu apa yang sedang dibacanya. Merasa kesulitan mengembalikan
konsentrasinya yang sedang tak di situ. Telinganya lebih peka dari pada
matanya. Tari lebih mudah menangkap sesuatu dari apa yang ia dengar. Tari lebih suka diceritai. Sekali ia
pernah menyelesaikan satu buku bacaan, senangnya luar biasa.
“Hah? Ini kan Dian!”
Terkejut dengan mulut
menganga dan mata membesar, menyaksikan gambar yang terpampang di sebuah harian
Ibukota.
“Ratusan Pendukung PRD
Kepung Gedung MK”
Begitu judul yang
tertulis di atas gambar. Jantungnya berdetak kencang. Ia yakin benar, bahwa
yang tertangkap kamera foto wartawan itu, Dian. Tari masih mengenalinya,
meski di atas kepala Dian terikat sebuah kain merah bertuliskan GERAKAN
NASIONAL PASAL 33 UUD ‘45.
Tangannya gemetar
mencari uang yang terselip di kantong celananya. Segera membayar koran, berlari
menerobos hujan, dan buru-buru mencari tempat yang tenang untuk membaca.
***
Beberapa kali Tari
kesasar ketika mencari alamat yang ingin dituju. Karena informasi yang kurang
akurat, membuatnya kemalaman sampai tujuan. Sudah pukul sembilan malam saat
ditemukannya sebuah rumah berlantai tiga, di komplek perumahan elit Jakarta
Selatan.
“Sudah benar kan, ini
rumahnya?” Mencocokkan kembali alamat yang tertera pada surat kabar, yang
selalu dibawa-bawa. “Ini kan sudah Tebet Dalam. Kalau sebelumnya gang 3A, nah,
ini gang 2G. Dan nomornya sama, satu.”
Tari masih ragu. Matanya
lantas menyapu halaman depan rumah itu. “Ada dua bendera. Yang satu bendera
merah putih, yang satu lagi bendera apa tau!” Dilihatnya lagi foto dalam koran
itu. “Ah, di sini gambar benderanya nggak jelas.”
Tapi tiba-tiba matanya
membaca tulisan yang menempel di tembok, dekat pintu pagar. “Komite Pimpinan
Pusat - Partai Rakyat Demokratik. Hah! Ya! Kalau tulisan itu ada di sini. PRD,
kepanjangannya Partai Rakyat Demokratik. Yes! Udah ketemu! Tapi kok sepi ya?
Pintunya tertutup dan nggak ada satu orang pun yang keluar. Oh ya, kan udah
malam. Ya udah, besok aja deh. Kalau ada yang keluar dari rumah itu, ntar aku
tanyain, kenal nggak sama Dian yang kemarin ikut demo? Terus, aku tunjukin deh
fotonya di koran ini. Siiip!”
Tak ingin kembali ke
terminal, Tari berniat begadang sampai pagi. Sampai besok menemukan orang-orang
yang ada di rumah itu. Sambil berjalan-jalan mencari tempat untuk melakukan
niatnya, ia menemukan sebuah lapangan olahraga. Hanya beberapa langkah saja
dari rumah yang ia cari. Bahkan masih bisa terlihat saat ia sudah berada di
sana.
Ada beberapa bangku yang
terbuat dari bangunan semen, Tari menduduki salah satunya. Sesekali tiduran,
sesekali berdiri. Jalan modar mandir, bosan menunggu pagi. Baru juga setengah
jam. Tapi benar, menunggu itu melelahkan. Bahkan melebihi lelahnya bekerja. Itu saja masih jelas waktunya, sampai besok pagi. Tinggal menghitung saja berapa waktu yang dibutuhkan untuk menunggu. Bagaimana kalau tanpa batas waktu? ...
Tari kembali merebahkan
diri. Menghilangkan jenuh, ia ingin memainkan harmonikanya. “Hmm, Jadi ingat
Dian lagi.” Harmonika itu adalah hadiah ulang tahunnya.
“Apa ini, Yan?”
“Kado untukmu. Selamat
ulang tahun, ya …”
Dian melepas sebentar
topi gadis kecil itu, mengacak sedikit rambutnya, lalu mengenakannya kembali.
Senyum Tari mengembang, tapi lantas menghilang. Wajahnya berubah. Menunduk,
sedih.
“Maafin aku, Yan. Ulang
tahunmu kan udah lewat, tapi aku nggak kasih kamu kado.”
“Aku nggak butuh kado
berupa barang. Kalau kamu mau kasih aku kado, cukup ikuti pesanku.”
“Apa itu?”
“Banyak membaca. Baca
dan baca.”
Senyum Tari mengembang
lagi, tapi kali ini senyumnya malu-malu. Hingga tersadar, bahwa ia sedang
senyum-senyum sendiri di bangku lapangan itu.
Alunan lagu “Ku Lihat
Ibu Pertiwi” mulai terdengar. Lagu itu mengingatkan saat mereka bersama …
Suasana komplek yang
sepi, membuat suara harmonika itu terdengar jelas sekali. Menggema, hingga ke
kantor KPP- PRD.
Dian menaiki tangga, menemui Kak Rudi dan Kak Ulfa yang masih sibuk dengan pekerjaannya di Berdikari Online.
Dian menaiki tangga, menemui Kak Rudi dan Kak Ulfa yang masih sibuk dengan pekerjaannya di Berdikari Online.
“Kak Rudi, Kak Ulfa,
maaf ganggu.”
“Ada apa, Dian?” Tanya
Kak Ulfa.
“Kakak dengar suara
harmonika itu nggak?”
Sebentar, Kak Rudi dan
Kak Ulfa menghentikan aktivitasnya. Berkonsentrasi, memasang indra pendengaran
mereka.
“Ya, dengar.” Jawab Kak
Ulfa. Kak Rudi hanya tersenyum, mengangguk.
“Kenapa, Dian?” Tanya
Kak Rudi.
“Enggak. Mau tanya aja.
Kakak tahu nggak, siapa yang biasa main harmonika malam-malam begini?”
“Tidak tahu. Karena
sebelum ini, kami tidak pernah mendengar.” Suara Kak Ulfa lembut,
menjawab.
“Kak, bisa minta tolong
nggak?”
“Apa tuh?” Kak Ulfa
balik bertanya.
“Bisa anterin aku keluar? Aku mau lihat, siapa yang main harmonika itu. Tapi aku takut sendirian.”
“Memangnya kenapa, Dian?
Kok sepertinya kamu gelisah mendengar bunyi harmonika itu?”
“Aku ingat sahabat aku,
kak. Dia suka main alat musik itu. Dan lagu itu, lagu yang paling sering kami
nyanyikan.”
“Lagu Ku Lihat Ibu
Pertiwi?”
Dian hanya menjawab
dengan anggukan. Kak Ulfa memandang Kak Rudi yang terlihat sedang asik
mengetik. Tapi Kak Ulfa yakin, Kak Rudi mendengar pembicaraannya dengan Dian,
sehingga Kak Ulfa cukup memberi kode saja pada Kak Rudi.
Sepasang kekasih yang
selalu kompak berdua kemana-mana itu, akhirnya sepakat mengantarkan Dian. Baru
saja keluar dari pintu, Kak Ucha tiba-tiba datang menyusul dan memberi
informasi. Rupanya dari tadi, Kak Ucha mengikuti perbincangan mereka.
“Ada di lapangan
bunyinya loh.”
“Dari mana kau tahu,
Cha?” Tanya Kak Ulfa.
“Dari lantai dua. Cuma
ndak jelas orangnya.”
Mereka akhirnya
bersama-sama menuju lapangan olahraga yang tak jauh dari kantor mereka.
“Tari. Kamukah itu?”
Tanya Dian dari kejauhan. Dalam remang-remang terlihat, seperti gadis kecil dan
kurus yang ia kenal dulu.
Tari menghentikan
permainan alat musiknya ketika mendengar ada yang memanggil namanya. Ia lalu
bangkit mencari sumber suara.
“Tari.”
“Dian?”
“Ya. Kamu Tari kan?”
“Iya.”
Dian berlari mendekati
gadis kecil itu.
“Tariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
…”
“Diaaaaaaaannn …”
Jari-jari mereka saling
berpagut, mereka berlompat-lompatan. Kak Rudi, Kak Ulfa dan Kak Ucha tertawa
geli menyaksikan pertemuan kedua bocah yang bersahabat itu. Mereka tampak lucu.
Terlihat, betapa sepasang anak jalanan itu saling merindukan.
“Ya sudah, bagaimana
kalau ngobrolnya di dalam saja. Soalnya, kakak masih ada kerjaan.” Kak Rudi
menawarkan usulan.
Semua sepakat. Kak Rudi,
Kak Ulfa dan Kak Ucha naik ke lantai dua melanjutkan pekerjaan mereka. Tinggal
Dian dan Tari di ruang tamu.
“Kok kamu bisa tinggal
di sini, Yan? Gimana ceritanya?”
“Aku ketemu
kakak bertiga itu tadi di lapak Bang Bayu. Mereka itu pecinta buku, pemburu
buku dan kutu buku.”
“Ghaghaghaggg …
julukannya lucuuu …”
“Iya … Gkgkgkgkkk …”
Dian mengimbangi tawa Tari. “Tapi justru itu yang membuat kakak-kakak itu
menjadi pintar, karena punya banyak pengetahuan. Jadi, kamu juga harus bisa
seperti itu, Ri … Aku juga.”
“Emm … trus trus, abis
ketemu ngapain?”
“Mereka ngobrol sama
Bang Bayu. Lalu nanya-nanya aku. Terus, aku diajak kesini dan disekolahin.”
“Emang, kamu sekolah,
Yan?”
“Iya. Di sekolahin sama
partai.”
“Hem … pantes kamu jadi
sombong, nggak mau nemuin aku.” Bibir Tari merengut.
“Siapa bilang? Aku
pernah ke sana waktu liburan. Tapi aku nggak lihat kamu. Aku cari
teman-teman kita, nggak ada. Aku tanya yang lain, jawabnya nggak tau. Aku kira ...
kamu udah kembali ke rumah kamu lagi. Atau ada orang yang memungutmu menjadi
anaknya.” Wajah Dian muram, mengingat kekecewaannya waktu itu.
“Oh ya?”
“He-em. Trus, dari mana
kamu tahu kalau aku ada di sini?”
“Dari ini.” Tari
menunjukkan korannya. “Tapi aku nggak nyangka kalau kamu ada di sini, Yan. Aku
ke sini itu cuma mau tanya orang-orang di rumah ini, kenal kamu apa enggak.”
Dian mengangguk-angguk,
memahami apa yang dimaksud sahabatnya itu.
“Oh ya, kamu udah tahu
belum, Yan, siapa pencipta lagu Ku Lihat Ibu Pertiwi?”
“NN, atau No Name.
Maksudnya, tidak diketahui siapa orangnya.”
“Ada, kok. Lagu itu
asalnya dari hymne Kristen. Judulnya, What a Friend We Have in Jesus. Awalnya
berupa puisi yang ditulis oleh penyair asal Irlandia pada tahun 1855. Namanya,
Joseph M Scriven. Puisinya lalu dijadikan lirik lagu himne Kristen oleh Charles Crozat Converse, komponis asal
Amerika Serikat pada tahun 1868.”
“Tahu dari mana kamu,
Ri?”
“Dari buku.”
“Waow! Hebat! Tari udah
mau baca buku!”
“Enggak juga.”
“Lho. Maksudnya?”
“Kebetulan aja pengen
baca. Kalau nggak pengen, ya enggak.”
“Iiiiihh … kamu ya,
masih bandel kalau disuruh baca. Sini, mana kupingnya, biar aku jewerrr.”
Cepat Tari menutup
telinganya, tapi Dian berusaha melepaskan kedua tangannya. Suasana menjadi
gaduh, karena suara dan tawa mereka menggema hingga ke sudut-sudut ruangan.
“Tari ...”
Suara Kak Ulfa terdengar
dari lantai dua. Seketika hening …
“Hayooo … Kak Ulfa marah.
Kamu sih, berisik. Pakai teriak-teriak lagi.” Kata Dian pelan.
“Ya kamulah. Kan kamu
yang mulai, pakai jewer-jewer kupingku.” Bisik Tari tak mau kalah.
“Tari, kamu tinggal di
sini saja, Tar.”
Suara Kak Ulfa terdengar
lagi. Dian dan Tari saling menatap, heran.
“Iya, Tar. Nanti kamu
bisa sekolah sama Dian.” Kak Rudi ikut bersuara.
Sepasang anak jalanan
itu reflek mendongakkan kepalanya. Ternyata Kak Ulfa, Kak Rudi dan Kak Ucha
sedang berdiri di lantai atas mengamati mereka.
“Sekolah?”
“Iya, Tar. Kamu bisa
sekolah lagi.” Kata Kak Ucha, lalu mengangkat kedua jempolnya.
“Yeeeeeeeee … aku sekolah
lageeeeeeeee …”
Tari melompat
kegirangan. Meraih tangan Dian, ia terus melompat-lompat. Malam itu, menjadi
malam yang terindah sepanjang hidupnya. Sebuah kebahagiaan yang tak pernah ia
rasakan sebelumnya. Seperti berbulan-bulan kemarau yang dibasuh oleh hujan
sehari. Seperti mimpi yang terwujud sempurna. Cicak-cicak berhenti berkejaran,
lukisan-lukisan Ki Suhardi menatap riang. Matanya berbinar,
wajahnya ceria. Dan Kilbong, kucing betina kesayangan Kak Ulfa ikut
tersenyum. Maniiiiisss sekali …
~ The End ~
(Casablanca, 3 September
2013)
Theme Song: (Kulihat Ibu Pertiwi) http://www.youtube.com/watch?v=g-IGapyLK2w&feature=youtu.be
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment