Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Wednesday, September 4, 2013

Cerbung: Cerita Anak - Anak Jalanan (Part 3)


Sejak tadi malam, Jakarta diguyur hujan. Menyisakan gerimis di Subuh hari, dan perlahan mereda. Hingga pukul tujuh pagi, matahari tak juga nampak. Meski begitu, Tari tetap akan melakukan aktivitasnya. Bersiap-siap ngamen, dengan harmonika mini pemberian sahabatnya. Tapi tiba-tiba hujan kembali turun dengan sangat lebatnya. Disertai angin dan guntur, menggelegar selayak dentuman meriam, juga kilatan api yang membuatnya mengurungkan niat. Beberapa ruas jalan mulai tergenang air.


Berteduh di emperan kios penjual koran dan majalah, Tari berharap hujan segera berhenti. Atau paling tidak, tak ada lagi petir dan suara gemuruh yang menakutkannya. Spontan ia mendongak. Matanya mencari-cari sesuatu. Ada yang membuat topinya basah menembus rambut, dan dingin menyentuh kulit kepalanya. Tari merangsek, menghindari bocor di atap luar.


Suasana di dalam, sepi. Hanya ada satu orang ―penjaga kios ―sedang sibuk mengikat beberapa harian surat kabar. “Ah, jadi ingat Dian. Di sini, Dian biasa mampir membaca koran gratis.” Mengamati seluruh isi ruangan, bola matanya berhenti pada hamparan koran dan majalah yang terpajang. “Koran! Majalah! Huuuuffftt …” Teringat lagi pesan Dian yang memintanya untuk banyak membaca. Satu hal yang membuatnya iri. Kenapa ia tak bisa seperti Dian yang suka sekali melahap buku-buku bacaaan, sehingga Dian lebih banyak tahu ketimbang dirinya. Tapi ia juga tak habis pikir. Dian rela menabung hanya untuk membelanjakan uangnya dengan membeli buku dan buku. Meski Dian bisa membaca buku gratis di lapak Bang Bayu, tapi kalau ada buku di luar yang ingin dibacanya, ia terpaksa harus membeli. Dan buku-buku itu, dititipkan pada Bang Bayu.


Iseng, Tari membaca judul di setiap koran dan majalah yang berjajar rapi. Memang begitu kebiasaannya. Hanya membaca judulnya saja yang tertulis besar-besar. Kalau ada yang benar-benar menarik perhatiannya, baru dilihat isinya. Itupun kalau terlalu panjang, pasti tak habis terbaca. Kemampuannya untuk berkonsentrasi membaca sangat terbatas. Tak bisa bertahan lama.


Pernah suatu hari, Dian membawakan buku untuknya. Dengan alasan tak bisa membaca di keramaian, Dian mencarikan lokasi di komplek perumahan yang sepi. Baru tiga puluh menit berlalu, Tari sudah mengeluh.


“Yan, udah ya ... besok aja dilanjut lagi ...”


“Ini kan udah sepi, Ri. Tempat yang tenang buat membaca.”


“Capeeeekkk. Nih, lihat ...” Tari menunjukkan isi bukunya. “Tiga alenia ini yang terakhir aku baca. Tapi baru sadar, ternyata cuma mataku aja yang ngeja tulisannya. Nggak ada pikiranku. Jadi aku nggak tau maksudnya apaaa …” Rengeknya manja.


“Emang pikiranmu di mana, Tariiiii …” Dian menahan kesal.


“Jalan-jalan.”


Seperti tak punya dosa, Tari melemparkan senyumnya. Kali ini matanya yang menatap manja, berharap Dian tak marah.


Kalau saja Dian tahu, sebenarnya Tari juga kesal dengan dirinya sendiri untuk urusan baca membaca. Pikirannya suka loncat-loncatan. Beberapa kali ia harus mengulang satu kalimat saja, hanya karena ia tak tahu apa yang sedang dibacanya. Merasa kesulitan mengembalikan konsentrasinya yang sedang tak di situ. Telinganya lebih peka dari pada matanya. Tari lebih mudah menangkap sesuatu dari apa yang ia dengar. Tari lebih suka diceritai. Sekali ia pernah menyelesaikan satu buku bacaan, senangnya luar biasa. 
“Hah? Ini kan Dian!”


Terkejut dengan mulut menganga dan mata membesar, menyaksikan gambar yang terpampang di sebuah harian Ibukota.


“Ratusan Pendukung PRD Kepung Gedung MK”


Begitu judul yang tertulis di atas gambar. Jantungnya berdetak kencang. Ia yakin benar, bahwa yang tertangkap kamera foto wartawan itu, Dian. Tari masih mengenalinya, meski di atas kepala Dian terikat sebuah kain merah bertuliskan GERAKAN NASIONAL PASAL 33 UUD ‘45.


Tangannya gemetar mencari uang yang terselip di kantong celananya. Segera membayar koran, berlari menerobos hujan, dan buru-buru mencari tempat yang tenang untuk membaca.


***


Beberapa kali Tari kesasar ketika mencari alamat yang ingin dituju. Karena informasi yang kurang akurat, membuatnya kemalaman sampai tujuan. Sudah pukul sembilan malam saat ditemukannya sebuah rumah berlantai tiga, di komplek perumahan elit Jakarta Selatan.  


“Sudah benar kan, ini rumahnya?” Mencocokkan kembali alamat yang tertera pada surat kabar, yang selalu dibawa-bawa. “Ini kan sudah Tebet Dalam. Kalau sebelumnya gang 3A, nah, ini gang 2G. Dan nomornya sama, satu.”


Tari masih ragu. Matanya lantas menyapu halaman depan rumah itu. “Ada dua bendera. Yang satu bendera merah putih, yang satu lagi bendera apa tau!” Dilihatnya lagi foto dalam koran itu. “Ah, di sini gambar benderanya nggak jelas.”


Tapi tiba-tiba matanya membaca tulisan yang menempel di tembok, dekat pintu pagar. “Komite Pimpinan Pusat - Partai Rakyat Demokratik. Hah! Ya! Kalau tulisan itu ada di sini. PRD, kepanjangannya Partai Rakyat Demokratik. Yes! Udah ketemu! Tapi kok sepi ya? Pintunya tertutup dan nggak ada satu orang pun yang keluar. Oh ya, kan udah malam. Ya udah, besok aja deh. Kalau ada yang keluar dari rumah itu, ntar aku tanyain, kenal nggak sama Dian yang kemarin ikut demo? Terus, aku tunjukin deh fotonya di koran ini. Siiip!”


Tak ingin kembali ke terminal, Tari berniat begadang sampai pagi. Sampai besok menemukan orang-orang yang ada di rumah itu. Sambil berjalan-jalan mencari tempat untuk melakukan niatnya, ia menemukan sebuah lapangan olahraga. Hanya beberapa langkah saja dari rumah yang ia cari. Bahkan masih bisa terlihat saat ia sudah berada di sana.


Ada beberapa bangku yang terbuat dari bangunan semen, Tari menduduki salah satunya. Sesekali tiduran, sesekali berdiri. Jalan modar mandir, bosan menunggu pagi. Baru juga setengah jam. Tapi benar, menunggu itu melelahkan. Bahkan melebihi lelahnya bekerja. Itu saja masih jelas waktunya, sampai besok pagi. Tinggal menghitung saja berapa waktu yang dibutuhkan untuk menunggu. Bagaimana kalau tanpa batas waktu? ...


Tari kembali merebahkan diri. Menghilangkan jenuh, ia ingin memainkan harmonikanya. “Hmm, Jadi ingat Dian lagi.” Harmonika itu adalah hadiah ulang tahunnya.


“Apa ini, Yan?”


“Kado untukmu. Selamat ulang tahun, ya …”


Dian melepas sebentar topi gadis kecil itu, mengacak sedikit rambutnya, lalu mengenakannya kembali. Senyum Tari mengembang, tapi lantas menghilang. Wajahnya berubah. Menunduk, sedih.


“Maafin aku, Yan. Ulang tahunmu kan udah lewat, tapi aku nggak kasih kamu kado.”


“Aku nggak butuh kado berupa barang. Kalau kamu mau kasih aku kado, cukup ikuti pesanku.”


“Apa itu?”


“Banyak membaca. Baca dan baca.”


Senyum Tari mengembang lagi, tapi kali ini senyumnya malu-malu. Hingga tersadar, bahwa ia sedang senyum-senyum sendiri di bangku lapangan itu.


Alunan lagu “Ku Lihat Ibu Pertiwi” mulai terdengar. Lagu itu mengingatkan saat mereka bersama …


Suasana komplek yang sepi, membuat suara harmonika itu terdengar jelas sekali. Menggema, hingga ke kantor KPP- PRD. 

Dian menaiki tangga, menemui Kak Rudi dan Kak Ulfa yang masih sibuk dengan pekerjaannya di Berdikari Online.


“Kak Rudi, Kak Ulfa, maaf ganggu.”


“Ada apa, Dian?” Tanya Kak Ulfa.


“Kakak dengar suara harmonika itu nggak?”


Sebentar, Kak Rudi dan Kak Ulfa menghentikan aktivitasnya. Berkonsentrasi, memasang indra pendengaran mereka.


“Ya, dengar.” Jawab Kak Ulfa. Kak Rudi hanya tersenyum, mengangguk.


“Kenapa, Dian?” Tanya Kak Rudi.


“Enggak. Mau tanya aja. Kakak tahu nggak, siapa yang biasa main harmonika malam-malam begini?”


“Tidak tahu. Karena sebelum ini, kami tidak pernah mendengar.” Suara Kak Ulfa lembut,  menjawab.   


“Kak, bisa minta tolong nggak?”


“Apa tuh?” Kak Ulfa balik bertanya.


“Bisa anterin aku keluar? Aku mau lihat, siapa yang main harmonika itu. Tapi aku takut sendirian.”


“Memangnya kenapa, Dian? Kok sepertinya kamu gelisah mendengar bunyi harmonika itu?”


“Aku ingat sahabat aku, kak. Dia suka main alat musik itu. Dan lagu itu, lagu yang paling sering kami nyanyikan.”


“Lagu Ku Lihat Ibu Pertiwi?”


Dian hanya menjawab dengan anggukan. Kak Ulfa memandang Kak Rudi yang terlihat sedang asik mengetik. Tapi Kak Ulfa yakin, Kak Rudi mendengar pembicaraannya dengan Dian, sehingga Kak Ulfa cukup memberi kode saja pada Kak Rudi.


Sepasang kekasih yang selalu kompak berdua kemana-mana itu, akhirnya sepakat mengantarkan Dian. Baru saja keluar dari pintu, Kak Ucha tiba-tiba datang menyusul dan memberi informasi. Rupanya dari tadi, Kak Ucha mengikuti perbincangan mereka.


“Ada di lapangan bunyinya loh.”


“Dari mana kau tahu, Cha?” Tanya Kak Ulfa.


“Dari lantai dua. Cuma ndak jelas orangnya.”


Mereka akhirnya bersama-sama menuju lapangan olahraga yang tak jauh dari kantor mereka.


“Tari. Kamukah itu?” Tanya Dian dari kejauhan. Dalam remang-remang terlihat, seperti gadis kecil dan kurus yang ia kenal dulu.  


Tari menghentikan permainan alat musiknya ketika mendengar ada yang memanggil namanya. Ia lalu bangkit mencari sumber suara.


“Tari.”


“Dian?”


“Ya. Kamu Tari kan?”


“Iya.”


Dian berlari mendekati gadis kecil itu.  


“Tariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii …”


“Diaaaaaaaannn …”


Jari-jari mereka saling berpagut, mereka berlompat-lompatan. Kak Rudi, Kak Ulfa dan Kak Ucha tertawa geli menyaksikan pertemuan kedua bocah yang bersahabat itu. Mereka tampak lucu. Terlihat, betapa sepasang anak jalanan itu saling merindukan.


“Ya sudah, bagaimana kalau ngobrolnya di dalam saja. Soalnya, kakak masih ada kerjaan.” Kak Rudi menawarkan usulan.


Semua sepakat. Kak Rudi, Kak Ulfa dan Kak Ucha naik ke lantai dua melanjutkan pekerjaan mereka. Tinggal Dian dan Tari di ruang tamu.


“Kok kamu bisa tinggal di sini, Yan? Gimana ceritanya?”


“Aku ketemu kakak bertiga itu tadi di lapak Bang Bayu. Mereka itu pecinta buku, pemburu buku dan kutu buku.”


“Ghaghaghaggg … julukannya lucuuu …”


“Iya … Gkgkgkgkkk …” Dian mengimbangi tawa Tari. “Tapi justru itu yang membuat kakak-kakak itu menjadi pintar, karena punya banyak pengetahuan. Jadi, kamu juga harus bisa seperti itu, Ri … Aku juga.”


“Emm … trus trus, abis ketemu ngapain?”


“Mereka ngobrol sama Bang Bayu. Lalu nanya-nanya aku. Terus, aku diajak kesini dan disekolahin.”


“Emang, kamu sekolah, Yan?”


“Iya. Di sekolahin sama partai.”


“Hem … pantes kamu jadi sombong, nggak mau nemuin aku.” Bibir Tari merengut.


“Siapa bilang? Aku pernah ke sana waktu liburan. Tapi aku nggak lihat kamu. Aku cari teman-teman kita, nggak ada. Aku tanya yang lain, jawabnya nggak tau. Aku kira ... kamu udah kembali ke rumah kamu lagi. Atau ada orang yang memungutmu menjadi anaknya.” Wajah Dian muram, mengingat kekecewaannya waktu itu.


“Oh ya?”


“He-em. Trus, dari mana kamu tahu kalau aku ada di sini?”


“Dari ini.” Tari menunjukkan korannya. “Tapi aku nggak nyangka kalau kamu ada di sini, Yan. Aku ke sini itu cuma mau tanya orang-orang di rumah ini, kenal kamu apa enggak.”


Dian mengangguk-angguk, memahami apa yang dimaksud sahabatnya itu.


“Oh ya, kamu udah tahu belum, Yan, siapa pencipta lagu Ku Lihat Ibu Pertiwi?”


“NN, atau No Name. Maksudnya, tidak diketahui siapa orangnya.”


“Ada, kok. Lagu itu asalnya dari hymne Kristen. Judulnya, What a Friend We Have in Jesus. Awalnya berupa puisi yang ditulis oleh penyair asal Irlandia pada tahun 1855. Namanya, Joseph M Scriven. Puisinya lalu dijadikan lirik lagu himne Kristen oleh Charles Crozat Converse, komponis asal Amerika Serikat pada tahun 1868.”


“Tahu dari mana kamu, Ri?”


“Dari buku.”


Waow! Hebat! Tari udah mau baca buku!”


Enggak juga.”


“Lho. Maksudnya?”


Kebetulan aja pengen baca. Kalau nggak pengen, ya enggak.”


“Iiiiihh … kamu ya, masih bandel kalau disuruh baca. Sini, mana kupingnya, biar aku jewerrr.”


Cepat Tari menutup telinganya, tapi Dian berusaha melepaskan kedua tangannya. Suasana menjadi gaduh, karena suara dan tawa mereka menggema hingga ke sudut-sudut ruangan.


“Tari ...”


Suara Kak Ulfa terdengar dari lantai dua. Seketika hening …


“Hayooo … Kak Ulfa marah. Kamu sih, berisik. Pakai teriak-teriak lagi.” Kata Dian pelan.


“Ya kamulah. Kan kamu yang mulai, pakai jewer-jewer kupingku.” Bisik Tari tak mau kalah.


“Tari, kamu tinggal di sini saja, Tar.”


Suara Kak Ulfa terdengar lagi. Dian dan Tari saling menatap, heran.


“Iya, Tar. Nanti kamu bisa sekolah sama Dian.” Kak Rudi ikut bersuara.


Sepasang anak jalanan itu reflek mendongakkan kepalanya. Ternyata Kak Ulfa, Kak Rudi dan Kak Ucha sedang berdiri di lantai atas mengamati mereka.


“Sekolah?”


“Iya, Tar. Kamu bisa sekolah lagi.” Kata Kak Ucha, lalu mengangkat kedua jempolnya.


“Yeeeeeeeee … aku sekolah lageeeeeeeee …”


Tari melompat kegirangan. Meraih tangan Dian, ia terus melompat-lompat. Malam itu, menjadi malam yang terindah sepanjang hidupnya. Sebuah kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Seperti berbulan-bulan kemarau yang dibasuh oleh hujan sehari. Seperti mimpi yang terwujud sempurna. Cicak-cicak berhenti berkejaran, lukisan-lukisan Ki Suhardi menatap riang. Matanya berbinar, wajahnya ceria. Dan Kilbong, kucing betina kesayangan Kak Ulfa ikut  tersenyum. Maniiiiisss sekali …


~ The End ~


(Casablanca, 3 September 2013) 


Theme Song: (Kulihat Ibu Pertiwi) http://www.youtube.com/watch?v=g-IGapyLK2w&feature=youtu.be

Photo Source: Google Images



No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates