Seperti biasa, Zi paling tidak betah melihat gelas atau
piring kotor menumpuk di kitchen sink. Ia berniat mencucinya. Baru saja menuangkan
sabun cair, tiba-tiba ada yang mendekapnya dari belakang. Otaknya
mengidentifikasi dari gesekan tubuhnya, si pendekap seorang lelaki bertubuh
besar. Tenggorokannya mendadak kering, ia tak mampu berteriak. Zi ingin sekali
melihat, siapa yang sudah kurang ajar memeluknya secara paksa. Namun dari sisi
kiri wajahnya terdorong oleh dagu si pendekap hingga lehernya terasa kaku.
Kakinya ingin menendang, tetapi sudah terkunci oleh kedua kaki yang perkasa
itu. Zi tetap meronta, berusaha melepaskan kedua tangannya. Darahnya mendidih,
naik ke ubun-ubun, memenuhi isi kepalanya. Rasanya ia ingin menampar
sekeras-kerasnya. Namun seketika emosinya luruh saat dirasakan ada cairan
hangat yang menetes di pelipis kirinya. Diikuti gerakan perut yang menempel di
punggungnya, mengembang dan mengempis dengan sangat cepat. Seperti orang yang
terisak. Perlahan, dekapan sosok yang misterius itu merenggang. Zi bergerak
cepat memutar kepalanya. Ternyata orang itu Mas Wi. Zi segera menghambur ke
dalam pelukan pria yang sangat dicintainya, larut dalam kedukaan pemuda itu.
Mereka menangis bersama.
"Ma-afkan … aku, Zi ..." Terbata-bata Mas Wi berkata, menahan tangisnya agar tak meledak. Sambil berusaha menata emosinya, perlahan Mas Wi melanjutkan, tetapi Zi buru-buru memotongnya.
"Enggaaaaakkk ... aku nggak mau dengar ituuuuuu ... nggak mauuuuuu ... Mas Wi itu Mas Wi ku! Cuma Mas Wi ku! Cuma Mas Wi kuuuuu huhuhuuuuu ..."
Kali ini Zi mampu mengeluarkan suara sekencang-kencangnya. Berteriak dan terus berteriak tak memberi kesempatan Mas Wi bicara. Tangisnya pecah. Suaranya menggelegar menembus atap rumah hingga ke ujung langit.
"Zi, bangun Zi. Sudah siang. Katanya hari ini kamu mau balik ke markas pusat. Jam berapa keretamu berangkat?"
Suara Neni menyadarkannya. Yang baru dialami hanya mimpi. Pandangannya masih kabur saat menatap angka pada arloji yang tak pernah lepas dari tangannya. Zi membersihkan tai di matanya. Diusap dan diusap lagi, memaksakan pandanganya yang kabur menjadi terang.
Cepat ia melompat dari tempat tidurnya, bergegas menuju
wastafel. Hanya gosok gigi, cuci muka, lalu ganti baju. Zi segera meluncur ke
stasiun setelah menyambar ransel yang sudah disiapkan semalam.
Satu jam lagi keretanya berangkat. Beberapa kali Zi harus berganti angkutan karena ngetem. Memang menyebalkan kalau naik angkutan yang tiba-tiba jadi sepi penumpang. Sopir tak mau rugi sehingga harus berhenti lama untuk memenuhi kembali mobil angkutannya. Sopir juga tak mau tahu, Zi terburu-buru dikejar waktu. Bahkan seringkali sopir tak peduli dengan keselamatan para penumpangnya. Kebut-kebutan, saling mendahului diantara rekannya sendiri demi mengejar setoran hari itu. Uang menjadi lebih berharga dibandingkan nyawa manusia. Shit! Inilah potret negara kapitalis. Negeri para bedebah!
Zi akhirnya sampai ke stasiun yang dituju. Baru saja memasuki halamannya, ia disambut oleh seorang tukang ojeg.
"Baruuu saja, neng. Mau diantar? Saya yakin bisa terkejar di stasiun selanjutnya."
Seorang tukang ojeg menawarkan jasa. Zi langsung setuju dengan harga yang diminta. Baginya tidak ada lagi waktu untuk bernegosiasi atau berpikir bahwa ongkos itu kemahalan. Yang penting uangnya cukup untuk membayar tukang ojeg itu.
Kendaraan roda dua melaju kencang. Meliuk-liuk mencari sela, melewati beberapa kendaraan yang lainnya. Zi berharap-harap cemas. Namun sejak tadi, senyum Mas Wi tak lepas mengikuti. Mengganggu konsentrasinya. Dari angkutan satu ke angkutan yang lain, hingga saat ia berada di atas motor si tukang ojeg. Zi menggeleng-gelengkan kepalanya memejamkan mata. Batinnya menyempatkan bicara. Memohon. Mas Wi, Pleaseeee ... Jangan ganggu aku. Aku sedang paniiiiik ... Ia berharap senyum Mas Wi segera enyah. Tak lagi membayanginya.
"Ayo buruan! Lima menit lagi berangkat!" Teriak penjaga stasiun.
Kereta mulai berjalan pelan, Zi berlari-lari mengejar.
Sebentar saja, ia sudah masuk ke lambungnya.
Lega rasanya, karena usaha yang ia lakukan tak sia-sia.
Perlahan, kendaraan berlokomotif itu meninggalkan stasiun, gedung-gedung tinggi
dan jalanan kota. Berganti dengan persawahan, pepohonan, serta sungai-sungai
yang bening. Alam pedesaan mendinginkan matanya, menentramkan jiwanya dengan
warna hijau yang mendominasi. Di ujung pantai terlihat matahari bersiap membenamkan
diri. Tampak pemandangan langit yang begitu indah, lukisan alam yang
menakjubkan dengan perpaduan warna yang sangat memikat.
Sementara malam mulai datang, kereta berhenti menunggu
kereta eksekutif yang akan lewat. Gerah mulai terasa karena kereta ekonomi
hanya mendapatkan angin saat sedang berjalan. Seorang anak balita menangis di
seberang ―samping tempat duduknya. Si Ibu sudah berusaha memberi angin dengan
mengipas-ngipas, tapi anak itu masih terus menangis. Bahkan tangisnya semangkin
keras terdengar. Zi yang sudah mulai dihinggapi rasa kantuk tak berhasil
memejamkan matanya.
Gadis bermata sipit itu merasa prihatin. Atmanya turut
menangis. Ia tahu, jika si orang tua mampu membeli tiket selain ekonomi, pasti
anaknya tak akan tersiksa karena kegerahan. Paling tidak kelas bisnis. Meski
tanpa AC, gerah tidak terasa, karena tidak sesering dan se-lama kereta ekonomi
saat berhenti.
“Dik … kenapa sih, dik?” Zi mendekat.
“Iya neng, ini kepanasan. Mana keretanya nggak jalan-jalan
lagi.” Jawab si ibu.
“Ditete’in saja sih bu.”
“Sudah, neng. Tapi nggak mau. Malah ngamuk. Ini sih biang
keringat. Bikin badannya jadi gatal-gatal.”
“Oh, panteees ...” Zi tersenyum, lalu kembali ke tempat
duduknya.
Perempuan berkulit putih itu membuang nafasnya. Ada
kegelisahan di dalam batinnya. Ya, itulah … lagi-lagi uang yang mengkotak-kontakkan
manusia. Seperti saat ini. Jika ingin mendapatkan fasilitas dan pelayanan
transportasi ―nyaman atau tidaknya dalam melakukan perjalanan jauh ―lagi-lagi
uang yang bicara.
Menjadi sangat berbeda bagi yang mampu membeli tiket kereta
api kelas eksekutif. Punggung tidak terasa pegal karena bangkunya bisa di setting
untuk rebahan. Jaraknya pun tak terlalu dekat antara bangku yang satu dengan
yang lainnya. Ada meja yang tersembunyi di gagang kursi, bisa digunakan saat
makan dan dilipat kembali saat tak dibutuhkan. Tak perlu kepanasan atau
kegerahan, karena ada AC. Suasananya tenang, karena tak ada satu pun pedagang
yang masuk gerbong. Bahkan bangku seringkali banyak yang kosong. Kereta jalan terus,
hanya berhenti di stasiun besar saja. WC selalu cukup air. Toilet bersih,
aromanya harum, airnya pun bersih. Ada ruang khusus merokok, sehingga tidak
mengganggu penumpang yang lain, termasuk anak-anak. Bantal, selimut, makan
siang atau malam, kopi susu hangat di pagi hari, selalu tersedia. Hanya satu
saja yang kurang atau bahkan terasa hilang. Kebersamaan. Penumpang kereta api
kelas eksekutif cenderung bersifat individualis. Benar-benar menjadi individu
yang terpisah satu sama lain. Terlihat dengan tidak adanya komunikasi meski
mereka duduk bersebelahan.
Kereta sudah mulai berjalan. Sebentar saja suasana di dalam
gerbong sudah berubah. Ada angin yang masuk melalui jendela. Semakin malam
semakin dingin. Zi mulai mengenakan mantelnya.
Tangis si anak balita sudah tak terdengar lagi. Terlihat di
kolong bangku, tertidur pulas bersama ibunya. Tapi rasa kantuk Zi tak lagi
menyerang. Zi memandangi gelap di luar jendela. Ia jadi teringat pertanyaannya
beberapa tahun yang lalu, setiap melihat tetangga di sekitar tempat kost-nya
yang rata-rata kurang beruntung. Dengan pakaian lusuh sehabis mandi, berlomba
menyuapi anaknya setiap sore sambil menggosip. Kebanyakan ibu-ibu di sana
kulitnya legam, terbakar matahari. Dari pagi hingga sore, mereka mengais limbah
pabrik besi yang dibuang ke lapangan depan. Mencari sisa-sisa besi yang menyatu
dengan tanah, lalu dijual pada bang Afis ―pengusaha besi tua.
Apa sebenarnya makna dari sebuah
pernikahan bagi mereka? Hanya sekedar tidur di ranjangkah? Lalu melahirkan anak
agar memiliki generasi? Generasi macam apa?
Angannya terus mengembara. Seperti menembus ruang dan
waktu, menemui sesosok lelaki mantan kekasihnya yang pergi meninggalkannya
―menikah dengan perempuan lain. Peristiwa itu memang sempat membuat sendi-sendi
tulangnya terasa copot. Zi juga sempat meledakkan tangisnya di kamar, dibarengi
suara musik yang diputarnya keras-keras. Tapi sedikit pun itu tak membuatnya
menyesal. Meski pun Zi menyayangi kekasihnya, namun ia belum siap memilikinya.
Zi belum menemukan arti dari pernikahan itu selain hanya tidur di ranjang dan
melahirkan generasi yang tak sehat. Zi memiliki cita-cita, ingin menjadi
perempuan yang mandiri secara financial. Tidak ingin bergantung kepada
orang lain, meski dengan suaminya kelak. Saat itu, ia merasa belum memiliki
kemampuan itu. Hutangnya bertumpuk, sibuk mengurusi adik-adiknya di kampung
yang masih sekolah. Sebab pendidikan di negeri ini sudah diperdagangkan, maka
siapa yang mampu saja yang bisa sekolah. Kecuali berani berhutang seperti
dirinya, sehingga adik-adiknya bisa terus melanjutkan sekolah. Mantan
kekasihnya pun tak jauh beda, hidupnya kembang kempis dari upah
kerjanya. Gaji mereka setali tiga uang, keduanya sama-sama bekerja sebagai
penjaga counter di salah satu mall di Jakarta.
Kereta kembali berhenti. Lagi-lagi menunggu kereta eksekutif
yang akan lewat. Beruntung tidak lama, karena kereta yang ditunggu segera
melintas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Zi melihat sekeliling, semua
penumpang sudah tertidur pulas. Sepi. Tak terdengar lagi obrolan mereka. Hanya
pedagang yang lalu lalang menjajakan barang dagangannya.
“Es jeruk, es teh manis, yang dingin yang dingin. Es-nya,
neng?” Zi menggelengkan kepala.
“Nasinya nasiiiii … nasi goreng, nasi rames, nasi pecel.
Yang mau makan, nasinya nasiiiii ... Makan, mbak?” Zi menolak melalui isyarat
tangannya.
“Yang anget yang anget ... mie instan, kopi susu, kopi jahe,
kopi hitam ... ”
“Baaang … kopiii ...”
Zi memanggil pedagang kopi yang sudah melewati tempat
duduknya. Yang dipanggil berbalik, mendekat.
“Yang mana, neng?”
“Yang ini aja, bang.” Zi menunjuk kopi kesukaannya.
Segelas minuman hangat itu dibawanya ke sambungan kereta.
Tak ada seorang pun di sana. Zi duduk persis di samping pintu setelah memungut
lembaran koran ―bekas dipakai alas tempat duduk. Zi mengeluarkan sebatang
rokok, membakarnya. Dihisap perlahan, lalu di hempaskan dengan penuh perasaan.
Asap putih segera terbang membawa angannya kembali berkelana.
(Casablanca, 12 September 2013)
Theme Song: (Ipang - Tak'kan Ada Gantinya) http://www.youtube.com/watch?v=jvmIUBD7w50
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment