Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Thursday, February 19, 2015

Lahirnya Negara Kekeluargaan (Bagian 2)



Di akhir masa persidangan pertama, Ketua BPUPKI membentuk panitia kecil yang bertugas untuk mengumpulkan usul-usul para anggota yang akan dibahas pada masa sidang berikutnya, 10 – 17 Juli 1945. Panitia kecil yang resmi ini beranggotakan delapan orang yang kemudian disebut ‘Panitia Delapan’ dibawah pimpinan Soekarno. Panitia Delapan ini terdiri dari enam orang wakil golongan kebangsaan, yaitu: Soekarno, Moh. Hatta, M. Yamin, A. Maramis, M. Sutardjo Kartohadikoesoemo dan Oto Iskandardinata. Dan dua orang wakil golongan Islam, yaitu: Ki Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Wachid Hasjim.

Dalam kapasitasnya sebagai ketua panitia kecil di masa reses, Soekarno melakukan berbagai inisiatif yang menurut pengakuannya sendiri, di luar kerangka formalitas. Dia memanfaatkan masa persidangan Chuo Sangi In VIII (18 -21 Juni) di Jakarta untuk mengadakan pertemuan yang terkait dengan tugas panitia kecil. Sebanyak 47 orang diundang untuk menghadiri pertemuan (32 anggota Chuo Sangi In yang merangkap anggota BPUPKI, ditambah 15 orang anggota BPUPKI yang bukan anggota Chuo, tetapi tinggal di Jakarta). Selama pertemuan yang ternyata hanya dihadiri oleh 38 orang tersebut, panitia kecil dapat mengumpulkan dan memeriksa usul-usul dari 40 lin menyangkut beberapa masalah yang dapat digolongkan ke dalam 9 kategori, yaitu:
1.       Indonesia merdeka selekas-selekasnya
2.       Dasar (Negara)
3.       Bentuk Negara Uni atau Federasi
4.       Daerah Negara Indonesia
5.       Badan Perwakilan Rakyat
6.       Bentuk Negara dan kepala Negara
7.       Soal pembelaan
8.       Soal keuangan

Khusus mengenai dasar Negara, usul-usul yang dapat dikumpulkan secara garis besarnya bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
1.       Kebangsaan dan Ketuhanan, diusulkan oleh 11 lin
2.       Kebangsaan dan Kerakyatan, diusulkan oleh 2 lin
3.       Kebangsaan, Kerakyatan dan Ketuhanan, diusulkan oleh 3 lin
4.       Kebangsaan, Kerakyatan dan Kekeluargaan, diusulkan oleh 4 lin
5.       Kemakmuran hidup bersama, kemajuan kerohanian dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Agama Negara ialah agama Islam, diusulkan oleh 1 lin
6.       Kebangsaan, Kerakyatan dan Islam, diusulkan oleh 3 lin
7.       Jiwa Asia Timur Raya, diusulkan oleh 4 lin

Soekarno menyadari bahwa kegiatan pertemuan dan rumusan-rumusan yang dihasilkannya itu melanggar formalitas. Bukan saja tempat dan mekanismenya yang tidak resmi, tetapi juga melampaui kewenangannya.

Di akhir pertemuan tersebut, Soekarno juga mengambil inisiatif informal lainnya dengan membentuk Panitia Kecil (tidak resmi) yang beranggotakan sembilan orang yang selanjutnya disebut ‘Panitia Sembilan’. Panitia ini bertugas untuk menyusun rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang di dalamnya termuat dasar Negara.

Karena penghormatan Soekarno pada golongan Islam, komposisi Panitia Sembilan ini lebih seimbang daripada Panitia Delapan (bentukan resmi BPUPKI), sehingga terdapat dua golongan, yaitu: golongan kebangsaan dan golongan Islam.

Wakil golongan kebangsaan ada lima orang termasuk Soekarno sebagai penengah, terdiri dari:
1.       Soekarno (ketua)
2.       Mohammad Hatta
3.       Muhammad Yamin
4.       A.A. Maramis
5.       Soebardjo

Wakil golongan Islam ada empat orang, terdiri dari:
1.       K.H. Wachid Hasjim
2.       K.H. Kahar Moezakir
3.       H. Agoes Salim
4.       R. Abikusno Tjokrosoejoso

Ki Bagoes Hadikusumo tidak menjadi bagian dari panitia ini karena (kemungkinan) pulang ke Yogyakarta sebelum pembentukan Panitia Sembilan. Dan sidang ini tetap dilangsungkan meski jumlah wakil golongan Islam di BPUPKI maupun dalam pertemuan ini kurang dari 25% total anggota/peserta pertemuan.

Dengan komposisi yang relatif seimbang antara golongan tersebut, panitia ini berhasil merumuskan dan menyetujui rancangan Pembukaan UUD yang kemudian ditandatangani oleh setiap anggota Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945. Oleh Soekarno, rancangan Pembukaan UUD ini diberi nama ‘Mukadimah’. Oleh M. Yamin dinamakan ‘Piagam Jakarta’, dan oleh Sukiman Wirjosandjojo disebut Gentlemen’s Agreement.

Pembentukan ‘Panitia Kecil’ yang illegal ini oleh Ichibangase Yosio dianggap pembangkangan, tetapi Jepang tidak bisa berbuat apa-apa karena Amerika Serikat telah menduduki Okinawa yang sangat dekat denganTokyo.

Hingga menjelang akhir penjajahan Jepang, pengelompokan kekuatan politik utama pada garis besarnya terbelah ke dalam apa yang lazim disebut golongan kebangsaan dan golongan Islam. Penyebutan itu, meski bersifat semena-mena karena golongan Islam pun merasa tidak kalah nasionalisnya, memang lazim digunakan pada saat itu. Tetapi sebagian penulis seperti Endang Saifuddin Anshari menghindari penggunaan istilah tersebut, lalu menggantinya menjadi golongan ‘nasionalis sekuler versus nasionalis Islam’. Pada akhir zaman Jepang (28 Juli 1945), kedua badan itu dipersatukan ke dalam Gerakan Rakyat Baru, tetapi nuansa perbedaan pandangan antara kedua golongan itu tetap bertahan.

Golongan kebangsaan tergabung dalam Djawa Hkkai, sedangkan golongan Islam tergabung dalam Masjumi:
-          Karena memburuknya kondisi ekonomi Jawa dan moral rakyat, Gunseikan (kepala pemerintahan militer) Jepang merasa perlu untuk membentuk sebuah organisasi baru yang bisa mereka kontrol secara efektif. Pada tanggal 1 Maret 1944, didirikan sebuah organisasi yang bernama ‘Perhimpunan Kebaktian Rakyat’ yang secara umum dikenal dengan nama Jepangnya ‘Djawa Hkkai’. Dibentuk dengan tujuan untuk memobilisasi massa, khususnya kekuatan golongan nasionalis, Hkkai berada di bawah tanggung jawab langsung Gunseikan. Soekarno merupakan ketua simbolik dari organisasi ini. 

-          Majilis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) didirikan pada November 1943 sebagai federasi yang menghimpun kekuatan golongan Islam. Federasi ini pada awalnya didirikan oleh perhimpunan-perhimpunan yang memiliki status legal dan diketuai secara simbolik oleh pemimpin kalangan tradisionalis yang terkemuka, Hasjim Asj’ari. Pada saat Masjumi berdiri, status legal diberikan hanya kepada Muhammadiyah dan NU, dan federasi yang baru ini memang anggotanya terutama berasal dari kedua organisasi tersebut. Namun dalam perkembangan lebih jauh, kyai dan ulama secara individual bisa menjadi anggota Masjumi dengan persetujuan ‘Shumubu’ yang mengontrol federasi baru tersebut.

Kedua golongan ini sepakat dalam memandang pentingnya nilai-nilai Ketuhanan dalam Negara Indonesia merdeka, namun berselisih mengenai hubungan Negara dan agama. Hal ini tercermin dalam perdebatan-perdebatan yang berlangsung pada persidangan BPUPKI yang diketuai oleh Radjiman Wediodiningrat.

Golongan Islam berpandangan, bahwa ‘Negara’ tidak bisa dipisahkan dengan ‘agama’. Sedangkan golongan kebangsaan berpandangan, bahwa Negara hendaknya ‘netral’ terhadap agama. Namun demikian, di dalam masing-masing golongan ini pun terdapat perbedaan pandangan; tidak semua golongan Islam menghendaki penyatuan sepenuhnya antara agama dan Negara (Negara Islam), pun tidak semua golongan kebangsaan menghendaki adanya pemisahan antara urusan Negara dan urusan agama.

Meskipun seorang Muslim yang taat beribadah, pada sidang BPUPKI (30 Mei 1945) dengan tegas Hatta menyatakan perlunya pemisahan urusan agama dan Negara. Dalam pidatonya kemudian Hatta melancarkan kritik, bahwa kebanyakan argumen tidak mampu melepaskan pandangannya dari bayang-bayang persoalan ‘Kerk en Staat’ (gereja dan Negara) sebagaimana yang didapati dalam sejarah hukum negara-negara Barat. Pengaruh bayang-bayang itu memunculkan kelatahan seakan-akan Indonesia pun menghadapi persoalan apakah mesti atau menolak diadakan pemisahan antara ‘Islam dan Negara’. Menurut penilaiannya: Pandangan ini salah, karena perhubungan ‘Kerk en Staat’ berlainan dengan perhubungan ‘Islam dan Negara’. ‘Kerk’ juga ‘Staat’ pada asalnya mempunyai organisasi dari atas ke bawah yang menguasai hidup orang banyak. Kalau ada pertentangan antara ‘Staat’ sebagai Negara dengan ‘Staat’ sebagai ‘Kerk’ yang kedua-duanya mau berkuasa atas umat yang sama, itu tidak mengherankan. Tetapi antara Islam dan Negara tidak ada pertentangan, oleh karena Islam adalah agama, pimpinan jiwa, dan bukan Negara. Paling jauh boleh dikatakan dengan ucapan agak paradoxal, bahwa ‘Islam adalah masyarakat’. Ia mempunyai lingkungannya dalam masyarakat, tetapi ia tidak mempunyai organisasi seperti gereja, sebab itu ia bukan ‘Staat’.

Lebih lanjut Hatta mengemukakan, bahwa dalam ajaran Islam memang tidak dikenal pemisahan atau pertentangan antara agama (sebagai gereja) dengan Negara, karena Islam memang tidak mengenal kependetaan. Paling-paling pertentangan terjadi dalam perjuangan memperebutkan jabatan kepala Negara. Meski agama dan Negara tidak terpisah, otomatis Negara dan otoritas agama dalam Islam bisa dibedakan. Kenyataan empiris menunjukkan bahwa khalif setelah Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) bukanlah kepala agama, melainkan semata-mata kepala negara untuk mengembangkan urusan dunia. Dengan pemindahan pusat kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus, terjadilah pemisahan antara urusan agama yang tinggal di Madinah dan urusan dunia yang berpusat di Syiria, meskipun memang khalif kerapkali menggunakan agama sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan. Lantas dia simpulkan, bahwa dalam menciptakan Negara baru bagi Indonesia, kita tidak akan mendirikan Negara dengan dasar perpisahan antara agama dan Negara, melainkan kita akan mendirikan Negara modern di atas dasar perpisahan antara urusan agama dengan urusan Negara. Kalau urusan agama juga dipegang oleh Negara, maka agama menjadi perkakas Negara, dan dengan itu hilang sifatnya yang murni.

Soekarno, sebagai pemimpin berlatar pendidikan Barat yang mempunyai keterpautan historis dengan organisasi-organisasi Islam dan menghormati para ulama, mencoba menjembatani kesenjangan antara kedua kutub tersebut dalam desain institusional. Dalam giliran pidatonya (1 Juni) ketika menguraikan apa yang disebutnya sebagai ‘philosofische gronslag’, dia tidak mendukung gagasan Islam sebagai dasar Negara, tetapi memberi peluang bagi golongan Islam untuk mengorganisasikan diri secara politik yang akan memengaruhi keputusan-keputusan politik di lembaga perwakilan. “Jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Lebih dari itu, salah satu prinsip dari lima filosofi dasar Negara yang disebutnya Pancasila adalah prinsip ‘Ketuhanan’ yang dia letakkan dalam sila kelima……

Dalam uraiannya mengenai prinsip Ketuhanan, Soekarno berkata, “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!”

Sebagian golongan Islam berkeberatan dengan peletakan prinsip Ketuhanan pada sila terakhir karena memandang urutan itu dalam skala prioritas. Namun demikian, seperti dijelaskan belakangan oleh Roeslan Abdoelgani, urutan sila-sila dalam pidato Soekarno itu hanyalah mengikuti sistematik penjelasan saja. Malahan menurutnya, penyebutan dalam bagian akhir itu hendaknya diartikan sebagai sesuatu yang mengunci di dalam kekuasaan keempat dasar sebelumnya. Namakanlah sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu ‘urat tunggangnya Pancasila’. Demikian juga seperti yang dikatakan oleh Soekarno dalam pidatonya, bahwa urutan-urutan itu hanya kebiasaan saja, tidak prinsipiil.

Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) mencerminkan usaha yang kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan. Titik temu antara kedua golongan tersebut diikat pada alinea ketiga: ‘Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas …..’ Alinea ini mencerminkan pandangan golongan kebangsaan —yang menitikberatkan kehidupan kebangsaan yang bebas, dan golongan Islam —yang melandaskan perjuangannya atas rahmat Allah.

Menurut Muhammad Yamin, dengan menyebut ‘Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’, Konstitusi Republik Indonesia berlindung kepada Allah dan dengan itu maka syarat agama dipenuhi dan rakyat pun tentu menimbulkan perasaan yang baik terhadap hukum dasar ini.

Ujung kompromi bermuara pada alinea terakhir yang mengandung rumusan dasar Negara berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila. Islam tidak dijadikan dasar Negara (dan agama Negara), tetapi terjadi perubahan dalam tata urut Pancasila dari susunan yang dikemukakan Soekarno pada 1 Juni. Prinsip ‘Ketuhanan’ dipindah dari sila terakhir ke sila pertama, ditambah dengan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (kemudian dikenal dengan istilah ‘tujuh kata’).

Setelah mengalami penyempurnaan redaksi, perubahan posisi prinsip Pancasila menjadi seperti ini:
1.       Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.       Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3.       Persatuan Indonesia
4.       Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5.       Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Menurut Mohammad Hatta, dengan perubahan posisi —prinsip ketuhanan dari posisi pengunci ke posisi pembuka, ideologi Negara tidak berubah karenanya, melainkan Negara memperkokoh fundamennya, negara dan politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Dengan demikian, fundamen moral menjadi landasan dari fundamen politik (dari sila kedua sampai dengan lima). Semangat gotong royong (kekeluargaan) sebagai sifat dasar manusia Indonesia yang disebutkan oleh Soekarno, tercermin dalam penerimaan ini, juga terefleksikan dalam proses perumusan hukum dasar (batang tubuh UUD).


(Bersambung)

Photo Source: Google Images


No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates