Di akhir masa persidangan pertama, Ketua BPUPKI membentuk
panitia kecil yang bertugas untuk mengumpulkan usul-usul para anggota yang akan
dibahas pada masa sidang berikutnya, 10 – 17 Juli 1945. Panitia kecil yang
resmi ini beranggotakan delapan orang yang kemudian disebut ‘Panitia Delapan’
dibawah pimpinan Soekarno. Panitia Delapan ini terdiri dari enam orang wakil
golongan kebangsaan, yaitu: Soekarno, Moh. Hatta, M. Yamin, A. Maramis, M. Sutardjo
Kartohadikoesoemo dan Oto Iskandardinata. Dan dua orang wakil golongan Islam,
yaitu: Ki Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Wachid Hasjim.
Dalam kapasitasnya sebagai ketua panitia kecil di masa reses,
Soekarno melakukan berbagai inisiatif yang menurut pengakuannya sendiri, di
luar kerangka formalitas. Dia memanfaatkan masa persidangan Chuo Sangi In VIII
(18 -21 Juni) di Jakarta untuk mengadakan pertemuan yang terkait dengan tugas
panitia kecil. Sebanyak 47 orang diundang untuk menghadiri pertemuan (32
anggota Chuo Sangi In yang merangkap anggota BPUPKI, ditambah 15 orang anggota
BPUPKI yang bukan anggota Chuo, tetapi tinggal di Jakarta). Selama pertemuan
yang ternyata hanya dihadiri oleh 38 orang tersebut, panitia kecil dapat
mengumpulkan dan memeriksa usul-usul dari 40 lin menyangkut beberapa masalah
yang dapat digolongkan ke dalam 9 kategori, yaitu:
1.
Indonesia merdeka selekas-selekasnya
2.
Dasar (Negara)
3.
Bentuk Negara Uni atau Federasi
4.
Daerah Negara Indonesia
5.
Badan Perwakilan Rakyat
6.
Bentuk Negara dan kepala Negara
7.
Soal pembelaan
8.
Soal keuangan
Khusus mengenai dasar Negara, usul-usul yang dapat
dikumpulkan secara garis besarnya bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Kebangsaan dan Ketuhanan, diusulkan oleh 11 lin
2.
Kebangsaan dan Kerakyatan, diusulkan oleh 2 lin
3.
Kebangsaan, Kerakyatan dan Ketuhanan, diusulkan
oleh 3 lin
4.
Kebangsaan, Kerakyatan dan Kekeluargaan,
diusulkan oleh 4 lin
5.
Kemakmuran hidup bersama, kemajuan kerohanian
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Agama Negara ialah agama Islam,
diusulkan oleh 1 lin
6.
Kebangsaan, Kerakyatan dan Islam, diusulkan oleh
3 lin
7.
Jiwa Asia Timur Raya, diusulkan oleh 4 lin
Soekarno menyadari bahwa kegiatan pertemuan dan
rumusan-rumusan yang dihasilkannya itu melanggar formalitas. Bukan saja tempat
dan mekanismenya yang tidak resmi, tetapi juga melampaui kewenangannya.
Di akhir pertemuan tersebut, Soekarno juga mengambil
inisiatif informal lainnya dengan membentuk Panitia Kecil (tidak resmi) yang
beranggotakan sembilan orang yang selanjutnya disebut ‘Panitia Sembilan’.
Panitia ini bertugas untuk menyusun rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia yang di dalamnya termuat dasar Negara.
Karena penghormatan Soekarno pada golongan Islam, komposisi
Panitia Sembilan ini lebih seimbang daripada Panitia Delapan (bentukan resmi
BPUPKI), sehingga terdapat dua golongan, yaitu: golongan kebangsaan dan
golongan Islam.
Wakil golongan kebangsaan ada lima orang termasuk
Soekarno sebagai penengah, terdiri dari:
1.
Soekarno (ketua)
2.
Mohammad Hatta
3.
Muhammad Yamin
4.
A.A. Maramis
5.
Soebardjo
Wakil golongan Islam ada empat orang, terdiri dari:
1.
K.H. Wachid Hasjim
2.
K.H. Kahar Moezakir
3.
H. Agoes Salim
4.
R. Abikusno Tjokrosoejoso
Ki Bagoes Hadikusumo tidak menjadi bagian dari panitia
ini karena (kemungkinan) pulang ke Yogyakarta sebelum pembentukan Panitia
Sembilan. Dan sidang ini tetap dilangsungkan meski jumlah wakil golongan Islam
di BPUPKI maupun dalam pertemuan ini kurang dari 25% total anggota/peserta
pertemuan.
Dengan komposisi yang relatif seimbang antara golongan
tersebut, panitia ini berhasil merumuskan dan menyetujui rancangan Pembukaan
UUD yang kemudian ditandatangani oleh setiap anggota Panitia Sembilan pada 22
Juni 1945. Oleh Soekarno, rancangan Pembukaan UUD ini diberi nama ‘Mukadimah’.
Oleh M. Yamin dinamakan ‘Piagam Jakarta’, dan oleh Sukiman Wirjosandjojo disebut
Gentlemen’s Agreement.
Pembentukan ‘Panitia Kecil’ yang illegal ini oleh
Ichibangase Yosio dianggap pembangkangan, tetapi Jepang tidak bisa berbuat
apa-apa karena Amerika Serikat telah menduduki Okinawa yang sangat dekat denganTokyo.
Hingga menjelang akhir penjajahan Jepang, pengelompokan
kekuatan politik utama pada garis besarnya terbelah ke dalam apa yang lazim
disebut golongan kebangsaan dan golongan Islam. Penyebutan itu, meski bersifat
semena-mena karena golongan Islam pun merasa tidak kalah nasionalisnya, memang
lazim digunakan pada saat itu. Tetapi sebagian penulis seperti Endang Saifuddin
Anshari menghindari penggunaan istilah tersebut, lalu menggantinya menjadi
golongan ‘nasionalis sekuler versus nasionalis Islam’. Pada akhir zaman Jepang
(28 Juli 1945), kedua badan itu dipersatukan ke dalam Gerakan Rakyat Baru,
tetapi nuansa perbedaan pandangan antara kedua golongan itu tetap bertahan.
Golongan kebangsaan tergabung dalam Djawa Hὀkὀkai,
sedangkan golongan Islam tergabung dalam Masjumi:
-
Karena memburuknya kondisi ekonomi Jawa dan
moral rakyat, Gunseikan (kepala pemerintahan militer) Jepang merasa perlu untuk
membentuk sebuah organisasi baru yang bisa mereka kontrol secara efektif. Pada
tanggal 1 Maret 1944, didirikan sebuah organisasi yang bernama ‘Perhimpunan
Kebaktian Rakyat’ yang secara umum dikenal dengan nama Jepangnya ‘Djawa Hὀkὀkai’.
Dibentuk dengan tujuan untuk memobilisasi massa, khususnya kekuatan golongan
nasionalis, Hὀkὀkai berada di bawah tanggung jawab langsung Gunseikan.
Soekarno merupakan ketua simbolik dari organisasi ini.
-
Majilis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi)
didirikan pada November 1943 sebagai federasi yang menghimpun kekuatan golongan
Islam. Federasi ini pada awalnya didirikan oleh perhimpunan-perhimpunan yang
memiliki status legal dan diketuai secara simbolik oleh pemimpin kalangan
tradisionalis yang terkemuka, Hasjim Asj’ari. Pada saat Masjumi berdiri, status
legal diberikan hanya kepada Muhammadiyah dan NU, dan federasi yang baru ini
memang anggotanya terutama berasal dari kedua organisasi tersebut. Namun dalam
perkembangan lebih jauh, kyai dan ulama secara individual bisa menjadi anggota
Masjumi dengan persetujuan ‘Shumubu’ yang mengontrol federasi baru tersebut.
Kedua golongan ini sepakat dalam memandang pentingnya
nilai-nilai Ketuhanan dalam Negara Indonesia merdeka, namun berselisih mengenai
hubungan Negara dan agama. Hal ini tercermin dalam perdebatan-perdebatan yang
berlangsung pada persidangan BPUPKI yang diketuai oleh Radjiman Wediodiningrat.
Golongan Islam berpandangan, bahwa ‘Negara’ tidak bisa
dipisahkan dengan ‘agama’. Sedangkan golongan kebangsaan berpandangan, bahwa Negara
hendaknya ‘netral’ terhadap agama. Namun demikian, di dalam masing-masing
golongan ini pun terdapat perbedaan pandangan; tidak semua golongan Islam
menghendaki penyatuan sepenuhnya antara agama dan Negara (Negara Islam), pun
tidak semua golongan kebangsaan menghendaki adanya pemisahan antara urusan Negara
dan urusan agama.
Meskipun seorang Muslim yang taat beribadah, pada sidang
BPUPKI (30 Mei 1945) dengan tegas Hatta menyatakan perlunya pemisahan urusan
agama dan Negara. Dalam pidatonya kemudian Hatta melancarkan kritik, bahwa
kebanyakan argumen tidak mampu melepaskan pandangannya dari bayang-bayang
persoalan ‘Kerk en Staat’ (gereja dan Negara) sebagaimana yang didapati dalam
sejarah hukum negara-negara Barat. Pengaruh bayang-bayang itu memunculkan
kelatahan seakan-akan Indonesia pun menghadapi persoalan apakah mesti atau menolak
diadakan pemisahan antara ‘Islam dan Negara’. Menurut penilaiannya: Pandangan
ini salah, karena perhubungan ‘Kerk en Staat’ berlainan dengan perhubungan
‘Islam dan Negara’. ‘Kerk’ juga ‘Staat’ pada asalnya mempunyai organisasi dari
atas ke bawah yang menguasai hidup orang banyak. Kalau ada pertentangan antara
‘Staat’ sebagai Negara dengan ‘Staat’ sebagai ‘Kerk’ yang kedua-duanya mau
berkuasa atas umat yang sama, itu tidak mengherankan. Tetapi antara Islam dan Negara
tidak ada pertentangan, oleh karena Islam adalah agama, pimpinan jiwa, dan bukan
Negara. Paling jauh boleh dikatakan dengan ucapan agak paradoxal, bahwa ‘Islam
adalah masyarakat’. Ia mempunyai lingkungannya dalam masyarakat, tetapi ia
tidak mempunyai organisasi seperti gereja, sebab itu ia bukan ‘Staat’.
Lebih lanjut Hatta mengemukakan, bahwa dalam ajaran Islam
memang tidak dikenal pemisahan atau pertentangan antara agama (sebagai gereja)
dengan Negara, karena Islam memang tidak mengenal kependetaan. Paling-paling
pertentangan terjadi dalam perjuangan memperebutkan jabatan kepala Negara.
Meski agama dan Negara tidak terpisah, otomatis Negara dan otoritas agama dalam
Islam bisa dibedakan. Kenyataan empiris menunjukkan bahwa khalif setelah
Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) bukanlah kepala agama,
melainkan semata-mata kepala negara untuk mengembangkan urusan dunia. Dengan
pemindahan pusat kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus, terjadilah pemisahan
antara urusan agama yang tinggal di Madinah dan urusan dunia yang berpusat di
Syiria, meskipun memang khalif kerapkali menggunakan agama sebagai alat
legitimasi bagi kekuasaan. Lantas dia simpulkan, bahwa dalam menciptakan Negara
baru bagi Indonesia, kita tidak akan mendirikan Negara dengan dasar perpisahan
antara agama dan Negara, melainkan kita akan mendirikan Negara modern di atas
dasar perpisahan antara urusan agama dengan urusan Negara. Kalau urusan agama
juga dipegang oleh Negara, maka agama menjadi perkakas Negara, dan dengan itu
hilang sifatnya yang murni.
Soekarno, sebagai pemimpin berlatar pendidikan Barat yang
mempunyai keterpautan historis dengan organisasi-organisasi Islam dan
menghormati para ulama, mencoba menjembatani kesenjangan antara kedua kutub
tersebut dalam desain institusional. Dalam giliran pidatonya (1 Juni) ketika
menguraikan apa yang disebutnya sebagai ‘philosofische gronslag’, dia tidak
mendukung gagasan Islam sebagai dasar Negara, tetapi memberi peluang bagi
golongan Islam untuk mengorganisasikan diri secara politik yang akan
memengaruhi keputusan-keputusan politik di lembaga perwakilan. “Jikalau memang
Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah
kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan
sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Lebih dari
itu, salah satu prinsip dari lima filosofi dasar Negara yang disebutnya
Pancasila adalah prinsip ‘Ketuhanan’ yang dia letakkan dalam sila kelima……
Dalam uraiannya mengenai prinsip Ketuhanan, Soekarno
berkata, “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan
menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW,
orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi
marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap
rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada
‘egoisme-agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!”
Sebagian golongan Islam berkeberatan dengan peletakan
prinsip Ketuhanan pada sila terakhir karena memandang urutan itu dalam skala
prioritas. Namun demikian, seperti dijelaskan belakangan oleh Roeslan
Abdoelgani, urutan sila-sila dalam pidato Soekarno itu hanyalah mengikuti
sistematik penjelasan saja. Malahan menurutnya, penyebutan dalam bagian akhir
itu hendaknya diartikan sebagai sesuatu yang mengunci di dalam kekuasaan
keempat dasar sebelumnya. Namakanlah sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu ‘urat
tunggangnya Pancasila’. Demikian juga seperti yang dikatakan oleh Soekarno
dalam pidatonya, bahwa urutan-urutan itu hanya kebiasaan saja, tidak
prinsipiil.
Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) mencerminkan usaha yang
kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan. Titik temu antara kedua golongan
tersebut diikat pada alinea ketiga: ‘Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa
dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas …..’ Alinea ini mencerminkan pandangan golongan kebangsaan —yang
menitikberatkan kehidupan kebangsaan yang bebas, dan golongan Islam —yang
melandaskan perjuangannya atas rahmat Allah.
Menurut Muhammad Yamin, dengan menyebut ‘Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa’, Konstitusi Republik Indonesia berlindung kepada
Allah dan dengan itu maka syarat agama dipenuhi dan rakyat pun tentu
menimbulkan perasaan yang baik terhadap hukum dasar ini.
Ujung kompromi bermuara pada alinea terakhir yang
mengandung rumusan dasar Negara berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila. Islam
tidak dijadikan dasar Negara (dan agama Negara), tetapi terjadi perubahan dalam
tata urut Pancasila dari susunan yang dikemukakan Soekarno pada 1 Juni. Prinsip
‘Ketuhanan’ dipindah dari sila terakhir ke sila pertama, ditambah dengan anak
kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
(kemudian dikenal dengan istilah ‘tujuh kata’).
Setelah mengalami penyempurnaan redaksi, perubahan posisi
prinsip Pancasila menjadi seperti ini:
1.
Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3.
Persatuan Indonesia
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Menurut Mohammad Hatta, dengan perubahan posisi —prinsip
ketuhanan dari posisi pengunci ke posisi pembuka, ideologi Negara tidak berubah
karenanya, melainkan Negara memperkokoh fundamennya, negara dan politik negara
mendapat dasar moral yang kuat. Dengan demikian, fundamen moral menjadi
landasan dari fundamen politik (dari sila kedua sampai dengan lima). Semangat
gotong royong (kekeluargaan) sebagai sifat dasar manusia Indonesia yang
disebutkan oleh Soekarno, tercermin dalam penerimaan ini, juga terefleksikan
dalam proses perumusan hukum dasar (batang tubuh UUD).
(Bersambung)
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment