Pada hari kedua masa persidangan kedua BPUPKI (11 Juli),
Radjiman Wediodiningrat selaku Ketua BPUPKI membentuk tiga kelompok panitia:
1.
Panitia perancang hukum dasar (diketuai oleh
Soekarno)
2.
Panitia perancang keuangan (diketuai oleh
Mohammad Hatta)
3.
Panitia perancang pembelaan tanah air (diketuai
oleh Abikoesno Tjokrosoejoso)
Sebelumnya, hasil rumusan Piagam Jakarta mendapat respon
yang tajam dari Latuharhary. Dalam tanggapannya pada 11 Juli, dia menyatakan
keberatan atas pencantuman ‘tujuh kata’. Tanggapan itu merangsang pro-kontra
menyangkut pasal-pasal ikutannya, seperti ‘agama Negara’ dan ‘syarat agama
seorang presiden’ yang nyaris membawa sidang ke jalan buntu. Dalam
pandangannya:
“Akibatnya akan sangat besar sekali, umpamanya terhadap
agama lain. Maka dari itu, saya harap supaya dalam hukum dasar, meskipun ini
terlalu berat sementara waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih
atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa-rupa macam. Saya usulkan
supaya dalam hukum dasar diadakan pasal 1 yang terang supaya tidak ada
kemungkinan apa pun juga yang dapat membawa perasaan tidak senang pada golongan
yang bersangkutan.”
Berkat kewibawaan Soekarno, untuk sementara waktu
kemacetan itu bisa diatasi. Namun di luar persoalan tujuh kata, prinsip
Ketuhanan yang dipindah dari sila terakhir menjadi menjadi sila pertama
disetujui oleh seluruh anggota BPUPK. Selain itu, mereka juga menerima
pokok-pokok pikiran dalam rancangan Pembukaan UUD 1945 yang disepakati pada 11
Juli 1945.
Pada perkembangannya, panitia perancang hukum dasar yang
diketuai oleh Soekarno membentuk panitia kecil yang bertugas untuk merumuskan
rancangan UUD. Mereka yang ditunjuk oleh Soekarno sebagai anggota panitia kecil
ini adalah: Wongsonagoro, Soebardjo, Maramis, Soepomo, Soekiman dan Agoes
Salim. Atas usul Wonsonagoro, Soepomo menjadi ketua. Penunjukkan Soepomo
mencerminkan kualitasnya sebagai ahli hukum, karena ia adalah seorang sarjana
yang cemerlang, yang meraih gelar Doktor dari Universitas Leiden dalam bidang hukum
pada 1927 dengan predikat ‘cum laude’ dan merupakan orang kedua yang mendapatkan
gelar profesor pada zaman Hindia Belanda tahun 1942. Selain itu, dia juga
memiliki pengalaman keterlibatan dalam komisi ketatanegaraan (Komisi Visman)
yang dibentuk pada 14 September 1940 untuk merespon aspirasi kalangan
pergerakan, seperti menuntut agar Indonesia mempunyai parlemen sendiri dengan
semboyan ‘Indonesia Berparlemen’. Lebih dari itu, Soepomo bersama Soebardjo dan
Maramis sejak 4 April 1942 bahkan telah menyusun rancangan UUD Indonesia
Merdeka.
Dalam membuat rancangannya, Panitia Kecil mendasarkan
susunannya pada apa yang disebut Soepomo sebagai ‘sistematik Negara
kekeluargaan’. Dengan demikian, jika dasar dari semua sila Pancasila adalah
gotong royong, maka dasar dari semangat dan sistematik penyusunan UUD pun
senafas dengan itu, yakni ‘kekeluargaan’. Dalam arus besar semangat dan
konsepsi kekeluargaan itu Soepomo tidak memaksakan pikirannya sendiri. Hal ini
terlihat dalam proses perumusan UUD dimana Panitia Kecil mematuhi keputusan
sidang tanggal 11 Juli, dengan menyusun UUD 1945 berdasar Piagam Jakarta
(dengan ‘tujuh katanya’), bukan berdasar ‘staatsidee’ negara integralistik yang
sebelumnya dianut oleh Soepomo.
Dengan berlandaskan Piagam Jakarta, panitia ini terlebih
dulu merumuskan lima (5) pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD. Inti
dari kelima pokok pikiran itu adalah:
1.
Negara —begitu bunyinya —yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas
persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan ini
kita menolak bentukan Negara yang berdasarkan atas individualisme dan juga menolak
bentukan Negara sebagai ‘klase-staat’, sebagai Negara yang hanya mengutamakan
satu kelas, satu golongan seperti menurut sistem Soviet yang mengutamakan
golongan pekerja dan tani.
2.
Negara yang berdasar atas hidup kekeluargaan,
akan menyelenggarakan dasar itu bukan ke dalam, akan tetapi juga keluar….. Jadi
dengan ini, kita akan membentuk Negara berdasarkan kekeluargaan, tidak saja
terhadap dunia dalam negeri, akan tetapi juga terhadap dunia di luar negeri.
3.
Negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas
kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistem Negara yang
terbentuk dalam undang-undang dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan
berdasar atas permusyawaratan perwakilan.
4.
Negara berdasar atas ke-Tuhanan menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, undang-undang dasar harus
mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara
untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh
cita-cita moral rakyat yang luhur.
5.
Negara
Indonesia memperhatikan keistimewaan bagi penduduk yang terbesar dalam
lingkungan daerahnya, yaitu penduduk yang beragama Islam. Dengan terang
dikatakan dalam ‘Pembukaan’, kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluknya. Dengan itu, Negara memperhatikan keistimewaan penduduk yang
terbesar, yaitu yang beragama Islam.
Selanjutnya dikatakan, bahwa pokok-pokok pikiran tersebut
meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Selain
itu, pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang
menguasai hukum dasar Negara, baik hukum yang tertulis (undang-undang dasar),
maupun hukum yang tidak tertulis.
Batang tubuh UUD kemudian dirancang dengan dijiwai oleh
nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD
tersebut. Pemenuhan atas prinsip ‘Ketuhanan yang berkebudayaan’ terkandung pada
pasal 29 (1,2) dalam rancangan akhir UUD. Pemenuhan atas prinsip ‘kemanusiaan
yang adil dan beradab’ terkandung dalam pasal-pasal yang menyangkut hubungan
luar negeri —pasal 11 dan 13 ; serta pasal-pasal yang berkaitan dengan hak-hak
asasi manusia —pasal 27 (1,2), 28, 29, 30, 31, 34. Pemenuhan atas prinsip
kebangsaan/persatuan terkandung dalam pasal 1,2,3,18,26,32,35,36. Pemenuhan
prinsip ‘Demokrasi permusyawaratan’ terkandung dalam pasal-pasal tentang sistem
pemerintahan negara, terutama pada pasal 1-28. Prinsip ‘keadilan sosial’ terkandung
pada pasal 23,27 (2), 31,33 dan 34.
Dalam pembukaan UUD tampak jelas bahwa para pendiri
bangsa mempunyai argumen yang kuat, bukan hanya untuk mendirikan suatu bangsa,
melainkan dengan hidup dan ‘beropersi’-nya sebuah organisme bernama Negara.
Argumen pertama menegaskan bahwa kolonialisme adalah penindasan atas manusia
dan atas bangsa. Argumen kedua adalah argument self-determination (from alien
domination). Argumen ini menjadi fondasi
dari perlindungan hak dasar, yang kemudian dikenal sebagai hak asasi manusia
(HAM), seperti yang diakomodasi secara bertahap dalam kerangka Liga
Bangsa-Bangsa (1919 – 1946), International Labour Organization (berdiri 1919),
Piagam Atlantik (1941), dan kemudian tertuang dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang ditandatangani pada 26 Juni 1945, empat hari setelah
penandatanganan Piagam Jakarta.
Pengalaman terjajah dan keterlibatan para pendiri bangsa
dalam berbagai gerakan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme, memberi
pembelajaran dan kepekaan bagi pembebasan umat manusia. Indonesia mempunyai
Pembukaan Konstitusi sebagai grundnorm, yang mendasarkan Negara pada hukum
(rectsstaat) atas dasar pengakuan akan kemerdekaan manusia. Hal ini merupakan
prinsip HAM yang penting, apalagi diperkuat oleh komitmen negara pada
perlindungan warga, terutama menyangkut hak ekonomi, sosial dan budaya yang
terkandung dalam alinea keempat: ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial’, Indonesia juga
menegaskan komitmennya pada kemanusiaan universal dalam pergaulan antarbangsa.
Akan tetapi, pengalaman ketertindasan membuat rancangan
UU ini lebih memiliki kepekaan dalam usaha memuliakan hak-hak dasar kemanusiaan
dalam konteks keindonesiaan. Dalam rancangan UUD yang serba ringkas ini, pasal-pasal
tentang HAM itu memang terbatas jumlahnya karena tekanan yang diberikan pada
dasar kekeluargaan. Harap juga diingat bahwa ketika rancangan UUD ini disusun,
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) belum lahir, meskipun rumusan awal tentang prinsip-prinsip HAM memang
sudah muncul dalam berbagai piagam, seperti dalam Magna Carta (1215) —yang
sudah menggariskan tentang ‘due process of law’, Petition of Rights (1689), dan
lain-lain. Pendapat umum di persidangan BPUPKI hanya bisa merujuk pada deklarasi-deklarasi
HAM yang masih tahap awal pertumbuhannya itu; yang kerap disebut adalah Declaration
of Rights (1774), Deklaration of Independence (1776) dari Amerika Serikat dan
Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen (1789) dari Perancis.
Konsepsi negara kekeluargaan ini tidaklah bercorak
tunggal, melainkan perpaduan dari banyak unsur. Pengakuan konstitusional atas
hak warga (khususnya hak sipil dan politik) pada mulanya mengundang pro-kontra,
terutama dalam relasinya dengan sistematika Negara kekeluargaan yang
dipertahankan Soepomo, yaitu Negara integralistik.
Sebagai ahli hukum adat, Soepomo sangat dipengaruhi oleh
profesor-profesor dari Fakultas Hukum Universitas Leiden, terutama Cornelis van
Vollenhoven sebagai induk dari kesarjanaan hukum adat. Penemuan para sarjana
Leiden mengenai persamaan dasar di antara masyarakat-masyarakat adat di seluruh
Nusantara membantu para sarjana (hukum) Indonesia untuk mengkonseptualisasikan
Indonesia sebagai suatu entitas budaya tunggal. Aliran Leiden juga
menyumbangkan dua gagasan lainnya. Pertama, proposisi umum bahwa pemerintah dan
hukum nasional harus mencerminkan budaya dan tradisi yang unik. Kedua, bahwa
budaya Indonesia pada dasarnya berorientasi komunal, spiritual dan cinta
keselarasan —bertolak
belakang dengan arus utama budaya Barat yang oleh para sarjana Leiden
dilihatnya sebagai individualistik, materialistik dan penuh konflik. Lebih
lanjut aliran Leiden ini termasuk dalam tradisi khusus filsafat hukum yang berasal
dari gerakan Romantik Jerman pada awal abad-19 yang sebagian berakar pada
ajaran Katolik dan sebagian lain sebagai reaksi terhadap Revolusi Perancis —yang
bersifat anti-liberal dan anti-individualistik.
Hasil rumusan panitia kecil yang dirancang pada 11 – 12
Juli, diperbincangkan dalam Rapat Besar Panitia Perancang yang diketuai oleh
Soekarno (13 Juli). Dari sana, lahirlah Rancangan Pertama UUD. Setelah
rancangan pertama ini dibahas dalam Rapat Besar BPUPKI (14 Juli), lahirlah
Rancangan Kedua UUD. Rancangan ini kemudian mendapat masukan-masukan baru lagi
pada Rapat Besar BPUPKI pada 15 – 16 Juli 1945, maka lahirlah Rancangan Ketiga
(terakhir).
Dalam pemenuhan prinsip ‘Kemanusiaan yang adil dan
beradab’, semula ada perdebatan sengit menyangkut isu hak-hak dasar (hak-hak
asasi manusia) dalam hubungannya dengan konsepsi ‘negara kekeluargaan’ sebagai
arus utama pemikiran politik Indonesia saat itu yang sangat mewarnai perumusan
rancangan UUD. Titik krusialnya terletak pada persoalan hak sipil dan politik,
dan secara lebih khusus lagi menyangkut kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat. Untuk hak ekonomi, sosial dan budaya, tidak ada masalah.
Pada Rapat Besar 11 Juli 1945, Yamin menyatakan bahwa
tiap-tiap konstitusi dari bangsa merdeka terbentuk atas tiga bagian: Paling
akhir berisi pasal-pasal, bagian tengah berisi pernyataan kemerdekaan dan dasar
Negara, dan bagian awal terdapat keterangan tentang hak manusia di atas dunia
sebagai bangsa yang hendak merdeka. Selanjutnya, dia memberi contoh konstitusi
Amerika Serikat yang menurutnya juga terdiri dari tiga bagian: (1) Declaration
of Rights (1774), (2) Declaration of Independence (1776), dan (3) Konstitusi
(1787).
Atas pernyataan Yamin dalam Rapat Panitia Hukum Dasar
yang dipimpin Soekarno itu, pada tanggal yang sama, Soepomo menyatakan
ketidaksetujuannya:
“Saya belum mengerti apa yang dimaksudkan, karena
Declaration of Rights sebagai dikemukakan di waktu Franse Revolutie dan di
Amerika bersandar atas individualisme, yaitu kepercayaan bahwa manusia sebagai
seseorang harus dijamin hak-haknya yang diberikan kepadanya oleh alam dan
Negara. Ini sebetulnya penting seklai, oleh karena apakah kita akan menghendaki
juga prinsip itu atau tidak. Maka aliran itu sesudah perang dunia ke-1 dan
terutama di zaman akhir ini, bukan saja di Asia Timur, tetapi juga di Amerika
dan Eropa pun sudah verauderd (kadaluwarsa). Jadi jangan menyandarkan Negara
kita pada aliran perseorangan, akan tetapi pada kekeluargaan. Oleh karena
menurut pikiran saya, aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat ketimuran. Jadi
saya anggap tidak perlu mengadakan Declaration of Rights.”
Soekarno mengajukan pandangan alternatif, apakah tidak
mungkin membuat Declaration of Rights dalam suasana kekeluargaan (in de damkring
van kekeluargaan). Tentang ide ini, Soepomo menyatakan mufakat dengan
Declaration of Rights mengenai suatu bangsa (namun tidak mengenai seseorang),
meskipun dia merasa tidak memahami bagaimana isinya.
Agoes Salim mempunyai pendangan lain. Baginya tidak
menjadi persoalan paham apa yang dianut, yang penting menurutnya, dalam hukum
dasar harus terdapat ‘pagar-pagar penjaga supaya keadilan tetap berlaku’.
Lantas dia katakan, “Sebab dalam Negara merdeka tentu saja rakyatnya mempunyai
perasaan dirinya merdeka juga. Jadi dalam hukum dasar Nippon pun hak-hak orang
yang menjadi rakyat disamping kewajiban dimuat, juga hak bahwa orang tidak akan
dihukum jikalau tidak dengan keputusan Mahkamah Pengadilan atas Undang-Undang
yang sudah diadakan dulu daripada perbuatan yang dilakukan itu,
sedikit-sedikitnya semacam itu harus ada. Jadi ini termasuk dalam Declaration
of Rights yang disebutkan itu bahwa tiap rakyat akan diadili oleh sesamanya dan
kemerdekaan seseorang itu tidak akan direbut daripadanya, melainkan jika
menurut aturan undang-undang yang sudah ditentukan.”
Pada rapat Besar 15 Juli 1945, Soekarno menegaskan bahwa
dengan diterimanya rancangan Pembukaan UUD, anggota-anggota telah mufakat bahwa
dasar, falsafah dan sistem yang dipakai dalam penyusunan rancangan UUD adalah
dasar kekeluargaan (gotong royong). Dengan menyetujui kata keadilan sosial
dalam preambule, berarti merupakan protes kita yang mahahebat kepada dasar
individualisme. Oleh karena itu menurutnya, “Betapapun dalam UUD Negara
merdeka, lazimnya dimasukkan apa yang disebut ‘les Droits de l’Homme et du
Citoyen’ atau ‘the Rights of the Citizens’, Indonesia akan membuat pilihannya
sendiri. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan
Negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong-royong
dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham
individualisme dan liberalisme dari padanya.”
Meski demikian, Soepomo, pada hari yang sama berusaha
menjernihkan persoalan jaminan hak dasar individu dalam paham kekeluargaan. Dalam
pandangannya:
“Jikalau jaminan hak-hak dasar orang seorang dalam
undang-undang dasar yang bersifat kekeluargaan tidak diadakan, itu sama sekali
tidak berarti bahwa rakyat tidak boleh berserikat, tidak boleh bersuara atau
tidak boleh berkumpul sama sekali! Tentang hal ini Soepomo menunjukkan contoh
bahwa beberapa hak dasar warga negara dan penduduk telah terkandung dalam
rancangan pertama dan kedua UUD. Yang dia sebutkan adalah pasal-pasal yang
menyangkut ‘hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’,
‘hak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara’, ‘hak mendapatkan
pengajaran’, ‘kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama’.”
Bagi Soepomo, dalam Negara yang bersifat kekeluargaan
bukanlah tidak ada jaminan hak bagi hak dasar individu, tetapi menghendaki agar
warga Negara lebih mengedepankan pemenuhan kewajibannya ketimbang menuntut
haknya: “Dasar kekeluargaan dan dasar permusyawaratan yang telah kita terima
sebagai dasar-dasar Negara Indonesia, dengan sendirinya menghendaki kemerdekaan
rakyat berserikat dan berkumpul. Tuan Paduka Ketua, kita menghendaki semangat
kekeluargaan. Semangat itu harus meliputi seluruh lapangan hidup manusia, bukan
saja dalam lapangan ekonomi dan sosial, akan tetapi juga dalam lapangan
politik, dalam lapangan pemerintahan, dalam perhubungan antara pemerintah dan
warga Negara. Dalam sistem kekeluargaan sikap warga Negara bukan sikap yang
selalu bertanya ‘apakah hak-hak saya?’, akan tetapi sikap yang menanyakan
‘apakah kewajiban saya sebagai anggota keluarga besar ialah Negara Indonesia
ini?’… Inilah pikiran yang harus senantiasa diinsyafi oleh kita semua.”
Pandangan Soepomo ini seperti dicatat A.B. Kusuma
(2004:367) mendahului apa yang kemudian ditekankan oleh John F. Kennedy kepada
rakyat Amerika Serikat pada 1961, “Ask not what your country can do for you;
ask what you can do for your country.” (Jangan tanyakan apa yang dapat
diberikan oleh Negara bagi dirimu; tanyalah apa yang dapat diberikan oleh
dirimu kepada Negara).
Betapapun juga Mohammad Hatta tetap menghendaki agar ada
jaminan yang lebih tegas atas hak berserikat, berkumpul dan berpendapat dalam
konstitusi, demi mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dengan dalih semangat
kekeluargaan di kemudian hari. Dia sepakat dengan dasar kekeluargaan, dan
menurutnya, diapun lebih dari 20 tahun berjuang menentang individualisme. Akan
tetapi harus dihindari kemungkinan Negara kekeluargaan menjelma menjadi Negara
kekuasaan. Selengkapnya dia katakan:
“Tetapi suatu hal yang saya kuatirkan kalau tidak ada
satu keyakinan atau satu pertanggungjawaban kepada rakyat dalam hukum dasar yang
mengenai haknya untuk mengeluarkan suara, saya kuatir mengkhianati di atas
undang-undang dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan
negara yang tidak kita setujui. Sebab dalam hukum Negara sebagai sekarang ini
mungkin timbul satu keadaan ‘kadaver dicipline’ (disiplin mati/bangkai) seperti
yang kita lihat di Rusia dan Jerman, inilah yang saya kuatirkan….. Hendaklah
kita memperhatikan syarat supaya Negara yang kita bikin jangan menjadi Negara
kekuasaan. Kita menghendaki Negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru
yang berdasar kepada gotong-royong, usaha bersama, tujuan kita ialah
memperbaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita berikan
kekuasaan yang sekuasa-kuasanya kepada Negara untuk menjadikan di atas Negara
baru itu suatu Negara kekuasaan.”
Oleh karena itu menurutnya, perlu dimasukkan beberapa
pasal mengenai hak warga Negara seperti hak untuk berkumpul, bersidang dan
mengeluarkan pendapat. Sebab, selain didasarkan pada asas kekeluargaan, Negara
kita juga didasarkan ‘kepada kedaulatan rakyat’. Hatta juga mengingatkan bahwa
dalam collectivisme ada sedikit hak bagi anggota-anggota dari keluarga itu
mengeluarkan perasaannya untuk mengadakan, menjadikan badan collectivisme itu
dengan sebaik-baiknya. Usul untuk memerhatikan hak pokok warga Negara itu
menurutnya tiada lain untuk menjaga supaya Negara yang kita dirikan itu ialah
Negara pengurus, supaya Negara pengurus itu nanti jangan menjadi Negara
kekuasaan, Negara penindas.
(Bersambung)
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment