Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Saturday, February 28, 2015

Lahirnya Negara Kekeluargaan (Bagian 3)



Pada hari kedua masa persidangan kedua BPUPKI (11 Juli), Radjiman Wediodiningrat selaku Ketua BPUPKI membentuk tiga kelompok panitia:
1.       Panitia perancang hukum dasar (diketuai oleh Soekarno)
2.       Panitia perancang keuangan (diketuai oleh Mohammad Hatta)
3.       Panitia perancang pembelaan tanah air (diketuai oleh Abikoesno Tjokrosoejoso)

Sebelumnya, hasil rumusan Piagam Jakarta mendapat respon yang tajam dari Latuharhary. Dalam tanggapannya pada 11 Juli, dia menyatakan keberatan atas pencantuman ‘tujuh kata’. Tanggapan itu merangsang pro-kontra menyangkut pasal-pasal ikutannya, seperti ‘agama Negara’ dan ‘syarat agama seorang presiden’ yang nyaris membawa sidang ke jalan buntu. Dalam pandangannya:

“Akibatnya akan sangat besar sekali, umpamanya terhadap agama lain. Maka dari itu, saya harap supaya dalam hukum dasar, meskipun ini terlalu berat sementara waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa-rupa macam. Saya usulkan supaya dalam hukum dasar diadakan pasal 1 yang terang supaya tidak ada kemungkinan apa pun juga yang dapat membawa perasaan tidak senang pada golongan yang bersangkutan.”

Berkat kewibawaan Soekarno, untuk sementara waktu kemacetan itu bisa diatasi. Namun di luar persoalan tujuh kata, prinsip Ketuhanan yang dipindah dari sila terakhir menjadi menjadi sila pertama disetujui oleh seluruh anggota BPUPK. Selain itu, mereka juga menerima pokok-pokok pikiran dalam rancangan Pembukaan UUD 1945 yang disepakati pada 11 Juli 1945.

Pada perkembangannya, panitia perancang hukum dasar yang diketuai oleh Soekarno membentuk panitia kecil yang bertugas untuk merumuskan rancangan UUD. Mereka yang ditunjuk oleh Soekarno sebagai anggota panitia kecil ini adalah: Wongsonagoro, Soebardjo, Maramis, Soepomo, Soekiman dan Agoes Salim. Atas usul Wonsonagoro, Soepomo menjadi ketua. Penunjukkan Soepomo mencerminkan kualitasnya sebagai ahli hukum, karena ia adalah seorang sarjana yang cemerlang, yang meraih gelar Doktor dari Universitas Leiden dalam bidang hukum pada 1927 dengan predikat ‘cum laude’ dan merupakan orang kedua yang mendapatkan gelar profesor pada zaman Hindia Belanda tahun 1942. Selain itu, dia juga memiliki pengalaman keterlibatan dalam komisi ketatanegaraan (Komisi Visman) yang dibentuk pada 14 September 1940 untuk merespon aspirasi kalangan pergerakan, seperti menuntut agar Indonesia mempunyai parlemen sendiri dengan semboyan ‘Indonesia Berparlemen’. Lebih dari itu, Soepomo bersama Soebardjo dan Maramis sejak 4 April 1942 bahkan telah menyusun rancangan UUD Indonesia Merdeka.

Dalam membuat rancangannya, Panitia Kecil mendasarkan susunannya pada apa yang disebut Soepomo sebagai ‘sistematik Negara kekeluargaan’. Dengan demikian, jika dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong royong, maka dasar dari semangat dan sistematik penyusunan UUD pun senafas dengan itu, yakni ‘kekeluargaan’. Dalam arus besar semangat dan konsepsi kekeluargaan itu Soepomo tidak memaksakan pikirannya sendiri. Hal ini terlihat dalam proses perumusan UUD dimana Panitia Kecil mematuhi keputusan sidang tanggal 11 Juli, dengan menyusun UUD 1945 berdasar Piagam Jakarta (dengan ‘tujuh katanya’), bukan berdasar ‘staatsidee’ negara integralistik yang sebelumnya dianut oleh Soepomo.

Dengan berlandaskan Piagam Jakarta, panitia ini terlebih dulu merumuskan lima (5) pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD. Inti dari kelima pokok pikiran itu adalah:
1.       Negara —begitu bunyinya —yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan ini kita menolak bentukan Negara yang berdasarkan atas individualisme dan juga menolak bentukan Negara sebagai ‘klase-staat’, sebagai Negara yang hanya mengutamakan satu kelas, satu golongan seperti menurut sistem Soviet yang mengutamakan golongan pekerja dan tani. 

2.       Negara yang berdasar atas hidup kekeluargaan, akan menyelenggarakan dasar itu bukan ke dalam, akan tetapi juga keluar….. Jadi dengan ini, kita akan membentuk Negara berdasarkan kekeluargaan, tidak saja terhadap dunia dalam negeri, akan tetapi juga terhadap dunia di luar negeri.

3.       Negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistem Negara yang terbentuk dalam undang-undang dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan.

4.       Negara berdasar atas ke-Tuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, undang-undang dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

5.       Negara  Indonesia memperhatikan keistimewaan bagi penduduk yang terbesar dalam lingkungan daerahnya, yaitu penduduk yang beragama Islam. Dengan terang dikatakan dalam ‘Pembukaan’, kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Dengan itu, Negara memperhatikan keistimewaan penduduk yang terbesar, yaitu yang beragama Islam.

Selanjutnya dikatakan, bahwa pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Selain itu, pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar Negara, baik hukum yang tertulis (undang-undang dasar), maupun hukum yang tidak tertulis.

Batang tubuh UUD kemudian dirancang dengan dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD tersebut. Pemenuhan atas prinsip ‘Ketuhanan yang berkebudayaan’ terkandung pada pasal 29 (1,2) dalam rancangan akhir UUD. Pemenuhan atas prinsip ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ terkandung dalam pasal-pasal yang menyangkut hubungan luar negeri —pasal 11 dan 13 ; serta pasal-pasal yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia —pasal 27 (1,2), 28, 29, 30, 31, 34. Pemenuhan atas prinsip kebangsaan/persatuan terkandung dalam pasal 1,2,3,18,26,32,35,36. Pemenuhan prinsip ‘Demokrasi permusyawaratan’ terkandung dalam pasal-pasal tentang sistem pemerintahan negara, terutama pada pasal 1-28. Prinsip ‘keadilan sosial’ terkandung pada pasal 23,27 (2), 31,33 dan 34.

Dalam pembukaan UUD tampak jelas bahwa para pendiri bangsa mempunyai argumen yang kuat, bukan hanya untuk mendirikan suatu bangsa, melainkan dengan hidup dan ‘beropersi’-nya sebuah organisme bernama Negara. Argumen pertama menegaskan bahwa kolonialisme adalah penindasan atas manusia dan atas bangsa. Argumen kedua adalah argument self-determination (from alien domination). Argumen  ini menjadi fondasi dari perlindungan hak dasar, yang kemudian dikenal sebagai hak asasi manusia (HAM), seperti yang diakomodasi secara bertahap dalam kerangka Liga Bangsa-Bangsa (1919 – 1946), International Labour Organization (berdiri 1919), Piagam Atlantik (1941), dan kemudian tertuang dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ditandatangani pada 26 Juni 1945, empat hari setelah penandatanganan Piagam Jakarta.

Pengalaman terjajah dan keterlibatan para pendiri bangsa dalam berbagai gerakan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme, memberi pembelajaran dan kepekaan bagi pembebasan umat manusia. Indonesia mempunyai Pembukaan Konstitusi sebagai grundnorm, yang mendasarkan Negara pada hukum (rectsstaat) atas dasar pengakuan akan kemerdekaan manusia. Hal ini merupakan prinsip HAM yang penting, apalagi diperkuat oleh komitmen negara pada perlindungan warga, terutama menyangkut hak ekonomi, sosial dan budaya yang terkandung dalam alinea keempat: ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial’, Indonesia juga menegaskan komitmennya pada kemanusiaan universal dalam pergaulan antarbangsa.

Akan tetapi, pengalaman ketertindasan membuat rancangan UU ini lebih memiliki kepekaan dalam usaha memuliakan hak-hak dasar kemanusiaan dalam konteks keindonesiaan. Dalam rancangan UUD yang serba ringkas ini, pasal-pasal tentang HAM itu memang terbatas jumlahnya karena tekanan yang diberikan pada dasar kekeluargaan. Harap juga diingat bahwa ketika rancangan UUD ini disusun, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) belum lahir, meskipun rumusan awal tentang prinsip-prinsip HAM memang sudah muncul dalam berbagai piagam, seperti dalam Magna Carta (1215) yang sudah menggariskan tentang ‘due process of law’, Petition of Rights (1689), dan lain-lain. Pendapat umum di persidangan BPUPKI hanya bisa merujuk pada deklarasi-deklarasi HAM yang masih tahap awal pertumbuhannya itu; yang kerap disebut adalah Declaration of Rights (1774), Deklaration of Independence (1776) dari Amerika Serikat dan Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen (1789) dari Perancis.

Konsepsi negara kekeluargaan ini tidaklah bercorak tunggal, melainkan perpaduan dari banyak unsur. Pengakuan konstitusional atas hak warga (khususnya hak sipil dan politik) pada mulanya mengundang pro-kontra, terutama dalam relasinya dengan sistematika Negara kekeluargaan yang dipertahankan Soepomo, yaitu Negara integralistik.

Sebagai ahli hukum adat, Soepomo sangat dipengaruhi oleh profesor-profesor dari Fakultas Hukum Universitas Leiden, terutama Cornelis van Vollenhoven sebagai induk dari kesarjanaan hukum adat. Penemuan para sarjana Leiden mengenai persamaan dasar di antara masyarakat-masyarakat adat di seluruh Nusantara membantu para sarjana (hukum) Indonesia untuk mengkonseptualisasikan Indonesia sebagai suatu entitas budaya tunggal. Aliran Leiden juga menyumbangkan dua gagasan lainnya. Pertama, proposisi umum bahwa pemerintah dan hukum nasional harus mencerminkan budaya dan tradisi yang unik. Kedua, bahwa budaya Indonesia pada dasarnya berorientasi komunal, spiritual dan cinta keselarasan bertolak belakang dengan arus utama budaya Barat yang oleh para sarjana Leiden dilihatnya sebagai individualistik, materialistik dan penuh konflik. Lebih lanjut aliran Leiden ini termasuk dalam tradisi khusus filsafat hukum yang berasal dari gerakan Romantik Jerman pada awal abad-19 yang sebagian berakar pada ajaran Katolik dan sebagian lain sebagai reaksi terhadap Revolusi Perancis yang bersifat anti-liberal dan anti-individualistik.

Hasil rumusan panitia kecil yang dirancang pada 11 – 12 Juli, diperbincangkan dalam Rapat Besar Panitia Perancang yang diketuai oleh Soekarno (13 Juli). Dari sana, lahirlah Rancangan Pertama UUD. Setelah rancangan pertama ini dibahas dalam Rapat Besar BPUPKI (14 Juli), lahirlah Rancangan Kedua UUD. Rancangan ini kemudian mendapat masukan-masukan baru lagi pada Rapat Besar BPUPKI pada 15 – 16 Juli 1945, maka lahirlah Rancangan Ketiga (terakhir).

Dalam pemenuhan prinsip ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’, semula ada perdebatan sengit menyangkut isu hak-hak dasar (hak-hak asasi manusia) dalam hubungannya dengan konsepsi ‘negara kekeluargaan’ sebagai arus utama pemikiran politik Indonesia saat itu yang sangat mewarnai perumusan rancangan UUD. Titik krusialnya terletak pada persoalan hak sipil dan politik, dan secara lebih khusus lagi menyangkut kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Untuk hak ekonomi, sosial dan budaya, tidak ada masalah.

Pada Rapat Besar 11 Juli 1945, Yamin menyatakan bahwa tiap-tiap konstitusi dari bangsa merdeka terbentuk atas tiga bagian: Paling akhir berisi pasal-pasal, bagian tengah berisi pernyataan kemerdekaan dan dasar Negara, dan bagian awal terdapat keterangan tentang hak manusia di atas dunia sebagai bangsa yang hendak merdeka. Selanjutnya, dia memberi contoh konstitusi Amerika Serikat yang menurutnya juga terdiri dari tiga bagian: (1) Declaration of Rights (1774), (2) Declaration of Independence (1776), dan (3) Konstitusi (1787).

Atas pernyataan Yamin dalam Rapat Panitia Hukum Dasar yang dipimpin Soekarno itu, pada tanggal yang sama, Soepomo menyatakan ketidaksetujuannya:

“Saya belum mengerti apa yang dimaksudkan, karena Declaration of Rights sebagai dikemukakan di waktu Franse Revolutie dan di Amerika bersandar atas individualisme, yaitu kepercayaan bahwa manusia sebagai seseorang harus dijamin hak-haknya yang diberikan kepadanya oleh alam dan Negara. Ini sebetulnya penting seklai, oleh karena apakah kita akan menghendaki juga prinsip itu atau tidak. Maka aliran itu sesudah perang dunia ke-1 dan terutama di zaman akhir ini, bukan saja di Asia Timur, tetapi juga di Amerika dan Eropa pun sudah verauderd (kadaluwarsa). Jadi jangan menyandarkan Negara kita pada aliran perseorangan, akan tetapi pada kekeluargaan. Oleh karena menurut pikiran saya, aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat ketimuran. Jadi saya anggap tidak perlu mengadakan Declaration of Rights.”

Soekarno mengajukan pandangan alternatif, apakah tidak mungkin membuat Declaration of Rights dalam suasana kekeluargaan (in de damkring van kekeluargaan). Tentang ide ini, Soepomo menyatakan mufakat dengan Declaration of Rights mengenai suatu bangsa (namun tidak mengenai seseorang), meskipun dia merasa tidak memahami bagaimana isinya.

Agoes Salim mempunyai pendangan lain. Baginya tidak menjadi persoalan paham apa yang dianut, yang penting menurutnya, dalam hukum dasar harus terdapat ‘pagar-pagar penjaga supaya keadilan tetap berlaku’. Lantas dia katakan, “Sebab dalam Negara merdeka tentu saja rakyatnya mempunyai perasaan dirinya merdeka juga. Jadi dalam hukum dasar Nippon pun hak-hak orang yang menjadi rakyat disamping kewajiban dimuat, juga hak bahwa orang tidak akan dihukum jikalau tidak dengan keputusan Mahkamah Pengadilan atas Undang-Undang yang sudah diadakan dulu daripada perbuatan yang dilakukan itu, sedikit-sedikitnya semacam itu harus ada. Jadi ini termasuk dalam Declaration of Rights yang disebutkan itu bahwa tiap rakyat akan diadili oleh sesamanya dan kemerdekaan seseorang itu tidak akan direbut daripadanya, melainkan jika menurut aturan undang-undang yang sudah ditentukan.”

Pada rapat Besar 15 Juli 1945, Soekarno menegaskan bahwa dengan diterimanya rancangan Pembukaan UUD, anggota-anggota telah mufakat bahwa dasar, falsafah dan sistem yang dipakai dalam penyusunan rancangan UUD adalah dasar kekeluargaan (gotong royong). Dengan menyetujui kata keadilan sosial dalam preambule, berarti merupakan protes kita yang mahahebat kepada dasar individualisme. Oleh karena itu menurutnya, “Betapapun dalam UUD Negara merdeka, lazimnya dimasukkan apa yang disebut ‘les Droits de l’Homme et du Citoyen’ atau ‘the Rights of the Citizens’, Indonesia akan membuat pilihannya sendiri. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan Negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme dari padanya.”

Meski demikian, Soepomo, pada hari yang sama berusaha menjernihkan persoalan jaminan hak dasar individu dalam paham kekeluargaan. Dalam pandangannya:  

“Jikalau jaminan hak-hak dasar orang seorang dalam undang-undang dasar yang bersifat kekeluargaan tidak diadakan, itu sama sekali tidak berarti bahwa rakyat tidak boleh berserikat, tidak boleh bersuara atau tidak boleh berkumpul sama sekali! Tentang hal ini Soepomo menunjukkan contoh bahwa beberapa hak dasar warga negara dan penduduk telah terkandung dalam rancangan pertama dan kedua UUD. Yang dia sebutkan adalah pasal-pasal yang menyangkut ‘hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’, ‘hak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara’, ‘hak mendapatkan pengajaran’, ‘kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama’.”

Bagi Soepomo, dalam Negara yang bersifat kekeluargaan bukanlah tidak ada jaminan hak bagi hak dasar individu, tetapi menghendaki agar warga Negara lebih mengedepankan pemenuhan kewajibannya ketimbang menuntut haknya: “Dasar kekeluargaan dan dasar permusyawaratan yang telah kita terima sebagai dasar-dasar Negara Indonesia, dengan sendirinya menghendaki kemerdekaan rakyat berserikat dan berkumpul. Tuan Paduka Ketua, kita menghendaki semangat kekeluargaan. Semangat itu harus meliputi seluruh lapangan hidup manusia, bukan saja dalam lapangan ekonomi dan sosial, akan tetapi juga dalam lapangan politik, dalam lapangan pemerintahan, dalam perhubungan antara pemerintah dan warga Negara. Dalam sistem kekeluargaan sikap warga Negara bukan sikap yang selalu bertanya ‘apakah hak-hak saya?’, akan tetapi sikap yang menanyakan ‘apakah kewajiban saya sebagai anggota keluarga besar ialah Negara Indonesia ini?’… Inilah pikiran yang harus senantiasa diinsyafi oleh kita semua.”

Pandangan Soepomo ini seperti dicatat A.B. Kusuma (2004:367) mendahului apa yang kemudian ditekankan oleh John F. Kennedy kepada rakyat Amerika Serikat pada 1961, “Ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country.” (Jangan tanyakan apa yang dapat diberikan oleh Negara bagi dirimu; tanyalah apa yang dapat diberikan oleh dirimu kepada Negara).

Betapapun juga Mohammad Hatta tetap menghendaki agar ada jaminan yang lebih tegas atas hak berserikat, berkumpul dan berpendapat dalam konstitusi, demi mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dengan dalih semangat kekeluargaan di kemudian hari. Dia sepakat dengan dasar kekeluargaan, dan menurutnya, diapun lebih dari 20 tahun berjuang menentang individualisme. Akan tetapi harus dihindari kemungkinan Negara kekeluargaan menjelma menjadi Negara kekuasaan. Selengkapnya dia katakan:

“Tetapi suatu hal yang saya kuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungjawaban kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya untuk mengeluarkan suara, saya kuatir mengkhianati di atas undang-undang dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan negara yang tidak kita setujui. Sebab dalam hukum Negara sebagai sekarang ini mungkin timbul satu keadaan ‘kadaver dicipline’ (disiplin mati/bangkai) seperti yang kita lihat di Rusia dan Jerman, inilah yang saya kuatirkan….. Hendaklah kita memperhatikan syarat supaya Negara yang kita bikin jangan menjadi Negara kekuasaan. Kita menghendaki Negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasar kepada gotong-royong, usaha bersama, tujuan kita ialah memperbaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita berikan kekuasaan yang sekuasa-kuasanya kepada Negara untuk menjadikan di atas Negara baru itu suatu Negara kekuasaan.”

Oleh karena itu menurutnya, perlu dimasukkan beberapa pasal mengenai hak warga Negara seperti hak untuk berkumpul, bersidang dan mengeluarkan pendapat. Sebab, selain didasarkan pada asas kekeluargaan, Negara kita juga didasarkan ‘kepada kedaulatan rakyat’. Hatta juga mengingatkan bahwa dalam collectivisme ada sedikit hak bagi anggota-anggota dari keluarga itu mengeluarkan perasaannya untuk mengadakan, menjadikan badan collectivisme itu dengan sebaik-baiknya. Usul untuk memerhatikan hak pokok warga Negara itu menurutnya tiada lain untuk menjaga supaya Negara yang kita dirikan itu ialah Negara pengurus, supaya Negara pengurus itu nanti jangan menjadi Negara kekuasaan, Negara penindas. 


(Bersambung)
Photo Source: Google Images

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates