Usul Hatta ini mendapat dukungan terutama dari Soekiman dan M. Yamin. Soekiman memandang perlu mempererat perhubungan pembentukan Negara dengan jiwa rakyat, “Pada dewasa ini, maka rakyat merasa tidak mempunyai hak apa-apa sebagai akibat 350 tahun penjajahan, baik yang mengenai jasmani maupun mengenai rohaninya. Pikiran rakyat Indonesia sungguh dikuasai oleh rasa tidak mempunyai harga diri (minderwaardigheid complex), maka dari itu saya setuju sekali usul untuk memasukkan beberapa hak dasar.”
Muhammad Yamin menuntut lebih jauh. Dia mengusulkan agar
aturan kemerdekaan warga Negara dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar
seluas-luasnya. Dia menolak segala alasan yang dimajukan tentang tidak
dimasukkannya hal ini dalam hukum dasar. Menurutnya, segala Constitution lama
dan baru di atas dunia berisi perlindungan aturan dasar itu, misalnya
Undang-Undang Dasar Dai Nippon, Republik Filipina dan Republik Tiongkok. Dalam
pandangannya, perlindungan hak warga Negara dalam UUD ini tidaklah berhubungan
dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kemestian perlindungan
kemerdekaan yang harus diakui dalam UUD.
Dengan berbagai argumen itu, akhirnya pada tanggal 15
Juli juga Soepomo bersedia menempuh pilihan kompromistik. Menurutnya, “Dengan
tidak dimasukkannya kemerdekaan warga itu ke dalam sistematik kekeluargaan,
sesungguhnya tidak berarti rakyat tidak akan mempunyai kemungkinan bersidang
atau berkumpul dan lain-lain, karena dalam Negara modern hal itu dengan
sendirinya diatur dalam undang-undang. Akan tetapi di sini banyak dari
anggota-anggota yang dengan beberapa alasan toh minta supaya hal ini masuk
Undang-Undang Dasar juga… Oleh karena itu, kami usulkan suatu aturan yang
mengandung kompromistis, akan tetapi tidak akan menentang kepada sistematik
dari rancangan anggaran dasar ini. Bentuk komprominya dalam UUD dapat
ditambahkan pasal yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan
berkumpul untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan lain-lain
yang diatur oleh undang-undang.”
Pokok perdebatan mengenai hak asasi manusia yang terbatas
pada hak sipil dan politik (sipol) ini, oleh sebagian dikhawatirkan bisa
terjerumus pada individualisme —sejauh pengakuan hak itu tidak
disertai dengan kewajiban. Itupun sesungguhnya terbatas pada perkara
kemerdekaan penduduk untuk bersidang, berkumpul dan berpendapat. Karena hak
sipol lainnya, seperti kemerdekaan beragama/berkeyakinan ini posisinya tetap
sejak rancangan pertama, kedua, hingga terakhir, yakni pada pasal 29. Demikian
juga halnya tentang hak kesamaan kedudukan warga Negara di dalam hukum dan
pemerintah, telah diakomodasi sejak rancangan pertama. Semula hal itu terletak
pada pasal 28 (1), kemudian bergeser menjadi pasal 27 (1) pada rancangan kedua
dan terakhir.
Usulan Hatta mendapatkan banyak dukungan dari
anggota-anggota yang kemudian diterima. Dengan penerimaan itu, rancangan UUD
1945 mengandung semangat pemuliaan hak-hak dasar dan visioner. Meskipun
pasal-pasal tentang hak dasar itu terbatas jumlahnya, secara substantif sudah meliputi
apa yang kemudian sering disebut ‘tiga generasi hak asasi manusia’:
1. Generasi pertama: hak sipil dan hak politik
Generasi pertama hak asasi manusia
ini amat terkait dengan hak sipil yang berhubungan langsung dengan orientasi
etis kemanusiaan dan juga konteks ‘habeas corpus’ yang menjadi salah satu pilar
hukum internasional. Hak ini menyangkut hak hidup, hak kebebasan beragama
dan/atau berkepercayaan, hak untuk diproses secara hukum dengan seadil-adilnya,
hak mengemukakan pendapat (freedom of speech) dan hak untuk turut serta dalam
pengambilan keputusan bersama (voting rights). Generasi ini sering disebut hak
negatif (hak tidak boleh di…) dan hak dengan pendekatan minimalis. Dalam UUD
1945, hak ini antara lain terkandung pada pasal 27 (pasal 1), 28 dan 29.
2. Generasi kedua: hak demokratis
Generasi kedua hak asasi manusia
terkait dengan proses sebuah negara membuahkan kebijakan dan kondisi yang
memungkinkan suatu kehidupan semakin manusiawi. Termasuk dalam hal ini adalah
hak atas layanan kesehatan, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas
jaminan sosial. Generasi kedua ini sesungguhnya terintegrasi dengan hak sipil
dan hak politik. Tatanan kehidupan yang manusiawi diandaikan membutuhkan hak
‘negatif’ dan hak ‘positif’, yaitu hak “untuk me…” untuk membuat kehidupan
semakin manusiawi. Dalam UUD 1945, hak ini antara lain terkandung dalam pasal
27 (pasal 2), 31 dan 34.
3. Generasi ketiga: hak ekonomi – sosial –
kultural – kolektif
Generasi ketiga ini adalah
bagian dari pengakuan akan perlindungan keseluruhan kehidupan manusia, baik
sekarang maupun yang akan datang, baik di satu komunitas maupun antar
komunitas. Ada suatu pemahaman bahwa kehidupan dipengaruhi oleh dimensi masa
lalu, masa sekarang dan masa mendatang. Dalam kurun waktu itu, hak generasi
pertama dan juga generasi kedua bisa saja digerus atau dipinggirkan —secara
sengaja (by commission) atau pelalaian (by omission). Generasi ketiga ini
adalah termasuk hak atas perlindungan lingkungan, hak masyarakat adat, hak
ekonomi dan hak pembangunan, hak penentuan nasib sendiri, dan sebagainya. Dalam
UUD 1945 hak ini antara lain terkandung dalam pasal 30,32,33 (3) dan 34.
Kebanyakan hak dasar yang terkandung dalam UUD 1945
adalah hak dasar warga negara. Kandungan hak asasi manusia yang bersifat
universal, yang berlaku juga bagi non-warga negara, hanya terkandung pada pasal
28 dan 29. Hal ini mengindikasikan bahwa pengakuan akan HAM itu diletakkan
dalam suasana kekeluargaan. Seiring dengan itu, dalam kewajiban memfasilitasi
dan memenuhi hak-hak dasar warga, negara (sebagai entitas kolektif) juga diberi
haknya tersendiri, antara lain hak mengelola hal-hal yang menyangkut
persemakmuran bersama (common wealth). Hal ini tertuang pada pasal 33 (1,2,3).
Selain itu, demi kebajikan bersama, hak yang diberikan kepada warga negara juga
berkelindan dengan kewajibannya pada kepentingan kolektif. Hal ini terkandung
pada pasal 27 (1) dan pasal 30 (1)
Dengan demikian, secara substantif cakupan dan komitmen
HAM dalam UUD 1945 telah merefleksikan tuntutan modern atas perlindungan
hak-hak asasi manusia, mampu mengantisipasi apa yang kemudian tertuang dalam
daftar hak-hak asasi (bill of human rights) dari PBB. Bisa dipahami jika
Mohammad Hatta mengatakan bahwa UUD 1945 adalah ‘undang-undang dasar yang
paling modern’ (pada zamannya)
Berdasarkan kenyataan ini, Negara Indonesia berdasarkan
UUD 1945 bukanlah negara ‘integralistik’ —dalam bayangan awal Soepomo —yang
melemahkan individu, bukan pula negara ‘liberal’ —yang melemahkan kolektivitas.
Negara Indonesia adalah negara kekeluargaan yang menghormati hak-hak asasi
warga negara dan manusia umumnya, sebagai individu maupun kelompok.
Dalam Rapat Besar Panitia Perancang Hukum Dasar yang dipimpin
oleh Soekarno (13 Juli), perdebatan
sengit seputar ikutan ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta kembali mencuat. Dipicu oleh pernyataan
K.H. Wachid Hasjim yang mengusulkan agar ‘Presiden ialah orang Indonesia asli
yang beragama Islam’, dan pasal 29 diubah kira-kira menjadi: Agama negara
adalah agama Islam. Agoes Salim mengingatkan, bahwa hal itu berarti hasil
kompromi mentah lagi. Pandangan Hasjim dibela Soekiman yang menurutnya, tidak
akan berakibat apa-apa. Namun Wongsonagoro merasa tercengang karena hasil
kompromi dimentahkan.
Pada 14 Juli, giliran Ki Bagoes Hadikoesoemo yang
melakukan gugatan. Menurutnya, kata-kata ‘bagi para pemeluknya’ (di belakang
kalimat ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam) sepatutnya
dihapus saja, karena hal itu berarti bahwa dalam satu negara akan diadakan dua
peraturan: satu untuk umat Islam, dan yang satu lagi untuk yang bukan Islam.
Sekali lagi Soekarno berseru, “Paduka tuan Ketua yang
mulia! Saya hanya mengatakan, bahwa ini sebagai hasil kompromis yang
diperkuatkan oleh panitia pula. Cuma dari ‘bagi pemeluk-pemeluknya’ dibuang,
maka itu mungkin diartikannya, yang tidak Islam pun diwajibkan menjalankan
syari’at Islam”.
Persoalan belum tuntas juga. Pada 15 Juli, Abdoelrachim
Pratalykrama dari golongan kebangsaan (pangreh praja) mengusulkan kembali agar
‘Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam’. Persoalan ini menimbulkan
kebuntuan yang hanya bisa diselesaikan pada 16 Juli setelah Soekarno dengan
berlinang air mata menghimbau, agar yang tidak setuju dengan hasil rumusan
panitia bersedia berkorban meninggalkan pendapatnya demi persatuan Indonesia.
Demikianlah hasil rumusan Piagam Jakarta itu bisa
dipertahankan hingga akhir masa persidangan kedua (17 Juli 1945). Namun
demikian, ketidaksetujuan atas perlakuan khusus bagi umat Islam dalam suatu
hukum dasar yang menyangkut warga negara secara keseluruhan tetap mengendap di
hati elemen-elemen golongan kebangsaan. Apalagi rumusan itu dihasilkan oleh
mekanisme di luar kerangka formalitas.
FASE PENGESAHAN
Namun demikian, betapa pun terjadi konsesus secara luas
dan rancangan UUD sudah disepakati oleh semua anggota BPUPKI pada 16 Juli,
kecuali satu orang (Muhammad Yamin), rupanya merasa ada sesuatu yang
mengganjal. Bagi anggota-anggota golongan kebangsaan, pencantuman ‘tujuh kata’
dalam Piagam Jakarta —yang mengandung perlakuan khusus bagi umat Islam —dirasa
tidak cocok dalam suatu hukum dasar yang menyangkut warga negara secara
keseluruhan. Suasana itu mewarnai sidang PPKI yang didirikan pada 12 Agustus
1945, bertugas mempercepat upaya persiapan terakhir bagi pembentukan sebuah
pemerintahan Indonesia merdeka, termasuk menetapkan konstitusi.
Jika kriteria keanggotaan BPUPKI didasarkan pada latar
belakang ideologis dan perwakilan golongan, kriteria utama keanggotan PPKI
lebih berdasarkan kedaerahan. Konsekwensinya, beberapa anggota kunci seperti
Agoes Salim, Abdul Kahar Moezakir, Masjkur, Ahmad Sanoesi, Abikoesno
Tjokrosoejoso, Wongsonagoro dan M. Yamin tidak termasuk anggota PPKI yang bisa menimbulkan
perubahan terhadap konsensus yang dihasilkan oleh BPUPKI.
Pada awalnya, PPKI terdiri dari 21 anggota yang diketuai
juga oleh Soekarno dengan Mohammad Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat sebagai
wakil ketua. Dari 21 anggota ini, 12 diantaranya bisa diklasifikasikan sebagai
para pemimpin golongan kebangsaan generasi tua. Sembilan lainnya terdiri dari
dua wakil pangreh praja, tiga dari kesultanan (Yogyakarta, Surakarta dan
Bugis), dua dari organisasi Islam, satu dari wakil PETA, dan satu dari
minoritas keturunan Cina. Organisasi Islam diwakili oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo
dari Muhammadiyah, dan Wachid Hasjim dari NU.
Atas saran Soekarno, beberapa orang ditambahkan dalam
anggota PPKI, yaitu:
1.
Kasman Singodimedjo (komandan PETA di Jakarta)
2.
Teuku Hasan (mewakili suara Islam)
3.
Wiranatakusumah
4.
Ki Hadjar Dewantara
5.
Sajuti Melik
6.
Iwa Kusuma Soemantri
7.
Soebardjo
Semula, akan ditambahkan pula Sukarni, Chairul Saleh dan
Adam Malik (dari kalangan pemuda), namun mereka menolak bergabung karena PPKI
dianggap buatan Jepang.
Dalam pertemuan antara ketua/wakil ketua PPKI dengan
pihak pemerintah Jepang (Marsal Terautji), semula Soekarno dan Hatta mengusulkan
kemungkinan pertemuan pertama PPKI pada 25 Agustus. Tentang usul itu, Terautji
mempersilahkan panitia untuk menentukan sendiri. Sepulang di tanah air,
mengingat perubahan cepat dan desakan politik yang berkembang, rencana
pertemuan PPKI dipercepat menjadi 16 Agustus. Namun pada tanggal itu, Soekarno
dan Hatta ‘diculik’ oleh para pemuda ke Rengasdengklok. Keesokan harinya ada
proklamasi kemerdekaan Indonesia, sehingga sidang pertama PPKI baru bisa
dilaksanakan pada 18 Agustus 1945.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno dan
Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada
saat yang sama, PPKI menyetujui naskah ‘Piagam Jakarta’ sebagai pembukaan UUD
1945 kecuali ‘tujuh kata’ di belakang sila Ketuhanan. ‘Tujuh kata’ itu dicoret,
lalu diganti dengan kata-kata ‘Yang Maha Esa’, sehingga menjadi ‘Ketuhanan Yang
Maha Esa’. Selain itu, pencoretan ‘tujuh kata’ juga disetujui dalam batang tubuh
UUD 1945 pasal 6 ayat 1, bahwa ‘Presiden ialah orang Indonesia asli’ tanpa
tambahan kata-kata ‘yang beragama Islam’. Demikian pula bunyi pasal 29 ayat 1
menjadi ‘Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’ tanpa disertai ‘tujuh
kata’ di belakangnya.
Tentang pencoretan ‘tujuh kata’ tersebut, Mohammad Hatta
punya andil besar. Dia mendekati tokoh-tokoh Islam. Seperti diakui sendiri
dalam otobiografinya (Memoir Mohammad Hatta – 1979); pada tanggal 18 Agustus
pagi, dia melakukan rapat pendahuluan dengan Ki Bagus Hadikoesoemo, Kasman
Singodimedjo dan Teuku Hasan untuk merundingkan usulan perubahan itu, alasannya
demi menjaga persatuan bangsa. Wachid
Hasjim tidak hadir pada pertemuan itu karena sedang ke Surabaya.
Atas usul perubahan itu, Teuku Hasan menyambutnya secara
positif, sedangkan Kasman belum siap karena baru menerima undangan pagi itu.
Menyisakan Ki Bagoes mengambil sikap. Usaha untuk membujuk Ki Bagoes dilakukan
oleh Teuku Hasan dan Kasman. Dengan berbagai argumen persuasi yang dikemukakan,
akhirnya Ki Bagoes bersedia menerima usul perubahan itu. Dengan demikian, kubu
Islam akhirnya menerima pencoretan ‘tujuh kata’ itu, tetapi tidak ada seorang
pun wakil golongan Islam yang menghadiri rapat dan menandatangani Piagam
Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945.
Meski menimbulkan kekecewaan di sebagian golongan Islam
karena dianggap melanggar kompromi sebelumnya, secara de facto dan de jure
pencoretan ‘tujuh kata’ itu mencerminkan realita politik yang ada dan memiliki
keabsahan. Kekuatan representasi politik Islam di PPKI nyatanya memang tidak
seberapa, sedangkan yang berwewenang menetapkan UUD tidak lain adalah PPKI,
bukan BPUPKI. Lagi pula menurut Hatta, semangat Piagam Jakarta tidak lenyap
dengan menghilangkan ‘tujuh kata’.
Pada akhirnya, rumusan Pancasila sebagai dasar negara
yang secara konstitusional mengikat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan,
bukanlah rumusan Pancasila versi 1 Juni atau 22 Juni, melainkan versi 18
Agustus 1945.
(Bersambung)
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment