Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Tuesday, March 31, 2015

Lahirnya Negara Kekeluargaan (Bagian 5)



Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi historisitas, rasionalitas dan aktualitasnya yang jika dipahami, dihayati, dipercayai dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaian-pencapaian agung peradaban bangsa. Pokok-pokok moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila dapat dituliskan sebagai berikut:
1.       Rasionalitas dari alam pemikiran Pancasila seperti itu mendapatkan pembenaran teoretik dan komparatifnya dalam teori-teori kontemporer tentang ‘public religion’ yang menolak tesis ‘separation’ dan ‘privatization’ dan mendukung tesis ‘differentiation’. Dalam teori ini, peran agama dan negara tidak perlu dipisahkan, melainkan dibedakan dengan syarat, bahwa keduanya saling mengerti batas otoritas masing-masing yang disebut dengan istilah ‘toleransi kembar’ (twin toleration).

2.       Menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam dan sifat-sifat sosial manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas yang mengarah pada persaudaraan itu dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar, bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimilikinya untuk secara bebas-aktif ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ke dalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan universal ini adalah adil dan beradab. Komitmen bangsa Indonesia dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan itu sangat visioner mendahului ‘Universal Declaration of Human Rights’ yang baru dideklarasikan pada 1948. Secara teoretik-komparatif jalan eksternalisasi dan internalisasi dalam mengembangkan kemanusiaan secara adil dan beradab itu menempatkan visi Indonesia dalam perpaduan antara perspektif teori idealisme politik (political idealism) dan realisme politik (political realism) —yang berorientasi kepentingan nasional —dalam hubungan internasional.

3.       Aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan ini, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan  yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan ‘persatuan dalam keragaman’ dan ‘keragaman dalam persatuan’ yang dalam slogan negara dinyatakan dengan ungkapan ‘Bhineka Tunggal Ika’.

4.       Nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak ‘didikte’ oleh ‘golongan mayoritas’ (mayorokrasi) atau ‘kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha’ (minorokrasi), melainkan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu. Gagasan demokrasi permusyawaratan ala Indonesia yang menekankan konsensus dan menyelaraskan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu sangat visioner. Gagasan demokrasi seperti itu mendahului apa yang kemudian disebut sebagai model ‘demokrasi deliberatif’ (deliberative democracy), yang diperkenalkan oleh Joseph M Bessette pada 1980 dan juga memiliki kesejajaran dengan konsep ‘sosial-demokrasi’ (sosdem).

5.       Nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditukar dari perwujudan keadilan sosial dalam kehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai makhluk individu (yang terlembaga dalam pasar) dan peran manusia sebagai makhluk sosial (yang terlembaga dalam negara), juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam suasana kehidupan sosial, perekonomian yang ditandai oleh aneka kesenjangan sosial, kompetisi ekonomi diletakkan dalam kompetisi yang kooperatif (coopetition) berlandaskan asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang peting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam mewujudkan keadilan sosial, masing-masing pelaku ekonomi diberi peran masing-masing yang secara keseluruhan mengembangkan semangat kekeluargaan. Peran individu (pasar) diberdayakan dengan tetap menempatkan negara dalam posisi yang penting dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi, fasilitas, penyediaan dan rekayasa sosial serta penyediaan jaminan sosial. Gagasan keadilan ekonomi menurut Sosialisme Pancasila mempunyai kesejajaran dengan diskursus-demokrasi di Eropa dan juga memiliki akar kesejarahan dalam tradisi sosialisme-desa dan sosialisme-religius masyarakat Indonesia.

Pada 30 September 1960, Soekarno berpidato di depan anggota PBB ‘To Build The World Anew’ yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia. Bertrand Russel memuji Pancasila dan menyebut Soekarno sebagai ‘Great thinker in the East’. Filsuf dari Inggris itu juga mengatakan, bahwa ajaran yang dikandung Pancasila merupakan jalan tengah, sebagai sintesis kreatif antara Declaration of American Independence (yang merepresentasikan ideologi demokrasi kapitalis) dengan manifesto Komunis (yang merepresentasikan ideologi komunis). Lebih dari itu, seorang ahli sejarah, Rutgers mengatakan, “Dari semua negara-negara di Asia Tenggara, Indonesialah yang dalam konstitusinya pertama-tama dan paling tegas melakukan latar belakang psikologis yang sesungguhnya daripada semua revolusi melawan penjajahan. Dalam filsafat negaranya, yaitu Pancasila, dilukiskannya alasan-alasan secara lebih mendalam daripada revolusi-revolusi itu.

Tercegatnya aspirasi politik Islam dalam PPKI, berlanjut dengan penolakan awal terhadap gagasan pembentukan departemen agama. Pada awalnya, Latuharhary menentang gagasan tersebut dengan alasan bahwa gagasan itu akan menjadi sumber perselisihan antara umat Islam dan Kristen. Pandangannya itu mendapatkan dukungan dari sembilan belas anggota PPKI, sehingga mulai dari Kabinet Presidensial Soekarno pertama (31 Agustus – 14 November 1945) sampai Kabinet Perlementer Sjahrir pertama (14 November 1945 – 12 Maret 1946), departemen agama tidak ada. Departemen ini baru dibentuk pada Kabinet Sjahrir kedua (Maret 1946). Yang diangkat sebagai menteri agama pada kabinet ini adalah M. Rasjidi.

Ketika partai-partai Islam (terutama Masyumi) memainkan peran penting dalam pemerintahan selama periode 1950 – 1955, suara-suara kekecewaan atas pencoretan ‘tujuh kata’ itu juga mereda, digantikan oleh pandangan yang lebih positif terhadap Pancasila. Hal ini tercermin dari pidato Mohammad Natsir di depan Pakistan Institute of World Affairs pada 1952 yang membela Pancasila sebagai hal yang selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila menurutnya, lima sila itu akan menjadi dasar etika, moral dan spiritual bangsa Indonesia yang selaras dengan tauhid. Pernyataan serupa itu dia ulangi dalam pidatonya pada peringatan Nuzulul Qur’an 1954.

Dalam situasi yang jernih tanpa perasaan terancam, tokoh-tokoh Islam juga memiliki kelapangan hati untuk mengutamakan perdamaian, bersedia menerima konstruksi komunitas politik egaliter yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara tanpa memandang latar agama dan golongan. Dalam kelapangan jiwa, kaum Muslim bisa melihat bahwa kasus pencoretan ‘tujuh kata’ itu sesungguhnya ada preseden historisnya pada ‘Perjanjian (Damai) Hudaibiyah’ (628) antara Nabi Muhammad (wakil Kaum Muslim) dengan pihak pagan Quraisy (diwakili Suhail bin Amr) sebagai ‘seteru’ politik utamanya. Dalam kedudukan Muslim yang kuat, dengan suku-suku Badui yang mulai mengalihkan dukungannya ke pihak Muslim, Nabi lebih memilih kemenangan melalui perjanjian damai ketimbang pemaksaan dan kekerasan. Dalam rangka mencapai konsensus damai, Nabi bersedia mendudukkan lawan dalam posisi setara. Suhail keberatan dengan pencatuman kata-kata yang menjadi ungkapan khas keyakinan dan identitas Muslim, yang kebetulan juga terdiri dari ‘tujuh kata kunci’. Nabi Muhammad memerintahkan Ali menulis sesuai yang didiktekannya dan memulai dengan ‘Bismillah al-Rahman al-Rahim’ (bentuk khas kalimat mukadimah Muslim). Suhail langsung menolak. Quraisy selalu membenci gelar-gelar ketuhanan semacam ini, lantas dia pun menyela, “Aku tak mengenali ini, tapi tulislah: Dengan Nama-Mu, Wahai Allah!” Dan dia tak akan membubuhkan namanya hingga Nabi siap untuk mengubahnya. Di bawah keterperanjatan kaum Muslim, Nabi setuju dan menyuruh Ali mengubah kata-katanya. Nabi melanjutkan, “Di bawah ini, hal-hal yang Muhammad, Rasul Tuhan, sepakati dengan Suhail bin Amr.” Suhail kembali menolak, “Jika aku mengakui engkau sebagai Rasul Tuhan, aku tak akan berperang denganmu,” sangkalnya secara masuk akal. Ali telah menulis kata-kata ‘Rasul Allah’ dan menyatakan tak dapat menghapusnya. Nabi memintanya menunjukkan kalimat dari perkamen yang dimaksud dan membuangnya sendiri. Kalimat itu lantas diubah menjadi ‘Ini hal-hal yang telah disetujui Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amr’. Perjanjian disepakati disambut kekecewaan dan demoralisasi para pendukung Nabi.

Akan tetapi, tatkala kelapangan jiwa itu menyempit kembali oleh perasaan terancam, aspirasi politik identitas bangkit lagi. Suasana kebatinan seperti itulah yang mewarnai persidangan Dewan Konstituante yang dihasilkan oleh Pemilihan Umum (Pemilu) pertama, 1955. Pemilu tahun 1955 dilaksanakan dalam dua tahap: tahap pertama (29 September) untuk memilih anggota parlemen, dan tahap kedua (15 Desember) untuk memilih anggota Konstituante.

Perbedaan pandangan dalam relasi agama dan negara terjadi baik di sidang-sidang DPR maupun di Dewan Konstituante. Akan tetapi, bobot perselisihan di persidangan Konstituante lebih genting karena menyangkut penyusunan dan penetapan Konstitusi baru yang lebih permanen bagi masa depan Republik. 


(Bersambung)
Photo Source: Google Images

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates