Kaget ketika terbangun dari tidur siangku. Seperti di sawah saja, aku mendengar bunyi jangkrik hingga ke dalam kamar. Segera menuruni anak tangga mencari sumber suara. Ternyata berasal dari dapur. Aku mencari Ucha, tapi tidak ada. Sepertinya sedang pergi.
Aku tahu, pasti Ucha yang membawa jangkrik itu. Beberapa waktu yang lalu, dia sempat mengutarakan kekesalannya karena banyaknya tikus yang berkeliaran di dapur, berlarian di tangga serta gudang di samping kamar. Semula, dia berencana akan membeli racun tikus, tapi khawatir nanti mati di sembarang tempat dan menimbulkan aroma yang tak sedap. Lalu rencananya berubah, membeli jebakan tikus. Beberapa hari kemudian, rencananya berubah lagi. Membeli jangkrik. Katanya, suara jangkrik itu mampu mengusir tikus, seperti pengalamannya sewaktu di Makassar ─kampung halamannya.
Aku sempat menyangsikan kebenaran itu. Aku belum menemukan relevansinya antara tikus dengan suara jangkrik. Ucha kemudian menjelaskan, bahwa suara jangkrik itu mengandung gelombang ultrasonik sehingga mampu mengusir tikus.
“Perlu berapa banyak jangkrik, Cha, untuk mengusir tikus?”
“Tidak usah banyak-banyak, Tar, satu saja sudah cukup.”
“Kasihan dong ntar nggak ada temennya?”
“Justru kalau digabung sama temannya, nanti dia berantem loh.”
“Oh … Tapi kalau cuma satu kan suaranya kurang kedengeran, Cha?”
“Tidak, Tar. Nanti pilih satu yang paling kencang suaranya. Jadi belinya jangan yang buat makanan burung. Tapi yang khusus buat mengusir tikus.”
“Oh, begitu … ”
Buat aku, ini adalah pengalaman baru. Dan untuk lebih meyakinkan diri, aku bertanya pada 'Om Google'. Dari sana, aku temukan jawabannya melalui Wikipedia Bahasa Indonesia, bahwa 'ultrasonik' adalah suara atau getaran dengan frekuensi yang terlalu tinggi untuk bisa didengar oleh telinga manusia, yaitu kira-kira di atas 20 kiloHertz. Hanya beberapa hewan, seperti lumba-lumba menggunakannya untuk komunikasi, sedangkan kelelawar menggunakan gelombang ultrasonik untuk navigasi. Dalam hal ini, gelombang ultrasonik merupakan gelombang di atas frekuensi suara. Itu artinya, tikus kabur karena tidak sanggup mendengar suara yang frekuensinya di atas normal, seperti halnya manusia. Masuk akal juga, pikirku.
Mungkin Ucha tidak akan peduli dengan banyaknya tikus yang ada di kedai, kalau saja dia tak tinggal di sana. Ya, sejak dia ditugaskan di kantor Berdikari Nusantara Makmur yang menyatu dengan Kedai Teh dan Kopi Nusantara, aku dan Ucha tinggal bersama. Tentu saja aku senang. Yang semula sendirian, jadi ada teman untuk berbagi.
Ucha itu orangnya tidak banyak bicara. Tapi setiap aku bertanya atau meminta penjelasan, dia selalu menjawab ─sesibuk apa pun dia. Ucha juga suka rapi-rapi. Aku yang semula merasa tidak sanggup sendirian mengatur kamar yang layaknya gudang buku itu, bersamanya, kami menjadikan tempat itu cukup layak menjadi kamar. Itu pun tidak bisa sekaligus. Butuh waktu berhari-hari.
Ucha itu orangnya cold, tapi bukan berarti tak peduli. Kalau aku sedang berbagi tentang kekesalanku, dia selalu meredamkan amarahku dengan suaranya yang tenang. Sekali pun, aku belum pernah melihat dia emosi dengan meninggikan nada suaranya. Bahkan ketika aku memarahinya karena sesuatu hal, dia tetap menjawab dengan tenang. Di ledek separah apa pun, dia hanya senyum. Kadang tertawa. Diserang dengan kata-kata yang menyakitkan, diam saja. Aku jadi gemas.
“Cha, kau punya jawabannya kan? Kenapa diam? Jawab lah!”
“Ndak perlu, Tar. Saya ndak mau panjang lebar. Biarkan saja.”
Aku heran, manusia satu ini terbuat dari apa? Benar-benar seperti tak punya emosi. Sempat sekali aku mengetahui dia sedang kesal dengan seseorang, dia tetap hanya diam. Memberikan barang itu ke pemiliknya, lalu pergi. Aku coba membaca mimik wajahnya, tapi sedikit pun tak tersirat kekesalannya. Begitukah kalau orang pendiam marah? Semakin diam dan diam.
Berbeda dengan aku. Kalau emosiku sudah memuncak, darahku sudah naik ke kepala, pasti nada suaraku akan meninggi. Kakiku ingin menendang, tanganku ingin menonjok atau membanting. Tapi masih menggunakan rasio. Tidak seperti mereka yang marahnya membabi buta. Merusak barang-barang berharga yang akhirnya menciptakan penyesalannya sendiri. Aku jadi ingat dulu, sewaktu masih SMA. Aku punya tetangga orang Madura di Surabaya ─kampung asalku. Namanya Mastur. Karena usianya di atasku, aku memanggilnya Cak Tur. Kebiasaannya kalau di rumah hanya mengenakan kain sarung serta telanjang dada. Jika aku sedang emosi, aku selalu menemuinya, "Cak, aku lagi kesel nih." Sambil menggenggam kedua tanganku. Cak Tur yang sudah hafal dan tahu maksudku langsung menyodorkan lengannya yang berotot itu untuk kujadikan sansak. Dan aku akan berhenti meninju lengannya, setelah aku merasa lelah, ngos-ngosan, puas.
Ya ... itulah Ucha, kawanku. Laki-laki yang sederhana. Tidak neko-neko, tidak suka basa basi. Tidak ribut kalau melihat perempuan cantik, jadi tak terlihat norak atau kampungan. Gaya bicaranya tenang, sabar dan pintar. Pokoknya, perempuan yang akan mendapatkan hati Ucha nantinya, dialah perempuan yang beruntung, menurutku.
“Kau yang beli jangkrik itu ya, Cha?”
Ucha tiba malam itu. Sedang serius membaca sebuah rubrik di Berdikari Online.
“Iya.”
“Kau taruh di mana sih? Nggak kelihatan barangnya, tapi kedengerannya kenceng sekali di dapur.”
“Itu, Tar … yang menggantung di tempat cucian piring dan di lemari gantung.”
Aku pergi ke dapur menuju tempat yang di maksud Ucha.
“Oh, yang di bambu kecil ini? Lucu sekali sarangnya, Cha.” Sambil mengintip dalamnya melalui lubang kecil. ”Ini isinya cuma satu?”
“Iya.”
“Berarti kamu beli dua dong.”
“Iya.”
“Satunya berapa?”
“Lima ribu.”
“Beli di mana kau, Cha?”
“Di Jatinegara. Ternyata di sana, di jual bermacam-macam binatang, Tar. Tidak cuma burung loh. Ada monyet, kucing juga dijual.”
“Hah, kucing?”
“Iya, Tar, tapi ini kucing yang bagus itu loh, apa lagi itu namanya … Oh ya, kucing anggora.”
“Oh … “ Aku lalu mengalihkan pembicaraan, “Cha, kau mau pakai komputer ini nggak? Kalau enggak, mau aku mati'in.”
“Kenapa, Tar? Kau mau tidur?”
“Iya, aku sudah ngantuk.”
“Ya sudah jangan dimatikan, biar saya pakai. Ndak enak di sini loh, lelet sekali.” Jawab Ucha sambil mematikan komputernya. Aku lalu meninggalkan tempat dudukku dan pergi menuju ke kamar.
***
“Suara apa ini? Jangkrik ya?” Pertanyaan itu yang selalu terlontar dari siapa pun yang datang ke kedai, tak terkecuali Bang Harris. Kebetulan sore itu, suara jangkrik sudah terdengar ketika Bang Harris mampir ke kedai.
“Iya, bang. Piaraannya Ucha,” jawabku.
“Hah, ngapain jangkrik dipiara?”
“Kan buat ngusir tikus.”
“Oh ya? Masak sih?”
“Bener kok. Sejak ada suara jangkrik, nggak ada lagi yang gaduh dan berantakin barang-barang di meja kalau malam.”
“Kenapa bisa begitu ya?”
“Kan suaranya mengandung gelombang ultrasonik. Coba aja cari di Google, bang. Aku juga dibilangin Ucha.”
“Kalau ngusir kecoak bisa nggak ya? Di tempatku itu, kecoak banyak sekali.”
“Kata Ucha sih, bisa juga.”
“Ada berapa tuh jangkriknya?”
“Ada dua.”
“Aku beli dong, satu.”
“Wah, nggak berani bang. Nggak ikut punya. Ntar aja nunggu orangnya.”
“Belinya di mana sih Si Ucha?”
“Di Jatinegara, katanya.”
“Waduh, males amat mau ke sana. Berapaan katanya?”
“Lima ribu.”
“Oh … Tapi berisik juga ya di kuping?”
“Memang. Aku aja kalau ke dapur nggak betah lama-lama. Suaranya bisa tembus ke kepala lho. Kepalaku jadi nyut-nyutan.”
“Masak sih?” Bang Harris tertawa. “Ya … orang di depan aja keberisikan, apalagi di dalam. Pantas kalau tikus sama kecoak pada kabur. Rupanya begitu ya?” Bang Haris tertawa lagi. Kali ini lebih seru.
Bang Harris yang semula duduk di dekat pintu sambil memainkan ponselnya, kini berpindah menuju meja komputer. Sedang serius dengan komputernya, Ucha datang dari tugasnya mengirim barang. Ya, selain kantor Berdikari Online, kantor Berdikari Nusantara Makmur, Kedai Teh dan Kopi Nusantara serta Kursus Stir Mobil, di sini juga menjadi tempat Gerai TIKINDO. Ucha bertugas sebagai kurir yang setiap sore mengantar barang ke Tikindo pusat.
Ucha memberiku selembar kertas bukti pengiriman barang. “Cha, jangkrikmu mau dibeli tuh sama Bang Harris, boleh nggak?”
“Iya, Cha. Boleh nggak? Aku beli deh, satu sepuluh ribu.” Bang Harris menimpali.
“Ndak usah, bawa saja satu ndak pa pa.”
“Bener nggak sih bisa ngusir kecoak? Sebel aku, banyak sekali kecoak di tempatku itu lho.”
“Bisa.” Ucha berjalan menuju dapur.
“Cha, ntar dia nggak mau bunyi lagi, karena ngerasa sendirian, nggak ada temennya.”
Tiba-tiba aku khawatir, menyusul Ucha di dapur, mengambil salah satu jangkrik yang akan diberikan Bang Harris.
“Ndak, Tar. Malah yang saya tinggal ini loh yang sering bunyi dan lebih kencang suaranya.”
Kekhawatiranku terbukti. Suara yang aku tunggu-tunggu itu tidak terdengar hingga malam menjelang tidur. Dan benar saja, pagi-pagi ketika aku bangun, peralatan plastik yang ada di meja sudah berantakan, jatuh ke lantai. Jelas ini ulah si ‘jerry’ yang kembali bebas beraksi setiap malam mencari sisa-sisa makanan.
Ucha tidak tidur di kedai semalam. Dia menginap di kantor pusat. Katanya, ada rapat organisasi. Ucha menjabat sebagai bendahara SRMI (Serikat Rakyat Miskin Indonesia). Biasanya Ucha yang memberi makan piaraannya setiap pagi. Karena dia belum datang, aku yang menggantikan tugasnya. Aku sobek sedikit sayuran yang aku simpan di kulkas, lalu memasukkan ke dalam sarangnya.
***
“Hah! Nggak tahan aku. Semalaman nggak bisa tidur gara-gara keberisikan suara jangkrik. Sudah kecoaknya nggak mau pergi lagi. Hah! Payah!” Bang Harris yang datang siang itu, menceritakan pengalamannya sambil tertawa.
“Ya iyalah Ris, kamar cuma segitu kok, gimana nggak berisik.” Mas Aj menimpali.
“Iya Mon, suaranya itu sampai nembus ke kepala. Gila! Aku bawa aja lagi,” kata Bang Harris kesal, masih sambil tertawa.
“Bener kan, bang, yang aku bilang? Kepalaku aja sampai nyut-nyutan.” Aku ikut nimbrung. “Trus, mana jangkriknya sekarang? Yang di sini nggak mau bunyi tuh, bang.”
“Aku taruh di KPP, aku kasih Tegal. Di sana kan banyak tikus juga.”
“Yah … “ Kataku lirih, melemah, kecewa.
Sampai malam berikutnya, jangkrik itu masih tetap bungkam. Tak bersuara. Apa ini bentuk protes agar temannya dikembalikan lagi? Aku bertanya-tanya sendiri, karena malam berikutnya, Ucha tak tidur lagi di kedai.
***
“Cha, jangkriknya nggak bunyi tuh, sudah dua malam ini.” Aku mengadu pada Ucha yang datang pagi itu. “Bawa ke sini ah yang satunya, biar dia mau bunyi.”
“Ambil saja di KPP, Tar. Minta sama Tegal,” jawab Ucha sambil menyalakan komputer.
Aku gelisah, tapi tak mampu memaksa Ucha untuk memahami kegelisahanku. Aku diam saja, berdiri di samping tempat duduknya.
Ternyata Ucha paham. Ia bangkit, berjalan menuju dapur. Aku mengikutinya dari belakang. Ucha mengambil sarang jangkrik itu, lalu membuka, mengeluarkan isinya.
Hingga malam-malam berikutnya, aku tak pernah lagi mendengar bunyi jangkrik di kedai. Terbayang wajah Bang Harris, aku bertanya dalam hati, kira-kira … Bang Harris merasa bersalah nggak ya kalau tahu? Karena sejak pasangan jangkrik itu dibawa dan tak dikembalikan lagi ke kedai, jangkrik itu jadi kesepian, lalu mati ...
(Casablanca, 5 Januari 2013)
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment