Photo Source: Google Images |
Senang sekali rasanya berkesempatan menyaksikan premiere film Di Balik Frekuensi yang diputar pada hari Kamis (24/1/2013) malam, di Blitz Megaplex, Grand Indonesia, Jakarta.
Sebuah film dokumenter hasil karya rumah produksi Gambar Bergerak yang di sutradarai oleh Ucu Agustin, merupakan film yang menarik, mendidik, dinamis dan mengesankan. Tema film ini jarang sekali dibicarakan di dunia perfilman Indonesia, karena menyoroti konglomerasi media dan penggunaan frekuensi publik di media televisi. Film ini menguji, bagaimana reformasi politik di Indonesia yang melahirkan kebebasan dan berpengaruh pada industri media. Juga bagaimana media-media yang dimiliki oleh segelintir orang itu kemudian berkembang, membentuk grup-grup sehingga dikuasai oleh individu-individu yang berambisi politik. Akibatnya, televisi tak hanya menjadi corong kepentingan pribadi pemiliknya, melainkan ada dampak-dampak sosial lain yang tak terduga.
Selain itu, film ini juga dimaksudkan sebagai 'kampanye' penyadaran publik serta mengungkap tabir dari kegundahan masyarakat akan peran media dan unsur kepentingan pemilik media sebagai alat politik.
Film yang berdurasi 2 jam 20 menit itu menceritakan dua kisah nyata ─kisah tentang Luviana, seorang jurnalis Metro TV yang di PHK sepihak karena memperjuangkan kesejahteraan karyawan, serta Hari Suwandi yang ingin memperjuangkan nasib korban lumpur Lapindo dengan berjalan kaki dari Porong, Sidoarjo menuju Jakarta.
Momen-momen spektakuler muncul ketika Ucu berhasil mencegat Aburizal Bakrie usai deklarasi pencalonan dirinya sebagai presiden, juga ketika Luviana dan para pendukungnya bertemu dengan Surya Paloh. Mengalir bergantian, dua alur cerita itu kemudian bermuara di satu titik, menghasilkan kontras-kontras serta ironi-ironi yang gamblang dan mencengangkan. Membuat kita seperti sedang menyaksikan film petualangan detektif yang mendebarkan, mengaduk emosi.
Film yang mengangkat isu tentang penyalahgunaan frekuensi publik oleh dua media berita raksasa itu, jelas mengandung pesan serta mengingatkan kita kembali pada pasal 33 UUD 1945. Tak hanya menyuguhkan gambar yang bercerita, film ini juga menyajikan prolog serta narasi yang menjelaskan. Sebuah langkah berani dimana satu sisi membuka mata dan mencerahkan pemahaman publik, di sisi lain boleh jadi membuat merah telinga para penguasa media massa. Dengan jernih dan argumentatif, film ini menelanjangi pengkhianatan-pengkhianatan para cukong yang memanfaatkan frekuensi publik untuk kepentingan politiknya.
Melalui dua kisah tersebut, film dokumenter ini akan membawa kita pada perjalanan akan sebuah pencarian terhadap makna, apa itu media? Seperti apakah seharusnya media bekerja? Untuk siapakah mereka ada? Kisah tentang perjuangan orang-orang yang ditelan kuasa konglomerasi.
Dalam sesi diskusi malam itu, Ursula Tumiwa ─produser film Di Balik Frekuensi mengatakan, pemutaran komersial di bioskop mungkin belum, tapi rencananya film ini akan menggelar roadshow di beberapa kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Jogja, Malang, Solo dan Denpasar. Selain itu juga akan diputar layar tancap di Porong, Sidoarjo.
Menurut saya, film ini wajib ditonton oleh seluruh masyarakat Indonesia, terutama bagi para pelajar atau kaum muda sebagai generasi penerus bangsa.
(Casablanca, 26 Januari 2013)
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteJangan cuma ditunggu kapan dan di mana film ini akan diputar, kawan-kawan bisa membuat pemutaran sendiri bersama komunitasnya masing-masing.
ReplyDeleteBisa di kampung-kampung, di kampus, di sekolah, di ruang seminar, di hotel, atau di manapun publik mendapatkan haknya atas frekuensi.
Kirimkan pengajuanmu ke behindthefrequencyfilm@gmail.com.
# syarat dan ketentuan berlaku