Betapapun dalam setiap golongan terjadi
friksi internalnya masing-masing, namun sejauh menyangkut persoalan dasar
negara, terjadi konsolidasi internal yang menciptakan pengkubuan. Secara
semena-mena kubu yang muncul dinamakan ‘Pendukung Pancasila’ versus ‘Pendukung
Islam’, meski sesungguhnya masih ada satu kubu lagi, yakni ‘Pendukung Sosial -
Ekonomi’ —yang karena jumlahnya
kecil, sering diabaikan.
Mengenai fraksi-fraksi yang ada dalam
masing-masing kubu, bisa digambarkan sebagai berikut:
-
Kubu Pancasila, mempunyai 274
kursi yang berasal dari 7 fraksi besar (PNI, PKI, Republik Proklamasi,
Parkindo, Partai Katolik, PSI dan IPKI) ditambah 14 fraksi partai kecil.
-
Kubu Islam, mempunyai 230 kursi
yang berasal dari 4 fraksi besar (Masyumi, NU, PSII dan Perti) ditambah 4
fraksi partai kecil.
-
Kubu Sosial – Ekonomi,
mempunyai 10 kursi yang berasal dari 3 fraksi (Partai Buruh, Partai Murba dan
Acoma)
Dikatakan semena-mena karena kubu
tersebut sesungguhnya memiliki banyak kesamaan pandangan dan mencapai
persetujuan dalam hal-hal substantif. Sejak pelantikannya pada 10 November 1956
sampai 18 Februari 1959, persidangan Konstituante telah berhasil mencapai
banyak kesepakatan hingga mampu menyelesaikan 90% kerjanya. Bahkan menyangkut
dasar negara pun, Komisi I yang membahas hal ini, secara substantif telah
mencapai kerangka kesepakatan.
Kesepakatan yang dimaksud adalah bahwa
Dasar Negara dan konstitusi baru harus memenuhi hal sebagai berikut:
1. sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia,
2. dijiwai semangat Revolusi 17 Agustus 1945,
3. musyawarah hendaknya menjadi dasar dalam segala perundingan dan
penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan,
4. terjaminnya kebebasan beragama dan beribadat,
5. berisikan jaminan-jaminan sendi-sendi perikemanusiaan, kebangsaan
yang luas dan keadilan sosial.
Selain itu, setiap kubu juga bisa
menerima setiap sila Pancasila, kecuali menyangkut ‘tujuh kata’ di balik sila
Ketuhanan yang kembali dipersoalkan oleh kubu Islam.
Akan tetapi ketika butir-butir
kesepakatan mengenai ‘dasar negara’ itu harus diberi nama, masing-masing kubu
tidak bisa mencapai titik temu. Kubu Islam bersikukuh menyodorkan kata ‘Islam’,
sedangkan kubu Pancasila bertahan membubuhkan kata ‘Pancasila’. Kubu Islam juga
menuntut agar ‘tujuh kata’ dicantumkan kembali dalam Pembukaan UUD 1945.
Alhasil, dalam bangkitnya gelora politik identitas, nama dan identitas kelompok
itu jauh lebih penting ketimbang substansi.
Secara substantif, pokok-pokok argumen
yang dikemukakan oleh kedua kubu masih sama seperti pada persidangan BPUPKI.
Dimensi baru dari golongan Islam dihadirkan oleh kemunculan tokoh-tokoh politik
generasi baru dengan Mohammad Natsir sebagai juru bicara utamanya. Dimensi baru
dari golongan kebangsaan dihadirkan oleh arguman-argumen baru yang dikemukakan
tokoh-tokoh Partai Katolik dan Kristen (Partindo), dan yang paling penting lagi
oleh kehadiran representasi Partai Komunis —yang memberi amunisi baru bagi kubu Islam.
Bagi kubu Islam, selain umat Islam
merupakan elemen terpenting dari perjuangan kemerdekaan, agama Islam memuat
ajaran yang lebih lengkap dan lebih rinci daripada Pancasila. Oleh karena itu,
Pancasila harus menjadi bagian dari Islam, bukan Islam menjadi bagian dari
Pancasila. Pernyataan seperti ini terkandung dalam hampir semua pidato
tokoh-tokoh Islam di Konstituante. Kasman Singodimedjo misalnya, berpendapat,
“Islam adalah ciptaan Allah, Pancasila adalah bikinan manusia, tidak mungkin
Islam di-subordineer Pancasila, tidak mungkin!” Tentang hal ini, Roeslan
Abdoelgani bertanya, “Patron negara
Islam manakah yang akan dijadikan contoh, kalau Indonesia menginginkan negara
Islam?” Rusjad Nurdin menjawab, “Tidaklah terlintas sedikit pun dalam hati kita
untuk menjadikan satu di antara negara-negara Islam itu sebagai patron bagi
Indonesia yang berdasar Islam, malahan negara yang pertama sekali pun yang
didirikan oleh Muhammad SAW tidaklah akan dijadikan patron sendiri…”
Menurutnya, petunjuk dari Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW itu tidak berbau
Arab, tidak pula berbau Mesir, Irak, Syria, Turki, Yaman, Pakistan dan sebagainya,
dan tidak berbau monarki feodal dan sebangsanya. Petunjuk-petunjuk itu dapat
dipakai oleh semua bangsa dan di seluruh zaman.
Di sisi lain, golongan kebangsaan
menyatakan, bahwa usaha kemerdekaan merupakan ‘hasil jerih-payah bersama’.
Selain itu, dasar Islam dan sosial-ekonomi memang tidak buruk, tetapi keduanya
belum mencakup nilai-nilai yang disepakati dalam Komisi I, dan tidak bisa
diterima begitu saja oleh golongan agama lain di Indonesia. Tentang klaim-klaim
kelebihan Islam, Prof. Mr. R.A. Soehardi dari Partai Katolik merangkum secara
baik melalui pendapatnya: “Kami tidak dapat melihat kelebihan Islam dari
Pancasila, sekalipun dipaparkan norma-normanya yang serba khusus karena tidak
diadakan perbandingan dengan agama-agama lain.” Dia juga mengatakan, bahwa
konsepsi negara Islam tidak sesuai (bertentangan) dengan ajaran agama yang
golongan Islam juga menyatakan sebagai agama yang suci. Selanjutnya dia
menghimbau:
“Apabila kebenaran ajaran ini
didiskreditkan, Islam akan inkonskuen terhadap pernyataannya (normanya) tentang
kesucian dari agama kami. Saya yakin bahwa inkonskuensi ini tidak akan
diperbuat oleh Islam. Dan oleh karena dalam ruangan ini berulang-ulang
dinyatakan oleh tokoh-tokoh Islam bahwa Islam tidak akan memaksakan
pendapatnya, maka saya memberanikan diri untuk meminta pada golongan Islam
supaya tidak menuntutkan direalisasikannya konsepsi negara sebagai religious institution.”
Tampaknya sebagian besar masalah
ditimbulkan oleh kekaburan dalam melihat hubungan agama, Pancasila dan negara. Ada
kesan kecemasan dari tokoh Islam bahwa Pancasila bisa menggantikan peran agama.
Tentang hal ini, Roeslan Abdoelgani merasa perlu meluruskan, “Bagi kita adalah
terang, bahwa Pancasila adalah nama bagi kelima dasar negara. Ia bukan agama
yang menempatkan dirinya secara congruent,
sama dan sebangun dengan agama Hindu, Buddha, atau secara antagonistis
berhadap-hadapan dengan Islam.”
Kecemasan kelompok Islam terutama timbul
dari menguatnya pengaruh komunisme dalam politik pasca-Pemilu 1955. Bagi
kelompok Islam, penerimaan tokoh-tokoh komunis atas Pancasila yang mengandung
sila Ketuhanan menunjukkan bahwa PKI tidak konsisten pada pendirian isme-nya,
dan harus dianggap sebagai siasat belaka. Terlebih perwakilan PKI dalam Komisi
I yang membahas dasar negara, berusaha mengganti sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’
dengan ‘Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup’.
Tentang usahanya itu, tokoh-tokoh PKI
seperti Sakirman, K.H. Dasuki Siradj, Nyoto, Jean Torey dan Wikana, punya
alasan sendiri. Dalam pandangan mereka, formulasi ‘Kemerdekaan Beragama dan
Berkeyakinan Hidup’ memang selain lebih bersifat ilmiah dan cocok dengan pengalaman
serta kebutuhan hidup, juga lebih mempunyai jiwa yang sesuai dengan ide
orisinal Bung Karno mengenai sila Ketuhanan, yakni ‘Ketuhanan yang
hormat-menghormati satu sama lain’. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh
Sakirman:
“Jika dengan sila ke-Tuhanan Yang Maha
Esa memang benar-benar tidak terkandung maksud paksaan-paksaan dan
perkosaan-perkosaan terhadap agama-agama dan keyakinan lain, jadi praktiknya,
pada pokoknya seperti dua belas tahun Republik Indonesia, maka demi
penghormatan kami kepada kaum monotheis dan kaum politheis yang mengakui adanya
kekuasaan tunggal yang meliputi seluruh kekuasaan bagian dan demi kelancaran
sidang-sidang Konstituante, maka PKI dalam Sidang Pleno ini menyatakan bersedia
menerima Pancasila tanpa perubahan atau perbaikan.”
Kesan ini muncul antara lain dari
pandangan Soekarno yang menerangkan ketuhanan dalam konsep darwinisme sosial
yang menganggap religiositas masyarakat agraris pra-industri dan pernyataan
tokoh-tokoh komunis yang mengidealkan penggantian sila ketuhanan menjadi sila
kebebasan beragama, termasuk kebebasan tidak beragama.
Berdasarkan pasal 29 (2) UUD 1945:
‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’.
Selain kebebasan beragama, dalam pasal 18 Konstitusi RIS dan UUD 1950 bahkan
disebutkan tentang jaminan kebebasan ‘keinsyafan batin dan pikiran’. Maknanya,
kebebasan juga diberikan kepada keyakinan kepercayaan lain, seperti kepercayaan
agnostik (agnosticism). Harap diingat bahwa di antara para anggota BPUPKI, ada
juga orang seperti Wongsonagoro, seorang teolog yang percaya kepada Tuhan Yang
Maha Esa (supreme being) tetapi tidak otomatis menganut agama tertentu.
Lebih dari itu, kepedulian Pancasila
lebih tertuju pada moralitas publik, tidak mencampuri moralitas (keyakinan)
pribadi. Oleh karena itu, dalam kerangka Ketuhanan menurut Pancasila, boleh
saja seseorang secara pribadi tidak memeluk agama formal (sebagai agnostik atau
bahkan atheis). Pengertian ‘atheis’ tidak sama dengan ‘anti-theis’. Akan tetapi
dalam kehidupan publiknya harus tetap menghormati nilai-nilai
Ketuhanan-keagamaan seperti dikehendaki Pancasila berdasarkan hasil kesepakatan
Konstitusional, sehingga tidak diperkenankan menyebarkan propaganda untuk
menolak atau membenci agama.
Demikianlah, setiap perwakilan kekuatan
politik sesungguhnya secara substantif memiliki titik temu dalam meyakini, atau
setidaknya menghargai pentingnya dasar Ketuhanan dalam kehidupan publik, lebih
khusus lagi dalam pengelolaan negara, Indonesia. Akan tetapi ketegangan
ideologis berbalutkan semangat politik identitas yang kerap menarik selubung
batas dengan yang lain, membuat golongan Islam bersikukuh ingin menamai dasar
negara itu dengan ‘Islam’, sementara mayoritas yang lain ingin menamainya
dengan ‘Pancasila’.
Di ambang kebuntuan, golongan Islam
sesungguhnya mulai menyadari kelemahan posisi dan ketidakmungkinan memaksakan
tuntutannya. Sebagaimana dicatat oleh Adnan Buyung Nasution (1995), ketika
tekanan untuk kembali ke UUD 1945 bergema, diam-diam para pimpinan Konstituante:
Wilopo, Prawoto, Idris Ilyas, Natsir dan beberapa yang lain masih berunding
mencari modus yang bisa diterima semua pihak dengan landasan demokrasi. Mereka
sepakat, demokrasi harus dijaga demi menyelamatkan kemajemukan Indonesia, hak-hak
asasi manusia, dan cita-cita negara hukum. Waktu itu pihak Natsir atau Masyumi
sudah sampai pada kesadaran bahwa dasar Negara Islam tidak bisa dipaksakan.
Ketegangan yang terjadi merupakan sesuatu yang wajar. Di lembaga demokrasi,
orang bebas menggunakan hak demokrasinya, dan hal itu tidaklah berarti
memaksakan kehendaknya.
Akan tetapi suasana ketidaksabaran dan
kegentingan dalam atmosfer politik membuka jalan bagi Soekarno untuk
membubarkan Konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang mengembalikan
Indonesia ke UUD 1945. Dalam Dekrit itu, Presiden Soekarno sekali lagi mencoba
melakukan kompromi dengan menyebutkan di awal Dekritnya, bahwa ‘Piagam Jakarta
menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi’.
Meskipun demikian, status ‘tujuh kata’ tetap tidak jelas dan terus menjadi
persoalan kontroversial. Ada yang menginterpretasikan Piagam Jakarta yang
menjiwai UUD 1945 ini merupakan Piagam versi rancangan Panitia Kecil BPUPKI (22
Juni), ada pula yang menafsirkannya sebagai Piagam versi penetapan PPKI (18
Agustus). Persoalan ‘tujuh kata’ ini pada akhirnya tenggelam dalam hiruk-pikuk
realitas politik semasa, dan setidaknya hingga awal milenium baru, tidak
berhasil dibangkitkan kembali.
Berdasarkan kenyataan ini, Negara Indonesia
berdasarkan Pancasila sila Ketuhanan Yang Maha Esa —bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga tidak menyatu
dengan agama. Tidak terpisah, karena negara, seperti yang dikatakan Roeslan
Abdoelgani, “Secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara dan
mengembangkan agama, khususnya melalui departemen agama. Tidak pula menyatu
dengan negara, karena negara tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan
tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu agama. Secara lazim dikatakan,
Indonesia bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama.”
(Bersambung)
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment