Tak biasanya markas sepi di sore hari. Mereka memiliki
agenda masing-masing. Tinggal Zi dan Uda’ saja yang menunggui markas. Berdua membaca
koran Minggu di ruang tamu dari surat kabar yang berbeda. Zi tampak serius
membaca halaman di Pojok Seni. Sebuah rubrik
yang menampilkan beberapa karya seni dari berbagai pengirim. Ada
lukisan, cerpen, cerbung, juga puisi.
Zi senyum-senyum sendiri membaca dua buah puisi karya Tari
Adinda. Puisi yang menggelitik perasaannya, membuatnya sedikit tersentil. Ia
mendongakkan kepalanya sebentar, mengintip aktivitas kawannya yang terkenal super silent itu. Tampak dengan
tangannya yang panjang, Uda’ membentangkan harian surat kabar hingga seluruh
wajahnya tenggelam. Tinggal batok kepalanya saja yang terlihat, ditumbuhi
rambut yang menempel, nyaris botak. Zi kembali menikmati bacaannya. Diulangya
lagi puisi itu dalam hati …
' perempuan pemuja cinta '
kaukah itu?
seperti kerbau dicocok hidungnya
ditindas, manut
dihisap, nurut
diperintah, ikut
tak diberi hak bersuara, manggutmanggut
berbahagialah ...
kau tak akan pernah ditinggalkan lelakimu
sebab sangat sulit
mencari perempuan BODOH sepertimu ...
seperti kerbau dicocok hidungnya
ditindas, manut
dihisap, nurut
diperintah, ikut
tak diberi hak bersuara, manggutmanggut
berbahagialah ...
kau tak akan pernah ditinggalkan lelakimu
sebab sangat sulit
mencari perempuan BODOH sepertimu ...
' menunggu '
seperti dinamika dalam hidup
seperti udara yang bergerak sembarang
begitu rasaku yang tak tetap
kadang ingin menyerah
lelah
kalah
kadang merindu setengah mati
lalu berikrar
mencinta sampai mati
tibatiba ingin membenci
memaki
bodo! persetan!!
fotomu tetap tenang
tersenyum ...
seperti udara yang bergerak sembarang
begitu rasaku yang tak tetap
kadang ingin menyerah
lelah
kalah
kadang merindu setengah mati
lalu berikrar
mencinta sampai mati
tibatiba ingin membenci
memaki
bodo! persetan!!
fotomu tetap tenang
tersenyum ...
Ehmm … apakah aku bodoh? Sebodoh
perempuan dalam puisi itu? Ah, tidak selalu. Aku menjadi bodoh di saat tertentu
saja. Tidak selalu bodoh. Hanya ketika aku menjauhi beberapa lelaki yang coba
mendekatiku demi menunggu sesuatu yang tak pasti. Dan dalam masa penantian itu,
berbagai rasa melandaku. Ada benci, ada rindu, juga cemburu. Rasa yang hanya
kutujukan untuk satu lelaki saja. Ah … kemana orang yang dulu biasa menungguku
di ruangan ini setiap aku pulang dari pasar? Sudah hampir setahun aku tak
melihatnya. Mas Wi memang sedang ditugaskan ke pedamalan Sumatera untuk
mengurusi para petani di sana. Tapi entah, apakah itu perintah dari ketua,
pengalihan tugas dari Inez, atau keinginan Mas Wi sendiri? Dan terakhir sebelum
ia pergi, aku hanya menemukan sobekan kertas berisi tulisan tangannya,
diselipkan di bawah pintu kamar …
Zi melipat korannya, meletakkan kembali di bawah meja.
Kerinduannya pada Mas Wi menyerang lagi, membuatnya ingin menjatuhkan air matanya
di atas kasur seperti pada malam-malam sebelumnya. Tetapi mendadak wajahnya
berubah. Ia menjadi kikuk, salah tingkah. Sepasang mata lelaki di hadapannya
menatap tajam tanpa senyuman. Zi menjadi lupa tujuannya semula. Ke mana arah
kamarnya, ke mana ia berjalan. Seperti robot, gerakan kakinya menjadi sangat
kaku. Dan setiap jengkal langkahnya seperti harus diatur. Apakah Si Uda’
benar-benar sedang memandangi Zi? Atau tanpa sadar telah menjadikannya media
untuk berimajinasi?
***
Tak banyak yang tahu tentang Hari Perempuan Sedunia atau Internasional Women’s Day yang
diperingati setiap tanggal 8 Maret. Apalagi sejarahnya.
Dari tulisan yang pernah ia baca dikatakan, bahwa Perayaan
Hari Perempuan Internasional pertama kali digagas pada abad ke -20, di tengah
gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya
protes-protes mengenai kondisi kerja. Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan
tekstil mengadakan protes pada tanggal 8 Maret 1857, di New York City. Protes
tentang apa yang mereka rasakan sebagai kondisi kerja yang sangat buruk dan
tingkat gaji yang rendah. Namun di tengah aksi, mereka diserang dan dibubarkan
oleh polisi. Dua tahun kemudian di bulan yang sama, kaum perempuan dari pabrik
garment itu membentuk serikat buruh.
Pada bulan Februari 1908, ratusan perempuan di Amerika
Serikat menggelar aksi massa menuntut hak-hak ekonomi dan politik bagi kaum
perempuan. Tahun 1909, sekitar 20.000 hingga 30.000 perempuan buruh garment di
Amerika Serikat, menggelar aksi massa menuntut kenaikan upah dan 8 jam kerja
sehari. Aksi massa yang digelar selama 13 Minggu berturut-turut itu ternyata
memberikan pengaruh yang cukup luas terhadap kebangkitan pekerja perempuan
hingga ke Eropa, yang pada akhirnya meraih keberhasilan. Tuntutan-tuntutan
mereka dipenuhi.
Pada tahun 1910, dalam Konferensi Internasional Pekerja
Perempuan di Copenhagen-Denmark disepakati, bahwa momentum tersebut
diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Meskipun pada saat itu belum
disepakati tanggalnya, namun Clara Zetkin, seorang politisi perempuan dari
Partai Sosialis Demokrat Jerman mengusulkan, bahwa kaum perempuan di seluruh
dunia harus memiliki momentum tertentu dalam setiap tahun dimana mereka dapat
memperingatinya sebagai bentuk penghormatan atas kebangkitan kaum perempuan
dalam perjuangan menuntut hak-hak sosial-ekonominya.
Proses penetapan waktu tersebut berjalan selama 7 tahun
berikutnya. Minggu terakhir di bulan Februari 1913, kaum perempuan di Rusia
menyelenggarakan demonstrasi untuk menentang perang dunia I. Setahun kemudian
demonstrasi itu meluas hingga ke seluruh Eropa, jatuh pada Minggu pertama di
bulan Maret.
Tahun 1917, kaum Perempuan di Rusia kembali melakukan
demonstrasi besar-besaran pada Minggu terakhir di bulan Februari dengan
mengusung tuntutan Bread and Peace atau Roti dan Perdamaian. Empat hari
kemudian, tepat pada tanggal 8 Maret dalam kalender Masehi, kekuasaan Tsar
Rusia jatuh, kemudian kaum perempuan mendapatkan hak pilih mereka.
Sejak saat itu, tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari
Perempuan Internasional sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan
dalam memperjuangkan hak-hak sosial-ekonominya.
Dan hari ini, Zi sedang berada di tengah aksi memperingati
Hari Perempuan Sedunia. Perempuan-perempuan dari berbagai profesi tumpah di
jalanan. Isu tentang perempuan yang mereka jadikan tuntutan dibentangkan
melalui spanduk-spanduk. Kegiatan mereka membuat macet jalanan, mengundang caci
maki para pengendara. Klakson berbunyi dari segala arah. Perempuan-perempuan
itu semakin beringas menutup jalan.
Begitulah manusia-manusia yang tidak memiliki kesadaran.
Menganggap para pendemo adalah pengganggu. Tak peduli apa tuntutannya dan siapa
pelakunya. Tak lagi memilah-milah tuntutan-tuntutan itu untuk kepentingan
mereka atau tidak. Baik aksi buruh, aksi petani, aksi kaum miskin kota, atau aksi-aksi
yang lainnya. Padahal pengunjuk rasa tidak sedang memperjuangkan nasibnya
sendiri. Jika tuntutan mereka dikabulkan, yang lain pun yang tidak ikut
berjuang, yang hanya duduk diam di rumah, atau yang tetap bekerja dengan gaji
utuh dan rasa aman karena tidak mendapatkan intimidasi dari perusahaan, ikut
menikmati hasilnya. Bagi yang merasa sudah tercukupi secara ekonomi harusnya
bersyukur karena mereka tak perlu berteriak-teriak menuntut haknya. Apalagi
mereka yang kekurangan. Tak sekedar hanya bersyukur karena tidak perlu
berpanas-panasan, kelaparan, kehausan, kelelahan seperti para demonstran itu.
Mereka justru seharusnya men-support.
Kalau perlu ikut terlibat di dalamnya, turun di tengah gelombang aksi
massa.
“Selamat
Hari Perempuan kawan-kawanku, saudara-saudaraku di mana saja berada, kaumku di
seluruh penjuru dunia. Hidup perempuan yang melawan!”
Demikian
Zi mengakhiri orasinya siang hari itu di atas mobil komando, di tengah massa perempuan
yang menyatukan diri, disambut serentak dengan teriakan, “Hidup!”
***
Sebenarnya memberi embel-embel
di depan nama seseorang itu tidak wajib bagi orang gerakan. Seperti mas, abang, mbak, dan sebagainya sesuai
dengan jenis kelamin dan asal sukunya. Lalu kata mas dan mbak menjadi
tambahan yang umum digunakan dalam masyarakat tanpa mengenal suku. Sebab mereka
menganggap semua kawan seperjuangannya itu sama atau setara. Tidak ada yang dianggap
lebih tua atau lebih muda seperti pandangan masyarakat pada umumnya.
Bagi orang-orang gerakan, mereka biasa mengganti embel-embel di depan nama seseorang
dengan bung, khusus untuk laki-laki,
dan kawan atau comrade untuk semua teman seperjuangannya. Namun menambahkannya pun
tidak lantas menjadi haram. Bisa dikatakan sebagai penghormatan saja.
Kalau Zi melakukan itu, hanya karena ia merasa nyaman, atau
terbiasa dari awal. Seperti Zi yang menambahkan kata bang, mas atau mbak pada
beberapa kawan yang menurutnya, usia mereka lebih muda dari dirinya. Juga saat
ia dulu masih bekerja. Di tempat kost-nya, hampir semua tetangga baik ibu-ibu,
bapak-bapak, maupun nenek-nenek memanggilnya dengan tambahan mbak atau kak. Zi tidak marah. Hanya orang-orang yang masih feodal saja yang
melakukan itu karena menganggap dirinya lebih muda, maunya dipanggil nama saja.
Atau sebaliknya. Mereka marah ketika orang yang dianggapnya lebih muda hanya
memanggil namanya sebab dianggap tak sopan.
Zi membebaskan siapapun memanggil dirinya meski hanya
namanya. Tak terkecuali pada seorang bocah lelaki kelas 1 Sekolah Dasar di
tempat kost-nya dulu. Atau keponakannya yang juga memanggil namanya saja.
Padahal kalau menurut silsilah, seharusnya keponakannya itu memanggilnya a’i. Seperti tradisi masyarakat Cina
dalam keluarganya, sama dengan tante.
Menurutnya, sopan atau tidaknya seseorang tidak diukur dari
hal-hal seperti itu. Zi menjadi geram teringat seseorang yang mengaku teman,
tapi seringkali menyerang dengan kata-katanya yang menampar. Membuatnya ngomel sendirian …
Baru sekali aku bertemu orang seperti
itu. Dipanggil “mbak” saja marahnya minta ampun, lalu menyerang umurku. Buat
apa menganggapku lebih tua, memanggilku ”mbak” tapi “menginjak kepala”?
Ya, yang penting adalah bagaimana menjaga sikap agar saling
menghargai dan menjaga lidah agar tidak saling menyakiti.
Zi mencoba meredam amarahnya, membelokkan ingatannya pada
sebuah nama yang tiba-tiba saja menjadi agung di hatinya. Nama yang memberi
warna lain dalam hidupnya, membuatnya rajin mencatat setiap geraknya.
Uda’, artinya sama dengan mas atau abang. Lelaki berdarah
Minang satu-satunya di markas itu adalah teman dekat Mas Wi. Meski organisasi
mereka berbeda, namun mereka kerap terlihat bersama. Sangat akrab. Mas Wi di
organisasi yang mengurusi petani, sedangkan Uda’ menggerakkan mahasiswa dan
pelajar.
Uda’ dikenal sebagai lelaki pendiam dan sangat dingin
terhadap perempuan. Seindah apa perempuan di hadapannya ditanggapi biasa saja.
Tidak menjadi terkagum-kagum, lalu memandangnya tak henti sambil tersenyum, terus
mengajaknya ngobrol atau merayu. Tidak. Uda’ tidak begitu. Tak terlihat
kampungan. Seandainya pun Uda’ mengagumi keindahannya, mungkin cukup dikatakan
dalam hati saja. Zi sangat setuju dengan tindakan itu.
“Jangan
memuji terlalu berlebihan untuk sesuatu yang tampak indah. Sebaliknya, jangan
pula mencela sesuatu yang terlihat tak indah. Semua ciptaan Yang Kuasa. Kita
harus adil menyikapinya.” Begitu pesan papa-nya yang kembali mengiang di
telinganya.
Dari tampangnya Uda’ terkesan galak.
Dari matanya yang terhalang kaca mata minus, terlihat ia seorang pemikir,
serius dan tegas. Ada yang cerita, kalau Uda’ pernah punya kekasih. Tetapi
kekasihnya itu selingkuh dengan kawannya sendiri. Meski begitu, Uda’ setia
menunggu bertahun-tahun, berharap kekasihnya kembali. Dan dalam masa sendiri,
berapa saja perempuan yang mengejarnya, Uda’ tak pernah peduli. Namun
akhir-akhir ini, Zi merasa ada yang berubah. Uda’ sering mencuri pandang.
Memalingkan wajahnya sebentar dari laptopnya, lalu serius lagi bekerja. Itu sebabnya
Zi menjadi salah tingkah ketika
tiba-tiba dari jarak dekat Uda’ menatapnya tak berkedip. Meski tak sedekat yang
pernah dilakukan Mas Wi.
Kipas angin sudah dinyalakan sejak tadi. Zi sudah bersiap
untuk tidur. Merapatkan selimut, memeluk boneka kesayangannya. Namun sebelum
memejamkan mata, ia ingin mengenang sejenak cerita baru dalam hidupnya.
Aku ingat betul, sejak kapan sikap
Uda’ mulai berubah. Tentu karena hampir setiap hari dan bertahun-tahun aku melihatnya
di markas. Berawal pada saat semua menghadiri kongres nasional, Uda’ tak
kelihatan. Mungkin Uda’ sedang berduka ketika hatinya kembali tercabik-cabik
untuk kedua kalinya. Perempuan yang pernah sangat dicintainya, pernah selingkuh
dan pergi dari kehidupannya, akhirnya meninggalkan kehidupan dunia. Ia
dipanggil Sang Pemilik Hidup. Ya … bagaimanapun, pejuang tetaplah manusia biasa
yang bisa rapuh. Hanya Uda’ tak berlama-lama larut dalam kesedihan. Seminggu
setelah kongres itu sikap Uda’ menjadi lain. Sepertinya Uda’ sudah mulai
membuka hatinya. Meski hanya sepintas lalu, tapi aku bisa merasakan tatapannya
yang tak biasa. Dan jika cerita yang pernah kudengar itu benar, berarti Uda’ memiliki kebodohan yang sama denganku.
Mengabaikan beberapa orang yang menawarkan cinta demi menunggu sesuatu yang tak
pasti. Dan itu juga artinya, bahwa Uda’ memiliki cinta yang kuat dan tingkat
kesetiaan yang tinggi seperti yang dimiliki kebanyakan perempuan. Hmm … kalau
saja benar Uda’ menginginkan aku, jelas tak pantas menolaknya. Laki-laki yang berbeda.
Laki-laki yang sangat menghargai perempuan …
~ Bersambung ~
(Casablanca, 6 Maret 2014)
Theme Song: (Harvey Malaiholo - Wanita) https://www.youtube.com/watch?v=83Jk-gjk3q8
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment