Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Friday, March 7, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 11)




Tak biasanya markas sepi di sore hari. Mereka memiliki agenda masing-masing. Tinggal Zi dan Uda’ saja yang menunggui markas. Berdua membaca koran Minggu di ruang tamu dari surat kabar yang berbeda. Zi tampak serius membaca halaman di Pojok Seni. Sebuah rubrik  yang menampilkan beberapa karya seni dari berbagai pengirim. Ada lukisan, cerpen, cerbung, juga puisi.
      
Zi senyum-senyum sendiri membaca dua buah puisi karya Tari Adinda. Puisi yang menggelitik perasaannya, membuatnya sedikit tersentil. Ia mendongakkan kepalanya sebentar, mengintip aktivitas kawannya yang terkenal super silent itu. Tampak dengan tangannya yang panjang, Uda’ membentangkan harian surat kabar hingga seluruh wajahnya tenggelam. Tinggal batok kepalanya saja yang terlihat, ditumbuhi rambut yang menempel, nyaris botak. Zi kembali menikmati bacaannya. Diulangya lagi puisi itu dalam hati …
  
' perempuan pemuja cinta ' 

kaukah itu?
seperti kerbau dicocok hidungnya
ditindas, manut
dihisap, nurut
diperintah, ikut
tak diberi hak bersuara, manggutmanggut
berbahagialah ...
kau tak akan pernah ditinggalkan lelakimu
sebab sangat sulit
mencari perempuan BODOH sepertimu ... 

' menunggu ' 

seperti dinamika dalam hidup
seperti udara yang bergerak sembarang
begitu rasaku yang tak tetap
kadang ingin menyerah
lelah
kalah
kadang merindu setengah mati
lalu berikrar
mencinta sampai mati
tibatiba ingin membenci
memaki
bodo! persetan!!

fotomu tetap tenang
tersenyum ...

      
Ehmm … apakah aku bodoh? Sebodoh perempuan dalam puisi itu? Ah, tidak selalu. Aku menjadi bodoh di saat tertentu saja. Tidak selalu bodoh. Hanya ketika aku menjauhi beberapa lelaki yang coba mendekatiku demi menunggu sesuatu yang tak pasti. Dan dalam masa penantian itu, berbagai rasa melandaku. Ada benci, ada rindu, juga cemburu. Rasa yang hanya kutujukan untuk satu lelaki saja. Ah … kemana orang yang dulu biasa menungguku di ruangan ini setiap aku pulang dari pasar? Sudah hampir setahun aku tak melihatnya. Mas Wi memang sedang ditugaskan ke pedamalan Sumatera untuk mengurusi para petani di sana. Tapi entah, apakah itu perintah dari ketua, pengalihan tugas dari Inez, atau keinginan Mas Wi sendiri? Dan terakhir sebelum ia pergi, aku hanya menemukan sobekan kertas berisi tulisan tangannya, diselipkan di bawah pintu kamar … 
      
Zi melipat korannya, meletakkan kembali di bawah meja. Kerinduannya pada Mas Wi menyerang lagi, membuatnya ingin menjatuhkan air matanya di atas kasur seperti pada malam-malam sebelumnya. Tetapi mendadak wajahnya berubah. Ia menjadi kikuk, salah tingkah. Sepasang mata lelaki di hadapannya menatap tajam tanpa senyuman. Zi menjadi lupa tujuannya semula. Ke mana arah kamarnya, ke mana ia berjalan. Seperti robot, gerakan kakinya menjadi sangat kaku. Dan setiap jengkal langkahnya seperti harus diatur. Apakah Si Uda’ benar-benar sedang memandangi Zi? Atau tanpa sadar telah menjadikannya media untuk berimajinasi?

*** 

Tak banyak yang tahu tentang Hari Perempuan Sedunia atau Internasional Women’s Day yang diperingati setiap tanggal 8 Maret. Apalagi sejarahnya.  
      
Dari tulisan yang pernah ia baca dikatakan, bahwa Perayaan Hari Perempuan Internasional pertama kali digagas pada abad ke -20, di tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja. Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan protes pada tanggal 8 Maret 1857, di New York City. Protes tentang apa yang mereka rasakan sebagai kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Namun di tengah aksi, mereka diserang dan dibubarkan oleh polisi. Dua tahun kemudian di bulan yang sama, kaum perempuan dari pabrik garment itu membentuk serikat buruh. 
      
Pada bulan Februari 1908, ratusan perempuan di Amerika Serikat menggelar aksi massa menuntut hak-hak ekonomi dan politik bagi kaum perempuan. Tahun 1909, sekitar 20.000 hingga 30.000 perempuan buruh garment di Amerika Serikat, menggelar aksi massa menuntut kenaikan upah dan 8 jam kerja sehari. Aksi massa yang digelar selama 13 Minggu berturut-turut itu ternyata memberikan pengaruh yang cukup luas terhadap kebangkitan pekerja perempuan hingga ke Eropa, yang pada akhirnya meraih keberhasilan. Tuntutan-tuntutan mereka dipenuhi. 
      
Pada tahun 1910, dalam Konferensi Internasional Pekerja Perempuan di Copenhagen-Denmark  disepakati, bahwa momentum tersebut diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Meskipun pada saat itu belum disepakati tanggalnya, namun Clara Zetkin, seorang politisi perempuan dari Partai Sosialis Demokrat Jerman mengusulkan, bahwa kaum perempuan di seluruh dunia harus memiliki momentum tertentu dalam setiap tahun dimana mereka dapat memperingatinya sebagai bentuk penghormatan atas kebangkitan kaum perempuan dalam perjuangan menuntut hak-hak sosial-ekonominya. 
      
Proses penetapan waktu tersebut berjalan selama 7 tahun berikutnya. Minggu terakhir di bulan Februari 1913, kaum perempuan di Rusia menyelenggarakan demonstrasi untuk menentang perang dunia I. Setahun kemudian demonstrasi itu meluas hingga ke seluruh Eropa, jatuh pada Minggu pertama di bulan Maret. 
      
Tahun 1917, kaum Perempuan di Rusia kembali melakukan demonstrasi besar-besaran pada Minggu terakhir di bulan Februari dengan mengusung tuntutan Bread and Peace atau Roti dan Perdamaian. Empat hari kemudian, tepat pada tanggal 8 Maret dalam kalender Masehi, kekuasaan Tsar Rusia jatuh, kemudian kaum perempuan mendapatkan hak pilih mereka. 
      
Sejak saat itu, tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak sosial-ekonominya.
      
Dan hari ini, Zi sedang berada di tengah aksi memperingati Hari Perempuan Sedunia. Perempuan-perempuan dari berbagai profesi tumpah di jalanan. Isu tentang perempuan yang mereka jadikan tuntutan dibentangkan melalui spanduk-spanduk. Kegiatan mereka membuat macet jalanan, mengundang caci maki para pengendara. Klakson berbunyi dari segala arah. Perempuan-perempuan itu semakin beringas menutup jalan. 
      
Begitulah manusia-manusia yang tidak memiliki kesadaran. Menganggap para pendemo adalah pengganggu. Tak peduli apa tuntutannya dan siapa pelakunya. Tak lagi memilah-milah tuntutan-tuntutan itu untuk kepentingan mereka atau tidak. Baik aksi buruh, aksi petani, aksi kaum miskin kota, atau aksi-aksi yang lainnya. Padahal pengunjuk rasa tidak sedang memperjuangkan nasibnya sendiri. Jika tuntutan mereka dikabulkan, yang lain pun yang tidak ikut berjuang, yang hanya duduk diam di rumah, atau yang tetap bekerja dengan gaji utuh dan rasa aman karena tidak mendapatkan intimidasi dari perusahaan, ikut menikmati hasilnya. Bagi yang merasa sudah tercukupi secara ekonomi harusnya bersyukur karena mereka tak perlu berteriak-teriak menuntut haknya. Apalagi mereka yang kekurangan. Tak sekedar hanya bersyukur karena tidak perlu berpanas-panasan, kelaparan, kehausan, kelelahan seperti para demonstran itu. Mereka justru seharusnya men-support. Kalau perlu ikut terlibat di dalamnya, turun di tengah gelombang aksi massa. 
      
“Selamat Hari Perempuan kawan-kawanku, saudara-saudaraku di mana saja berada, kaumku di seluruh penjuru dunia. Hidup perempuan yang melawan!” 
      
Demikian Zi mengakhiri orasinya siang hari itu di atas mobil komando, di tengah massa perempuan yang menyatukan diri, disambut serentak dengan teriakan, “Hidup!” 

*** 

Namanya Krisna Yudhistira. Kawan-kawannya biasa memanggil Kris atau Uda’ Kris. Hanya Zi yang memanggilnya Uda’ saja. 
      
Sebenarnya memberi embel-embel di depan nama seseorang itu tidak wajib bagi orang gerakan. Seperti mas, abang, mbak, dan sebagainya sesuai dengan jenis kelamin dan asal sukunya. Lalu kata mas dan mbak menjadi tambahan yang umum digunakan dalam masyarakat tanpa mengenal suku. Sebab mereka menganggap semua kawan seperjuangannya itu sama atau setara. Tidak ada yang dianggap lebih tua atau lebih muda seperti pandangan masyarakat pada umumnya.
      
Bagi orang-orang gerakan, mereka biasa mengganti embel-embel di depan nama seseorang dengan bung, khusus untuk laki-laki, dan kawan atau comrade untuk semua teman seperjuangannya. Namun menambahkannya pun tidak lantas menjadi haram. Bisa dikatakan sebagai penghormatan saja.
      
Kalau Zi melakukan itu, hanya karena ia merasa nyaman, atau terbiasa dari awal. Seperti Zi yang menambahkan kata bang, mas atau mbak pada beberapa kawan yang menurutnya, usia mereka lebih muda dari dirinya. Juga saat ia dulu masih bekerja. Di tempat kost-nya, hampir semua tetangga baik ibu-ibu, bapak-bapak, maupun nenek-nenek memanggilnya dengan tambahan mbak atau kak. Zi tidak marah. Hanya orang-orang yang masih feodal saja yang melakukan itu karena menganggap dirinya lebih muda, maunya dipanggil nama saja. Atau sebaliknya. Mereka marah ketika orang yang dianggapnya lebih muda hanya memanggil namanya sebab dianggap tak sopan. 
      
Zi membebaskan siapapun memanggil dirinya meski hanya namanya. Tak terkecuali pada seorang bocah lelaki kelas 1 Sekolah Dasar di tempat kost-nya dulu. Atau keponakannya yang juga memanggil namanya saja. Padahal kalau menurut silsilah, seharusnya keponakannya itu memanggilnya a’i. Seperti tradisi masyarakat Cina dalam keluarganya, sama dengan tante
      
Menurutnya, sopan atau tidaknya seseorang tidak diukur dari hal-hal seperti itu. Zi menjadi geram teringat seseorang yang mengaku teman, tapi seringkali menyerang dengan kata-katanya yang menampar. Membuatnya ngomel sendirian … 
      
Baru sekali aku bertemu orang seperti itu. Dipanggil “mbak” saja marahnya minta ampun, lalu menyerang umurku. Buat apa menganggapku lebih tua, memanggilku ”mbak” tapi “menginjak kepala”? 
      
Ya, yang penting adalah bagaimana menjaga sikap agar saling menghargai dan menjaga lidah agar tidak saling menyakiti.
      
Zi mencoba meredam amarahnya, membelokkan ingatannya pada sebuah nama yang tiba-tiba saja menjadi agung di hatinya. Nama yang memberi warna lain dalam hidupnya, membuatnya rajin mencatat setiap geraknya. 
      
Uda’, artinya sama dengan mas atau abang. Lelaki berdarah Minang satu-satunya di markas itu adalah teman dekat Mas Wi. Meski organisasi mereka berbeda, namun mereka kerap terlihat bersama. Sangat akrab. Mas Wi di organisasi yang mengurusi petani, sedangkan Uda’ menggerakkan mahasiswa dan pelajar. 
      
Uda’ dikenal sebagai lelaki pendiam dan sangat dingin terhadap perempuan. Seindah apa perempuan di hadapannya ditanggapi biasa saja. Tidak menjadi terkagum-kagum, lalu memandangnya tak henti sambil tersenyum, terus mengajaknya ngobrol atau merayu. Tidak. Uda’ tidak begitu. Tak terlihat kampungan. Seandainya pun Uda’ mengagumi keindahannya, mungkin cukup dikatakan dalam hati saja. Zi sangat setuju dengan tindakan itu. 
      
“Jangan memuji terlalu berlebihan untuk sesuatu yang tampak indah. Sebaliknya, jangan pula mencela sesuatu yang terlihat tak indah. Semua ciptaan Yang Kuasa. Kita harus adil menyikapinya.” Begitu pesan papa-nya yang kembali mengiang di telinganya.
      
Dari tampangnya Uda’ terkesan galak. Dari matanya yang terhalang kaca mata minus, terlihat ia seorang pemikir, serius dan tegas. Ada yang cerita, kalau Uda’ pernah punya kekasih. Tetapi kekasihnya itu selingkuh dengan kawannya sendiri. Meski begitu, Uda’ setia menunggu bertahun-tahun, berharap kekasihnya kembali. Dan dalam masa sendiri, berapa saja perempuan yang mengejarnya, Uda’ tak pernah peduli. Namun akhir-akhir ini, Zi merasa ada yang berubah. Uda’ sering mencuri pandang. Memalingkan wajahnya sebentar dari laptopnya, lalu serius lagi bekerja. Itu sebabnya Zi  menjadi salah tingkah ketika tiba-tiba dari jarak dekat Uda’ menatapnya tak berkedip. Meski tak sedekat yang pernah dilakukan Mas Wi. 
      
Kipas angin sudah dinyalakan sejak tadi. Zi sudah bersiap untuk tidur. Merapatkan selimut, memeluk boneka kesayangannya. Namun sebelum memejamkan mata, ia ingin mengenang sejenak cerita baru dalam hidupnya.
      
Aku ingat betul, sejak kapan sikap Uda’ mulai berubah. Tentu karena hampir setiap hari dan bertahun-tahun aku melihatnya di markas. Berawal pada saat semua menghadiri kongres nasional, Uda’ tak kelihatan. Mungkin Uda’ sedang berduka ketika hatinya kembali tercabik-cabik untuk kedua kalinya. Perempuan yang pernah sangat dicintainya, pernah selingkuh dan pergi dari kehidupannya, akhirnya meninggalkan kehidupan dunia. Ia dipanggil Sang Pemilik Hidup. Ya … bagaimanapun, pejuang tetaplah manusia biasa yang bisa rapuh. Hanya Uda’ tak berlama-lama larut dalam kesedihan. Seminggu setelah kongres itu sikap Uda’ menjadi lain. Sepertinya Uda’ sudah mulai membuka hatinya. Meski hanya sepintas lalu, tapi aku bisa merasakan tatapannya yang tak biasa. Dan jika cerita yang pernah kudengar itu benar, berarti  Uda’ memiliki kebodohan yang sama denganku. Mengabaikan beberapa orang yang menawarkan cinta demi menunggu sesuatu yang tak pasti. Dan itu juga artinya, bahwa Uda’ memiliki cinta yang kuat dan tingkat kesetiaan yang tinggi seperti yang dimiliki kebanyakan perempuan. Hmm … kalau saja benar Uda’ menginginkan aku, jelas tak pantas menolaknya. Laki-laki yang berbeda. Laki-laki yang sangat menghargai perempuan … 
 


~ Bersambung ~ 


(Casablanca, 6 Maret 2014)

Theme Song: (Harvey Malaiholo - Wanita) https://www.youtube.com/watch?v=83Jk-gjk3q8 

Photo Source: Google Images
















No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates