Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Monday, March 3, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 10)



Seorang pemuda menyodorkan nampan membagikan komuni berupa hosti dan anggur dalam gelas-gelas kecil yang sudah dikonsekrasi. Zi berdiri mengambil sepotong, memasukkan ke dalam mulutnya disusul segelas anggur. Ia kembali duduk. Bersama umat yang lain Zi terlihat khusuk mengikuti misa pagi. Seorang Romo yang sedang berkhotbah dan lagu-lagu pujian yang dinyanyikan dengan syahdu terdengar hingga ke pelataran.
      
Hari Minggu ini Zi tidak memiliki agenda perjuangan. Tidak ada rapat, diskusi atau pendidikan. Ia berencana akan mengunjungi kawannya di pengungsian sepulang dari gereja. 
      
Hujan yang tak berhenti mengguyur ibukota selama berhari-hari itu menyebabkan beberapa ruas jalan ditutup karena terendam banjir, dan beberapa rumah tenggelam. Zi memiliki kawan di luar gerakan yang kabarnya mengalami musibah itu. Seluruh rumah di kampungnya sudah tak terlihat. Hanya sebagian rumah yang bertingkat saja yang menyisakan atapnya. Beberapa orang yang tidak berkenan mengungsi bertahan di atap-atap rumah mereka dengan perbekalan seadanya. 
      
Kampung dekat kali Ciliwung itu memang langganan banjir. Tapi entah, kenapa mereka tetap saja bertahan di sana. Bisa jadi karena mereka kesulitan mendapatkan pembelinya meski rumah itu memiliki sertifikat. Itu sebabnya mereka selalu bersiap-siap mengumpulkan makanan jika musim hujan tiba. Karena seperti cerita kawannya itu, ia tak selalu mengungsi jika banjir hanya sampai dua atau tiga hari. Ia bersama keluarganya cukup bertahan di atap rumah tingkatnya saja. Bila air sudah surut, para penghuni kampung itu tak hanya mencuci perabotan, juga mencuci bangunan rumah mereka. Mencuci rumah? Terbayang, betapa pekerjaan itu sangat melelahkan. Sebuah perjuangan yang luar biasa menurutnya, karena belum tentu dalam beberapa bulan hal itu baru terjadi lagi. Bisa mungkin dalam satu atau dua Minggu, bahkan dalam hitungan hari rumah mereka kembali kotor terkena banjir. 
      
Berbeda lagi dengan cerita anggota organisasinya yang bekerja di pabrik. Meski rumah tinggalnya aman dari banjir, namun kawasan pabrik sudah seperti lautan saat ia sampai di pintu gerbang. Di sana ditempelkan beberapa pengumuman dari pabrik masing-masing. Jika ada perusahaan yang menginstruksikan libur kepada pekerjanya, itu artinya pabriknya tergenang air. Mereka bebas pulang kembali. Jika tidak, beberapa orang akan memaksakan diri menerjang banjir karena dianggap aman untuk berproduksi. Ada kewajiban bagi para karyawan untuk tetap masuk kerja. Manager perusahaan yang tidak bijak menurutnya, karena ia tak melihat kondisi di sekeliling pabrik yang tidak kondusif. Banjir yang menutupi jalan, membahayakan para pejalan kaki jika volume air cukup tinggi. Seperti cerita salah seorang anggotanya yang lain, katanya, ada kejadian seorang ibu hamil terperosok ke dalam selokan yang cukup besar. Ibu itu pingsan karena sempat tenggelam beberapa saat hingga harus dilarikan ke rumah sakit. 
      
Kenapa para pekerja memaksakan diri masuk pabrik saat banjir? Karena jika kewajiban yang sudah ditetapkan oleh perusahaan itu dilanggar, konsekwensinya, gaji mereka akan dipotong. Tak berbeda dengan mereka yang diliburkan. Mereka wajib mengganti hari libur itu di hari yang lain. Bisa diambil pada hari Minggu saat para pekerja seharusnya menikmati masa liburnya. Atau mengambil beberapa jam di luar jam kerja saat mereka seharusnya pulang. Seperti lembur yang tidak dibayar. Pengambilan beberapa jam dalam sehari di luar jam kerja itu akan terus dilakukan dalam beberapa hari hingga mampu menutupi jumlah waktu libur yang telah diberikan perusahaan saat itu. Intinya, para buruh pabrik itu dianggap berhutang waktu pada perusahaan, dan wajib membayarnya. Gila! Itu kan musibah. Memang itu kemauan mereka untuk tidak bekerja? Manusia-manusia yang tidak berperikemanusiaan, yang hanya memikirkan untung dan untung. Menyamakan pekerjanya selayak sapi, kerbau, atau kuda yang setiap saat bisa diperas tenaganya dengan peraturan yang mereka buat sebagai cambuknya. Sinting! Karena yang mereka lakukan itu hanya untuk kepentingannya sendiri, yang dengan sadar atau tidak juga menguntungkan pemilik modal. Memperbaiki citranya, menyenangkan atasannya dengan terus menumpuk kekayaan bos besarnya di luar negeri sana, agar ia bisa terus dipekerjakan. Bangga, ketika dianggap berhasil karena perusahaan yang dipimpinnya maju hingga mampu membuka cabang, lalu mendapatkan penghargaan atau kenaikan jabatan dengan cara menindas bangsanya sendiri. Itulah manusia-manusia Indonesia penjilat pantat kapitalis! 
      
Memang, tidak semua perusahaan begitu. Jika managemen perusahaan bagus atau ada kontrol dari serikat buruhnya, hal itu tidak akan terjadi. Kalau saja para pekerja itu sadar bahwa mereka harus bersatu dengan para buruh yang lainnya. Meleburkan diri ke dalam sebuah wadah atau organisasi, maka dengan kekuatan itu mereka pasti mampu melawan peraturan yang menindas ... 
      
Setelah tiga kali naik angkutan, Zi akhirnya sampai ke tempat yang dituju. Sebuah gedung olah raga yang kini difungsikan sebagai tempat penampungan para korban banjir. 
      
Dari jauh Andi melambaikan tangan ketika Zi mulai mencari-cari. Zi mendatangi kawannya. Mereka saling melempar senyum, bersalaman. 
      
“Bagaimana? Bagaimana? Tentu aku tidak akan menanyakan kabarmu, Ndi. Karena aku tahu, kabarmu sedang tidak baik.” 
      
Andi tersenyum. “Duduk sini, Zi.” Andi mengajaknya menuju sebuah bangku panjang. 
      
“Lah, mana anak dan istrimu?” 
      
“Itu, di tempat yang paling ujung.” Andi mengarahkan telunjuknya. “Repot, Zi, kalau mau lewat tapi banyak yang sedang tiduran begitu. Aku saja kalau tidur malam seringnya di bangku ini. Habis, kebanyakan mereka tidak mau dilewati dekat kepalanya. Sedangkan tidur mereka kan tidak beraturan. Yang di sini bilang, lewat sana saja, yang di sana juga bilang begitu. Bingung.” 
      
Andi tersenyum lagi. Zi menangkap kesedihan yang coba disembunyikan oleh kawannya itu. 
      
“Eh, Ndi, kamar kecil ada di mana ya? Sejak di angkutan aku sudah nahan pipis nih.” 
      
“Oh, di sana.” Jarinya menunjuk arah. “Dari sini kamu lurus, terus belok kiri sampai ujung, lalu belok kiri lagi.” 
      
Zi berjalan mengikuti petunjuk Andi. Ia menemukan beberapa kamar mandi yang berjejer tak berhadapan. Seperti biasa, Zi akan menyeleksi tempat yang bersih. Di kamar mandi pertama, air dalam kolam tinggal separuh ukuran jari. Kotor. Kamar kedua, pintunya rusak tak bisa ditutup. Kamar ketiga, kran-nya tidak ada, bak mandi kering. Kamar keempat, gayung pecah. Kamar selanjutnya, pintunya tergeletak, benar-benar lepas dari engselnya. Kamar terakhir, lumayan, meski kotornya luar biasa. Mungkin kamar ini yang sering digunakan, pikirnya. Zi memasuki kamar mandi dan buru-buru keluar karena menahan nafas. Berlari-lari kecil, ia keluar dari area itu menemui Andi. 
      
“Kenapa, Zi? Kok wajahmu jadi berubah begitu?” 
      
“Ampun kamar mandinya, Andiiiii …” 
      
“Hehehe … kotor ya?” 
      
“Tidak sekedar kotor, tapi tidak terawat. Ini kan gedung olah raga yang cukup besar, tentunya ada pemasukan. Kenapa bisa begitu?” 
      
“Awalnya, waktu kami masuk ke sini, bagus kok kondisinya. Lama-lama jadi begitu. Sudah begitu kalau pagi, antriannya panjang. Nggak ada putusnya. Baru siang hari, agak sepi. Makanya, aku selalu jalan kalau pagi. Cari tumpangan ke kantor-kantor teman yang aku kenal. Sekalian mandi, cuci pakaian kotor kami.” 
      
“Sejak digunakan para pengungsi maksudmu?” 
      
“Iya. Kamu lihat nggak, ada beberapa pintu yang rusak? Awalnya, semua pintu bagus dan berfungsi. Sempat menemui kran yang patah? Tadinya, semua lengkap. Nggak ada yang kurang, termasuk gayung di kamar mandi masing-masing dalam keadaan bagus.” 
      
“Apa mereka dorong-dorongan waktu masuk, sampai pintunya rusak begitu? Terus, muter kran-nya, apa ya rebutan sampai jadi patah ?” 
      
“Ya nggak juga. Tapi nggak tahulah, bagaimana cara mereka menggunakan, kok bisa begitu.” 
      
“Memang nggak ada cleaning cervis-nya?” 
      
“Ada, tapi tidak setiap hari bersih-bersih. Selama seminggu di sini, baru dua kali aku lihat mereka. Mungkin kerepotan, karena kamar mandi nggak pernah sepi.” 
      
“Terus, kenapa di setiap kamar mandi banyak sekali pakaian-pakaian kotor yang digantungkan? Kenapa masing-masing orang tidak menyimpannya saja? Biar rapi. Jadi tidak terlihat semrawut begitu. Kalau ada yang mau mandi kan mengganggu juga. Lalu, apa mereka ingat, pakaiannya ada di kamar mandi yang mana? Nggak takutkah orang salah ambil atau sengaja mengambil miliknya?” 
      
“Itu pakaian yang dibuang, Zi.” 
      
“Hah?” Matanya yang sipit melotot. “Menakjubkan sekali. Pertanyaan dan pernyataanku yang kalau digabung jadi panjang kali lebar sama dengan lega, ternyata cuma kamu jawab dengan singkat: Itu pakaian yang dibuang, Zi. Haduuuh, aku belum paham maksudmu. Coba jelaskan, Ndi. Coba jelaskan.” 
      
“Hehehe … begini, Zi … Kami kan banyak mendapat sumbangan, dan itu tak hanya berupa makanan. Ada pakaian, selimut, pembalut, juga obat-obatan. Nah, yang tadinya mereka rajin mencuci, sejak mendapat sumbangan pakaian itu, mereka tidak mau susah-susah lagi. Merasa banyak pakaian, tinggal ambil. Habis dipakai, ya dibuang. Jadi pakaian-pakaian yang kamu temui di kamar mandi itu, sudah nggak ada pemiliknya. Nggak ada yang ribut mencari kalaupun diambil atau dibersihkan. Sudah dibuang kok. Dan cara membuangnya, ya begitu.” 
      
“Apa kamu termasuk di dalamnya?” 
      
“Enggaklah. Aku seperti biasa, mengumpulkan pakaian kotor di satu tempat. Biasanya sih, di kantong plastik. Pagi, aku pergi cari tumpangan mandi, sekalian mencuci.” 
      
Zi mendengar suara adzan.
      
“Eh, sudah Magrib ternyata. Kamu nggak sholat, Ndi?” 
      
“Iya. Tapi bagaimana? Masak ada tamu ditinggal. Lagi pula, kamu sendiri nggak sholat.” 
      
“Memang kenapa? Agama kita memang berbeda. Ritual kita menyembah Tuhan pun berbeda. Tetapi jangan jadikan perbedaan itu menjadi penghalang hingga kita saling membatasi. Nggak apa-apa, aku tunggu di sini.” 
      
“Hehe … ya sudah, aku tinggal sebentar ya?” 
      
“Iya, Andiiiii …” 
       
Andi segera pergi menuju masjid tak jauh dari gedung olah raga itu berada. Dan satu per satu para lelaki yang berada di pengungsian itu pun berbondong-bondong menuju masjid untuk melakukan sholat berjama’ah. Beberapa perempuan, terlihat melakukan sholat di dekat tempat mereka saja. 
      
Zi ingat cerita Andi, membuatnya tak habis berpikir … 
      
Kenapa mereka bisa begitu ya? Mereka kan sedang diberi tumpangan. Kenapa tidak mau menjaga? Meskipun itu bukan miliknya, tetapi mereka kan ikut menggunakan. Hargai-laaah … Lalu, ketika air sudah surut, dan semua harus kembali ke rumahnya masing-masing. Apakah fasilitas yang sudah disediakan dalam keadaan baik itu, akan ditinggalkan dalam keadaan kotor dan rusak? Benar-benar tidak tahu terima kasih. Tidak tahu diri! Juga dengan pakaian yang sekali pakai langsung dibuang? Sombong sekali mereka itu. Orang miskin kok sombong. Apa mungkin ada yang protes, jika aku sanggup mengatakan itu pada mereka? Tentu mereka yang masih merasa kaya. Yang sebelumnya memiliki banyak uang, mobil, perabotan mewah, sehingga tidak rela dikatakan miskin. Menurutku, siapapun yang berada di pengungsian, sudah bukan orang kaya lagi. Mereka sudah menjadi orang yang tak berpunya, karena mereka butuh dikasihani, butuh ditolong, butuh disumbang. Padahal, para penyumbang itu sedang memikirkan nasib mereka. Bagi orang yang tidak memiliki kepedulian, tidak akan sudi mengumpulkan pakaian yang sudah tak terpakai. Hanya memenuhi lemari atau rumahnya saja. Kalau tidak dijadikan lap atau kain pel, ya dibuang ke tempat sampah. Para penyumbang juga ikut merasakan sedih, membayangkan orang-orang di pengungsian yang dalam kekurangan. Tapi apa yang mereka lakukan? Ya Tuhankuuu … mental apa ini namanya? Yang sukanya mengandalkan orang lain, menggampangkan segala sesuatu tanpa ikut berperan serta. Memprihatinkan sekali watak mayoritas bangsa ini. Yang pernah sekolah dan yang tidak, kok ya sama saja. Ya … sekolah atau perguruan tinggi memang tidak menjamin. Semua berangkat dari dalam rumah, dan orang tua adalah guru yang pertama … 
      
“Jangan melamun, nanti kesambet lho.” Suara Andi mengagetkannya. 
      
“Eh, kamu sudah sampai.” 
      
“Lama nggak?” 
      
“Entah. Aku tidak memikirkan waktu saat kamu tinggalkan. Jadi aku tidak merasa menunggu.”
      
“Ya, karena kamu asyik melamun.” 
      
“Bagus kan? Aku jadi tidak merasa tersiksa menunggu waktu.” 
      
“Melamunkan apa sih? Pacarmu ya?” 
      
“Enggak. Ingat yang tadi kita bicarakan. Tentang para pengungsi di sini. Menyedihkan sekali cara berpikir mereka.” 
      
“Iya.” 
      
“Ndi, aku pamit dulu ya. Takut kemalaman sampai markas.” 
      
“Nggak ingin ketemu istriku?” 
      
“Ya, dari tadi aku tunggu tidak keluar juga. Titip salam saja ya.” 
      
“Oke.” 
      
Zi mengeluarkan amplop dari dalam tas-nya. “Maaf ya, Ndi, aku nggak bawa apa-apa. Hanya ini saja buat tambahan, semoga bermanfaat.” Zi menyalami tangan Andi dan segera berlalu pergi. 

*** 

      
Sekitar pukul sepuluh malam, Zi baru sampai di markas. Tepat di halaman, Zi menghentikan langkahnya ketika mendengar tawa Mas Wi di ruang tamu, sedang bercanda dengan beberapa kawannya yang lain. Rencana untuk masuk ke kamar dan istirahat dibatalkan. Zi menuju taman. Menduduki ayunan, ia memandangi air mancur dan ikan-ikan hias dalam kolam. 

Mas Wi keluar, kaget melewati taman dan mendapati Zi berada di sana. 
      
“Eh, Zi …” 
      
Mas Wi duduk di ayunan, menghadapi Zi. Zi tak menjawab. Pandangannya yang semula dibebaskan, kini difokuskan pada kedua tangannya yang sedang memainkan jari-jarinya. Menunduk. 
      
“Apa kabarmu, Zi?” 
      
Seperti biasa, Mas Wi menatap matanya dalam-dalam sambil memamerkan senyumnya. 
      
“Aku sudah tahu tentang Mas Wi. Dan aku masih belum bisa terima kenyataan itu. Aku ingin mati, maaaaass …” Masih sambil menatap dan memainkan jemarinya. 
      
Mas Wi tertawa terkekeh-kekeh. Tapi mendadak berhenti melihat ada yang jatuh membasahi tangan gadis itu. Wajah Mas Wi berubah sendu, kemudian tersenyum, namun terasa dipaksakan. Zi mengusap pipinya, juga hidungnya yang mulai penuh cairan bening. Mas Wi menuruni ayunan, berjalan mendekat, berdiri tepat di belakang punggungnya. Sebentar, Zi merasakan jemari Mas Wi menyentuh lengan kirinya dan mengusap lembut. 
      
”Perjuangan masih panjang, Zi …” 
      
Dan Mas Wi segera berlalu meninggalkannya, meninggalkan markas, membelah malam-malam pekat … 

~ Bersambung ~ 


(Casablanca, 26 Februari 2014) 

Theme Song: (Utopia - Lentera Cinta) http://www.youtube.com/watch?v=gEE0VBNWYaA

Photo Source: Google Images

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates