Seorang pemuda menyodorkan nampan membagikan komuni berupa
hosti dan anggur dalam gelas-gelas kecil yang sudah dikonsekrasi. Zi berdiri
mengambil sepotong, memasukkan ke dalam mulutnya disusul segelas anggur. Ia
kembali duduk. Bersama umat yang lain Zi terlihat khusuk mengikuti misa pagi.
Seorang Romo yang sedang berkhotbah dan lagu-lagu pujian yang dinyanyikan
dengan syahdu terdengar hingga ke pelataran.
Hari Minggu ini Zi tidak memiliki agenda perjuangan. Tidak
ada rapat, diskusi atau pendidikan. Ia berencana akan mengunjungi kawannya di
pengungsian sepulang dari gereja.
Hujan yang tak berhenti mengguyur ibukota selama
berhari-hari itu menyebabkan beberapa ruas jalan ditutup karena terendam
banjir, dan beberapa rumah tenggelam. Zi memiliki kawan di luar gerakan yang
kabarnya mengalami musibah itu. Seluruh rumah di kampungnya sudah tak terlihat.
Hanya sebagian rumah yang bertingkat saja yang menyisakan atapnya. Beberapa
orang yang tidak berkenan mengungsi bertahan di atap-atap rumah mereka dengan
perbekalan seadanya.
Kampung dekat kali Ciliwung itu memang langganan banjir.
Tapi entah, kenapa mereka tetap saja bertahan di sana. Bisa jadi karena mereka
kesulitan mendapatkan pembelinya meski rumah itu memiliki sertifikat. Itu
sebabnya mereka selalu bersiap-siap mengumpulkan makanan jika musim hujan tiba.
Karena seperti cerita kawannya itu, ia tak selalu mengungsi jika banjir hanya
sampai dua atau tiga hari. Ia bersama keluarganya cukup bertahan di atap rumah
tingkatnya saja. Bila air sudah surut, para penghuni kampung itu tak hanya
mencuci perabotan, juga mencuci bangunan rumah mereka. Mencuci rumah?
Terbayang, betapa pekerjaan itu sangat melelahkan. Sebuah perjuangan yang luar
biasa menurutnya, karena belum tentu dalam beberapa bulan hal itu baru terjadi
lagi. Bisa mungkin dalam satu atau dua Minggu, bahkan dalam hitungan hari rumah
mereka kembali kotor terkena banjir.
Berbeda lagi dengan cerita anggota organisasinya yang bekerja
di pabrik. Meski rumah tinggalnya aman dari banjir, namun kawasan pabrik sudah
seperti lautan saat ia sampai di pintu gerbang. Di sana ditempelkan beberapa
pengumuman dari pabrik masing-masing. Jika ada perusahaan yang menginstruksikan
libur kepada pekerjanya, itu artinya pabriknya tergenang air. Mereka bebas pulang
kembali. Jika tidak, beberapa orang akan memaksakan diri menerjang banjir karena
dianggap aman untuk berproduksi. Ada kewajiban bagi para karyawan untuk tetap
masuk kerja. Manager perusahaan yang tidak bijak menurutnya, karena ia tak
melihat kondisi di sekeliling pabrik yang tidak kondusif. Banjir yang menutupi
jalan, membahayakan para pejalan kaki jika volume air cukup tinggi. Seperti
cerita salah seorang anggotanya yang lain, katanya, ada kejadian seorang ibu
hamil terperosok ke dalam selokan yang cukup besar. Ibu itu pingsan karena
sempat tenggelam beberapa saat hingga harus dilarikan ke rumah sakit.
Kenapa para pekerja memaksakan diri masuk pabrik saat
banjir? Karena jika kewajiban yang sudah ditetapkan oleh perusahaan itu
dilanggar, konsekwensinya, gaji mereka akan dipotong. Tak berbeda dengan mereka
yang diliburkan. Mereka wajib mengganti hari libur itu di hari yang lain. Bisa
diambil pada hari Minggu saat para pekerja seharusnya menikmati masa liburnya.
Atau mengambil beberapa jam di luar jam kerja saat mereka seharusnya pulang.
Seperti lembur yang tidak dibayar. Pengambilan beberapa jam dalam sehari di
luar jam kerja itu akan terus dilakukan dalam beberapa hari hingga mampu
menutupi jumlah waktu libur yang telah diberikan perusahaan saat itu. Intinya,
para buruh pabrik itu dianggap berhutang waktu pada perusahaan, dan wajib
membayarnya. Gila! Itu kan musibah. Memang itu kemauan mereka untuk tidak
bekerja? Manusia-manusia yang tidak berperikemanusiaan, yang hanya memikirkan
untung dan untung. Menyamakan pekerjanya selayak sapi, kerbau, atau kuda yang
setiap saat bisa diperas tenaganya dengan peraturan yang mereka buat sebagai
cambuknya. Sinting! Karena yang mereka lakukan itu hanya untuk kepentingannya
sendiri, yang dengan sadar atau tidak juga menguntungkan pemilik modal.
Memperbaiki citranya, menyenangkan atasannya dengan terus menumpuk kekayaan bos
besarnya di luar negeri sana, agar ia bisa terus dipekerjakan. Bangga, ketika
dianggap berhasil karena perusahaan yang dipimpinnya maju hingga mampu membuka
cabang, lalu mendapatkan penghargaan atau kenaikan jabatan dengan cara menindas
bangsanya sendiri. Itulah manusia-manusia Indonesia penjilat pantat kapitalis!
Memang, tidak semua perusahaan
begitu. Jika managemen perusahaan bagus atau ada kontrol dari serikat buruhnya,
hal itu tidak akan terjadi. Kalau
saja para pekerja itu sadar bahwa mereka harus bersatu dengan para buruh yang
lainnya. Meleburkan diri ke dalam sebuah wadah atau organisasi, maka dengan
kekuatan itu mereka pasti mampu melawan peraturan yang menindas ...
Setelah tiga kali naik angkutan, Zi akhirnya sampai ke
tempat yang dituju. Sebuah gedung olah raga yang kini difungsikan sebagai
tempat penampungan para korban banjir.
Dari jauh Andi melambaikan tangan ketika Zi mulai
mencari-cari. Zi mendatangi kawannya. Mereka saling melempar senyum,
bersalaman.
“Bagaimana? Bagaimana? Tentu aku tidak akan menanyakan
kabarmu, Ndi. Karena aku tahu, kabarmu sedang tidak baik.”
Andi tersenyum. “Duduk sini, Zi.” Andi mengajaknya
menuju sebuah bangku panjang.
“Lah, mana anak dan istrimu?”
“Itu, di tempat yang paling ujung.” Andi mengarahkan
telunjuknya. “Repot, Zi, kalau mau lewat tapi banyak yang sedang tiduran begitu.
Aku saja kalau tidur malam seringnya di bangku ini. Habis, kebanyakan mereka
tidak mau dilewati dekat kepalanya. Sedangkan tidur mereka kan tidak beraturan.
Yang di sini bilang, lewat sana saja, yang di sana juga bilang begitu. Bingung.”
Andi tersenyum lagi. Zi menangkap kesedihan yang coba
disembunyikan oleh kawannya itu.
“Eh, Ndi, kamar kecil ada di mana ya? Sejak di angkutan aku
sudah nahan pipis nih.”
“Oh, di sana.” Jarinya menunjuk arah. “Dari sini kamu lurus,
terus belok kiri sampai ujung, lalu belok kiri lagi.”
Zi berjalan mengikuti petunjuk Andi. Ia menemukan beberapa
kamar mandi yang berjejer tak berhadapan. Seperti biasa, Zi akan menyeleksi
tempat yang bersih. Di kamar mandi pertama, air dalam kolam tinggal separuh
ukuran jari. Kotor. Kamar kedua, pintunya rusak tak bisa ditutup. Kamar ketiga,
kran-nya tidak ada, bak mandi kering. Kamar keempat, gayung pecah. Kamar
selanjutnya, pintunya tergeletak, benar-benar lepas dari engselnya. Kamar
terakhir, lumayan, meski kotornya luar biasa. Mungkin kamar ini yang sering
digunakan, pikirnya. Zi memasuki kamar mandi dan buru-buru keluar karena
menahan nafas. Berlari-lari kecil, ia keluar dari area itu menemui Andi.
“Kenapa, Zi? Kok wajahmu jadi berubah begitu?”
“Ampun kamar mandinya, Andiiiii …”
“Hehehe … kotor ya?”
“Tidak sekedar kotor, tapi tidak terawat. Ini kan gedung
olah raga yang cukup besar, tentunya ada pemasukan. Kenapa bisa begitu?”
“Awalnya, waktu kami masuk ke sini, bagus kok kondisinya.
Lama-lama jadi begitu. Sudah begitu kalau pagi, antriannya panjang. Nggak ada
putusnya. Baru siang hari, agak sepi. Makanya, aku selalu jalan kalau pagi.
Cari tumpangan ke kantor-kantor teman yang aku kenal. Sekalian mandi, cuci
pakaian kotor kami.”
“Sejak digunakan para pengungsi maksudmu?”
“Iya. Kamu lihat nggak, ada beberapa pintu yang rusak?
Awalnya, semua pintu bagus dan berfungsi. Sempat menemui kran yang patah?
Tadinya, semua lengkap. Nggak ada yang kurang, termasuk gayung di kamar mandi
masing-masing dalam keadaan bagus.”
“Apa mereka dorong-dorongan waktu masuk, sampai pintunya
rusak begitu? Terus, muter kran-nya, apa ya rebutan sampai jadi patah ?”
“Ya nggak juga. Tapi nggak tahulah, bagaimana cara mereka
menggunakan, kok bisa begitu.”
“Memang nggak ada cleaning
cervis-nya?”
“Ada, tapi tidak setiap hari bersih-bersih. Selama seminggu
di sini, baru dua kali aku lihat mereka. Mungkin kerepotan, karena kamar mandi
nggak pernah sepi.”
“Terus, kenapa di setiap kamar mandi banyak sekali
pakaian-pakaian kotor yang digantungkan? Kenapa masing-masing orang tidak
menyimpannya saja? Biar rapi. Jadi tidak terlihat semrawut begitu. Kalau ada yang mau mandi kan mengganggu juga.
Lalu, apa mereka ingat, pakaiannya ada di kamar mandi yang mana? Nggak takutkah
orang salah ambil atau sengaja mengambil miliknya?”
“Itu pakaian yang dibuang, Zi.”
“Hah?” Matanya yang sipit melotot. “Menakjubkan sekali.
Pertanyaan dan pernyataanku yang kalau digabung jadi panjang kali lebar sama
dengan lega, ternyata cuma kamu jawab dengan singkat: Itu pakaian yang dibuang,
Zi. Haduuuh, aku belum paham maksudmu. Coba jelaskan, Ndi. Coba jelaskan.”
“Hehehe … begini, Zi … Kami kan banyak mendapat sumbangan,
dan itu tak hanya berupa makanan. Ada pakaian, selimut, pembalut, juga
obat-obatan. Nah, yang tadinya mereka rajin mencuci, sejak mendapat sumbangan
pakaian itu, mereka tidak mau susah-susah lagi. Merasa banyak pakaian, tinggal
ambil. Habis dipakai, ya dibuang. Jadi pakaian-pakaian yang kamu temui di kamar
mandi itu, sudah nggak ada pemiliknya. Nggak ada yang ribut mencari kalaupun
diambil atau dibersihkan. Sudah dibuang kok. Dan cara membuangnya, ya
begitu.”
“Apa kamu termasuk di dalamnya?”
“Enggaklah. Aku seperti biasa, mengumpulkan pakaian kotor di
satu tempat. Biasanya sih, di kantong plastik. Pagi, aku pergi cari tumpangan
mandi, sekalian mencuci.”
Zi mendengar suara adzan.
“Eh, sudah Magrib ternyata. Kamu nggak sholat, Ndi?”
“Iya. Tapi bagaimana? Masak ada tamu ditinggal. Lagi pula,
kamu sendiri nggak sholat.”
“Memang kenapa? Agama kita memang berbeda. Ritual kita
menyembah Tuhan pun berbeda. Tetapi jangan jadikan perbedaan itu menjadi
penghalang hingga kita saling membatasi. Nggak apa-apa, aku tunggu di
sini.”
“Hehe … ya sudah, aku tinggal sebentar ya?”
“Iya, Andiiiii …”
Andi segera pergi menuju masjid tak jauh dari gedung olah
raga itu berada. Dan satu per satu para lelaki yang berada di pengungsian itu pun
berbondong-bondong menuju masjid untuk melakukan sholat berjama’ah. Beberapa
perempuan, terlihat melakukan sholat di dekat tempat mereka saja.
Zi ingat cerita Andi, membuatnya tak habis berpikir …
Kenapa mereka bisa begitu ya? Mereka
kan sedang diberi tumpangan. Kenapa tidak mau menjaga? Meskipun itu bukan
miliknya, tetapi mereka kan ikut menggunakan. Hargai-laaah … Lalu, ketika air
sudah surut, dan semua harus kembali ke rumahnya masing-masing. Apakah
fasilitas yang sudah disediakan dalam keadaan baik itu, akan ditinggalkan dalam
keadaan kotor dan rusak? Benar-benar tidak tahu terima kasih. Tidak tahu diri!
Juga dengan pakaian yang sekali pakai langsung dibuang? Sombong sekali mereka
itu. Orang miskin kok sombong. Apa mungkin ada yang protes, jika aku sanggup
mengatakan itu pada mereka? Tentu mereka yang masih merasa kaya. Yang
sebelumnya memiliki banyak uang, mobil, perabotan mewah, sehingga tidak rela
dikatakan miskin. Menurutku, siapapun yang berada di pengungsian, sudah bukan
orang kaya lagi. Mereka sudah menjadi orang yang tak berpunya, karena mereka
butuh dikasihani, butuh ditolong, butuh disumbang. Padahal, para penyumbang itu
sedang memikirkan nasib mereka. Bagi orang yang tidak memiliki kepedulian,
tidak akan sudi mengumpulkan pakaian yang sudah tak terpakai. Hanya memenuhi
lemari atau rumahnya saja. Kalau tidak dijadikan lap atau kain pel, ya dibuang
ke tempat sampah. Para penyumbang juga ikut merasakan sedih, membayangkan
orang-orang di pengungsian yang dalam kekurangan. Tapi apa yang mereka lakukan?
Ya Tuhankuuu … mental apa ini namanya? Yang sukanya mengandalkan orang lain,
menggampangkan segala sesuatu tanpa ikut berperan serta. Memprihatinkan sekali
watak mayoritas bangsa ini. Yang pernah sekolah dan yang tidak, kok ya sama
saja. Ya … sekolah atau perguruan tinggi memang tidak menjamin. Semua berangkat
dari dalam rumah, dan orang tua adalah guru yang pertama …
“Jangan melamun, nanti kesambet lho.” Suara Andi
mengagetkannya.
“Eh, kamu sudah sampai.”
“Lama nggak?”
“Entah. Aku tidak memikirkan waktu saat kamu tinggalkan.
Jadi aku tidak merasa menunggu.”
“Ya, karena kamu asyik melamun.”
“Bagus kan? Aku jadi tidak merasa tersiksa menunggu
waktu.”
“Melamunkan apa sih? Pacarmu ya?”
“Enggak. Ingat yang tadi kita bicarakan. Tentang para
pengungsi di sini. Menyedihkan sekali cara berpikir mereka.”
“Iya.”
“Ndi, aku pamit dulu ya. Takut kemalaman sampai
markas.”
“Nggak ingin ketemu istriku?”
“Ya, dari tadi aku tunggu tidak keluar juga. Titip salam
saja ya.”
“Oke.”
Zi mengeluarkan amplop dari dalam tas-nya. “Maaf ya, Ndi,
aku nggak bawa apa-apa. Hanya ini saja buat tambahan, semoga bermanfaat.” Zi
menyalami tangan Andi dan segera berlalu pergi.
***
Sekitar pukul sepuluh malam, Zi baru sampai di markas. Tepat
di halaman, Zi menghentikan langkahnya ketika mendengar tawa Mas Wi di ruang
tamu, sedang bercanda dengan beberapa kawannya yang lain. Rencana untuk masuk
ke kamar dan istirahat dibatalkan. Zi menuju taman. Menduduki ayunan, ia memandangi
air mancur dan ikan-ikan hias dalam kolam.
Mas Wi keluar, kaget melewati taman dan mendapati Zi berada
di sana.
“Eh, Zi …”
Mas Wi duduk di ayunan, menghadapi Zi. Zi tak menjawab. Pandangannya
yang semula dibebaskan, kini difokuskan pada kedua tangannya yang sedang
memainkan jari-jarinya. Menunduk.
“Apa kabarmu, Zi?”
Seperti biasa, Mas Wi menatap matanya dalam-dalam sambil
memamerkan senyumnya.
“Aku sudah tahu tentang Mas Wi. Dan aku masih belum bisa
terima kenyataan itu. Aku ingin mati, maaaaass …” Masih sambil menatap dan
memainkan jemarinya.
Mas Wi tertawa terkekeh-kekeh. Tapi mendadak berhenti
melihat ada yang jatuh membasahi tangan gadis itu. Wajah Mas Wi berubah sendu,
kemudian tersenyum, namun terasa dipaksakan. Zi mengusap pipinya, juga
hidungnya yang mulai penuh cairan bening. Mas Wi menuruni ayunan, berjalan
mendekat, berdiri tepat di belakang punggungnya. Sebentar, Zi merasakan jemari
Mas Wi menyentuh lengan kirinya dan mengusap lembut.
”Perjuangan masih panjang, Zi …”
Dan Mas Wi segera berlalu meninggalkannya, meninggalkan
markas, membelah malam-malam pekat …
(Casablanca, 26 Februari 2014)
Theme Song: (Utopia - Lentera Cinta) http://www.youtube.com/watch?v=gEE0VBNWYaA
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment