Seringkali orang tidak mampu membedakan antara ‘rasa tidak suka’ dengan ‘rasa iri’ dalam menanggapi sikap sombong seseorang. Dari renungan saya selama ini, saya memiliki kesimpulan, bahwa:
Di dalam setiap diri manusia, ada keinginan untuk diakui
sesuai dengan harapannya. Pengakuan atas diri itu, menjadi kebutuhan psikologis.
Sehingga bisa dikatakan, bahwa setiap orang pasti memiliki kesombongan. Hanya
kadarnya yang berbeda. Dan berdasarkan pengamatan saya selama ini, saya membagi
tingkat kesombongan itu menjadi 3, yaitu:
1. MANUSIA DENGAN TINGKAT KESOMBONGAN RENDAH
Bagi orang yang memiliki kesombongan di tingkat rendah,
tentu ia adalah orang yang rendah hati. Meskipun ia pernah menyombongkan dirinya,
tetapi sangat kecil dilakukan. Dengan bahasa yang sangat halus, mengalir
melalui cerita yang disampaikan. Kadang, ia bahkan terpaksa harus melakukan
itu, hanya pada saat ia marah atau dalam keadaan terpojok, ketika seseorang
menyerangnya. Sehingga kesombongan serta kecenderungan untuk merendahkan orang
lain itu dimunculkan sebagai senjata akhir. Biasanya orang ini hanya
mengunggulkan dirinya, dan merasa tidak perlu mengunggulkan orang lain. Ia
hanya merasa perlu melakukan itu, jika ia benar-benar tertarik dengan kehebatan
seseorang, dengan cara yang tidak berlebihan dan tanpa bermaksud memenangkan
sebuah perdebatan. Orang dengan tingkat kesombongan rendah, tidak menyukai sanjungan
dari orang lain yang berlebihan atas dirinya.
2. MANUSIA DENGAN TINGKAT KESOMBONGAN SEDANG
Bagi orang yang memiliki tingkat kesombongan sedang, tanpa
diserangpun, ia akan melakukan itu. Hanya tergantung, kapan dan berapa lama kebutuhan
atas pengakuan diri itu meningkat, sehingga ia perlu menujukkan eksistensinya. Cara
menyampaikannya tidak terlalu tajam, sehingga tidak terkesan membusungkan dada.
Biasanya orang ini tidak hanya mengunggulkan dirinya saja, ia juga perlu melakukan
untuk orang lain, namun tetap dalam batas yang wajar. Rasa ingin dipuji atau
diakui bagi pemilik kesombongan tingkat ini, bisa jadi cukup tinggi. Namun kecenderungannya
untuk merendahkan orang lain, cukup kecil. Tetapi ia tidak merasa risih dengan
pujian yang berlebihan untuk dirinya.
3. MANUSIA DENGAN TINGKAT KESOMBONGAN TINGGI
Bagi pemilik kesombongan tingkat tinggi, ia tidak akan
pernah berhenti menyombongkan dirinya. Seperti
seseorang yang haus pujian atau sanjungan, sehingga ia selalu membutuhkan
pengakuan. Dan setiap kesombongan yang
ia lakukan, hanya mampu mengatasi dahaganya pada saat itu saja. Sehingga ia
terus melakukan dan melakukan kesombongan. Orang di tingkat ini, tidak bisa menerima pendapat yang berbeda. Ia
selalu menginginkan, bahwa pendapat setiap orang tentang dirinya ‘harus’ sesuai
dengan harapannya. Maka, dengan pendapat yang tidak sesuai dengan keinginannya
itu, membuatnya semakin intens melakukan kesombongan. Cara melakukannya pun
berbeda dengan yang di tingkat rendah dan sedang. Ditingkat ini, ia akan
mengunggulkan dirinya setinggi-tingginya. Dan jika dalam satu bidang tertentu
ia menganggap dirinya tidak layak disombongkan, maka ia akan mencari siapa saja
yang layak untuk dijunjung setinggi-tingginya. Dan ketika lawan bicaranya tidak
mampu memenangkan sebuah perdebatan, itulah kepuasan terbesarnya. Orang di
tingkat ini, sangat menyukai sanjungan atas dirinya yang berlebihan dan selalu
membutuhkan pengakuan atas kehebatannya. Karena tingkat kesombongan yang tinggi
itulah, maka orang-orang ini menjadi sangat sering merendahkan orang lain. Bahkan
seolah-olah, tidak ada yang sempurna selain dirinya.
Saya pernah berusaha menjaga jarak dengan
seorang teman baru. Ketika teman saya bertanya, dan saya menjawab, bahwa saya
tidak menyukai caranya yang seringkali menyombongkan dirinya atau istilah yang
sering kita dengar “ngomongnya tinggi”. Lalu teman saya tersebut berkomentar,”Kamu
iri ya?” Sangat salah, menurut saya. Seperti yang sudah saya katakan di atas,
bahwa teman saya itu tidak bisa membedakan antara ‘rasa tidak suka’ dengan ‘rasa
iri’.
Sebagai bukti ketidak-sukaan itu, saya contohkan seperti
pengalaman saya berikut ini:
Suatu hari, kami membentuk sebuah grup band. Bassist saya
(pemain bass) selalu bicara tinggi dalam hal bermusik. Ia terlalu percaya diri,
sehingga seringkali merendahkan orang lain. Meskipun hal itu tidak dilakukan
kepada saya pribadi, karena kami satu grup, otomatis grup kami yang selalu
diunggulkan. Seperti ia yang selalu membanding-bandingkan grup band kami dengan
grup band teman yang lain. Bahkan menganggap orang-orang yang tidak mengerti
musik hanya cere-cere, sepele atau
kecil. Dan sikap itulah yang tidak saya sukai. Lalu, apakah itu bisa dikatakan
‘rasa iri’? Tidak bukan? Yang saya pikirkan, belum terkenal saja ia sudah
sombong, apalagi kalau nanti sukses. Bukan juga karena saya mengkhawatirkan kebencian
orang lain terhadap saya atau grup band saya, nantinya. Rasa tidak suka itu, datang dari dalam diri.
Ada yang berontak di dada saya, sehingga saya harus mengundurkan diri. Beberapa
kali bassist saya datang merayu, saya tetap pada pendirian saya. Rasa tak
tenang berhubungan dengannya, membuat saya bertahan dengan keputusan saya.
Jika bicara tentang ‘rasa iri’, saya juga akan mencontohkan
seperti pengalaman saya berikut ini:
Dalam kehidupan bermasyarakat, tentu kita memiliki tetangga.
Akan sangat dekat dengan mereka, ketika kita tinggal dalam perkampungan (bukan
perumahan elit). Dinamika dalam hidup, seringkali berkaitan dengan masalah
ekonomi yang kadang naik dan kadang turun. Suatu hari, tetangga di samping kamar
saya, baru saja membeli kipas angin berdiri. Ada lima kamar kontrakan berjajar,
dan saya yang paling ujung. Tetangga di kamar tengah wajahnya mendadak berubah,
menjadi sinis melihat tetangga sebelah saya itu. Lalu ia berkata kepada saya,”Sombong
banget dia. Baru bisa beli kipas angin saja.”
Kata ‘sombong’ yang dikatakan tetangga di kamar tengah untuk
tetangga kamar sebelah saya itu, tidak benar. Nah, sikap tetangga kamar tengah
inilah yang bisa dikategorikan sebagai ‘rasa iri’.
Kenapa saya berani menyimpulkan demikian? Karena saya tidak
melihat sikap pada tetangga di samping kamar saya itu menjadi berbeda setelah
mampu membeli kipas angin baru. Buktinya, saya datang ke rumah tetangga saya
itu dan bicaranya biasa saja.
”Beli kipas baru ya, mbak?” Tanya saya.
“Iya, mbak Tari. Habis, di sini pada doyan kipas semua. Kalau yang duduk, nggak mempan. Itu juga sudah
rusak. Iya mbak Tari sendirian. Kipas duduk juga nggak masalah. Jarang dipakai
lagi, makanya awet.” Jawab tetangga saya itu.
Kami lalu ngobrol seputar kipas
itu, dan tetangga saya menceritakan detil proses pembeliannya. Tidak ada sesuatu
yang ditinggikan. Semua wajar-wajar saja.
Berapa Minggu kemudian, tetangga sebelah kamar saya itu,
belanja lagi. Ia membeli lemari. Tetangga di kamar tengah, kembali sewot. Pasti
hatinya semakin cenat-cenut. Alhamdulilah saya tidak memiliki rasa itu,
sehingga saya tidak merasa tersiksa setiap kali ada tetangga yang membeli
barang baru.
Saya kembali mendatangi tetangga sebelah kamar saya itu.
Melihat keadaan lemarinya dan bertanya seputar lemari itu. Pokoknya, saya
selalu merasa senang melihat kehidupan orang lain yang meningkat. Saya selalu berharap
dalam hati, semoga saya pun bisa demikian. Lebih senang lagi, jika orang
tersebut mampu memiliki rumah. Hati saya ikut merasa tenang, meskipun saya
sendiri belum bisa memiliki.
Akan tetapi, bisa jadi saya akan menjaga jarak dengan tetangga kamar
sebelah saya itu, jika ternyata ia suka menyombongkan dirinya, keluarganya,
miliknya, atau apapun. Maka, rasa ingin menjauhi seseorang karena sikap
sombongnya yang berlebihan itu, bukan semata-mata karena orang itu merendahkan
saya. Dalam sebuah pembicaraan, dimana orang itu dengan jelas merendah orang
lain, dan itu dilakukan berulang-ulang. Dari sana, saya bisa menilai sikapnya.
Ada yang tidak sesuai dengan kontrol batin saya, untuk menghindari ‘ketidak-adilan’.
Sehingga saya kerap merasa tersiksa, jika berhubungan dengan orang-orang yang
memiliki sikap demikian.
Sudah jelas bukan? Bahwa ‘rasa tidak suka’ berbeda dengan
‘rasa iri’. Namun jika masih ada yang mengatakan itu sama. Saya rasa hanya
pembenaran pribadi, untuk menghibur diri …
(Casablanca, 27 Februari 2014)
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment