Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Friday, February 28, 2014

"Manusia dengan Tingkat Kesombongannya"


Seringkali orang tidak mampu membedakan antara ‘rasa tidak suka’ dengan ‘rasa iri’ dalam menanggapi sikap sombong seseorang. Dari renungan saya selama ini, saya memiliki kesimpulan, bahwa:

Di dalam setiap diri manusia, ada keinginan untuk diakui sesuai dengan harapannya. Pengakuan atas diri itu, menjadi kebutuhan psikologis. Sehingga bisa dikatakan, bahwa setiap orang pasti memiliki kesombongan. Hanya kadarnya yang berbeda. Dan berdasarkan pengamatan saya selama ini, saya membagi tingkat kesombongan itu menjadi 3, yaitu:

1.     MANUSIA DENGAN TINGKAT KESOMBONGAN RENDAH

Bagi orang yang memiliki kesombongan di tingkat rendah, tentu ia adalah orang yang rendah hati. Meskipun ia pernah menyombongkan dirinya, tetapi sangat kecil dilakukan. Dengan bahasa yang sangat halus, mengalir melalui cerita yang disampaikan. Kadang, ia bahkan terpaksa harus melakukan itu, hanya pada saat ia marah atau dalam keadaan terpojok, ketika seseorang menyerangnya. Sehingga kesombongan serta kecenderungan untuk merendahkan orang lain itu dimunculkan sebagai senjata akhir. Biasanya orang ini hanya mengunggulkan dirinya, dan merasa tidak perlu mengunggulkan orang lain. Ia hanya merasa perlu melakukan itu, jika ia benar-benar tertarik dengan kehebatan seseorang, dengan cara yang tidak berlebihan dan tanpa bermaksud memenangkan sebuah perdebatan. Orang dengan tingkat kesombongan rendah, tidak menyukai sanjungan dari orang lain yang berlebihan atas dirinya.

2.     MANUSIA DENGAN TINGKAT KESOMBONGAN SEDANG

Bagi orang yang memiliki tingkat kesombongan sedang, tanpa diserangpun, ia akan melakukan itu. Hanya tergantung, kapan dan berapa lama kebutuhan atas pengakuan diri itu meningkat, sehingga ia perlu menujukkan eksistensinya. Cara menyampaikannya tidak terlalu tajam, sehingga tidak terkesan membusungkan dada. Biasanya orang ini tidak hanya mengunggulkan dirinya saja, ia juga perlu melakukan untuk orang lain, namun tetap dalam batas yang wajar. Rasa ingin dipuji atau diakui bagi pemilik kesombongan tingkat ini, bisa jadi cukup tinggi. Namun kecenderungannya untuk merendahkan orang lain, cukup kecil. Tetapi ia tidak merasa risih dengan pujian yang berlebihan untuk dirinya.

3.      MANUSIA DENGAN TINGKAT KESOMBONGAN TINGGI

Bagi pemilik kesombongan tingkat tinggi, ia tidak akan pernah berhenti menyombongkan dirinya. Seperti seseorang yang haus pujian atau sanjungan, sehingga ia selalu membutuhkan pengakuan. Dan setiap kesombongan yang ia lakukan, hanya mampu mengatasi dahaganya pada saat itu saja. Sehingga ia terus melakukan dan melakukan kesombongan. Orang di tingkat ini, tidak bisa menerima pendapat yang berbeda. Ia selalu menginginkan, bahwa pendapat setiap orang tentang dirinya ‘harus’ sesuai dengan harapannya. Maka, dengan pendapat yang tidak sesuai dengan keinginannya itu, membuatnya semakin intens melakukan kesombongan. Cara melakukannya pun berbeda dengan yang di tingkat rendah dan sedang. Ditingkat ini, ia akan mengunggulkan dirinya setinggi-tingginya. Dan jika dalam satu bidang tertentu ia menganggap dirinya tidak layak disombongkan, maka ia akan mencari siapa saja yang layak untuk dijunjung setinggi-tingginya. Dan ketika lawan bicaranya tidak mampu memenangkan sebuah perdebatan, itulah kepuasan terbesarnya. Orang di tingkat ini, sangat menyukai sanjungan atas dirinya yang berlebihan dan selalu membutuhkan pengakuan atas kehebatannya. Karena tingkat kesombongan yang tinggi itulah, maka orang-orang ini menjadi sangat sering merendahkan orang lain. Bahkan seolah-olah, tidak ada yang sempurna selain dirinya. 

Saya pernah berusaha menjaga jarak dengan seorang teman baru. Ketika teman saya bertanya, dan saya menjawab, bahwa saya tidak menyukai caranya yang seringkali menyombongkan dirinya atau istilah yang sering kita dengar “ngomongnya tinggi”. Lalu teman saya tersebut berkomentar,”Kamu iri ya?” Sangat salah, menurut saya. Seperti yang sudah saya katakan di atas, bahwa teman saya itu tidak bisa membedakan antara ‘rasa tidak suka’ dengan ‘rasa iri’. 

Sebagai bukti ketidak-sukaan itu, saya contohkan seperti pengalaman saya berikut ini: 

Suatu hari, kami membentuk sebuah grup band. Bassist saya (pemain bass) selalu bicara tinggi dalam hal bermusik. Ia terlalu percaya diri, sehingga seringkali merendahkan orang lain. Meskipun hal itu tidak dilakukan kepada saya pribadi, karena kami satu grup, otomatis grup kami yang selalu diunggulkan. Seperti ia yang selalu membanding-bandingkan grup band kami dengan grup band teman yang lain. Bahkan menganggap orang-orang yang tidak mengerti musik hanya cere-cere, sepele atau kecil. Dan sikap itulah yang tidak saya sukai. Lalu, apakah itu bisa dikatakan ‘rasa iri’? Tidak bukan? Yang saya pikirkan, belum terkenal saja ia sudah sombong, apalagi kalau nanti sukses. Bukan juga karena saya mengkhawatirkan kebencian orang lain terhadap saya atau grup band saya, nantinya.  Rasa tidak suka itu, datang dari dalam diri. Ada yang berontak di dada saya, sehingga saya harus mengundurkan diri. Beberapa kali bassist saya datang merayu, saya tetap pada pendirian saya. Rasa tak tenang berhubungan dengannya, membuat saya bertahan dengan keputusan saya. 

Jika bicara tentang ‘rasa iri’, saya juga akan mencontohkan seperti pengalaman saya berikut ini: 

Dalam kehidupan bermasyarakat, tentu kita memiliki tetangga. Akan sangat dekat dengan mereka, ketika kita tinggal dalam perkampungan (bukan perumahan elit). Dinamika dalam hidup, seringkali berkaitan dengan masalah ekonomi yang kadang naik dan kadang turun. Suatu hari, tetangga di samping kamar saya, baru saja membeli kipas angin berdiri. Ada lima kamar kontrakan berjajar, dan saya yang paling ujung. Tetangga di kamar tengah wajahnya mendadak berubah, menjadi sinis melihat tetangga sebelah saya itu. Lalu ia berkata kepada saya,”Sombong banget dia. Baru bisa beli kipas angin saja.” 

Kata ‘sombong’ yang dikatakan tetangga di kamar tengah untuk tetangga kamar sebelah saya itu, tidak benar. Nah, sikap tetangga kamar tengah inilah yang bisa dikategorikan sebagai ‘rasa iri’.
Kenapa saya berani menyimpulkan demikian? Karena saya tidak melihat sikap pada tetangga di samping kamar saya itu menjadi berbeda setelah mampu membeli kipas angin baru. Buktinya, saya datang ke rumah tetangga saya itu dan bicaranya biasa saja. 

”Beli kipas baru ya, mbak?” Tanya saya. 

“Iya, mbak Tari. Habis, di sini pada doyan kipas semua. Kalau yang duduk, nggak mempan. Itu juga sudah rusak. Iya mbak Tari sendirian. Kipas duduk juga nggak masalah. Jarang dipakai lagi, makanya awet.” Jawab tetangga saya itu. 

Kami lalu ngobrol seputar kipas itu, dan tetangga saya menceritakan detil proses pembeliannya. Tidak ada sesuatu yang ditinggikan. Semua wajar-wajar saja. 

Berapa Minggu kemudian, tetangga sebelah kamar saya itu, belanja lagi. Ia membeli lemari. Tetangga di kamar tengah, kembali sewot. Pasti hatinya semakin cenat-cenut. Alhamdulilah saya tidak memiliki rasa itu, sehingga saya tidak merasa tersiksa setiap kali ada tetangga yang membeli barang baru. 

Saya kembali mendatangi tetangga sebelah kamar saya itu. Melihat keadaan lemarinya dan bertanya seputar lemari itu. Pokoknya, saya selalu merasa senang melihat kehidupan orang lain yang meningkat. Saya selalu berharap dalam hati, semoga saya pun bisa demikian. Lebih senang lagi, jika orang tersebut mampu memiliki rumah. Hati saya ikut merasa tenang, meskipun saya sendiri belum bisa memiliki. 

Akan tetapi, bisa jadi saya akan menjaga jarak dengan tetangga kamar sebelah saya itu, jika ternyata ia suka menyombongkan dirinya, keluarganya, miliknya, atau apapun. Maka, rasa ingin menjauhi seseorang karena sikap sombongnya yang berlebihan itu, bukan semata-mata karena orang itu merendahkan saya. Dalam sebuah pembicaraan, dimana orang itu dengan jelas merendah orang lain, dan itu dilakukan berulang-ulang. Dari sana, saya bisa menilai sikapnya. Ada yang tidak sesuai dengan kontrol batin saya, untuk menghindari ‘ketidak-adilan’. Sehingga saya kerap merasa tersiksa, jika berhubungan dengan orang-orang yang memiliki sikap demikian. 

Sudah jelas bukan? Bahwa ‘rasa tidak suka’ berbeda dengan ‘rasa iri’. Namun jika masih ada yang mengatakan itu sama. Saya rasa hanya pembenaran pribadi, untuk menghibur diri … 


(Casablanca, 27 Februari 2014) 

Photo Source: Google Images

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates