Zi baru pulang dari pasar. Sementara kelompok piket yang
lain membersihkan ruangan, Zi masuk ke kamarnya membaca koran. Rini tiba-tiba
datang. Seperti orang kepanikan, ramai berceloteh.
“Ih, gila, Zi. Gila benaaar …”
“Siapa yang gila?” Zi menanggapi santai, membuka halaman
surat kabar.
“Cowokku tuh.”
“Kenapa?” Masih membuka halaman surat kabar berikutnya.
“Ternyata dia itu, mendeteksi semua aktivitasku setiap hari.
Dia tahu apa kegiatanku, posisiku di mana, pergi dengan siapa. Dia selalu
mengintai, Zi. Seperti spionase. Gila!”
“Nggak aneh. Nggak gila juga kok. Biasa saja. Namanya juga
lagi pacaran. Masa promosiii … Masih cinta-cintanya. Yang lebih dari itu, ada.”
“Dia juga selalu ngabari aku lho. Sms, telpon, setiap kali
dia pergi sama teman perempuannya atau perempuan-perempuan yang lain.”
“Yah … laki-laki, Rin. Yang dikabarkan ke kamu itu kan yang
dia memang tidak ada rasa apa-apa. Coba kalau dia ketemu atau pergi dengan
perempuan yang ditaksirnya, atau dengan mantan pacarnya. Apa iya, dia akan
cerita sama kamu?”
“Hehehe … iya ya …” Wajah Rini mendadak berubah.
Zi meletakkan surat kabar tepat di depan wajahnya. Matanya
seolah serius membaca, padahal hatinya sedang bicara sendiri …
Rini … Rini … tak usahlah kau pamerkan aku, betapa kau
sangat dicintai pacarmu. Kau itu masih saja melihat aku hanya di masa kini yang
selalu terlihat sendiri. Yang seperti itu, bukan cuma kamu satu-satunya. Aku
ini sudah malang melintang di dunia percintaan. Aku sudah menikmati berbagai
rasa seperti ramainya rasa permen NANONANO. Aku tidak merasa aneh dengan
keromantisan sepasang anak manusia yang sedang pacaran. Yang aku salutkan
justru pasangan suami istri yang sudah lama menikah, bahkan sudah memiliki
anak, tapi hubungan mereka masih tetap romantis. Masih saling mencintai, saling
peduli, dan saling menghormati. Berapa banyak suami yang melecehkan dan menertawakan
pasangannya di belakang saat ia berbincang dengan teman-temannya? Memberi
julukan-julukan yang buruk atau lucu, membuat aku bertanya, dulu lihat apa
sekarang lihat apa? Kemudian aku bandingkan dengan teman kerjaku yang pernah
berkata, ”Masak, Si Nelly lihat suamiku, terus nahan ketawa. Kayak menghina gitu.
Memang kenapa? Biar semua orang bilang suamiku jelek, item, tapi aku cinta kok.
Kalau ada perempuan yang berani menggoda atau menyentuhnya saja, hemm ...
langkahi dulu mayatku!” Ya … begitulah
kalau laki-laki mencintai perempuan karena kecantikannya. Dan para perempuan
bangga. Justru seharusnya perempuan tidak percaya dengan cinta laki-laki itu,
sebab keindahan fisik itu tidak abadi. Manusia semakin hari semakin tua.
Kulitnya tak lagi kencang. Lalu berganti dengan generasi baru yang semakin hari
semakin modern karena kecanggihan tehnologi, sehingga semakin tampak indah.
Jika orientasi manusia dalam mencari pasangan hanya didasarkan pada keindahan
fisik semata, tentu mereka akan terus mencari dan mencari yang baru, sebab
keindahan itu tak akan ada habisnya.
Kapitalisme memang telah
membentuk opini masyarakat tentang keindahan yang hanya tampak dari luar saja.
Untuk perempuan Indonesia dibuatlah standart misalnya, bahwa perempuan yang
cantik itu yang tubuhnya tinggi, langsing, berkulit putih dan halus, berambut
lurus. Untuk laki-laki yang ganteng misalnya, dia yang bertubuh tinggi, sixpack,
kulit bersih. Pun tidak sekedar opini. Para Kapitalis memberikan solusi dengan
menyodorkan berbagai iklan produk seperti obat peninggi badan, hand body,
lulur, obat pelurus rambut, susu bersuplement, make up dan masih banyak lagi. Satu
jenis produk lalu dikembangkan menjadi bervariasi baik harga maupun kualitasnya.
Para kapitalis terus bersaing menjejali produk iklan melalui media-media. Dan
masyarakat tidak sempat berfikir bahwa mereka telah dikontrol oleh segelintir
orang yang memiliki modal. Belum lagi opini tentang ‘keren’, bahwa keren itu
kalau mereka memiliki barang-barang elektronik yang canggih, seperti ponsel, I pad,
laptop. Punya motor atau mobil keluaran terbaru. Kapitalisme telah menciptakan
ilusi kebutuhan, sehingga masyarakat tidak bisa lagi membedakan mana kebutuhan
dan mana yang bukan. Mereka lupa, mereka bangga bertopeng. Tidak menjadi
dirinya sendiri. Mereka dibuat sibuk memikirkan dirinya, tanpa mempedulikan
sekelilingnya. Kegiatan untuk bersosialisasi pun mulai ditinggalkan. Lihat
saja, dimana-mana orang menunduk, sibuk dengan gadgetnya. Di angkot, bis,
kereta api, bahkan saat berkumpul dalam satu meja pun. Bertemu dan tatap muka sepertinya
hanya formalitas saja. Menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh. Sendiri tidak
merasa sendirian, bersama tapi sendirian. Manusia memang membutuhkan tekhnologi,
setiap orang berhak memiliki barang yang diinginkan, tapi sebaiknya tidak membuat
mereka menjadi konsumtif. Menjadi budak tekhnologi.
Tiba-tiba terbayang wajah koko-nya. Zi senang melihat
kehidupan rumah tangga mereka. Kalau saja Zi tak pernah menginap beberapa hari
di sana, mungkin ia tidak akan pernah tahu. Suami istri itu sama-sama bekerja,
tetapi pekerjaan domestik dikerjakan bersama. Pagi-pagi sekali, kakak iparnya
bangun, belanja di warung, lalu memasak. Koko-nya mengurusi anaknya yang masih
balita. Dari mandi, mendandani, membuat susu, sampai menyuapi sarapannya.
Setelah istrinya selesai masak, mandi, lalu berangkat kerja sambil menitipkan
anaknya ke rumah familinya. Ganti koko-nya yang mandi. Dan sebelum berangkat
kerja, koko-nya membungkus makanan hasil olahan istrinya untuk bekal di tempat
kerjanya. Dua hari sekali mereka mencuci pakaian. Sore hari saat pulang, siapa
saja yang datang lebih dulu, dia yang mengeluarkan pakaian kotor, lalu
mencucinya. Yang belakangan tugasnya membilas dan menjemur. Sementara yang satu
membilas dan menjemur, yang lain menyapu, mengepel, lalu mandi. Untuk pekerjaan
mencuci peralatan dapur, menjadi tugas istri koko-nya. Jika sempat dikerjakan,
pagi setelah memasak. Jika tidak, ya sore hari. Dan siapa yang tugasnya selesai
lebih dulu sore itu, maka dialah yang menjemput anaknya. Kerja sama yang bagus.
Sangat kompak. Mereka bergantian melakukan tugas rumah tangga tanpa saling
perintah. Malam hari, mereka menonton TV bersama. Dan koko-nya selalu membuat
kopi sendiri. Sesekali saja jika istrinya sedang menyeduh teh, menawari
suaminya membuatkan kopi. Begitu seterusnya setiap hari. Zi ikut bahagia
melihat suasana itu. Ia berdo’a, semoga mereka rukun selamanya. Demikian juga
selalu terselip do’a untuk setiap lelaki berumah tangga yang dikenalnya. Tentu
lelaki yang bertanggung jawab, mencintai keluarganya dan menghormati istrinya.
Zi jadi ingat Mas Wi. Lelaki pejuang yang pernah diharapkan
menjadi pelabuhan terakhirnya. Menitipkan benih di rahimnya. Menjadi ayah bagi
anak-anaknya. Sudah satu bulan Mas Wi tidak kelihatan. Kabarnya Mas Wi sedang
ditugaskan ke Jawa Timur.
***
***
Hari ini tanggal 1 Mei. Dikenal sebagai Hari Buruh Sedunia
atau May Day. Seperti tahun-tahun sebelumnya, di seluruh dunia termasuk di Indonesia,
memperingati hari ini sebagai hari kebangkitan kaum buruh. Zi bersama
kawan-kawan di gerakan tak ketinggalan. Mereka turut larut dalam aksi itu.
Beragam cara dilakukan organisasi-organisasi buruh untuk memperingati May Day.
Ada yang turun ke jalan melakukan aksi, mendatangi pusat-pusat pemerintahan.
Ada yang hanya menggelar panggung di suatu tempat dengan orasi, diselingi
hiburan oleh sekelompok pemain band. Ada yang melakukan keduanya. Setelah unjuk
rasa, mereka digiring ke suatu tempat untuk menikmati pentas musik dan joget
bersama. Ada juga yang membuat teaterikal atau performance art di sepanjang
jalan.
Sebelum hari H masing-masing organisasi mempersiapkan
atribut atau perangkat aksinya. Ada umbul-umbul, spanduk, atau sekedar kardus yang
ditulis tangan atau dicetak berisi tuntutan-tuntutan mereka. Ada beraneka warna
bendera serta pakaian seragam atau baju kebesaran yang melambangkan organisasi
mereka masing-masing. Semua tumpah ruah di jalanan hingga mencapai puluhan ribu
manusia. Tampak dari atas seperti semut yang berbaris menutup jalan. Tetapi,
apakah itu artinya bahwa semua kaum buruh telah sadar dan mampu memaknainya?
Tidak. Bahkan setengahnya pun belum ada. Beberapa organisasi yang sempat
memblokir jalan menuju kawasan pabrik. Dilanjutkan dengan melakukan gedor
pabrik memaksa perusahaan yang sedang berproduksi untuk meliburkan pekerjanya,
tidak mampu menggiring separuh jumlah buruh untuk turun aksi. Mereka yang tak pernah
tersentuh oleh organisasi memilih pulang dan menikmati tidur siang. Mereka yang
tidak pernah tercerahkan oleh pendidikan tentang perburuhan, menganggap hal itu
hanya membuatnya kepanasan, kelaparan, kahausan dan kelelahan. Jelas, mereka
yang tidak mengerti apa dan mengapa ada Hari Buruh Sedunia, tentu tidak mampu
memaknainya. Karena mereka belum memahami, bahwa 8 jam kerja yang mereka
nikmati saat ini adalah hasil perjuangan para buruh yang sudah mengorbankan
nyawa mereka.
Seperti beberapa sumber yang mengatakan, bahwa akar sejarah
May Day diawali pemogokan kelas pekerja di Amerika Serikat pada tahun 1806.
Pemogokan itu dilakukan oleh pekerja Cordwainers, sebuah perusahaan pembuat
sepatu. Dan hasil dari mogok kerja itu, para pengorganisir di bawa ke
pengadilan untuk menjalani proses hukum. Namun dari sana terungkap fakta, bahwa
para pekerja benar-benar diperas keringatnya. Mereka harus bekerja 19 hingga 20
jam per hari. Sedangkan satu hari ada 24 jam. Berarti para pekerja memiliki
waktu istirahat hanya 4 jam per hari. Mereka tidak sempat menikmati kehidupan
lain di luar dunia kerjanya.
Dari kejadian itu, maka kelas pekerja di Amerika Serikat
memiliki agenda perjuangan bersama, yaitu menuntut pengurangan jam kerja. Peter
McGuire, seorang pekerja asal New Jersey, punya peran penting dalam
mengorganisir perjuangan ini. Pada tahun 1872, ia dan 100 ribu pekerja lainnya
melakukan aksi mogok kerja untuk menuntut pengurangan jam kerja. McGuire
menghimpun kekuatan para pekerja dan pengangguran, serta melobi pemerintah kota
untuk menyediakan pekerjaan dan uang lembur bagi pekerja.
Pada tahun 1881, McGuire pindah ke Missouri dan mulai
mengorganisir para tukang kayu. Hasilnya di Chicago berdiri persatuan tukang
kayu dengan McGuire sebagai sekretaris umumnya. Inilah cikal bakal serikat
pekerja. Ide membentuk serikat pekerja ini kemudian menyebar dengan cepat ke
seluruh Amerika Serikat. Masing-masing membentuk serikat pekerja di berbagai
kota.
Tanggal 5 September 1882, Parade Hari Buruh pertama digelar
di kota New York dengan 20 ribu peserta. Mereka membawa spanduk yang berisi
tuntutan mereka: 8 jam bekerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam rekreasi. Itulah 24
jam kehidupan ideal dalam sehari yang diinginkan kelas pekerja Amerika Serikat.
Tuntutan pengurangan jam kerja itu akhirnya menjadi
perjuangan kelas pekerja dunia. Kongres Internasional pertama dilangsungkan di
Jenewa, Swiss, pada tahun 1886. Dihadiri organisasi pekerja dari berbagai
negara. Kongres Buruh Internasional itu menetapkan tuntutan pengurangan jam
kerja menjadi 8 jam sehari sebagai perjuangan resmi buruh sedunia.
Tanggal 1 Mei akhirnya ditetapkan menjadi hari perjuangan kelas
pekerja sedunia. Satu Mei dipilih, karena mereka terinspirasi kesuksesan aksi
buruh di Kanada pada tahun 1872. Ketika itu buruh Kanada menuntut 8 jam kerja seperti
buruh di Amerika Serikat dan berhasil. Delapan jam kerja di Kanada resmi
diberlakukan mulai tanggal 1 Mei 1886.
Tepat pada tanggal 1 Mei 1886 saat mulai diberlakukannya 8
jam kerja di Kanada, sekitar 400 ribu buruh Amerika Serikat melakukan aksi
untuk menuntut yang sama, yaitu pengurangan jam kerja. Aksi ini berlangsung
selama 4 hari hingga tanggal 4 Mei 1886. Namun malang, pada hari terakhir itu
polisi Amerika Serikat menembaki mereka hingga ratusan buruh meninggal.
Sedangkan pemimpin buruh-nya, ditangkap dan dihukum mati. Peristiwa ini dikenal
dengan tragedi Haymarket karena terjadi di bundaran Lapangan Haymarket.
Maka sebagai penghormatan terhadap para martir atau buruh
yang tewas dalam aksi demonstrasi itu, Kongres Sosialis Dunia yang digelar di
Paris pada bulan Juli 1889 menetapkan, bahwa tanggal 1 Mei diperingati sebagai
Hari Buruh Sedunia atau May Day. Hal ini memperkuat keputusan Kongres Buruh
Internasional yang berlangsung di Jenewa pada tahun 1886.
Tak terasa hari sudah sore. Sekitar pukul empat, satu per
satu massa organisasi membubarkan diri. Zi baru sadar, ia telah kehilangan
kawan-kawannya dalam rombongan. Zi tinggal sendiri di antara para buruh yang
sedang menunggu angkutannya datang membawa mereka pulang. Matanya menyapu area
sekitar. Ia melihat ada yang bergerombol cukup jauh dari tempatnya berada. Zi
coba mendatangi, lantas senyum-senyum sendiri mendapati kawan-kawannya
berkumpul di sana. Ia melangkah dengan semangat. Tapi tiba-tiba seperti ada
yang menggulirkan bola matanya pada sosok lelaki berkaca mata hitam. Zi
menghentikan langkahnya, menundukkan kepalanya menatap trotoar ketika dirasa
lelaki itu sedang mengamatinya. Ada rasa tak percaya ketika nalurinya berkata,
bahwa lelaki itu adalah Mas Wi. Bukannya
Mas Wi sedang di Jawa Timur? Bukan ah, itu bukan Mas Wi, kata sisi hatinya
yang lain. Zi kembali memberanikan diri menatap lelaki itu. Beruntung lelaki
itu sedang terlihat bicara dengan seseorang. Kini Zi bebas memperhatikan setiap
gerak, lekuk wajah dan tubuhnya. Ya, Zi mulai yakin, lelaki itu adalah Mas Wi,
meski tampilan wajah serta pakaiannya berbeda. Dengan jaket warna krem yang tak
pernah terlihat dipakai, juga bulu-bulu yang tumbuh melingkari bibirnya. Zi tak
dapat dibohongi. Entah, bulu-bulu itu tak sempat dicukur atau memang sengaja
dibiarkan untuk menyamarkan diri. Dan dengan kaca mata hitam, bisa jadi mungkin
agar Mas Wi leluasa memandangi gadis berdarah Cina yang semakin menjauhinya.
Zi memundurkan langkahnya perlahan, lalu berbalik menuju ke
tempatnya semula. Sebuah metro mini datang mengangkut para buruh. Zi
menggabungkan diri memasuki metro mini itu. Malam ini Zi berencana akan
menginap di sekretariat buruh. Ia masih belum ingin bertemu Mas Wi. Seperti
biasa, Mas Wi selalu mampir ke markas sepulang aksi bersama pimpinan-pimpinan
yang lain.
Metro mini sudah berjalan membelah jalanan ibukota. Suara
hatinya seolah bergema mengalahkan riuhnya suara para buruh pabrik itu …
Pertemuan tak terduga, tak lagi menyisakan benci. Hanya
nelangsa … menghadirkan mendung dilangit jiwa, melemahkan langkah menjauhimu.
Waktu tak berjalan mundur. Kau sudah terlanjur
mengambil hatiku ...
(Casablanca, 24 Februari 2014)
Theme Song: (Katon Bagaskara - Cinta Selembut Awan) https://www.youtube.com/watch?v=7PBn9ZdEjCQ
Photo Source: Google Images | |
No comments:
Post a Comment