Sempat ragu. Aku merasa terlambat mengambil keputusan. Sebab browsing di internet, informasi yang up-to-date tak kutemukan. Juga disebabkan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang terasa kupaksakan. Berat. Ngos-ngosan. Ibu selalu menunggu hasil keringatku.
Seorang kawan menyemangati. Bercerita tentang kawan seperjuangannya yang tak putus asa meski kondisi kesehatan dan ekonominya dianggap tak memungkinkan, namun ia tetap berusaha menuntaskan mimpinya. Seminggu dua kali harus cuci darah? Aku terperanjat. Ah, ya! Aku pernah membaca beritanya.
“Tunggu apa lagi? Coba saja dulu. Datangi. Tanya. Kau tidak akan tahu kalau kau belum ke sana,” katanya.
“Dalam kondisi seperti itu saja dia nggak mau nyerah, masak kalah sama dia. Kau, masih muda, masih sehat," lanjutnya.
Teringat lagi beberapa hari yang lalu seorang kawan lain berpesan di akhir pertemuan kami, “Kau harus pikirkan itu, Tar. Kau harus pikirkan.”
Ingatanku terus mundur ke belakang, sambung-menyambung. Ketua! Ya, ketua juga pernah mengatakan hal senada. Lalu yang paling ujung. Yang paling awal: Si Om. “Kamu mampu, Tar. Aku yakin, kamu mampu." Si Om tersenyum. Aku hanya menatap matanya. “Jangan takut bermimpi, Tar! Jangan takut berharap!”
Tekadku penuh. Mereka telah membakar semangatku. Pukul sepuluh pagi kakiku sudah menginjak Stasiun Cikini dan bersiap menuju arah keluar. Di tengah perjalanan aku mencium aroma peralatan sekolah yang masih baru. Harum. Wanginya khas. Teringat masa kecilku. Aku seperti kembali pada masa-masa bahagia ketika esok akan menjadi murid Sekolah Dasar. Hatiku penuh bunga-bunga. Buku, pensil, penghapus, orotan, penggaris, kotak pensil, tas, seragam sekolah. Semuanya baru. Dan malam membuat aku susah tidur. Tak sabar menunggu pagi, mengenakan seragam dan alat-alat sekolah yang serba baru, aku membayangkan teman-teman yang baru. Aku membayangkan duniaku yang baru!
Dan kebahagiaan masa kecilku menciptakan kaca-kaca di mataku …
(Tebet Dalam, 7 September 2016)
***
Ada yang bilang, kemiskinan bukanlah alasan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebab nyata-nyata ia mampu melakukan itu di tengah kemiskinannya. Kemiskinan yang seperti apa? Kita tidak dapat men-generalisir sebuah kemiskinan. Kemiskinan yang ia rasakan tidak sama dengan kemiskinan yang dirasakan orang lain. Memiliki tingkat yang berbeda ditinjau dari masalah yang dihadapi setiap orang. Apakah hanya cukup dengan bekerja dan menghasilkan upah, lantas dengan mudah seseorang akan melanjutkan pendidikan? Tidak. Penilaiannya tidak sesederhana itu. Sebab ada yang masih harus men-support ekonomi keluarganya (membantu orang tuanya atau membiayai sekolah adik-adiknya) di samping memenuhi kebutuhan hidupnya, dan ada yang hanya memikirkan dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jenis pekerjaan dan besarnya upah pun tidak sama. Masing-masing orang memiliki keberuntungan yang berbeda.
Dan aku menggambarkan diriku dengan sebagian kecil orang-orang yang beruntung itu seperti bumi dan langit. Dari ujung kaki hingga ujung rambut sangat jauh berbeda. Aku yang tampil apa adanya, dan mereka yang segalanya mengikuti trend mode. Aku yang ke mana-mana berjalan kaki atau naik angkot, dan mereka yang mengandarai mobil pribadi. Aku yang serba kekurangan, dan mereka yang kebingungan menyimpan uangnya. Dengan materi yang berlimpah, tentu saja secara fisik mereka mampu memuaskan setiap mata yang memandang.
Bagi mereka yang begitu mudah mewujudkan
keinginannya, mimpinya-mimpinya, moment seperti ini bukanlah sesuatu yang
istimewa dalam hidupnya, sehingga tak perlu menjadikannya sebuah catatan yang
kelak akan dikenang.
Berbeda dengan aku yang hampir setiap jengkal memerlukan
perjuangan, hingga sebuah tanggal, bulan dan tahun kejadian pun menjadi pengingat
yang penting. Sebagai penanda, bahwa aku pernah mengalami masa-masa bahagia
ketika sebuah mimpi telah mampu aku wujudkan.
Seperti hari ini. Sabtu. Sebuah hari yang membuat aku merasa
mengulang kembali kebahagiaan masa kecilku. Pagi itu aku salah masuk lokasi.
Informasi yang kudapat kurang lengkap. Seorang Satpam menolongku. Dengan
motornya aku dibawa ke lokasi, tempat acara diselenggarakan.
Rupanya di sana sudah berkumpul banyak orang. Memenuhi
kursi-kursi yang berjajar di halaman. Tentu saja karena gedung sudah tidak
mampu lagi menampung. Aku mendapatkan kursi di luar tenda. Panas matahari terasa
langsung menyengat kulit meski belum tengah hari. Dengan seorang teman yang
baru kuajak kenalan, kami berpindah mencari tempat yang teduh. Akhirnya kami
mendapatkan kursi yang paling depan. Ternyata dari ujung kiri hingga ujung
kanan masih kosong. Ada dua puluh-an bangku. Keherananku melahirkan tanya: mengapa
di setiap acara yang kukunjungi, sering kudapati orang-orang yang enggan duduk
di bangku paling depan? Mengapa selalu bagian tengah dulu yang mereka
ambil?
Tak lama kemudian, lagu-lagu nasional diputar melalui
pengeras suara. Tetiba aku merasa terharu. Ingin menangis. Begitulah aku yang
katanya cengeng. Mudah terbawa emosi menghadapi situasi yang menyentuh hati. Ujung-ujungnya
pasti nangis. Rasanya tak percaya berada di antara ratusan orang yang
berpakaian seragam denganku. Ini mimpiku. Ya, ini mimpiku! Mimpi yang pernah
kurajut sejak SMA, yang akhirnya mati terenggut dendam. Tapi rupanya, ia tidak
benar-benar mati. Nyatanya ia bangkit dan menganugerahiku sebuah dunia baru. Dunia
baru yang aku tunggu-tunggu. Meski aku masih saja kepikiran sebab bebanku
semakin berat. Semoga aku mampu menyelesaikannya dengan baik di waktu yang
tepat. Terima kasih, Gusti. Terima kasih, kawan-kawan yang menyayangiku …
(Tebet Dalam, 10 September 2016)
Pelantikan Mahasiswa Universitas Bung Karno Tahun Ajaran 2016/2017 |
No comments:
Post a Comment