Zi menemui Sita di ruang rapat. Ada Mas Wi di sana. Terlihat
sibuk mengetik di laptopnya, membuat tulisan. Sita di depan komputer, sedang
serius membaca berita di Berdikari Online. Selain berlangganan koran, Zi dan
kawan-kawannya di gerakan selalu mengikuti berita di media itu. Media yang
mereka anggap berbeda dengan yang lain, karena menjadi media alternatif yang
independen. Membaca Berdikari Online, membuat cara pandang mereka
terbangun dan tercerahkan. Beberapa isi rubriknya bahkan bisa dijadikan
referensi untuk materi pendidikan yang biasa mereka lakukan.
“Ta, kamu jadi ngisi pendidikan kader di Indonesia Timur?”
“Jadi.” Jawab Sita tanpa menoleh.
“Sudah pesan tiketnya?”
“Belum. Sebentar, habis baca ini.” Pandangan Sita masih
fokus ke layar komputer.
“Ya sudah, kalau begitu aku gantikan tugasmu ya? Biar aku
saja yang ke sana.”
Cepat Sita memutar kepalanya, menatap Zi penuh heran. “Hah?
Kenapa mendadak ...”
Belum sempat Sita melanjutkan kalimatnya, Zi sudah menjawab,
“Lagi males di sini. Ok ya? Sebentar aku mau pesan tiketnya.” Zi keluar ruangan
sambil terus bicara. “Aku ingin pergi yang jauuuuuhh ... Sitaaaaa ...”
Suara Zi menggema di sepi pagi. Semakin menjauh dan hilang,
meninggalkan Sita dengan mulut yang masih menganga dan Mas Wi yang mematung.
Mata Mas Wi kosong menatap Zi yang lenyap dari pandangan. Jari-jarinya
menggantung di atas keyboard laptopnya.
“Hah! Nggak bisa mikir aku!”
Mas Wi terlihat kesal. Keluar ruangan, mondar-mandir di
ruang tamu. Konsentrasinya hilang mendengar rencana kepergian Zi yang
tiba-tiba. Mas Wi curiga, pasti ada sesuatu yang terjadi, sehingga sikap Zi
menjadi aneh. Bola mata gadis berlesung pipit itu sedikitpun tak digulirkan
untuk menatapnya barang sedetik. Tak seperti biasanya, Zi selalu membalas
tatapan Mas Wi meski tanpa senyuman.
***
***
Sudah larut malam, Zi belum bisa tidur, menemani Inez nonton
TV di ruang santai. Beberapa kali, Zi melihat Inez sibuk menjawab pesan melalui
telepon selulernya, tak peduli tayangan film yang sejak awal diikutinya.
“Dasar gila.” Inez senyum-senyum sendiri.
“Siapa, Nez?”
“Si Widi tuh, gila.”
“Kenapa?”
“Nggak tahu apa ini sudah jam dua. Masak mau ngajak aku jalan-jalan.
Yang benar saja.”
“Bilang lah, ini kan malam Minggu. Ajak pacarnya lah. Punya
pacar juga.” Zi sedikit sewot.
“Biasa … Widi kalau lagi stress ya begitu. Lagi galau, Zi.”
“Tapi kan ada pacarnya.”
“Dia bilang, sudah males sama pacarnya. Berapa kali malam
Minggu kan dia di markas terus.”
“Masa? Kok aku nggak lihat?”
“Kamu lagi keluar kota, Zi.”
“Kalau begitu, kenapa malam ini dia tidak ke sini? Tidak
langsung datang, terus ngajak kamu pergi?”
“Nggak tahu.” Inez berdiri, hendak menuju kamarnya. ”Kamu
nggak tidur, Zi? Pesawatmu kan berangkat pagi.”
“Sudah jam segini, Nez, tanggung. Sekalian saja nggak tidur.
Daripada nanti susah bangunnya, malah ketinggalan pesawat.”
“Ya sudah, aku tidur dulu ya.”
“Iya.”
Sebenarnya, Zi sudah tahu alasannya, kenapa Mas Wi tidak
datang. Hanya melalui pesan singkat, mengajak Inez keluar. Karena setiap
melihat wajah Zi yang tampak jutek dan sikapnya yang cuek, Mas Wi tidak berani
mendekat menggodanya. Menjadi sebuah kebetulan jika Mas Wi tak menampakkan
diri. Zi sedang tak ingin melihatnya. Tatapan pemuda itu tak lagi bisa
menentramkan hatinya. Yang tersisa hanya perih. Mas Wi seharusnya tidak begitu
jika sudah punya kekasih. Merahasiakan pada kawan-kawannya, seolah menjadi
laki-laki yang tak laku-laku. Hanya beberapa kawan yang memiliki kedekatan emosional
saja yang diberitahu.
Beberapa waktu yang lalu, di Sabtu siang setelah melakukan
aksi untuk para petani, Mas Wi mampir ke markas. Malam pukul tujuh, dia pamit.
Tanpa ditanya, Mas Wi memberikan sendiri alasannya. Katanya, kalau malam Minggu
itu jadwal kumpul-kumpul dengan kawan-kawannya di luar gerakan, karena pada
hari kerja sudah penuh digunakan untuk organisasi. Zi sangat kecewa. Ia merasa
perasaannya dipermainkan. Seperti diberi harapan-harapan kosong. Seperti diberi
kesempatan untuk mengembangkan rasa kagumnya menjadi bunga-bunga cinta, namun
hanya ditarik ulur saja hatinya. Dan kini, seperti gelas kaca yang dijatuhkan
menjadi serpihan-serpihan.
Kebanyakan orang mengatakan, hal itu sah-sah saja dilakukan
sebelum ada janur melengkung. Zi belum bisa menerima itu. Bagaimanapun, kekasih
Mas Wi adalah kaumnya. Lagi-lagi, ia berkaca pada dirinya. Zi bisa merasakan
sakitnya, jika seseorang merebut kekasihnya. Seandainya saja Zi tahu sejak
awal. Seandainya saja Mas Wi tidak menutup-nutupi. Seandainya saja Mas Wi tidak
terus berusaha menakhlukkan hatinya. Tentu Zi tidak akan pernah memiliki rasa
cemburu yang menyiksa, setiap kali melihat Mas Wi dekat dengan
perempuan-perempuan lain.
Zi berpikir, cintanya kepada mas Wi adalah cinta yang aneh.
Ia membandingkan tingkat kecemburuan antara pasangan yang sudah menikah dengan
pasangan yang belum menikah. Pasti lebih besar yang sudah sah menjadi suami
istri. Untuk pasangan yang belum menikah, masih bisa dibandingkan lagi antara
pasangan yang pernah bersetubuh dengan yang belum. Tentu tingkat kecemburuannya
lebih besar pada yang pernah berhubungan intim. Dan mereka yang memiliki
tingkat kecemburuan yang lebih tinggi, berpotensi untuk melakukan pembunuhan.
Membunuh orang yang merebut pasangannya, kekasihnya, atau membunuh dirinya
sendiri. Kenapa? Karena persetubuhan yang dilakukan berulang-ulang dengan
pasangan yang sama telah menyatukan jiwa dan raga mereka, sehingga kerelaan
untuk melepaskan belahan jiwanya menjadi sangat tipis.
Zi masih berpikir, betapa dahsyat cinta yang ia miliki untuk
seorang Mas Wi. Lelaki yang paling banyak menjatuhkan air matanya, yang sanggup
merobek-robek seluruh isi jiwanya. Rasanya Zi ingin mati mendengar kabar, Mas
Wi sudah berdua. Dalam pikirannya hanya mati, mati dan mati. Tetapi ia ingin
mati tanpa melukai raga, tanpa menyakiti diri. Zi hanya membangun impiannya
tentang kematian yang indah dalam waktu dekat meski ia belum pernah memiliki
Mas Wi secara utuh. Meski raga mereka tak pernah menyatu dalam persetubuhan.
Sebuah rasa yang tak pernah muncul sebelumnya dengan lelaki manapun yang pernah
menjadi kekasihnya. Betapa hebat cinta Zi untuk Mas Wi.
***
***
Pukul empat sore, pesawat yang ditumpanginya mendarat.
Setelah dua kali transit, Zi baru sampai ke bandara yang dituju. Dan sudah satu
jam lebih Zi menunggu dengan gelisah, seorang kawan yang akan menjemputnya.
Dari jauh tampak lelaki muda terlihat sedang tergopoh-gopoh menghampirinya.
“Ini Kawan Izzi ya?”
“Iya.” Zi memamerkan senyumnya.
“Kenalkan, aku Faizal.” Pemuda itu menyodorkan tangannya. Zi
menyambut. “Aku yang diamanatkan untuk menjemput kawan.”
“Oh ya, tadi aku sudah dapat pesannya.”
“Sini, aku bawakan barangmu.”
Zi melepaskan ranselnya. “Terima kasih.” Ia mengikuti
langkah lelaki itu. “Eh, kita mau jalan ke mana?”
“Ke tempat parkir. Aku bawa motor. Kalau naik angkutan,
lama. Dua kali ganti angkutan, masuk ke dalamnya masih harus naik ojeg lagi.
Naik taksi juga sama, masuknya jauh dan jalannya sempit. Tetap harus naik ojeg.
Lebih baik naik motor, sekali jalan.”
“Oke.”
“Tadi nunggu lama ya?”
“Iya.”
“Tempat kami memang jauh dari bandara. Itu saja sudah
ngebut.”
Cepat kendaraan roda dua itu melaju membawa sepasang anak
muda, meninggalkan bandara. Tak ada lagi obrolan. Zi tidak berniat melontarkan
pertanyaan. Hanya matanya yang sibuk mengamati sekitar area yang dilewatinya,
bicara sendiri dalam hati ...
Hmm … siapa ya dulu yang membangun basis di sini? Tempatnya
menyenangkan. Masih banyak hijau di kanan kiri jalan. Rimbun seperti hutan. Ah,
barangkali memang hutan. Sungainya mengalir bening seperti kaca, mungkin baru
turun dari pegunungan. Cocok untuk mengobati penat. Hawanya segar, meski hari
hampir senja. Aroma dedaunan masih sangat pekat. Tapi tentu menyeramkan saat
malam. Gelap, karena belum ada lampu penerang jalan. Sepanjang perjalanan yang
sudah memakan waktu setengah jam, tampak jalanannya belum diaspal. Hanya berapa
meter saja yang menuju bandara. Sejak tadi, bahkan belum terlihat ada bangunan
sekolah dan rumah sakit. Ya, begitulah … beberapa daerah yang justru memiliki
sumber daya alam yang melimpah, berpotensi besar menambah devisa negara, hanya
dikeruk hasilnya saja tanpa memikirkan pembangunannya …
(Casablanca, 5 Februari 2014)
Theme Song: (Tari Adinda - Sejauh Mungkin) https://www.youtube.com/watch?v=vV_bBwXtKic
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment