Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Saturday, February 8, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 7)



Zi menemui Sita di ruang rapat. Ada Mas Wi di sana. Terlihat sibuk mengetik di laptopnya, membuat tulisan. Sita di depan komputer, sedang serius membaca berita di Berdikari Online. Selain berlangganan koran, Zi dan kawan-kawannya di gerakan selalu mengikuti berita di media itu. Media yang mereka anggap berbeda dengan yang lain, karena menjadi media alternatif yang independen. Membaca Berdikari Online, membuat cara pandang mereka terbangun dan tercerahkan. Beberapa isi rubriknya bahkan bisa dijadikan referensi untuk materi pendidikan yang biasa mereka lakukan.
      
“Ta, kamu jadi ngisi pendidikan kader di Indonesia Timur?”
      
“Jadi.” Jawab Sita tanpa menoleh.
      
“Sudah pesan tiketnya?”
       
“Belum. Sebentar, habis baca ini.” Pandangan Sita masih fokus ke layar komputer.
      
“Ya sudah, kalau begitu aku gantikan tugasmu ya? Biar aku saja yang ke sana.”
      
Cepat Sita memutar kepalanya, menatap Zi penuh heran. “Hah? Kenapa mendadak ...”
      
Belum sempat Sita melanjutkan kalimatnya, Zi sudah menjawab, “Lagi males di sini. Ok ya? Sebentar aku mau pesan tiketnya.” Zi keluar ruangan sambil terus bicara. “Aku ingin pergi yang jauuuuuhh ... Sitaaaaa ...”
      
Suara Zi menggema di sepi pagi. Semakin menjauh dan hilang, meninggalkan Sita dengan mulut yang masih menganga dan Mas Wi yang mematung. Mata Mas Wi kosong menatap Zi yang lenyap dari pandangan. Jari-jarinya menggantung di atas keyboard laptopnya.
      
“Hah! Nggak bisa mikir aku!”
      
Mas Wi terlihat kesal. Keluar ruangan, mondar-mandir di ruang tamu. Konsentrasinya hilang mendengar rencana kepergian Zi yang tiba-tiba. Mas Wi curiga, pasti ada sesuatu yang terjadi, sehingga sikap Zi menjadi aneh. Bola mata gadis berlesung pipit itu sedikitpun tak digulirkan untuk menatapnya barang sedetik. Tak seperti biasanya, Zi selalu membalas tatapan Mas Wi meski tanpa senyuman.

***

      
Sudah larut malam, Zi belum bisa tidur, menemani Inez nonton TV di ruang santai. Beberapa kali, Zi melihat Inez sibuk menjawab pesan melalui telepon selulernya, tak peduli tayangan film yang sejak awal diikutinya.
      
“Dasar gila.” Inez senyum-senyum sendiri.
      
“Siapa, Nez?”
      
“Si Widi tuh, gila.” 
      
“Kenapa?”
       
“Nggak tahu apa ini sudah jam dua. Masak mau ngajak aku jalan-jalan. Yang benar saja.”
      
“Bilang lah, ini kan malam Minggu. Ajak pacarnya lah. Punya pacar juga.” Zi sedikit sewot.
      
“Biasa … Widi kalau lagi stress ya begitu. Lagi galau, Zi.”
      
“Tapi kan ada pacarnya.”
      
“Dia bilang, sudah males sama pacarnya. Berapa kali malam Minggu kan dia di markas terus.”
      
“Masa? Kok aku nggak lihat?”
      
“Kamu lagi keluar kota, Zi.”
      
“Kalau begitu, kenapa malam ini dia tidak ke sini? Tidak langsung datang, terus ngajak kamu pergi?”
      
“Nggak tahu.” Inez berdiri, hendak menuju kamarnya. ”Kamu nggak tidur, Zi? Pesawatmu kan berangkat pagi.”
      
“Sudah jam segini, Nez, tanggung. Sekalian saja nggak tidur. Daripada nanti susah bangunnya, malah ketinggalan pesawat.”
      
“Ya sudah, aku tidur dulu ya.”
      
“Iya.”
      
Sebenarnya, Zi sudah tahu alasannya, kenapa Mas Wi tidak datang. Hanya melalui pesan singkat, mengajak Inez keluar. Karena setiap melihat wajah Zi yang tampak jutek dan sikapnya yang cuek, Mas Wi tidak berani mendekat menggodanya. Menjadi sebuah kebetulan jika Mas Wi tak menampakkan diri. Zi sedang tak ingin melihatnya. Tatapan pemuda itu tak lagi bisa menentramkan hatinya. Yang tersisa hanya perih. Mas Wi seharusnya tidak begitu jika sudah punya kekasih. Merahasiakan pada kawan-kawannya, seolah menjadi laki-laki yang tak laku-laku. Hanya beberapa kawan yang memiliki kedekatan emosional saja yang diberitahu.
      
Beberapa waktu yang lalu, di Sabtu siang setelah melakukan aksi untuk para petani, Mas Wi mampir ke markas. Malam pukul tujuh, dia pamit. Tanpa ditanya, Mas Wi memberikan sendiri alasannya. Katanya, kalau malam Minggu itu jadwal kumpul-kumpul dengan kawan-kawannya di luar gerakan, karena pada hari kerja sudah penuh digunakan untuk organisasi. Zi sangat kecewa. Ia merasa perasaannya dipermainkan. Seperti diberi harapan-harapan kosong. Seperti diberi kesempatan untuk mengembangkan rasa kagumnya menjadi bunga-bunga cinta, namun hanya ditarik ulur saja hatinya. Dan kini, seperti gelas kaca yang dijatuhkan menjadi serpihan-serpihan.
      
Kebanyakan orang mengatakan, hal itu sah-sah saja dilakukan sebelum ada janur melengkung. Zi belum bisa menerima itu. Bagaimanapun, kekasih Mas Wi adalah kaumnya. Lagi-lagi, ia berkaca pada dirinya. Zi bisa merasakan sakitnya, jika seseorang merebut kekasihnya. Seandainya saja Zi tahu sejak awal. Seandainya saja Mas Wi tidak menutup-nutupi. Seandainya saja Mas Wi tidak terus berusaha menakhlukkan hatinya. Tentu Zi tidak akan pernah memiliki rasa cemburu yang menyiksa, setiap kali melihat Mas Wi dekat dengan perempuan-perempuan lain.
      
Zi berpikir, cintanya kepada mas Wi adalah cinta yang aneh. Ia membandingkan tingkat kecemburuan antara pasangan yang sudah menikah dengan pasangan yang belum menikah. Pasti lebih besar yang sudah sah menjadi suami istri. Untuk pasangan yang belum menikah, masih bisa dibandingkan lagi antara pasangan yang pernah bersetubuh dengan yang belum. Tentu tingkat kecemburuannya lebih besar pada yang pernah berhubungan intim. Dan mereka yang memiliki tingkat kecemburuan yang lebih tinggi, berpotensi untuk melakukan pembunuhan. Membunuh orang yang merebut pasangannya, kekasihnya, atau membunuh dirinya sendiri. Kenapa? Karena persetubuhan yang dilakukan berulang-ulang dengan pasangan yang sama telah menyatukan jiwa dan raga mereka, sehingga kerelaan untuk melepaskan belahan jiwanya menjadi sangat tipis.
      
Zi masih berpikir, betapa dahsyat cinta yang ia miliki untuk seorang Mas Wi. Lelaki yang paling banyak menjatuhkan air matanya, yang sanggup merobek-robek seluruh isi jiwanya. Rasanya Zi ingin mati mendengar kabar, Mas Wi sudah berdua. Dalam pikirannya hanya mati, mati dan mati. Tetapi ia ingin mati tanpa melukai raga, tanpa menyakiti diri. Zi hanya membangun impiannya tentang kematian yang indah dalam waktu dekat meski ia belum pernah memiliki Mas Wi secara utuh. Meski raga mereka tak pernah menyatu dalam persetubuhan. Sebuah rasa yang tak pernah muncul sebelumnya dengan lelaki manapun yang pernah menjadi kekasihnya. Betapa hebat cinta Zi untuk Mas Wi.  

***
 
Pukul empat sore, pesawat yang ditumpanginya mendarat. Setelah dua kali transit, Zi baru sampai ke bandara yang dituju. Dan sudah satu jam lebih Zi menunggu dengan gelisah, seorang kawan yang akan menjemputnya. Dari jauh tampak lelaki muda terlihat sedang tergopoh-gopoh menghampirinya.
      
“Ini Kawan Izzi ya?”
      
“Iya.” Zi memamerkan senyumnya.
      
“Kenalkan, aku Faizal.” Pemuda itu menyodorkan tangannya. Zi menyambut. “Aku yang diamanatkan untuk menjemput kawan.”
      
“Oh ya, tadi aku sudah dapat pesannya.”
      
“Sini, aku bawakan barangmu.”
      
Zi melepaskan ranselnya. “Terima kasih.” Ia mengikuti langkah lelaki itu. “Eh, kita mau jalan ke mana?”
      
“Ke tempat parkir. Aku bawa motor. Kalau naik angkutan, lama. Dua kali ganti angkutan, masuk ke dalamnya masih harus naik ojeg lagi. Naik taksi juga sama, masuknya jauh dan jalannya sempit. Tetap harus naik ojeg. Lebih baik naik motor, sekali jalan.”
      
“Oke.”
      
“Tadi nunggu lama ya?”
      
“Iya.”
      
“Tempat kami memang jauh dari bandara. Itu saja sudah ngebut.”
      
Cepat kendaraan roda dua itu melaju membawa sepasang anak muda, meninggalkan bandara. Tak ada lagi obrolan. Zi tidak berniat melontarkan pertanyaan. Hanya matanya yang sibuk mengamati sekitar area yang dilewatinya, bicara sendiri dalam hati ... 
      
Hmm … siapa ya dulu yang membangun basis di sini? Tempatnya menyenangkan. Masih banyak hijau di kanan kiri jalan. Rimbun seperti hutan. Ah, barangkali memang hutan. Sungainya mengalir bening seperti kaca, mungkin baru turun dari pegunungan. Cocok untuk mengobati penat. Hawanya segar, meski hari hampir senja. Aroma dedaunan masih sangat pekat. Tapi tentu menyeramkan saat malam. Gelap, karena belum ada lampu penerang jalan. Sepanjang perjalanan yang sudah memakan waktu setengah jam, tampak jalanannya belum diaspal. Hanya berapa meter saja yang menuju bandara. Sejak tadi, bahkan belum terlihat ada bangunan sekolah dan rumah sakit. Ya, begitulah … beberapa daerah yang justru memiliki sumber daya alam yang melimpah, berpotensi besar menambah devisa negara, hanya dikeruk hasilnya saja tanpa memikirkan pembangunannya …

~ Bersambung ~


(Casablanca, 5 Februari 2014)

Theme Song: (Tari Adinda - Sejauh Mungkin) https://www.youtube.com/watch?v=vV_bBwXtKic

Photo Source: Google Images


No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates