“Metode bercocok tanam itu berawal dari penemuan biji sisa makanan yang ternyata bisa tumbuh dan terus tumbuh hingga menjadi pohon, berbunga, lalu berbuah. Dan pada perkembangannya, proses bercocok tanam terbukti lebih efektif daripada berburu. Sejak itu, lahir kehidupan baru, dari nomaden atau berpindah-pindah menjadi maden atau menetap. Pada jaman ini, perempuan memiliki peranan yang penting dalam upaya menjinakkan dan mengelola alam. Perempuan kemudian lebih berdominan di kelompok, karena perempuan-lah yang menjadi tulang punggung dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi komune. Dominasi perempuan dalam hubungan produksi kemudian berkembang pada dominasi dalam berbagai aspek kehidupan komune. Dalam pengambilan segala keputusan, setiap komune memiliki sebuah dewan permusyawaratan. Itu juga didominasi oleh perempuan. Dan bahkan banyak sekali perempuan yang menjadi pimpinan komune. Pada fase inilah awal kemunculan pola matrilineal dalam komune, dimana garis keturunan komune berdasarkan pada garis keturunan perempuan atau ibu yang menjadi pemimpin dalam komune. Pada fase ini juga mulai ditemukan baju dari kulit pohon dan binatang, rumah beratap dedaunan, serta mata bajak. Selain itu, ditemukan juga pengobatan dan munculnya orang-orang yang berprofesi sebagai dukun. Nah, ketika buruan semakin sulit diperoleh, pekerjaan laki-laki beralih. Yang tadinya berburu, kemudian terlibat dalam pekerjaan bercocok tanam serta mengembangkan metode beternak hewan yang ditemukan juga oleh perempuan. Tetapi, karena laki-laki jauh lebih mahir menggunakan alat kerja, dari pengalamannya selama berburu daripada perempuan, maka perlahan-lahan perempuan mulai terdesak oleh laki-laki dalam hubungan produksi. Baik itu pertanian, maupun peternakan. Selain itu juga karena perempuan banyak disibukkan oleh proses reproduksinya, seperti hamil, melahirkan dan menyusui. Akibatnya perempuan kembali mendapatkan tugas meramu, karena pekerjaan itu lebih mudah dikerjakan sambil merawat anak. Tetapi waktu itu, belum ada diskriminasi terhadap perempuan.”
Zi mendengar suara gaduh di atas genteng. Matanya diarahkan
ke luar ruangan. Hujan turun lagi, kali ini disertai angin hingga memuncratkan
sebagian air hujan ke dalam kelas. Zi berjalan menuju pintu, menutupnya.
“Oke, dilajut lagi ya … Pada akhirnya, muncullah ikatan yang
dinamakan keluarga atau family. Mereka yang memiliki banyak anggota keluarga,
otomatis memiliki hasil tani yang banyak. Sebaliknya, mereka yang memiliki
sedikit anggota keluarga, memiliki hasil tani yang sedikit. Perubahan alam yang
membuat para keluarga memiliki hasil tani yang sedikit, mulai kekurangan bahan
pangan, sehingga mereka meminjam pada keluarga yang memiliki banyak anggota
keluarga. Jika peminjam tidak bisa membayar pinjamannya, maka alat produksi
serta lahannya disita oleh kelurga yang memberi pinjaman, dan peminjam
menjadi hamba untuk menggarap tanah bekas miliknya. Pada fase ini juga pemikiran
manusia mulai berkembang, sehingga ditemukannya tekhnologi. Mereka yang
memiliki keahlian khusus membuat alat, mulai meninggalkan pertanian dan hanya
menukar alat buatan mereka dengan hasil pertanian. Nah, berkembangnya sektor
pertanian, mengakibatkan persaingan antar komune untuk memperebutkan lahan yang
subur dan dekat dengan sumber air. Terjadilah perang antar komune. Dan komune
yang memenangkan peperangan adalah komune yang memiliki banyak laki-laki dan
dipimpin oleh laki-laki. Kenapa? Karena laki-laki lebih mahir dan berpengalaman
dalam menggunakan alat kerja serta senjata untuk berburu, bercocok tanam dan
beternak. Nah, dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa kekalahan perempuan
terhadap laki-laki dalam penguasaan atau menggunakan alat-alat produksi, bukan
semata-mata karena perempuan tidak mampu. Tetapi karena kebiasaan saja. Kebiasaan
perempuan melakukan tugas yang ringan, membuat mereka kesulitan melakukan tugas
yang berat. Coba kalau tugas itu dibalik. Laki-laki yang bertugas meramu, lalu
perempuan yang berburu atau mengerjakan pertanian, maka perempuan-lah yang
lebih mahir menggunakan alat-alat kerja dan senjata dibandingkan laki-laki.
Paham tidak sampai di sini?”
“Pahaaaaamm …”
“Jadi kenapa banyak orang yang menganggap perempuan itu
lemah atau perempuan memang lemah? Karena perempuan dilemahkan sejak laki-laki
kesulitan menggunakan metode berburu tadi. Juga karena proses reproduksi
perempuan, sehingga perempuan diberi tugas yang ringan-ringan saja dan
laki-laki yang mengerjakan pertanian serta peternakan. Mengerti ya? Atau ada
pertanyaan?”
Tidak ada yang menjawab. Mereka hanya manggut-manggut saja.
Sementara hujan di luar semakin deras, beberapa dinding kelas basah terkena
rembesan air dari atap yang bocor.
***
Bulan ini, bulan penuh hujan. Bagi masyarakat Tionghoa,
hujan dengan intensitas tinggi yang mengiringi perayaan Imlek, pertanda berkah.
Air adalah sumber kehidupan. Air adalah rejeki. Maka bulan ini, menjadi bulan yang
penuh berkah bagi mereka. Seperti perasaan Zi yang dihiasi bunga-bunga bahagia,
setelah bertahun-tahun dalam kesakitan. Pendekatan yang dilakukan Uda’ selama
berbulan-bulan secara konsisten, telah meluluhkan hatinya. Seperti air yang
menetesi batu berulang-ulang dengan fokus yang sama, mampu merubah bentuknya.
Jika beberapa lelaki sebelumnya tak mampu menggeser
kedudukan Mas Wi dari hatinya, berbeda dengan Uda’. Meski lelaki-lelaki sebelumnya
sempat menimbulkan rasa, namun pada akhirnya hanya meninggalkan mual di
perutnya. Ada yang sikapnya berlebihan, tidak menjadi dirinya. Ada yang cengeng,
mudah menyerah. Lelaki kekanak-kanakan, lelaki-lelaki yang kalah, harus
menyingkir dari pikirannya. Zi membutuhkan lelaki dewasa yang tangguh seperti
Uda’, yang mampu menguasai dan menjadi dirinya sendiri. Uda’ tak hanya seorang
pejuang yang loyal pada gerakan, ia juga memiliki pribadi yang menawan, serta banyak
melaksanakan pesan-pesan papa-nya.
Seperti dulu, sewaktu Zi baru tinggal di markas. Uda’ yang
sedang serius di depan laptopnya, tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya dan
berteriak,”Woooyy … air di atas luber!
Bayarnya mahal itu!” Karena tidak ada yang menjawab, Uda’ segera menaiki tangga
menuju lantai atas, lalu menutup kran itu.
Juga saat ia dan kawan-kawannya berkumpul di sebuah
lapangan. Zi melihat Uda’ mencari tempat sampah, hanya untuk membuang bungkus
kecil bekas permennya. Dan ketika tak ditemukan tempat sampah di dekatnya, Uda’
menyimpan bungkus permen itu ke dalam kantong celananya.
“Apa yang kau lakukan, jika kau memiliki sampah tetapi tak
kau temukan tempat sampah?”
Zi kembali teringat pertanyaan papa-nya, semasa ia masih
duduk di bangku Sekolah Dasar.
“Kalau lokasinya bersih, Zi akan menyimpan sampah itu sampai
menemukan tempat sampah.”
“Kalau lokasinya bersih? Jadi, kalau lokasinya kotor atau
banyak sampah, kau akan membuangnya di sana?”
Zi terdiam, tak bisa menjawab. Dari pertanyaan papa-nya, ia
merasa ada yang salah dengan jawabannya.
“Kalau kau membuang sampahmu di lokasi yang kotor tapi bukan
tempat sampah, itu artinya kau ikut andil mengotorinya. Kau menambah banyak
sampah yang ada di sana.”
“Jadi, meskipun lokasi itu kotor, Zi tetap harus menyimpan
sampah itu sampai menemukan tempat sampah, ya papa.”
“Ya. Jika kita menjaga alam, maka alam akan menjaga kita.”
Suara tegas papa-nya, mengingatkan Zi pada Bapak Putu Oka
Sukanta. Seorang penulis sastra yang mendapatkan penghargaan Award Hellman/Hammett
– Human Rights Watch, New York 2012. Pertemuannya dengan Bapak yang sudah
berusia 75 tahun itu, saat ia menghadiri acara “Dengar Kesaksian” yang diselenggarakan
di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta. Bapak yang masih tampak sehat dan
selalu terlihat bugar itu, sedang bersamanya di sebuah taman, menikmati snak
pagi yang disediakan oleh panitia.
“Lihat itu! Perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung
jawab!” Bola matanya reflek mengikuti arah telunjuk Pak Putu. Beberapa gelas
bekas kopi dan teh, serta piring bekas snak dari Styrofoam bergeletakan di sembarang tempat. Zi tersenyum. Pak Putu
melanjutkan,“Padahal di situ sudah disediakan tempat sampah. Apa susahnya
tinggal jalan sebentar dan memasukkan ke sana? Itu aktivis-aktivis! Masih muda.
Melayani dirinya sendiri saja, tidak mampu!” Pak Putu lalu melanjutkan
makannya.
Uda biasanya pulang sore. Gara-gara hujan tak berhenti, Uda’
tertahan di markas hingga larut malam selama berhari-hari. Bahkan hingga pagi.
Kamarnya tiba-tiba bocor, Zi tidur di ruang rapat, meletakkan kepalanya di meja
komputer. Hingga dini hari dan ia terbangun, Uda’ masih berada di ruangan yang
sama. Masih bekerja di depan laptopnya. Itu juga kehebatan Uda’. Seperti yang
banyak terjadi di mana-mana, saat sepasang anak manusia berada di satu ruangan
dan hanya berdua. Tanpa rasa, tanpa ada hubungan atau ikatan, seks kilat bisa terjadi
atas nama birahi yang tiba-tiba menyerang. Tapi Uda’ tidak begitu. Uda’ bukan
tipe laki-laki penggoda. Meski matanya kerap menatap tajam, Zi tak pernah
menemukan tatapannya yang sarat nafsu. Dalam banyak pengalaman, membuatnya mampu
membedakan tatapan seorang teman, tatapan yang menyimpan rasa, dan tatapan yang
mengandung birahi. Uda’ mampu mengendalikan pikirannya.
Ya, di dalam setiap otak manusia, ada yang dinamakan otak
primitif, dimana otak itu yang selalu mendorong manusia untuk melakukan nafsu
hewaninya. Salah satunya adalah melakukan hubungan seksual. Dan banyak sekali laki-laki
yang gagal mengendalikan keinginan itu, sehingga seringkali terjadi kasus perkosaan
terhadap perempuan. Lalu pakaian perempuan yang dijadikan alasan. Disalahkan. Padahal
dengan pakaian tertutup pun, perkosaan tetap terjadi.
Juga masalah pelacuran. Beberapa orang yang fanatik terhadap
agama tertentu, menginginkan kompleks prostitusi ditutup. Di lain sisi ada
pembelaan, karena prostitusi dianggap korban kemiskinan. Memang, himpitan
ekonomi menjadi salah satu faktor yang berkorelasi dengan kapitalisme. Tetapi kenyataannya,
tidak semua pelacur hidupnya miskin. Yang sudah kaya, tetap saja melacur. Seperti
pelacur panggilan, yang biasa melayani para pejabat atau para cukong. Maka, untuk
mencari akar pelacuran yang sebenarnya bukan pada kemiskinan, melainkan pada
laki-laki. Jika setiap laki-laki mampu mengendalikan dorongan otak primitifnya,
tak perlu repot-repot menutup kompleks pelacuran. Dan Satpol PP tak perlu
mengadakan razia bagi para PSK (Pekerja Seks Komersial). Karena dengan
sendirinya, tempat-tempat pelacuran menjadi sepi pengunjung. Dan jika pelacur
sudah tidak laku lagi, tidak akan ada perempuan yang mau menjajakan diri.
Di luar masih hujan. Uda’ pasti lapar, pikirnya. Zi pergi ke
dapur, berniat membuat makanan kecil. Setelah menyalakan kompor dan meletakkan
penggorengan, Zi mengambil dua buah telur dan roti tawar. Sambil menunggu telur
matang digoreng, ia mengolesi roti dengan margarine.
Rencananya, roti itu akan diisi telur dadar, lalu dimasukkan ke toaster.
Beberapa hari ini, Zi merasa bahagia. Tetapi … banyak warga
yang berduka. Mereka dievakuasi karena banjir. Sebuah ironi kehidupan.
Terus … apa aku harus
mengabaikan rasa itu, yang sudah lama tak menyapaku? Ah, penyebab banjir juga
kesalahan mereka. Banyak manusia yang tidak peduli menjaga alam sekitarnya.
Dari pimpinan hingga rakyatnya. Dari pejabat hingga warganya. Para pemilik
kekuasaan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya. Seenaknya
membabat hutan, mengeluarkan ijin resmi, kong kali kong dengan para cukong.
Para pemilik modal dengan semaunya mendirikan bangunan tanpa mempedulikan
tempat pembuangan air. Daerah resapan yang seharusnya tidak boleh didirikan
bangunan, justru disulap menjadi kota modern, berkat ijin pejabat setempat.
Para Insinyur dibuat bodoh, demi rupiah yang masuk ke kantong-kantong penguasa.
Bagaimana air tidak meluber ke mana-mana? Warganya pun begitu, membuang sampah
sembarangan. Dari selokan hingga sungai-sungai besar. Gulungan kasur, kursi,
meja, rak sepatu, rak piring. Belum lagi sampah kecil lainnya, apapun ada di
sana. Juga di jalan raya, dari mobil mewah hingga angkutan umum. Dengan
seenaknya para penumpang melempar sampah ke jalanan. Dari tahun ke tahun, dari
musim hujan ke musim hujan berikutnya, selalu begitu. Tak ada perubahan, tak
dijadikan pelajaran. Ah, entahlah … aku tidak bisa menyembunyikan perasaan itu.
Aku senang melihat hujan. Aku senang melihat Uda’ lebih lama di sini …
Roti bakar sudah jadi. Satu untuknya, satu untuk Uda’.
~ Bersambung ~
(Casablanca, 12 Maret 2014)
Theme Song: (Utopia - Hujan) http://www.youtube.com/watch?v=G4nNBckyZQU
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment