Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Monday, March 17, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 13)


“Metode bercocok tanam itu berawal dari penemuan biji sisa makanan yang ternyata bisa tumbuh dan terus tumbuh hingga menjadi pohon, berbunga, lalu berbuah. Dan pada perkembangannya, proses bercocok tanam terbukti lebih efektif daripada berburu. Sejak itu, lahir kehidupan baru, dari nomaden atau berpindah-pindah menjadi maden atau menetap. Pada jaman ini, perempuan memiliki peranan yang penting dalam upaya menjinakkan dan mengelola alam. Perempuan kemudian lebih berdominan di kelompok, karena perempuan-lah yang menjadi tulang punggung dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi komune. Dominasi perempuan dalam hubungan produksi kemudian berkembang pada dominasi dalam berbagai aspek kehidupan komune. Dalam pengambilan segala keputusan, setiap komune memiliki sebuah dewan permusyawaratan. Itu juga didominasi oleh perempuan. Dan bahkan banyak sekali perempuan yang menjadi pimpinan komune. Pada fase inilah awal kemunculan pola matrilineal dalam komune, dimana garis keturunan komune berdasarkan pada garis keturunan perempuan atau ibu yang menjadi pemimpin dalam komune. Pada fase ini juga mulai ditemukan baju dari kulit pohon dan binatang, rumah beratap dedaunan, serta mata bajak. Selain itu, ditemukan juga pengobatan dan munculnya orang-orang yang berprofesi sebagai dukun. Nah, ketika buruan semakin sulit diperoleh, pekerjaan laki-laki beralih. Yang tadinya berburu, kemudian terlibat dalam pekerjaan bercocok tanam serta mengembangkan metode beternak hewan yang ditemukan juga oleh perempuan. Tetapi, karena laki-laki jauh lebih mahir menggunakan alat kerja, dari pengalamannya selama berburu daripada perempuan, maka perlahan-lahan perempuan mulai terdesak oleh laki-laki dalam hubungan produksi. Baik itu pertanian, maupun peternakan. Selain itu juga karena perempuan banyak disibukkan oleh proses reproduksinya, seperti hamil, melahirkan dan menyusui. Akibatnya perempuan kembali mendapatkan tugas meramu, karena pekerjaan itu lebih mudah dikerjakan sambil merawat anak. Tetapi waktu itu, belum ada diskriminasi terhadap perempuan.”

Zi mendengar suara gaduh di atas genteng. Matanya diarahkan ke luar ruangan. Hujan turun lagi, kali ini disertai angin hingga memuncratkan sebagian air hujan ke dalam kelas. Zi berjalan menuju pintu, menutupnya.

“Oke, dilajut lagi ya … Pada akhirnya, muncullah ikatan yang dinamakan keluarga atau family. Mereka yang memiliki banyak anggota keluarga, otomatis memiliki hasil tani yang banyak. Sebaliknya, mereka yang memiliki sedikit anggota keluarga, memiliki hasil tani yang sedikit. Perubahan alam yang membuat para keluarga memiliki hasil tani yang sedikit, mulai kekurangan bahan pangan, sehingga mereka meminjam pada keluarga yang memiliki banyak anggota keluarga. Jika peminjam tidak bisa membayar pinjamannya, maka alat produksi serta lahannya disita oleh kelurga yang memberi pinjaman, dan peminjam menjadi hamba untuk menggarap tanah bekas miliknya. Pada fase ini juga pemikiran manusia mulai berkembang, sehingga ditemukannya tekhnologi. Mereka yang memiliki keahlian khusus membuat alat, mulai meninggalkan pertanian dan hanya menukar alat buatan mereka dengan hasil pertanian. Nah, berkembangnya sektor pertanian, mengakibatkan persaingan antar komune untuk memperebutkan lahan yang subur dan dekat dengan sumber air. Terjadilah perang antar komune. Dan komune yang memenangkan peperangan adalah komune yang memiliki banyak laki-laki dan dipimpin oleh laki-laki. Kenapa? Karena laki-laki lebih mahir dan berpengalaman dalam menggunakan alat kerja serta senjata untuk berburu, bercocok tanam dan beternak. Nah, dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa kekalahan perempuan terhadap laki-laki dalam penguasaan atau menggunakan alat-alat produksi, bukan semata-mata karena perempuan tidak mampu. Tetapi karena kebiasaan saja. Kebiasaan perempuan melakukan tugas yang ringan, membuat mereka kesulitan melakukan tugas yang berat. Coba kalau tugas itu dibalik. Laki-laki yang bertugas meramu, lalu perempuan yang berburu atau mengerjakan pertanian, maka perempuan-lah yang lebih mahir menggunakan alat-alat kerja dan senjata dibandingkan laki-laki. Paham tidak sampai di sini?”

“Pahaaaaamm …”

“Jadi kenapa banyak orang yang menganggap perempuan itu lemah atau perempuan memang lemah? Karena perempuan dilemahkan sejak laki-laki kesulitan menggunakan metode berburu tadi. Juga karena proses reproduksi perempuan, sehingga perempuan diberi tugas yang ringan-ringan saja dan laki-laki yang mengerjakan pertanian serta peternakan. Mengerti ya? Atau ada pertanyaan?”

Tidak ada yang menjawab. Mereka hanya manggut-manggut saja. Sementara hujan di luar semakin deras, beberapa dinding kelas basah terkena rembesan air dari atap yang bocor.

***

Bulan ini, bulan penuh hujan. Bagi masyarakat Tionghoa, hujan dengan intensitas tinggi yang mengiringi perayaan Imlek, pertanda berkah. Air adalah sumber kehidupan. Air adalah rejeki. Maka bulan ini, menjadi bulan yang penuh berkah bagi mereka. Seperti perasaan Zi yang dihiasi bunga-bunga bahagia, setelah bertahun-tahun dalam kesakitan. Pendekatan yang dilakukan Uda’ selama berbulan-bulan secara konsisten, telah meluluhkan hatinya. Seperti air yang menetesi batu berulang-ulang dengan fokus yang sama, mampu merubah bentuknya.

Jika beberapa lelaki sebelumnya tak mampu menggeser kedudukan Mas Wi dari hatinya, berbeda dengan Uda’. Meski lelaki-lelaki sebelumnya sempat menimbulkan rasa, namun pada akhirnya hanya meninggalkan mual di perutnya. Ada yang sikapnya berlebihan, tidak menjadi dirinya. Ada yang cengeng, mudah menyerah. Lelaki kekanak-kanakan, lelaki-lelaki yang kalah, harus menyingkir dari pikirannya. Zi membutuhkan lelaki dewasa yang tangguh seperti Uda’, yang mampu menguasai dan menjadi dirinya sendiri. Uda’ tak hanya seorang pejuang yang loyal pada gerakan, ia juga memiliki pribadi yang menawan, serta banyak melaksanakan pesan-pesan papa-nya.

Seperti dulu, sewaktu Zi baru tinggal di markas. Uda’ yang sedang serius di depan laptopnya, tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya dan berteriak,”Woooyy … air di atas luber! Bayarnya mahal itu!” Karena tidak ada yang menjawab, Uda’ segera menaiki tangga menuju lantai atas, lalu menutup kran itu.

Juga saat ia dan kawan-kawannya berkumpul di sebuah lapangan. Zi melihat Uda’ mencari tempat sampah, hanya untuk membuang bungkus kecil bekas permennya. Dan ketika tak ditemukan tempat sampah di dekatnya, Uda’ menyimpan bungkus permen itu ke dalam kantong celananya.

“Apa yang kau lakukan, jika kau memiliki sampah tetapi tak kau temukan tempat sampah?”

Zi kembali teringat pertanyaan papa-nya, semasa ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

“Kalau lokasinya bersih, Zi akan menyimpan sampah itu sampai menemukan tempat sampah.”

“Kalau lokasinya bersih? Jadi, kalau lokasinya kotor atau banyak sampah, kau akan membuangnya di sana?”

Zi terdiam, tak bisa menjawab. Dari pertanyaan papa-nya, ia merasa ada yang salah dengan jawabannya.

“Kalau kau membuang sampahmu di lokasi yang kotor tapi bukan tempat sampah, itu artinya kau ikut andil mengotorinya. Kau menambah banyak sampah yang ada di sana.”

“Jadi, meskipun lokasi itu kotor, Zi tetap harus menyimpan sampah itu sampai menemukan tempat sampah, ya papa.”

“Ya. Jika kita menjaga alam, maka alam akan menjaga kita.”

Suara tegas papa-nya, mengingatkan Zi pada Bapak Putu Oka Sukanta. Seorang penulis sastra yang mendapatkan penghargaan Award Hellman/Hammett – Human Rights Watch, New York 2012. Pertemuannya dengan Bapak yang sudah berusia 75 tahun itu, saat ia menghadiri acara “Dengar Kesaksian” yang diselenggarakan di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta. Bapak yang masih tampak sehat dan selalu terlihat bugar itu, sedang bersamanya di sebuah taman, menikmati snak pagi yang disediakan oleh panitia.

“Lihat itu! Perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab!” Bola matanya reflek mengikuti arah telunjuk Pak Putu. Beberapa gelas bekas kopi dan teh, serta piring bekas snak dari Styrofoam bergeletakan di sembarang tempat. Zi tersenyum. Pak Putu melanjutkan,“Padahal di situ sudah disediakan tempat sampah. Apa susahnya tinggal jalan sebentar dan memasukkan ke sana? Itu aktivis-aktivis! Masih muda. Melayani dirinya sendiri saja, tidak mampu!” Pak Putu lalu melanjutkan makannya.

Uda biasanya pulang sore. Gara-gara hujan tak berhenti, Uda’ tertahan di markas hingga larut malam selama berhari-hari. Bahkan hingga pagi. Kamarnya tiba-tiba bocor, Zi tidur di ruang rapat, meletakkan kepalanya di meja komputer. Hingga dini hari dan ia terbangun, Uda’ masih berada di ruangan yang sama. Masih bekerja di depan laptopnya. Itu juga kehebatan Uda’. Seperti yang banyak terjadi di mana-mana, saat sepasang anak manusia berada di satu ruangan dan hanya berdua. Tanpa rasa, tanpa ada hubungan atau ikatan, seks kilat bisa terjadi atas nama birahi yang tiba-tiba menyerang. Tapi Uda’ tidak begitu. Uda’ bukan tipe laki-laki penggoda. Meski matanya kerap menatap tajam, Zi tak pernah menemukan tatapannya yang sarat nafsu. Dalam banyak pengalaman, membuatnya mampu membedakan tatapan seorang teman, tatapan yang menyimpan rasa, dan tatapan yang mengandung birahi. Uda’ mampu mengendalikan pikirannya.

Ya, di dalam setiap otak manusia, ada yang dinamakan otak primitif, dimana otak itu yang selalu mendorong manusia untuk melakukan nafsu hewaninya. Salah satunya adalah melakukan hubungan seksual. Dan banyak sekali laki-laki yang gagal mengendalikan keinginan itu, sehingga seringkali terjadi kasus perkosaan terhadap perempuan. Lalu pakaian perempuan yang dijadikan alasan. Disalahkan. Padahal dengan pakaian tertutup pun, perkosaan tetap terjadi.

Juga masalah pelacuran. Beberapa orang yang fanatik terhadap agama tertentu, menginginkan kompleks prostitusi ditutup. Di lain sisi ada pembelaan, karena prostitusi dianggap korban kemiskinan. Memang, himpitan ekonomi menjadi salah satu faktor yang berkorelasi dengan kapitalisme. Tetapi kenyataannya, tidak semua pelacur hidupnya miskin. Yang sudah kaya, tetap saja melacur. Seperti pelacur panggilan, yang biasa melayani para pejabat atau para cukong. Maka, untuk mencari akar pelacuran yang sebenarnya bukan pada kemiskinan, melainkan pada laki-laki. Jika setiap laki-laki mampu mengendalikan dorongan otak primitifnya, tak perlu repot-repot menutup kompleks pelacuran. Dan Satpol PP tak perlu mengadakan razia bagi para PSK (Pekerja Seks Komersial). Karena dengan sendirinya, tempat-tempat pelacuran menjadi sepi pengunjung. Dan jika pelacur sudah tidak laku lagi, tidak akan ada perempuan yang mau menjajakan diri.

Di luar masih hujan. Uda’ pasti lapar, pikirnya. Zi pergi ke dapur, berniat membuat makanan kecil. Setelah menyalakan kompor dan meletakkan penggorengan, Zi mengambil dua buah telur dan roti tawar. Sambil menunggu telur matang digoreng, ia mengolesi roti dengan margarine. Rencananya, roti itu akan diisi telur dadar, lalu dimasukkan ke toaster.  

Beberapa hari ini, Zi merasa bahagia. Tetapi … banyak warga yang berduka. Mereka dievakuasi karena banjir. Sebuah ironi kehidupan.

Terus … apa aku harus mengabaikan rasa itu, yang sudah lama tak menyapaku? Ah, penyebab banjir juga kesalahan mereka. Banyak manusia yang tidak peduli menjaga alam sekitarnya. Dari pimpinan hingga rakyatnya. Dari pejabat hingga warganya. Para pemilik kekuasaan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya. Seenaknya membabat hutan, mengeluarkan ijin resmi, kong kali kong dengan para cukong. Para pemilik modal dengan semaunya mendirikan bangunan tanpa mempedulikan tempat pembuangan air. Daerah resapan yang seharusnya tidak boleh didirikan bangunan, justru disulap menjadi kota modern, berkat ijin pejabat setempat. Para Insinyur dibuat bodoh, demi rupiah yang masuk ke kantong-kantong penguasa. Bagaimana air tidak meluber ke mana-mana? Warganya pun begitu, membuang sampah sembarangan. Dari selokan hingga sungai-sungai besar. Gulungan kasur, kursi, meja, rak sepatu, rak piring. Belum lagi sampah kecil lainnya, apapun ada di sana. Juga di jalan raya, dari mobil mewah hingga angkutan umum. Dengan seenaknya para penumpang melempar sampah ke jalanan. Dari tahun ke tahun, dari musim hujan ke musim hujan berikutnya, selalu begitu. Tak ada perubahan, tak dijadikan pelajaran. Ah, entahlah … aku tidak bisa menyembunyikan perasaan itu. Aku senang melihat hujan. Aku senang melihat Uda’ lebih lama di sini …  

Roti bakar sudah jadi. Satu untuknya, satu untuk Uda’.

~ Bersambung ~ 


(Casablanca, 12 Maret 2014) 

Theme Song: (Utopia - Hujan) http://www.youtube.com/watch?v=G4nNBckyZQU 

Photo Source: Google Images

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates