Berawal dari sebuah diskusi, saya bersama beberapa kawan mahasiswa. Sempat terjadi perdebatan antara saya dengan salah satu dari mereka tentang hak asasi manusia. Saya tidak mampu mengungkapkan apa yang saya yakini dan saya anggap masuk akal, yang saya dapat dari diskusi-diskusi saya sebelumnya. Saya tidak punya bukti yang kuat dari sumber buku yang saya baca, hingga perdebatan berakhir dengan tidak memuaskan. Saya merasa ada yang kurang ia pahami, atau materi yang ia baca kurang lengkap? Dari sanalah saya tertarik membaca sebuah buku yang mengulas cukup detail situasi dan kejadian hingga perdebatan-perdebatan alot di luar maupun di dalam sidang BPUPKI. Tentu buku ini memiliki kekuatan, sebab ditulis berdasarkan dokumen-dokumen resmi milik Negara. Saya lalu merangkumnya untuk saya bagikan kepada Sahabat Setia Catatan Tari Adinda. Tulisan ini saya ambil dari buku "Negara Paripurna" karya Yudi Latif, dengan harapan kita semua bisa belajar. Selamat Membaca ...
***
Siapa yang tak kenal Indonesia. Istilah yang lazim dipakai untuk melukiskan Negara ini adalah Negara kepulauan yang mengandung bias daratan. Menarik, bahwa Soekarno pernah menyebut Negara Indonesia sebagai Negara lautan yang ditaburi pulau-pulau. Hal itu lebih sesuai dengan istilah ‘archipelago’ yang berarti ‘kekuasaan lautan’ (arch/archi = kekuasaan ; pelago/pelagos = lautan)
Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia yang membujur di
titik strategis persilangan antar-benua dan antar-samudera, dengan daya tarik
kekayaan sumber daya yang melimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik temu
penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban. Maka, jadilah
Nusantara sebagai taman-sari peradaban dunia.
Selain itu, jenius Nusantara juga merefleksikan sifat
tanahnya yang subur, terutama akibat debu muntahan deretan pegunungan vulkanik.
Tanah yang subur memudahkan segala hal yang ditanam, sejauh sesuai dengan sifat
tanahnya untuk tumbuh. Seturut dengan itu, jenius Nusantara adalah kesanggupan
untuk menerima dan menumbuhkan. Di sini, apa pun budaya dan ideologi yang
masuk, sejauh dapat dicerna oleh sistem sosial dan tata nilai setempat, dapat
berkembang secara berkelanjutan.
Etos pertanian masyarakat Nusantara bersifat religius dan
gotong royong dalam rangka meringankan penggarapan lahan secara bersama-sama.
Sifat religius dan sensitivitas kekeluargaan juga memijarkan daya-daya etis dan
estetis yang kuat. Maka, jadilah Nusantara sebagai pusat persemaian dan
penyerbukan silang budaya yang mengembangkan berbagai corak kebudayaan yang
lebih banyak dibandingkan dengan kawasan Asia mana pun.
Penindasan ekonomi-politik oleh kolonialisme-kapitalisme
memang banyak menggerus sifat-sifat kemakmuran, kosmopolitan, religius,
toleransi dan kekeluargaan dari tanah air ini. Di sisi lain,
kolonialisme-kapitalisme juga mengandung kotradiksi-kontradiksi internal
sendiri yang membawa unsur-unsur emansipasi baru, seperti humanisme,
perikebangsaan, demokrasi dan keadilan yang dapat memperkuat karakter
keindonesiaan. Persenyawaan antara anasir karakter asal yang mengendap laten
dalam jiwa penduduk dan visi emansipasi baru itu diidealisasikan oleh para
pendiri bangsa sebagai sumber jati diri, dasar falsafah dan pandangan hidup
bersama.
Maka prinsip-prinsip dasar Negara Indonesia merdeka yang
dirumuskan oleh para pendiri bangsa tidaklah dipungut dari udara, melainkan
digali dari bumi sejarah keindonesiaan yang tingkat penggaliannya tidak
berhenti sampai zaman gelap penjajahan, tetapi menerobos jauh ke belakang
hingga ke zaman kejayaan Nusantara. Dan ketika Dr. Radjiman Wediodiningrat,
selaku Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
meminta kepada sidang untuk mengemukakan dasar (Negara) Indonesia merdeka,
permintaan itu menimbulkan rangsangan ‘anamnesis’ yang memutar kembali ingatan
para pendiri bangsa ke belakang. Hal ini mendorong mereka untuk menggali
kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam dalam
lumpur sejarah, sehingga proses sejarah
konseptualisasi Pancasila melintasi rangkaian panjang fase pembuahan, fase
perumusan dan fase pengesahan.
FASE PEMBUAHAN
Fase
pembuahan setidaknya dimulai pada tahun 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan
gagasan untuk mencari sintesis antar ideologi dan gerakan seiring dengan proses
penemuan Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nasionalism).
Berbagai kreativitas intelektual mulai digagas sebagai usaha mensintesiskan
aneka ideologi dan gugus pergerakan dalam rangka membentuk ‘blok historis’
(blok nasional) bersama demi mencapai kemerdekaan.
Sejak
tahun 1924 Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda mulai merumuskan konsepsi
ideologi politiknya bahwa tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada
empat prinsip, yaitu:
1.
Persatuan Nasional berarti keharusan untuk
melakukan pengikatan bersama dari ragam ideologi dan identitas (etnis, agama
dan kelas) ke dalam front perjuangan bersama untuk melawan kolonial.
2.
Solidaritas berarti menghapuskan
perbedaan-perbedaan di antara rakyat Indonesia dan lebih menghiraukan
konflik-konflik kepentingan antara pihak penjajah dan rakyat yang terjajah.
3.
Non-kooperasi berarti keharusan untuk mencapai
kemerdekaan melalui usaha-usaha bangsa Indonesia sendiri, karena pihak penjajah
memang tidak akan pernah mau memberikannya secara sukarela.
4.
Kemandirian (self-help), berarti keharusan untuk
membangun sebuah struktur nasional, politik, sosial, ekonomi dan hukum
alternatif yang berakar kuat dalam masyarakat pribumi yang sejajar dengan
struktur pemerintahan.
Konsepsi ideologis PI merupakan buah sintesis dari
ideologi-ideologi terdahulu;
1. Persatuan
Nasional, merupakan tema utama dari Indische Partij.
2. Non-Kooperasi,
merupakan platform politik Kaum Komunis.
3. Kemandirian,
merupakan tema dari Sarekat Islam.
4. Solidaritas,
merupakan simpul yang menyatukan ketiga tema utama.
Bersamaan dengan PI, tahun 1924, Tjokroaminoto
mengidealisasikan suatu sintesis antara Islam, sosialisme dan demokrasi . “Jika
kita kaum Muslim benar-benar memahami dan secara sungguh-sungguh melaksanakan
ajaran-ajaran Islam, kita pastilah akan menjadi para demokrat dan sosialis
sejati”.
Di tahun yang sama pula (1924) Tan Malaka mulai menulis
buku: Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dia percaya bahwa
paham kedaulatan rakyat (demokrasi) memiliki akar yang kuat dalam tradisi
masyarakat Nusantara. Keterlibatannya
dengan Organisasi Komunis Internasional tidak melupakan kepekaannya untuk memperhitungkan
kenyataan-kenyataan nasional dengan kesediaannya untuk menjalin kerjasama
dengan unsur-unsur revolusioner lainnya. Dia pun pernah mengusulkan kepada Komintern (Komunis Internasional) agar komunisme di Indonesia harus bekerjasama
dengan Pan-Islamisme, karena menurutnya, kekuatan Islam di Indonesia tidak bisa
diabaikan begitu saja.
Tahun 1926 Soekarno menulis essai dalam majalah Indonesia
Moeda dengan judul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” yang mengidealkan
sintesis dari ideologi-ideologi besar tersebut demi terciptanya senyawa antar
ideologi dalam kerangka konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia.
Soekarno memandang bahwa pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat:
Nasionalistis, Islamistis dan Marxistis. Paham itu yang menjadi roh-roh
pergerakan di Asia.
Pada awal tahun 1930-an Soekarno sudah mulai merumuskan
sintesis dari substansi ketiga unsur ideolagi tersebut dalam istilah
Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi.
Sosio-Nasionalisme yang dimaksudkan adalah semangat kebangsaan yang
menjujung tinggi perikemanusiaan ke dalam dan ke luar. Sedangkan
Sosio-Demokrasi adalah demokrasi yang memperjuangkan keadilan sosial yang tidak
hanya memedulikan hak-hak sipil dan politik, juga hak ekonomi.
FASE PERUMUSAN
Mendapati posisinya yang makin goyah, akhir tahun 1942
Jepang berusaha menarik dukungan penduduk di Negara jajahan dengan merencanakan
pemberian kemerdekaan kepada Burma dan Filipina, tetapi tidak menyebut nasib
Indonesia. Soekarno dan Moh. Hatta mengajukan protes yang ditanggapi oleh
pemerintah Jepang dengan memberikan peran kepada tokoh-tokoh Indonesia di dalam
lembaga pemerintahan.
Pada 5 September 1943, Saiko Shikikan (Kumaikici Harada)
mengeluarkan Osamu Seirei No. 36 dan
37 tentang pembentukan Chuo Sangi In (Dewan
Pertimbangan Pusat) dan Chuo Sangi Kai
(Dewan Pertimbangan Karesidenan).
Pada sidang Chuo Sangi In, 17 Oktober 1943, Soekarno
dilantik sebagai ketuanya didampingi dua orang wakil ketua: R.M.A.A. Kusumo
Utoyo dan dr. Buntaran Martoatmojo.
BPUPKI didirikan pada 29 April 1945 menyusul pernyataan
Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso pada 7 September 1944 yang mengucapkan
janji historisnya bahwa Indonesia pasti akan diberi kemerdekaan pada masa depan.
Dalam
rancangan awal Jepang, kemerdekaan akan diberikan melalui dua tahap: pertama
melalui BPUPKI, kemudian disusul dengan pendirian PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia). Tugas BPUPKI hanyalah usaha-usaha penyelidikan
kemerdekaan, sementara tugas penyusunan rancangan dan penetapan UUD menjadi
kewenangan PPKI.
Sidang BPUPKI terdiri dari dua babak:
-
Babak I : 29 Mei – 1 Juni 194
-
Babak II: 10 Juli – 17 Juli 1945
Pada awalnya jumlah anggota BPUPKI sebanyak 60 orang,
ditambah 1 orang ketua; Radjiman Wediodiningrat dan dua orang wakil ketua;
Itibangase Yosio dan R.P. Soeroso, sehingga jumlahnya menjadi 63 orang. Dalam
perkembangan selanjutnya bertambah 6 orang menjadi 69 orang yang di dalamnya terdapat
anggota istimewa dari orang-orang Jepang; Tokubetu lin, Tokonomi Tokuzi, Miyano
Syoo zoo, Itagaki Masamitu, Matura Mitokiyo, Tanaka Minoru, Masuda Toyohiko dan
Ide Toitiroe.
Keanggotaan BPUPKI minus perwakilan komunis disebabkan
oleh kombinasi dari politik non-kooperasi serta status legalnya yang belum
dicabut sejak pemberontakan 1926/1927.
Tetapi tidak semua anggota BPUPKI adalah kaum pria karena
ada dua orang perempuan, yaitu: Ny. Maria Ulfa Santoso dan Ny. R.S.S. Soenarjo
Mangoenpoespito. Oleh karena itu, istilah founding
fathers tidaklah tepat. Adanya perwakilan perempuan dalam BPUPKI merupakan
suatu lompatan besar dalam sejarah politik Negeri ini. Bahkan di Amerika
Serikat, hak politik perempuan dalam pemilihan baru diaktualisasikan setelah
perang dunia kedua.
Pada masa persidangan BPUPKI (31Mei), prinsip-prinsip
yang diajukan para anggota masih bersifat serabutan, belum ada yang merumuskan
secara sistematis dan holistik sebagai suatu dasar Negara yang koheren.
Barangkali Muhammad Yamin dan Soepomo yang agak mendekati apa yang diminta oleh
Radjiman. Secara eksplisit atau implisit, Yamin dan Soepomo mengemukakan
pentingnya prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan
keadilan/kesejahteraan sebagai fundamen kenegaraan. Masalahnya dalam
kategorisasi, tidak semua prinsip itu dimasukkan sebagai dasar Negara. Seperti
yang dikemukakan oleh Yamin, bahwa ‘permusyawaratan’, ‘perwakilan’ dan
‘kebijaksanaan’ (rasionalisme) disebut sebagai ‘dasar’ (dasar yang tiga).
Sementara ‘kebangsaan’, ‘kemanusiaan’ dan ‘kesejahteraan’ disebut sebagai asas.
Di bagian lain, ‘perwakilan’ digolongkan sebagai ‘paham’, sedangkan ‘kerakhmatan
Tuhan’ tidak jelas dia golongkan di mana. Selain itu Yamin juga mencampur-adukkan
antara dasar Negara dan bentuk Negara. Bahkan yang dimaksud Yamin dengan ‘dasar
Negara’ juga termasuk ‘pembelaan Negara’, ‘budi-pekerti Negara’, ‘daerah
Negara’, ‘penduduk dan putera Negara’, ‘susunan pemerintahan’ dan bahkan
tentang ‘hak tanah’. Adapun dalam pernyataan Soepomo, prinsip-prinsip itu hanya
disebutkan secara implisit dalam uraiannya mengenai aliran pikiran Negara
integralistik. Ketika Soepomo menyebut istilah ‘dasar’, yang dimaksudkannya
malah dalam konteks bahwa Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran
(staatsidèe) Negara yang integralistik. Juga dalam konteks ‘dasar’ kewarganegaraan
dan ‘dasar’ sistem pemerintahan. Alhasil yang dimaksud dasar (dasar Negara)
oleh Yamin dan Soepomo bukanlah dalam pengertian ‘dasar falsafah’
(philosofische gronslag).
Betapapun juga, pandangan-pandangan tersebut memberikan
masukan penting bagi Soekarno dalam merumuskan konsepsinya yang kemudian
dikombinasikan dengan gagasan-gagasan ideologinya yang telah dikembangkan sejak
tahun 1920 dari refleksi historisnya yang akhirnya mengkristal dalam pidatonya
1 Juni.
Konsepsi itu dirumuskan sebagai berikut:
1. Kebangsaan
Indonesia
2. Internasionalisme
atau Perikemanusiaan
3. Mufakat
atau Demokrasi
4. Kesejahteraan
Sosial
5. Ketuhanan
Yang Berkebudayaan
Kelima prinsip itu disebut Soekarno dengan Panca Sila. “Sila
artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara
Indonesia, kekal dan abadi.” Mengapa dasar meja statis dan leitstar dinamis
yang mempersatukan bangsa itu dibatasi lima? Jawaban Soekarno, selain kelima unsur
itulah yang memang berakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia, dia juga mengaku
suka pada simbolisme angka lima. Angka lima memiliki nilai ‘keramat’ dalam
antropologi masyarakat Indonesia. Soekarno menyebutkan, “Rukun Islam lima
jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indra. Apalagi yang
lima bilangannya? (seorang yang hadir menjawab: Pandawa Lima). Pandawa pun lima
bilangannya.” Hal lain juga bisa ditambahkan, bahwa dalam tradisi Jawa ada lima
larangan sebagai kode etika yang disebut istilah ‘Mo-limo’, yaitu: maling
(mencuri, termasuk korupsi), madat (mengisap candu), main (berjudi), minum
(mabuk-mabukan) dan madon (main perempuan). Taman Siswa dan Chuo Sangi In juga
memiliki ‘Panca Dharma’, tapi Soekarno menolak penggunaan istilah tersebut,
karena menurutnya, Panca Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan
dasar. Selain itu bintang —yang amat penting kedudukannya sebagai pemandu
pelaut dari masyarakat bahari —juga bersudut lima. Asosiasi dasar Negara dengan
bintang itu digunakan dalam penggunaan istilah leitstar (bintang pimpinan).
Meskipun Soekarno mengajukan lima sila dasar Negara, dia
juga menawarkan kemungkinan lain jika ada anggota yang tidak menyukai bilangan
lima. Seperti yang dijelaskan oleh Soekarno, bahwa Panca Sila bisa diperas
menjadi Tri Sila, yaitu:
1. Socio-Nationalisme
(berasal dari kebangsaan dan Internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan)
2. Socio-Democratie
(bukan demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politieke-democratie
dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan)
3. Ketuhanan
(yang menghormati satu sama lain)
Dan dari Tri Sila bisa dikerucutkan lagi menjadi Eka
Sila, yaitu: gotong royong.
Dalam penjelasan selanjutnya Soekarno mengatakan, “Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) Negara,
pandangan hidup, ideologi nasional dan ligature (pemersatu) dalam perikehidupan
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Singkat kata, Pancasila adalah dasar
statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis,
yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisinya itu,
Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas dan haluan
keselamatan bangsa. Pancasila bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita
letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi
juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoangan kita
melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu
penyakit terutama sekali, Imperialisme.”
Untuk bisa diterima sebagai (rancangan) dasar Negara
harus disepakati oleh konsensus bersama, setidaknya pada fase ini, melalui
persetujuan anggota-anggota BPUPKI. Pada proses inilah, prinsip-prinsip
Pancasila dari pidato Soekarno mengalami
reposisi dan penyempurnaan. Proses ini berlangsung segera setelah masa
persidangan pertama BPUPKI berakhir.
(Bersambung)
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment