Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Saturday, February 14, 2015

Lahirnya Negara Kekeluargaan (Bagian 1)



Berawal dari sebuah diskusi, saya bersama beberapa kawan mahasiswa. Sempat terjadi perdebatan antara saya dengan salah satu dari mereka tentang hak asasi manusia. Saya tidak mampu mengungkapkan apa yang saya yakini dan saya anggap masuk akal, yang saya dapat dari diskusi-diskusi saya sebelumnya. Saya tidak punya bukti yang kuat dari sumber buku yang saya baca, hingga perdebatan berakhir dengan tidak memuaskan. Saya merasa ada yang kurang ia pahami, atau materi yang ia baca kurang lengkap? Dari sanalah saya tertarik membaca sebuah buku yang mengulas cukup detail situasi dan kejadian hingga perdebatan-perdebatan alot di luar maupun di dalam sidang BPUPKI. Tentu buku ini memiliki kekuatan, sebab ditulis berdasarkan dokumen-dokumen resmi milik Negara. Saya lalu merangkumnya untuk saya bagikan kepada Sahabat Setia Catatan Tari Adinda. Tulisan ini saya ambil dari buku "Negara Paripurna" karya Yudi Latif, dengan harapan kita semua bisa belajar. Selamat Membaca ...

*** 

Siapa yang tak kenal Indonesia. Istilah yang lazim dipakai untuk melukiskan Negara ini adalah Negara kepulauan yang mengandung bias daratan. Menarik, bahwa Soekarno pernah menyebut Negara Indonesia sebagai Negara lautan yang ditaburi pulau-pulau. Hal itu lebih sesuai dengan istilah ‘archipelago’ yang berarti ‘kekuasaan lautan’ (arch/archi = kekuasaan ; pelago/pelagos = lautan)

Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia yang membujur di titik strategis persilangan antar-benua dan antar-samudera, dengan daya tarik kekayaan sumber daya yang melimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban. Maka, jadilah Nusantara sebagai taman-sari peradaban dunia. 

Selain itu, jenius Nusantara juga merefleksikan sifat tanahnya yang subur, terutama akibat debu muntahan deretan pegunungan vulkanik. Tanah yang subur memudahkan segala hal yang ditanam, sejauh sesuai dengan sifat tanahnya untuk tumbuh. Seturut dengan itu, jenius Nusantara adalah kesanggupan untuk menerima dan menumbuhkan. Di sini, apa pun budaya dan ideologi yang masuk, sejauh dapat dicerna oleh sistem sosial dan tata nilai setempat, dapat berkembang secara berkelanjutan. 

Etos pertanian masyarakat Nusantara bersifat religius dan gotong royong dalam rangka meringankan penggarapan lahan secara bersama-sama. Sifat religius dan sensitivitas kekeluargaan juga memijarkan daya-daya etis dan estetis yang kuat. Maka, jadilah Nusantara sebagai pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya yang mengembangkan berbagai corak kebudayaan yang lebih banyak dibandingkan dengan kawasan Asia mana pun. 

Penindasan ekonomi-politik oleh kolonialisme-kapitalisme memang banyak menggerus sifat-sifat kemakmuran, kosmopolitan, religius, toleransi dan kekeluargaan dari tanah air ini. Di sisi lain, kolonialisme-kapitalisme juga mengandung kotradiksi-kontradiksi internal sendiri yang membawa unsur-unsur emansipasi baru, seperti humanisme, perikebangsaan, demokrasi dan keadilan yang dapat memperkuat karakter keindonesiaan. Persenyawaan antara anasir karakter asal yang mengendap laten dalam jiwa penduduk dan visi emansipasi baru itu diidealisasikan oleh para pendiri bangsa sebagai sumber jati diri, dasar falsafah dan pandangan hidup bersama. 

Maka prinsip-prinsip dasar Negara Indonesia merdeka yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa tidaklah dipungut dari udara, melainkan digali dari bumi sejarah keindonesiaan yang tingkat penggaliannya tidak berhenti sampai zaman gelap penjajahan, tetapi menerobos jauh ke belakang hingga ke zaman kejayaan Nusantara. Dan ketika Dr. Radjiman Wediodiningrat, selaku Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) meminta kepada sidang untuk mengemukakan dasar (Negara) Indonesia merdeka, permintaan itu menimbulkan rangsangan ‘anamnesis’ yang memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke belakang. Hal ini mendorong mereka untuk menggali kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam dalam lumpur sejarah, sehingga  proses sejarah konseptualisasi Pancasila melintasi rangkaian panjang fase pembuahan, fase perumusan dan fase pengesahan.


FASE PEMBUAHAN 

Fase pembuahan setidaknya dimulai pada tahun 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sintesis antar ideologi dan gerakan seiring dengan proses penemuan Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nasionalism). Berbagai kreativitas intelektual mulai digagas sebagai usaha mensintesiskan aneka ideologi dan gugus pergerakan dalam rangka membentuk ‘blok historis’ (blok nasional) bersama demi mencapai kemerdekaan.

Sejak tahun 1924 Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda mulai merumuskan konsepsi ideologi politiknya bahwa tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada empat prinsip, yaitu: 
1.    Persatuan Nasional berarti keharusan untuk melakukan pengikatan bersama dari ragam ideologi dan identitas (etnis, agama dan kelas) ke dalam front perjuangan bersama untuk melawan kolonial.
2.    Solidaritas berarti menghapuskan perbedaan-perbedaan di antara rakyat Indonesia dan lebih menghiraukan konflik-konflik kepentingan antara pihak penjajah dan rakyat yang terjajah.
3.    Non-kooperasi berarti keharusan untuk mencapai kemerdekaan melalui usaha-usaha bangsa Indonesia sendiri, karena pihak penjajah memang tidak akan pernah mau memberikannya secara sukarela.
4.    Kemandirian (self-help), berarti keharusan untuk membangun sebuah struktur nasional, politik, sosial, ekonomi dan hukum alternatif yang berakar kuat dalam masyarakat pribumi yang sejajar dengan struktur pemerintahan.  

Konsepsi ideologis PI merupakan buah sintesis dari ideologi-ideologi terdahulu;
1.       Persatuan Nasional, merupakan tema utama dari Indische Partij.
2.       Non-Kooperasi, merupakan platform politik Kaum Komunis.
3.       Kemandirian, merupakan tema dari Sarekat Islam.
4.       Solidaritas, merupakan simpul yang menyatukan ketiga tema utama.

Bersamaan dengan PI, tahun 1924, Tjokroaminoto mengidealisasikan suatu sintesis antara Islam, sosialisme dan demokrasi . “Jika kita kaum Muslim benar-benar memahami dan secara sungguh-sungguh melaksanakan ajaran-ajaran Islam, kita pastilah akan menjadi para demokrat dan sosialis sejati”. 

Di tahun yang sama pula (1924) Tan Malaka mulai menulis buku: Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dia percaya bahwa paham kedaulatan rakyat (demokrasi) memiliki akar yang kuat dalam tradisi masyarakat  Nusantara. Keterlibatannya dengan Organisasi Komunis Internasional tidak melupakan kepekaannya untuk memperhitungkan kenyataan-kenyataan nasional dengan kesediaannya untuk menjalin kerjasama dengan unsur-unsur revolusioner lainnya. Dia pun pernah mengusulkan kepada Komintern (Komunis Internasional) agar komunisme di Indonesia harus bekerjasama dengan Pan-Islamisme, karena menurutnya, kekuatan Islam di Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja. 
 
Tahun 1926 Soekarno menulis essai dalam majalah Indonesia Moeda dengan judul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” yang mengidealkan sintesis dari ideologi-ideologi besar tersebut demi terciptanya senyawa antar ideologi dalam kerangka konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Soekarno memandang bahwa pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat: Nasionalistis, Islamistis dan Marxistis. Paham itu yang menjadi roh-roh pergerakan di Asia. 

Pada awal tahun 1930-an Soekarno sudah mulai merumuskan sintesis dari substansi ketiga unsur ideolagi tersebut dalam istilah Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi.  Sosio-Nasionalisme yang dimaksudkan adalah semangat kebangsaan yang menjujung tinggi perikemanusiaan ke dalam dan ke luar. Sedangkan Sosio-Demokrasi adalah demokrasi yang memperjuangkan keadilan sosial yang tidak hanya memedulikan hak-hak sipil dan politik, juga hak ekonomi.

FASE PERUMUSAN

Mendapati posisinya yang makin goyah, akhir tahun 1942 Jepang berusaha menarik dukungan penduduk di Negara jajahan dengan merencanakan pemberian kemerdekaan kepada Burma dan Filipina, tetapi tidak menyebut nasib Indonesia. Soekarno dan Moh. Hatta mengajukan protes yang ditanggapi oleh pemerintah Jepang dengan memberikan peran kepada tokoh-tokoh Indonesia di dalam lembaga pemerintahan. 

Pada 5 September 1943, Saiko Shikikan (Kumaikici Harada) mengeluarkan Osamu Seirei No. 36 dan 37 tentang pembentukan Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) dan Chuo Sangi Kai (Dewan Pertimbangan Karesidenan).

Pada sidang Chuo Sangi In, 17 Oktober 1943, Soekarno dilantik sebagai ketuanya didampingi dua orang wakil ketua: R.M.A.A. Kusumo Utoyo dan dr. Buntaran Martoatmojo.
BPUPKI didirikan pada 29 April 1945 menyusul pernyataan Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso pada 7 September 1944 yang mengucapkan janji historisnya bahwa Indonesia pasti akan diberi kemerdekaan pada masa depan.  

Dalam rancangan awal Jepang, kemerdekaan akan diberikan melalui dua tahap: pertama melalui BPUPKI, kemudian disusul dengan pendirian PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Tugas BPUPKI hanyalah usaha-usaha penyelidikan kemerdekaan, sementara tugas penyusunan rancangan dan penetapan UUD menjadi kewenangan PPKI.

Sidang BPUPKI terdiri dari dua babak:
-          Babak I : 29 Mei – 1 Juni 194
-          Babak II: 10 Juli – 17 Juli 1945

Pada awalnya jumlah anggota BPUPKI sebanyak 60 orang, ditambah 1 orang ketua; Radjiman Wediodiningrat dan dua orang wakil ketua; Itibangase Yosio dan R.P. Soeroso, sehingga jumlahnya menjadi 63 orang. Dalam perkembangan selanjutnya bertambah 6 orang menjadi 69 orang yang di dalamnya terdapat anggota istimewa dari orang-orang Jepang; Tokubetu lin, Tokonomi Tokuzi, Miyano Syoo zoo, Itagaki Masamitu, Matura Mitokiyo, Tanaka Minoru, Masuda Toyohiko dan Ide Toitiroe.

Keanggotaan BPUPKI minus perwakilan komunis disebabkan oleh kombinasi dari politik non-kooperasi serta status legalnya yang belum dicabut sejak pemberontakan 1926/1927.

Tetapi tidak semua anggota BPUPKI adalah kaum pria karena ada dua orang perempuan, yaitu: Ny. Maria Ulfa Santoso dan Ny. R.S.S. Soenarjo Mangoenpoespito. Oleh karena itu, istilah founding fathers tidaklah tepat. Adanya perwakilan perempuan dalam BPUPKI merupakan suatu lompatan besar dalam sejarah politik Negeri ini. Bahkan di Amerika Serikat, hak politik perempuan dalam pemilihan baru diaktualisasikan setelah perang dunia kedua.

Pada masa persidangan BPUPKI (31Mei), prinsip-prinsip yang diajukan para anggota masih bersifat serabutan, belum ada yang merumuskan secara sistematis dan holistik sebagai suatu dasar Negara yang koheren. Barangkali Muhammad Yamin dan Soepomo yang agak mendekati apa yang diminta oleh Radjiman. Secara eksplisit atau implisit, Yamin dan Soepomo mengemukakan pentingnya prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan/kesejahteraan sebagai fundamen kenegaraan. Masalahnya dalam kategorisasi, tidak semua prinsip itu dimasukkan sebagai dasar Negara. Seperti yang dikemukakan oleh Yamin, bahwa ‘permusyawaratan’, ‘perwakilan’ dan ‘kebijaksanaan’ (rasionalisme) disebut sebagai ‘dasar’ (dasar yang tiga). Sementara ‘kebangsaan’, ‘kemanusiaan’ dan ‘kesejahteraan’ disebut sebagai asas. Di bagian lain, ‘perwakilan’ digolongkan sebagai ‘paham’, sedangkan ‘kerakhmatan Tuhan’ tidak jelas dia golongkan di mana. Selain itu Yamin juga mencampur-adukkan antara dasar Negara dan bentuk Negara. Bahkan yang dimaksud Yamin dengan ‘dasar Negara’ juga termasuk ‘pembelaan Negara’, ‘budi-pekerti Negara’, ‘daerah Negara’, ‘penduduk dan putera Negara’, ‘susunan pemerintahan’ dan bahkan tentang ‘hak tanah’. Adapun dalam pernyataan Soepomo, prinsip-prinsip itu hanya disebutkan secara implisit dalam uraiannya mengenai aliran pikiran Negara integralistik. Ketika Soepomo menyebut istilah ‘dasar’, yang dimaksudkannya malah dalam konteks bahwa Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staatsidèe) Negara yang integralistik. Juga dalam konteks ‘dasar’ kewarganegaraan dan ‘dasar’ sistem pemerintahan. Alhasil yang dimaksud dasar (dasar Negara) oleh Yamin dan Soepomo bukanlah dalam pengertian ‘dasar falsafah’ (philosofische gronslag).

Betapapun juga, pandangan-pandangan tersebut memberikan masukan penting bagi Soekarno dalam merumuskan konsepsinya yang kemudian dikombinasikan dengan gagasan-gagasan ideologinya yang telah dikembangkan sejak tahun 1920 dari refleksi historisnya yang akhirnya mengkristal dalam pidatonya 1 Juni.
Konsepsi itu dirumuskan sebagai berikut:
1.       Kebangsaan Indonesia
2.       Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3.       Mufakat atau Demokrasi
4.       Kesejahteraan Sosial
5.       Ketuhanan Yang Berkebudayaan

Kelima prinsip itu disebut Soekarno dengan Panca Sila. “Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.” Mengapa dasar meja statis dan leitstar dinamis yang mempersatukan bangsa itu dibatasi lima? Jawaban Soekarno, selain kelima unsur itulah yang memang berakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia, dia juga mengaku suka pada simbolisme angka lima. Angka lima memiliki nilai ‘keramat’ dalam antropologi masyarakat Indonesia. Soekarno menyebutkan, “Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indra. Apalagi yang lima bilangannya? (seorang yang hadir menjawab: Pandawa Lima). Pandawa pun lima bilangannya.” Hal lain juga bisa ditambahkan, bahwa dalam tradisi Jawa ada lima larangan sebagai kode etika yang disebut istilah ‘Mo-limo’, yaitu: maling (mencuri, termasuk korupsi), madat (mengisap candu), main (berjudi), minum (mabuk-mabukan) dan madon (main perempuan). Taman Siswa dan Chuo Sangi In juga memiliki ‘Panca Dharma’, tapi Soekarno menolak penggunaan istilah tersebut, karena menurutnya, Panca Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar. Selain itu bintang —yang amat penting kedudukannya sebagai pemandu pelaut dari masyarakat bahari —juga bersudut lima. Asosiasi dasar Negara dengan bintang itu digunakan dalam penggunaan istilah leitstar (bintang pimpinan).

Meskipun Soekarno mengajukan lima sila dasar Negara, dia juga menawarkan kemungkinan lain jika ada anggota yang tidak menyukai bilangan lima. Seperti yang dijelaskan oleh Soekarno, bahwa Panca Sila bisa diperas menjadi Tri Sila, yaitu:
1.       Socio-Nationalisme (berasal dari kebangsaan dan Internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan)
2.       Socio-Democratie (bukan demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan)
3.       Ketuhanan (yang menghormati satu sama lain)

Dan dari Tri Sila bisa dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila, yaitu: gotong royong.

Dalam penjelasan selanjutnya Soekarno mengatakan, “Pancasila  dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) Negara, pandangan hidup, ideologi nasional dan ligature (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Singkat kata, Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisinya itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas dan haluan keselamatan bangsa. Pancasila bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi  juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu penyakit terutama sekali, Imperialisme.”

Untuk bisa diterima sebagai (rancangan) dasar Negara harus disepakati oleh konsensus bersama, setidaknya pada fase ini, melalui persetujuan anggota-anggota BPUPKI. Pada proses inilah, prinsip-prinsip Pancasila dari pidato Soekarno mengalami  reposisi dan penyempurnaan. Proses ini berlangsung segera setelah masa persidangan pertama BPUPKI berakhir.  

(Bersambung)



Photo Source: Google Images

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates