Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Wednesday, August 7, 2013

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 2)


Hari ini adalah ulang tahun Mas Wi. Berbagai macam makanan dan minuman hasil traktiran mas Wi terhidang di meja ruang tamu. Tapi ada sesuatu yang membuat Zi menjadi galau hingga ia tak bisa menikmati pesta kecil di markas itu bersama kawan-kawannya. Ada yang berkecamuk di pikirannya. Dan malam ini, Zi harus segera pergi ke luar kota. Ia mendapatkan tugas baru, membangun organisasi perempuan di sana.

Zi masih merasa berat untuk melangkah. Sendiri di bangku taman, mengulas kesalahannya. Selamat ya mas, semoga cepat ketemu jodohnya. Zi mencoba mengingat dan mengulang kembali ucapan yang baru saja dikatakan kepada Mas Wi. Kenapa kamu katakan itu, Zi? Kenapa? Protesnya dalam hati. Harusnya tak kamu katakan itu. Dasar bodoh! Zi memang bodoh! Zi menarik nafas dalam-dalam, lalu dihempaskan sekuat tenaga.

Awalnya Zi sekedar ingin meramaikan suasana. Mengikuti kawan-kawannya meledek Mas Wi yang masih saja sendiri. Tanpa disadari bahwa dirinya pun masih menjomblo. Baginya itu sama saja menyakiti perasaannya sendiri yang jelas-jelas tak akan rela jika Mas Wi punya kekasih.
 
Zi sedikit lega setelah menyesali kesalahan dan memaki dirinya sendiri. Ia lalu menggendong ranselnya dan memalingkan sedikit wajahnya. Dari balik kaca riben terlihat jelas Mas Wi sedang bercengkrama dengan beberapa kawannya. Dalam hati ia berkata sebelum berlalu dan hilang ditelan kegelapan.

Aku tidak sekedar akan meninggalkan gerakan, markas, juga kota dan negeri ini, mas. Aku bahkan ingin meninggalkan alam fana, jika kau mengikatkan hidupmu dengan perempuan lain ...

*****

Cuaca hari ini cukup panas. Matahari terlalu kejam menyengat kulitnya. Debu-debu jalanan yang terbang di keramaian lalu lintas menusuki hidungnya. Zi menaiki jembatan penyeberangan, berhenti sebentar, berteduh. Melihat ke bawah, matanya mengikuti kendaraan yang melaju ke depan. Kembali ke belakang, lalu ke depan hingga laju kendaraan yang diikutinya tak terlihat lagi. Begitu seterusnya membuat bola matanya tak berhenti bergerak naik turun. Beberapa saat kemudian tatapannya kosong. Angannya melayang pada pertemuan yang baru saja dilakukan dengan beberapa buruh perempuan di sekretariat dekat kawasan pabrik tempat mereka bekerja. Diskusi tentang perempuan serta memberi pencerahan menjadi tugasnya dalam membangun organisasi perempuan di kota yang sedang dikunjunginya.

Zi merasa prihatin dengan nasib kaumnya. Sepertinya di mana-mana sama. Tak hanya di pusat kota, di daerah pun begitu. Bagi perempuan yang bekerja di pabrik seperti mereka, penindasan dan penghisapan tak hanya didapatkan di tempat kerja, melainkan juga di dalam rumah, tempat yang mereka tinggali bersama suami mereka. Sebuah hunian yang seharusnya bisa menjadi tempat istirahat untuk melepaskan penat dari segala rutinitas kerja.

Banyak di antara mereka yang bekerja sendiri untuk menghidupi suami dan anak-anaknya meski pekerjaan domestik masih menjadi tanggung jawabnya. Padahal seharusnya, ketika mereka berkomitmen untuk bertukar peran, maka pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab suami. Dan kalau pun sama-sama bekerja, seharusnya lah pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab bersama. Sistem Patriarkhi benar-benar sudah mengakar, menyatu dalam jiwa setiap orang, memola pikiran dan mewujud dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sistem yang menindas perempuan itu membuat setiap orang berpikir bahwa pekerjaan domestik atau rumah tangga hanya menjadi tanggung jawab perempuan. Lalu konsep kewibawaan yang salah pun terbangun, bahwa laki-laki yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga adalah laki-laki yang tak punya wibawa. Sementara jika perempuan hanya mengurusi rumah tangga saja, tidak dianggap bekerja. Tenaga yang digunakan sejak pagi hingga malam mengurusi rumah, anak-anak dan suaminya tidak dihargai. Dianggap tak memiliki nilai apa pun sehingga tidak layak memperhitungkan gajinya. Hal itu membuat perempuan yang sudah bekerja diluar rumah masih merasa bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan rumah mereka. Masih juga perempuan tak diberi hak untuk berpendapat di dalam rumah tangganya karena tidak turut menyumbangkan materi atau tak memiliki gaji dari pekerjaannya di luar rumah. Nilai istri menjadi lebih rendah dari seorang pelacur karena pelacur saja masih mendapatkan upah dari pelayanannya di atas ranjang. Kadang lelaki yang sudah memiliki kesadaran lebih maju pun dari pendidikan-pendidikan yang mereka dapatkan di organisasi, menikmati keadaan itu. Siapa sih yang tidak mau dilayani? Mungkin begitu pikiran lelaki sehingga perjuangan menuju kesetaraan atau sosisalisme hanya sebatas retorika saja. Perempuan yang sadar pun tidak juga serta merta merubah pola pikir pasangannya. Masih banyak lelaki egois yang selalu merasa menang setelah berada dalam masa perkawinan. Ketakutan perempuan ditinggalkan pasangannya yang menjadikan ia seorang janda, dijadikan senjata oleh para suami. Tentu saja bukan karena mereka tidak mampu menghidupi diri dan anak-anaknya, tetapi predikat janda masih dianggap hina dalam masyarakat sehingga patut dijadikan bahan tertawaan untuk dilecehkan. Perjuangan perempuan menjadi sangat berat ketika aktivis laki-laki tak turut membantu dan para perempuan mengamini atau mendukung keadaan itu.

Entah, apa alasan yang sebenarnya. Mereka mengatakan, bahwa keinginan mempertahankan perkawinan mereka semata-mata demi anak-anaknya. Tak satu pun dari mereka yang jujur mengatakan, bahwa kerelaan itu dilakukan atas dasar cinta. Di satu sisi memang benar karena perceraian membawa dampak yang buruk bagi psikilogi anak. Di sisi lain, hubungan yang tak sehat seharusnya tak perlu dilanjutkan, sebab itu sama saja dengan melanggengkan penindasan dan penghisapan terhadap kaum perempuan.

Pertengkaran yang sering terjadi di dalam rumah tangga pun bisa berdampak buruk pada tingkah laku anak, sebab anak adalah seorang peniru yang baik. Seperti pengalaman kawan-kawan perempuannya dulu yang memiliki trauma terhadap lelaki karena ayahnya yang kerap menganiaya ibunya, atau suaminya yang menganiaya dirinya. Lia yang berganti nama menjadi Igo. Atau Icem yang kini menjanda dan memiliki satu anak, mengganti namanya menjadi Kamal. Kini mereka tergolong sebagai kaum homoseksual. Kepercayaan dirinya yang cukup tinggi menjadikan mereka seolah memiliki ‘burung’ atau kejantanan. Hidup bersama dengan kaumnya sendiri layaknya suami istri.

Zi juga ingat Yeni, seorang ibu muda yang tadi mengikuti pertemuan. Yeni memiliki tiga orang anak. Yang paling kecil baru 8 bulan. Yeni terpaksa mencari tukang momong karena suaminya tak mau mengurusi. Padahal suaminya tidak bekerja. Yang dilakukan setiap hari hanya keluyuran, judi dan mabuk-mabukan. Kalau sedang tidak ada lembur, Yeni harus berhutang karena gajinya hanya cukup untuk bayar kontrakan dan gaji tukang momong. Karena seringkali keteteran dalam hal keuangan, maka ia pun mencari akal. Sambil bekerja di pabrik, Yeni berjualan nasi dan lauk di lokasi tempat kerjanya. Belakangan si Yeni mendengar kabar kalau suaminya punya selingkuhan. Duh!

Kalau Sri, berdua sama-sama bekerja. Hanya suaminya tak pernah peduli dengan kebutuhan rumah tangga mereka. Hanya memikirkan dirinya sendiri. “Kalau kasih uang seenaknya, alasannya punya hutang inilah itulah, padahal banyak tetangga yang bilang kalau suamiku sering traktir teman-temannya mabok kalau malam.” Begitu Sri bercerita. “Sudah begitu, kalau ketahuan nggak mau disalahin, malah semakin marah dan suka main tangan lagi,” lanjutnya.

Banyak sekali keluhan yang ia tampung, bahkan Mbak Wati yang berprofesi sebagai pengawas pabrik itu pun tidak sanggup kalau lembur hingga larut. Rata-rata Mbak Wati pulang pukul tujuh malam. Apalagi kalau jam sepuluh malam baru keluar dari pabrik. Sampai di rumah masih harus mencuci atau menggosok pakaian, juga bebenah. Belum lagi pagi-pagi harus bangun, belanja dan masak dulu sebelum berangkat kerja. Suaminya pernah selingkuh, alasannya karena tidak pernah ada masakan di rumahnya. Selalu beli di warung.

Ya, begitulah laki-laki. Selalu memiliki kecenderungan untuk mendua. Berbagai alasan disodorkan demi memenuhi hawa nafsunya tanpa memikirkan perasaan pasangannya. Namun untuk urusan yang satu ini, perempuan juga turut andil menindas kaumnya sendiri.

Zi juga kerap mendengar perempuan yang dijadikan kambing hitam dalam sebuah hubungan perkawinan jika tak segera melahirkan keturunan. Tanpa diagnosa dokter, seorang suami dengan mudahnya memberi stigma kepada istrinya sebagai perempuan mandul. Sang suami lantas meninggalkan atau menduakannya karena yang diinginkan kebanyakan lelaki adalah keturunan yang murni dari dirinya.

Berbeda dengan perempuan. Ketika menyadari suaminya seorang lelaki yang mandul, ia rela mengadopsi anak. Demi mempertahankan hubungan perkawinan, rasa keibuan, juga rasa cinta yang membuatnya tak mau kehilangan pasangannya. Mayoritas perempuan memang memiliki tingkat kesetiaan yang lebih tinggi dibanding pria. Tak ubahnya seperti keperawanan yang selalu menjadi tuntutan kaum lelaki kepada calon istrinya, sementara mereka tak mampu menghitung berapa kali, dengan siapa dan di mana saja mereka membuang air maninya. Sungguh, ini tidak adil!

Tak jarang perempuan juga kelewat baik. Beberapa kali di selingkuhi suaminya, masih saja bisa menerima dan memaafkan. Namun kebanyakan pria terlena dengan perhatian lebih yang mereka terima. Mereka lupa berkaca. Tak hanya dicemburui, perempuan juga butuh dirindukan, di eman atau dimanja sebagai perwujudan dari rasa cinta.

Mayoritas lelaki selalu menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah hingga bisa diperlakukan sesuka hatinya. Padahal perempuan juga bisa berlaku lebih kejam dari perkiraan mereka, jika kesabarannya sudah habis. Dengan komando satu orang perempuan saja, mampu menggerakkan ribuan buruh untuk melakukan aksi mogok kerja jika perusahaan melanggar peraturan undang-undang perburuhan yang merugikan mereka. Beberapa perempuan bahkan tega membunuh suaminya dengan cara mutilasi, tentu bukan tanpa alasan. Penindasan yang sudah merasuk ke dalam tulang sumsumnya, membuat perempuan mampu melakukan hal yang paling ekstrim sekali pun.

Tapi perempuan semacam itu hanya ada beberapa. Rata-rata mereka diam saja meski jelas-jelas mengalami kekerasan dalam rumah tangganya. Hanya bisa dihitung dengan jari yang mau melaporkan kejadian itu kepada Komnas Perempuan, atau paling tidak ke Pos Polisi terdekat. Alasannya tidak tega  melihat suaminya ditahan, dipenjara.

“Neng, sedekahnya, neng …”

Seorang bapak tua menyadarkan Zi dari lamunannya. Ternyata hari sudah sore. Setelah memberikan selembar uang ribuan, Zi berjalan melanjutkan langkahnya menuruni tangga penyeberangan.

Kembali tatapannya kosong, Zi melambatkan langkahnya melewati trotoar. Sesekali memandang ke depan, sesekali melihat ke bawah. Batinnya masih terus berceloteh, mengupas kisah kaumnya yang terasa mengiris hati.

Tiba-tiba Zi teringat tetangga kontrakannya dulu, sebelum Zi masuk organisasi dan tinggal di markas. Mbak Surti namanya. Suaminya gila seks. Tiap hari selalu minta dilayani dan harus dituruti. Kalau tidak, mbak Surti diseret keluar rumah, lalu dikunci dari dalam. Pernah sekali Zi mengajak Mbak Surti tidur ke kamarnya, namun ditolak. Mbak Surti lebih memilih untuk tetap bertahan di luar. Pukul empat dini hari, pintu baru dibuka. Mbak Surti masuk, beres-beres perabotan yang berantakan karena ulah suaminya. Kebiasaan suaminya kalau marah suka banting-banting barang. Kalau sudah beres, Mbak Surti belanja di warung dekat kontrakan lalu memasak. Setelah itu baru mandi kemudian pergi ke pabrik. Dan itu terjadi berulang-ulang. Suaminya tak pernah peduli Mbak Surti yang sudah kelelahan setelah bekerja seharian, bahkan kadang lembur hingga malam. Kalau Mbak Surti keluar kerja, suaminya marah-marah dan terus mengomel. Katanya, Mbak Surti itu seorang pemalas, tidak mau kerja. Tapi anehnya bila Zi mengecam suaminya, Mbak Surti tidak terima dan membela habis-habisan. Huuuuuffftt ... perempuan perempuan ...

Tak terasa tinggal beberapa langkah lagi Zi sudah sampai di markas. Sebuah rumah sederhana, tempat ia dan kawan-kawan seperjuangannya itu tinggal.


~ Bersambung ~


(Casablanca, 28 Juli 2013)

Theme Song: (Dea Mirela - Takkan Terganti) http://www.youtube.com/watch?v=PPPM7Xq2538

Photo Source: Google Images

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates