Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Saturday, October 20, 2012

Cerpen: Jika Momogi Saja Bisa


Seringkali yang kita inginkan jadi ’cumi’, alias cuma mimpi. Tapi di saat yang berbeda, kita mendapatkan sesuatu yang lebih dari itu. Kalau menurut kamu, bahagia tidak? Menurut aku sih bahagia, cuma belum sempurna. Karena kebahagiaan yang sempurna itu kalau apa yang kita impikan benar-benar jadi kenyataan. Seperti waktu aku mendapatkan kejutan dari Jimmy ―kawanku dari Australia.

Awalnya, waktu kami jalan-jalan ke Kebun Binatang Surabaya. Lagi duduk santai di taman, dia bertanya,“Dinda, what’s your dreams?” Bule itu tidak mau panggil Tari. Katanya, dia lebih suka panggil aku Dinda. Ya udah, terserah dia lah, mulut-mulut dia, hehe …

Sambil menerawang jauh layaknya orang yang lagi menghayal, aku menjawab,”If I have a cute baby orangutan, how glad I am ...”

Tepat di hari ulang tahunku, Jimmy benar-benar mewujudkan impianku. Sebuah kado yang special buat aku, bayi orangutan yang lucu. Tidak cuma itu, Jimmy juga tahu kalau aku lebih suka dengan makhluk yang jenis kelaminnya laki-laki. Jadi, dipilihlah bayi orangutan jantan. Olalaaa … bahagianya akuuu …

Bayi itu usianya dua bulan sewaktu pertama kudapat. Dan aku merasa tak perlu bertanya dari mana Jimmy bisa mendapatkan itu, karena aku tahu, orangutan itu satwa yang dilindungi. Yang penting mimpiku terwujud, choy …

Aku merawatnya seperti seorang ibu pada anaknya. Aku perlakukan dia seperti bayi manusia. Dari makan sampai pakaiannya, aku perhatikan benar. Dan kuberi dia nama MOMOGI.

Jangan tanya kenapa dan apa alasanku memilih nama itu. Karena aku tidak punya alasan apapun, apalagi filosofinya. Aku suka saja, titik. Bahkan nama itu sudah kupilih jauh sebelum aku mendapatkan dia.

*****

Memes mengernyitkan dahinya waktu kusampaikan niatku merawat si Mogi ―pangilan sayang Momogi ―yang lagi di gendonganku.

“Kenapa tidak sekalian saja anak macan, anak buaya dan anak gajah yang kamu pelihara? Biar rumah ini jadi kebun binatang!” Ketus Memes menjawab.

Aku diam saja, sedih, terus nangis. Tapi di tengah kegalauanku, senyum Mogi menghiburku.

Beruntung aku tidak tinggal serumah dengan keluarga. Aku punya paviliun di samping rumah sejak aku bekerja, ingin bebas dan mandiri. Beruntung lagi, Ebes mengerti. Kebetulan Ebesku juga suka pelihara binatang, jadi niatku didukung sekali. Ebes lah yang menggantikan aku merawat Mogi kalau aku sedang bekerja.

*****

Tak terasa dikeloni tiap hari, umur Mogi sudah dua tahun lebih dua bulan. Sudah montok, jarang sakit, ganteng lagi. Senang kalau waktu tidur, terus tangannya melingkar di leherku. Ya wajarlah, aku perhatikan benar asupan makanannya. Susunya saja tidak sembarangan. Aku bekerja keras, merelakan separuh gajiku untuk keperluannya. Termasuk beli susu yang bagus, yang bisa mendekati kualitas ASI. Biar Mogi tumbuh besar, sehat dan cerdas. Tapi ada pertanyaan-pertanyaan yang entah karena iri atau apa aku tidak tahu ...

“Kenapa sih sampai segitunya?”

“Cuma monyet saja dibela-belain?”

“Kenapa tidak ambil bayi-bayi yang terlantar saja yang dibuang ke tempat sampah atau di panti-panti asuhan?”

Ini masalah hati, choy. Aku tidak bisa membiarkan suara hati aku. Entahlah, mungkin karena terlalu sayangnya aku sama Mogi, atau karena itu impian aku. Tapi tidak mungkinlah aku kasih dia ASI, karena air susuku cuma untuk calon anakku, dan wadahnya untuk calon bapaknya. Hehehe … jangan dibayangkan ya, nanti ‘ngajo’ lagi ―ngayal jorok.

Lama kelamaan, Memes senang juga lihat tingkah Mogi yang lucu dan menggemaskan. Makin hari makin sayang, perhatiannya pun makin bertambah. Lihat saja kalau Mogi sedang demam, Memes lah yang paling panik. Duh, jadi terharu …

Oh iya, karena Mogi sudah mulai gede, dia sudah ngerti malu lho. Pernah waktu aku selesai memandikan dia, tiba-tiba keponakan aku masuk saja ―tanpa mengetuk pintu. Mogi spontan menutupi tititnya dengan kedua tangannya sambil teriak-teriak cari tempat sembunyi. Mungkin, itu karena aku membiasakan dia pakai celana dalam, celana luar, lengkap dengan bajunya. Itu juga jadi dampak yang positif. Mogi tidak mau pipis sembarangan. Malu, kalau tititnya dilihat orang lain.

Sejak usia dua tahun, Mogi sudah tidak perlu menggunakan pampers lagi. Dia sudah tahu, ke mana harus buang air. Asal ingin pipis atau pub, dia pasti menarik tanganku. Atau Memesku, Ebesku  ―jika aku sedang tidak di rumah ―terus mengajak ke kamar mandi. Karena aku juga tidak mau mengajarinya seperti kebanyakan orang tua. Mentang-mentang anaknya laki-laki, kalau ingin pipis diajaknya ke luar rumah, cari selokan. Dibukalah celananya di sana. Mudah-mudahan besok kalau dewasa, Mogi tidak seperti manusia laki-laki kebanyakan. Asal ada benda tegak yang menghalangi, kencing deh di situ. Saingan sama guk guk. Ckckck …

Mogi juga sudah mulai susah ditinggal. Dia sudah bisa membedakan, aku yang di rumah dengan aku yang mau pergi. Kebiasaanku di rumah yang suka menggunakan celana pendek ditengarai-nya. Dia jadi ribut kalau aku sudah pakai celana panjang. Yang biasanya main sendiri, jadi tidak mau. Baru berdandan saja, tangannya yang panjang sudah melingkar di perutku dan tidak mau lepas kemana saja aku pergi. Yang lebih repot, kalau aku ingin pipis. Hadeeeh …

Meski kebebasanku semakin berkurang, tetapi menjadi kebahagiaan tersendiri buat aku, karena merasa dibutuhkan. Dan Mogi akan melepaskan pelukannya, kalau aku janji mengajaknya pergi dan mencari baju ganti untuknya. Dia langsung semangat pergi ke rak sepatu, terus memilih sesukanya.

Kelucuan Mogi yang lainnya, kalau dia sedang nonton TV. Kebiasaanku yang suka nonton berita dan politik, jadi menular ke dia lho ... Disimak benar acara itu sambil duduk di sofa kecil, mungil dan lucu. Khusus aku beli untuknya. Dan Mogi paling marah kalau chanelnya diganti tayangan sinetron sama bibiku.

Mogi segera turun dari sofanya, teriak-teriak, berjingkrakkan. Maksudnya minta diganti. Dan dia akan duduk manis kembali, jika keinginannya sudah dituruti. Maklum, ibu-ibu sukanya nonton sinetron. Padahal tayangan macam begitu kan tidak mendidik anak-anaknya. Dan jelas-jelas sudah melecehkan logika. Itu memang produk Kapitalis yang sengaja diciptakan untuk meracuni generasi muda. Agar mereka tidak merasa, kalau negaranya sedang dijajah. Membuat mereka malas berpikir karena sudah mendapatkan yang instan, jadi tidak mau melawan.

Pasti kalau ada yang iri, akan berkata,”Mau jadi apa sih, nyet, nonton berita politik? Bicara saja tidak becus!” Ihh …

Sebagai manusia yang berkaca diri, aku sadar kalau binatang juga butuh tempat untuk bersosialisasi. Selain membelikannya mainan, aku juga mengajak Mogi jalan-jalan ke tempat hiburan, atau bermain bersama anak-anak tetangga. Kadang aku mengundang mereka ke rumah. Mereka pasti mau, karena Mogi punya banyak mainan yang tidak semua mereka punyai. Waktu ulang tahunnya saja, tidak ada satupun yang ketinggalan. Karena mereka semua menyukai Mogi dan aku punya banyak cara untuk bisa menyenangkan mereka.

Tapi yang namanya anak-anak, selalu ada saja yang nakal. Tak terkecuali Mogi yang kadang suka usil meledek temannya sampai nangis. Kalau udah begitu, aku tidak perlu banyak bicara. Cukup aku panggil namanya, lalu aku acungkan telunjuk jariku. Dengan cara begitu saja, Mogi sudah tahu. Dia langsung mendatangiku, memeluk dan menciumi aku. Maksudnya merayu, agar aku tidak marah.

Kalau malam lihat Mogi sedang tertidur pulas, aku suka senyum-senyum sendiri. Ingat lucunya, usilnya. Mengikuti siapa ya? Aku kan orangnya tidak suka usil.

Oh iya, aku lupa, dia kan anak orangutan. Berarti, mengikuti bapaknya kali ya, hehehe ...

Tapi dia juga mengerti kok ... Kalau aku lagi sedih, dia tidak rewel. Malah suka bikin aku jadi tertawa lihat tingkahnya. Dia duduk di sampingku, terus mengikuti setiap gerakku. Misalnya aku sedang melipat tangan, dia meelipat tangan juga. Kalau tanganku sedang menahan dagu, dia juga mengikuti begitu. Ghaghaghag …

Lain lagi kalau lihat aku nangis. Dia ambil tissue lalu mengelap air mataku. Dan kalau aku sedang batuk-batuk, diambillah botol minumku. Ya, itu karena dia suka lihat aku melakukan itu pada Memesku.

Pokoknya, apapun yang aku lakukan, semua diikuti. Termasuk buang sampah ke tempatnya. Tidak peduli bekas bungkus makanan dia atau siapapun. Kalau dia menemukan di meja atau di lantai, langsung dipungut dan dibuang ke tempat sampah.

Harusnya manusia malu kalau melihat kejadian ini. Monyet aja mengerti kebersihan. Itulah gunanya pendidikan sedari dini. Tidak selalu harus menggunakan teori dulu. Langsung praktek justru lebih baik, dengan memberi contoh yang baik.

Mungkin, orang yang jorok itu karena induknya juga jorok ya? Dan orang yang tidak mengerti buang sampah di tempatnya itu, karena induknya juga begitu. Bisa jadi, karena banjir sering terjadi karena got yang mampet dan kali yang kotor penuh sampah. Kalau satu induk aja suka buang sampah sembarangan, akan diikuti beberapa generasinya. Apalagi kalau banyak induk begitu. Berarti lebih banyak lagi sampah yang mengotori jalanan dan sungai. Hmm …

Kadang si Mogi itu tingkahnya seperti orang dewasa. Apa aja yang aku kerjakan, direbut sama dia. Maunya dikerjakan sendiri. Padahal kan belum bisa benar. Makanya, sengaja air minum selalu aku siapkan di botol dan tempat minum yang terbuat dari plastik. Tinggal ambil di atas meja. Kalau tidak, berapa kali saja gelas pecah, air tumpah gara-gara dia mengambil air di dispenser.

Melihat kecerdasannya, aku jadi berharap, si Mogi bisa ngomong seperti manusia. Itu sebabnya setiap malam, aku bikin ritual. Sambil menemani dia di tempat tidur, aku ajari dia bicara dan bernyanyi. Dia menyimak betul sambil minum susu botolnya. Kalau bosan dengar aku bicara, dia tutup mulutku. Maksudnya, aku disuruh nyanyi. Heee … lucu ya …

Mungkin ada yang bertanya, kenapa cuma waktu tidur saja diajari-nya?

Ya karena Mogi itu hiperaktif ―tidak bisa diam. Hanya kalau mau tidur saja dia tenang, sambil ngenyot botol susunya.

Tapi aku jadi bertanya-tanya sendiri. Bagaimana ya kalau nanti ternyata Mogi bisa ngomong beneran? Terus dia tanya aku,”Mama mama, kenapa sih Mogi beda sama teman-teman Mogi?”

Emm ... gampang choy, aku akan menjawab,”Iya sayang, karena kalian lain jenis. Kalau teman-teman Mogi itu manusia, kalau Mogi itu binatang.” Ups! Binatang? Kok sepertinya kasar sekali ya? Kalau hewan? Masih kasar juga. Oh iya, satwa. Manusia dan satwa. Sip!

Terus kalau dia tanya lagi,”Mama mama, kenapa sih Mogi tidak punya papa seperti mereka?”

Waduh, aku harus jawab apa nih …

Oke! Aku akan jawab begini saja,”Karena mama tidak menikah, sayang ...”

Lalu, kalau dia terus mengejar dengan pertanyaan,“Kenapa mama tidak menikah? Ayo dong mama, mama harus menikah, biar Mogi punya papa.”

Ampun DJ … ini jawaban yang sulit untuk dijawab. Aku harus jujur apa bohong ya? Kalau aku bohong berarti aku mengajari dia tidak benar. Akibatnya, seperti manusia sekarang yang banyak jadi koruptor. Wah gawat! Korupsi yang udah mengakar di negeri ini kan awalnya dari bohong kecil-kecilan. Juga dari lingkungan yang paling kecil ―rumah. Mudah-mudahan nanti kalau sudah dewasa, Mogi akan menjadi satwa yang jujur. Agar manusia lebih malu lagi. Karena sejatinya, derajat manusia kan lebih tinggi dari binatang.

Kalau janji? Tidak bagus juga kalau nantinya tidak bisa menepati. Aku saja tidak suka diperlakukan begitu, masak aku mau melakukan itu. Itu namanya tidak berkaca diri. Ya sudah, jujur sajalah …

“Sepertinya, mama sudah tidak punya cinta lagi, sayang … Cinta mama yang tinggal satu-satunya, dipermainkan sama orang yang paling mama sayangi. Mama belum bisa lagi mencintai yang lain. Mau dia punya pacar, punya istri, atau mati sekalipun, cinta mama tetap buat dia …”

Huuuuffftt … aku jadi sedih membayangkan Mogi yang kecewa mendengar jawabanku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku kan musti jujur. Ya, kejujuran memang tidak selamanya manis. Kadang, bahkan terasa sangat pahit. Tapi ya sudahlah, yang terjadi terjadilah. Siapa tahu nanti jawabanku bisa berubah seiring berjalannya waktu. Karena rencana manusia, seringkali tak sejalan dengan rencana Tuhan …


( Casablanca, 7 Oktober 2012 )

Note: Memes = Ibu
          Ebes    = Bapak
     =>Bahasa gaul arek-arek Suroboyo





No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates