“Penindasan yang dilakukan oleh pemilik budak kepada para budaknya, akhirnya menjadi pertentangan yang semakin kuat, hingga melahirkan revolusi kaum budak, atau pemberontakan budak. Meningkatnya perlawanan para budak, membuat tuan budak terpaksa memerdekakan budak-budaknya dan merubah klas budak menjadi tani hamba. Sedangkan tuan budak yang kini hanya memiliki tanah sebagai harta pribadinya, berubah menjadi tuan pemilik tanah. Nah, dari sini fase perkembangan masyarakat berubah, dari jaman perbudakan menjadi jaman feodal atau pertanian modern. Oke! Sampai di sini, ada pertanyaan?”
Senyap …
“Ayo, siapa yang ingin bertanya? Jangan malu-malu. Malu
bertanya, sesat di kamar lho …”
“Sesat di jalan, kak …”
“Ah, itu kuno. Yang terbaru, malu bertanya sesat di kamar.
Malu pacaran, kesepian. Malu pelukan, kedinginan. Malu ciuman, jerawatan …”
Para peserta tertawa. Suasana sepi menjadi pecah oleh
guyonan yang dilontarkannya dengan gaya sedikit jenaka. Menjadi gaduh dibarengi
celoteh mereka beberapa saat. Sengaja ia berikan sedikit hiburan, agar mereka
tidak terlalu tegang, sehingga dihinggapi rasa kantuk.
“Oke! Bisa dilanjut? Bisa serius lagi ya?”
Suasana kembali senyap …
“Kita akan memasuki jaman feodal atau pertanian modern. Pada
fase ini, lahir budaya patriarkhi. Apa budaya patriarkhi itu? Ada yang bisa
menjawab mungkin?”
Tidak ada yang menjawab …
“Budaya patriarkhi adalah budaya yang menomor-duakan
perempuan. Artinya, bahwa kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Budaya
ini sengaja diciptakan oleh para pemilik tanah atau tuan tanah, agar mereka
tidak kehilangan tenaga kerjanya yang rata-rata perempuan. Agar perempuan tidak
melawan, agar perempuan bisa ditundukkan, maka dilemahkan melalui opini atau
pendapat tentang watak dasar perempuan. Apa saja watak dasar perempuan itu?
Siapa yang bisa menjawab?”
“Lembut.”
“Ya. Apa lagi? Ayo yang lain?”
“Lemah.”
“Ya. Lebih tepatnya, lemah gemulai. Lemah gemulai
gerakannya. Apa lagi?”
“Cantik.”
“Ya, boleh. Lebih tepatnya, bahwa perempuan itu harus
merawat diri. Ada lagi?”
Sepi …
“Santun, dan perempuan hanya boleh bekerja di lingkungan
terbatas. Seperti melayani suaminya atau bekerja dalam rumah tangga saja.
Pekerjaan dalam rumah tangga ini yang sering disebut sebagai pekerjaan domestik,
yaitu: sumur, dapur, kasur.”
***
Kenapa ya, aku tidak
berani mengungkapkan perasaanku pada Uda’, seperti yang pernah aku lakukan pada
Mas Wi? Apa karena tampang Uda’ yang terlalu serius? Apa karena Uda’ seorang
yang tegas, sehingga aku tidak siap menerima resikonya? Ya, karena tegas selalu
dikonotasikan sebagai tindakan yang kejam. Karena tegas seringkali tidak
memerlukan pendekatan emosional. Tidak mengenal rasa ‘tidak enak’ atau sungkan,
sehingga terkesan tidak menggunakan perasaan. Jika aku salah atau Uda’ tidak
menyukai tindakanku, pasti jawabannya sangat menyakitkan. Tetapi lelaki tegas
seperti Uda’, tentu aku suka, karena jarang aku temui. Dan tradisi ‘tidak enak’
yang masih terus dipelihara oleh bangsa di negeri ini, menjadi salah satu
faktor yang membuat Indonesia sulit mencapai kemajuan. Yang seharusnya tidak disetujui,
di-iya-kan. Yang semestinya dikritisi, di-amin-kan. Mereka terpaksa mengingkari
kata hatinya, hanya karena ‘sungkan’. Dan kapitalis asing sudah
mempelajari kebiasaan itu untuk memanfaatkan orang-orang yang berpengaruh di negeri
ini, sehingga tempat-tempat yang strategis banyak dikuasai oleh mereka. Sikap
tegas Uda’ juga mengindikasikan bahwa ia adalah orang yang setia pada prinsipnya.
Uda’ menjadi identik dengan idealisme. Seperti barang yang sangat mewah …
Aku pernah
membayangkan Uda’ menjadi lelakiku. Suatu sore, aku masuk ke ruang kerjanya. Ceritanya
di dalam rumah kami itu, aku dan Uda’ memiliki ruang kerja masing-masing. Aku berhenti
tepat di depan pintu yang terbuka. Sambil memegang gagang pintu, aku bertanya,“Uda’
sibuk nggak?”
“Ada apa?”
“Enggak. Ya sudah
kalau Uda’ sibuk.”
Aku segera berbalik
keluar ruangan, tetapi Uda’ buru-buru memanggilku. Aku mendatanginya lagi.
“Ada apa sih …?”
Kali ini, nada suaranya
tidak lagi datar, tetapi meneduhkan.
“Kan tadi aku yang tanya,
kenapa Uda’ balik bertanya?”
“Ya sudah, aku tidak terlalu
sibuk. Terus, ada apa?”
“Cuma pengen peluk
Uda’ saja, sebentar. Boleh nggak?”
“Oooh … sini …”
Tubuhnya yang tinggi
besar seperti postur orang Eropa, membuat aku tampak kecil di hadapannya. Uda’
tak perlu berdiri. Cukup merubah arah posisi duduknya, membentangkan kedua
tangannya, dan kami saling berpeluk.
Beberapa menit
kemudian,”Sudah, Uda’.”
“Sudah?”
“Iya. Uda’ kerja
lagi.”
Uda’ merenggangkan
kedua lengannya dan aku segera keluar dari ruangan itu.
Huuuuuffftt … bagaimana
aku berani mengungkapkan perasaanku? Mengembangkan imajinasiku saja, aku tak bisa.
Apa karena Uda’ terlalu sopan, sehingga aku mengimbanginya dan harus meminta ijin setiap kali aku
ingin memeluknya? Harusnya ada yang nakal di antara kami. Bisa saIah satu, atau
dua-duanya. Itu sah-sah saja. Bukankah kami sudah resmi menjadi sepasang
kekasih? Harusnya Uda’ tak mengindahkan pernyataanku yang menyudahi
keinginanku. Harusnya bibir, lidah dan jari-jariku melakukan tugasnya
masing-masing, sehingga adegan itu berkembang menjadi lebih panas. Apa karena
Uda’ juga terkenal disiplin, sehingga saat jam kerja aku tidak berani
mengganggunya? Meski pada umumnya, hubungan seks bagi pasangan suami istri, bebas
dilakukan kapan saja di rumah mereka. Tentu tanpa paksaan atau atas persetujuan
kedua belah pihak.
Seperti suatu malam,
aku bermimpi. Di atas ranjang kami yang berukuran ‘king size’, membuat jarak
tidur kami berjauhan. Sambil memeluk guling menghadapnya, aku memanggil pelan.
“Ya, ada apa?” Uda’
menjawab.
“Pengen dipeluk Uda’…”
Pintaku dengan wajah memelas.
Uda’ mendekat,
memelukku.
Hmm … bahkan dalam
mimpi pun, aku tak mampu menjadi seorang penggoda yang sukses. Pun tak bisa
membayangkan prosesnya, bagaimana dingin malam meletupkan hasrat, yang kemudian
menakhlukkan kami pada persetubuhan, hingga perutku membuncit dan melahirkan
generasi. Yang mampu aku gambarkan, hanya aku dan Uda’ menyatukan jemari di tengah aksi massa. Menyanyikan hymne perjuangan, lalu mengibarkan
panji-panji kami bersama seorang bocah di gendongan Uda’. Mengajarkannya berjuang dan bersolidaritas bersama rakyat, agar kelak ia
tumbuh menjadi pejuang yang tangguh, yang peduli dengan
persoalan-persoalan rakyat kecil, mencintai alam dan semua makhluk yang ada di bumi.
Maafkan aku, Uda’ … Seharusnya
aku tidak menahan hakmu untuk tahu, bahwa kau sangat pantas dikagumi. Sebelum
kau percayakan hidupmu padaku. Sebelum kau memintaku menemani hari-harimu
hingga di ujung usiamu. Aku telah mengkhawatirkan laparmu, lelahmu, juga
sakitmu …
Matanya sudah mulai berat. Kantuknya telah menyerang. Baru saja ia mengatupkan mata, adzan Subuh sudah terdengar. Zi
mengurungkan niatnya untuk tidur, karena akan ada rapat organisasi di sekretariat
pada pukul delapan pagi. Ia tak mau mentang-mentang sebagai ketua, lantas
seenaknya datang terlambat. Zi harus menerapkan kedisplinan dan menjadi teladan
bagi yang lain. Karena lokasinya cukup jauh dari markas, maka ia sudah mengatur
waktunya sendiri. Pukul lima, mandi dan pukul enam, berangkat. Zi sudah harus
sampai di sana, satu jam sebelumnya. Atau paling tidak, setengah jam sebelum
jadwal waktu yang sudah disepakati. Dan kali ini, Zi tidak akan lagi mengulur
waktu hanya untuk menunggu yang belum datang. Itu sama saja tidak mendidik. Berapapun orang yang ada, tepat
pukul delapan, rapat harus dimulai. Biar saja yang terlambat akan merasa malu
karena tertinggal. Biar mereka belajar menghargai waktu.
Alat mandi sudah disiapkan. Zi segera menuju ke kamar mandi …
~ Bersambung ~
Theme Song: (Martina McBride - My Valentine) https://www.youtube.com/watch?v=siKDn3k1axY
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment