Setahun yang lalu, aku ingin menuliskan ini, sebagai kado ulang tahun Mas Tejo yang jatuh pada tanggal 11 April. Tapi aku selalu lupa membuat konsepnya untuk persiapan. Jadinya, mendadak hari ini harus kutulis.
Aku mengenalnya pada tahun 2006, ketika mendatangi acara yang
diselengggarakan oleh Organisasi FNPBI (Front Nasional Perjuangan Buruh
Indonesia), mengundang pembicara dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
di Gedung Olah Raga Semper, Jakarta Utara. Itupun karena terbujuk kawan Rogayah.
Beberapa kali ia mengundangku ke acara diskusi-diskusi dan
pendidikan, aku tak pernah tertarik untuk datang. Tapi rupanya, kawan
Rogayah tahu kelemahanku. Maka ketika memberikan undangan itu, ia mengatakan,
kalau di acara itu ada bazar dan hiburan dari kelompok band.
Aku akhirnya datang. Tetapi baru sampai lokasi dan melihat
situasinya, aku sudah kecewa karena tidak seperti yang dikatakan kawan Rogayah dan
seperti bayanganku. Tidak ada bazar. Hanya ada satu meja di depan pintu yang menjual
buku, kaset CD, kerajinan tangan dan accessories. Tidak ada juga alat-alat band.
Panggung hanya diisi kursi-kursi dan meja panjang untuk pembicara. Kawan
Rogayah masih terus membujukku, katanya, hiburan musiknya di akhir acara.
Tanya jawab dengan pembicara dan diskusi selesai, tiba saat acara untuk hiburan. Dua orang
lelaki muda tampil di panggung. Mereka dari Organisasi JAKER (Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat). Yang satu membawa gitar, kelak aku kenal bernama
Tejo Priyono. Yang satu lagi sebagai vokalis, yang akhirnya aku kenal bernama
Kamal. Aku langsung menyukai lagu-lagu yang mereka bawakan. Meski lagunya
sederhana dan hanya diiringi satu gitar saja, namun mampu membangkitkan
semangatku. Apalagi semua kawan-kawan yang hadir serentak ikut bernyanyi. Aku
yang semula duduk di bangku belakang, langsung menuju kursi yang paling depan. Akupun
pelan-pelan mengikuti. Kelak aku tahu, lagu-lagu itu dari album Sanggar Satu Bumi.
Usai acara, kami nongkrong ramai-ramai di samping gedung.
“Aku juga punya teh, lagu kayak gitu.” Kataku pada Kawan
Rogayah.
“Gimana lagunya?”
Akupun bernyanyi …
Hei ... duniaku saat
ini, dunia yang penuh dengan, emosi dan caci maki. Na-sib seorang buruh
kontrak, bagai bola yang ditendang, bila tak lagi dibutuhkan …
“Itu lagumu sendiri?”
“Iya. Aku bikin sendiri berdasarkan pengalamanku.”
“Kalau begitu, kamu masuk Sanggar Kapuas saja. Nanti aku
kenalin kamu sama Tejo, yang tadi main gitar.”
Di dalam pabrik saat istirahat, Kawan Rogayah menunjukkan pesan
singkat dari mas Tejo yang mengajak ketemuan di sekretariat SBTPI (Serikat
Buruh Transportasi Perjuangan Indonesia). Sepulang kerja, kami mampir ke tempat pertemuan yang sudah disepakati.
“Ooohh … kamu to ... Yang kemarin datang di acara kan?”
“Iya.”
Terjadi tanya jawab, dari kegiatanku di seputar pabrik
sampai di kost-an. Seperti interview. Aku lalu disuruh nyanyi sambil memainkan gitar
membawakan lagu-lagu karyaku, disaksikan kawan-kawan yang
lain.
Menjelang Hari Buruh Sedunia, FNPBI mengadakan Aksi Really
Kawasan untuk mengajak semua buruh di KBN (Kawasan Berikat Nusantara)
turun aksi di May Day nanti. Setelah long march
mengitari area pabrik, kami berhenti di tanah lapang. Sebuah tempat yang
strategis, berada di tengah-tengah kawasan, sehingga orang yang lalu lalang
akan melihat kegiatan itu. Di sana, aku disuruh tampil menyanyikan lagu Buruh Kontrak.
Mas Tejo datang membawakan gitar untukku.
“Mas, kok nggak ada bangkunya? Bagaimana duduknya?”
“Ya nggak pakai duduk. Berdiri saja. Berdiri lebih kereeenn …”
Mas Tejo mengangkat kedua jempolnya, lalu memasang dan mengencangkan strap gitar di punggungku.
Sesuatu yang pernah aku impikan, terwujud. Bernyanyi
dan bergitar sendiri, menyanyikan karyaku sendiri, menghibur dan menyemangati
mereka yang sedang berjuang. Semua orang bertepuk tangan dan ikut bernyanyi.
“Lagu-lagumu itu harus dibikin album, Tar, karena belum ada yang
menciptakan lagu secara spesifik tentang kehidupan buruh. Lihat saja tadi,
buruh dari mana saja menyambut lagumu dengan teriakan-teriakan yang
membenarkan. Karena mereka juga mengalami itu.” Usul Kawan Kamal usai acara.
“Itu mimpiku, mas. Apa mungkin?”
“Kenapa tidak? Kan nanti kawan-kawan akan
membantu.” Jawabnya, memberi semangat.
Aku tidak pernah menyangka, kalau lagu Buruh Kontrak akan mendapat sambutan yang luar biasa. Lagu yang pernah aku nyanyikan sendiri di kamar kost, lalu aku tertawakan. Pikirku, siapa yang mau mendengar lagu seperti itu?
Sejak itu, aku jadi sering main ke Lorong 20, dekat Tanjung Priok,
tempat sekretariat SBTPI. Aku jadi kenal dengan Kawan Dedi Fauzi, Kawan Agus
Broto (biasa dipanggil Ndoro), Kawan Agus Bobo (aku biasa memanggilnya kakek),
kawan Gustin (terkenal dengan GG), Kawan Cipto, Kawan Tomblo’, Kawan Irwan, Kawan Alif dan
masih banyak lagi yang aku lupa namanya. Meskipun semua penghuninya laki-laki, tapi tempatnya
tidak begitu kotor, karena ada piket yang dijalankan.
“Jangan pulang, Tar. Ini sudah malam, nanti kamu diculik
orang. Sudah tidur di sini saja.” Begitu Kawan Ilhamsyah atau biasa aku panggil
Mas Boing, melarangku pulang kalau sudah lewat dari pukul sembilan. “Tapi tidurnya
jangan di ruang tamu, karena pintu nggak pernah ditutup dan pagar nggak pernah
dikunci. Di dalam saja.” Lanjut Mas Boing.
“Awas lho, Tar, ada satu orang di dalam yang kalau tidur
suka peluk-peluk dan kakinya nimpa-nimpa.” Kata Mas Kamal.
“Iiih … nggak maulaaah … Aku tidur dekat Mas Kamal saja
kalau gitu. Pokoknya, aku tidur di pojok mepet dinding, baru sebelahku Mas
Kamal.”
“Iyaaa …”
Kalau berkumpul dengan banyak lelaki
dan aku yang satu-satunya perempuan, itu sudah biasa sejak SMA. Kebanyakan teman-temanku, ya laki-laki. Tapi kalau
tidur beramai-ramai dengan banyak lelaki dan aku satu-satunya perempuan, baru
kali itu. Tetapi semua kawan-kawan sopir, baik. Tidak ada yang bersikap tidak
sopan. Mereka semua menjagaku.
Begitu selalu, setiap kali aku menginap, Mas Kamal yang akan
menjadi bentengku di antara banyak lelaki yang tidur berjejer seperti ikan
cuwek (pindang). Kebetulan Kawan Kamal itu badannya tinggi besar seperti bodyguard, meski usianya masih sangat muda. Jauh lebih muda dariku. Tapi ada tambahan kepedulian kalau Mas Tejo ikut menginap juga
di sana. Biasanya, Mas Tejo tidur di dapur sama kakek. Pagi-pagi, aku sudah bangun, bersih-bersih apa saja. Setengah jam kemudian, Mas Tejo bangun.
“Tari, ini masih pagi, kamu ngapain nyapu-nyapu. Tidur lagi
sana.”
“Ih, orang sudah waktunya bangun. Nggak bisalah tidur lagi.
Orang nggak ngantuk”
“Ya sudah, ayo cari sarapan. ”
“Mau beli apa?”
“Nasi uduk.”
“Enggak ah, nggak suka pagi-pagi makan nasi.”
“Nanti perutmu sakit lho kalau nggak sarapan.”
“Enggak. Nggak pa-pa.”
Sebentar kemudian, Kawan Gustin bangun. Dia langsung bikin
kopi dua gelas dan beli gorengan, lalu kami duduk lesehan di teras.
“Tar, buat aku, kau itu mutiara dari KBN.”
“Maksudnya?”
“Kau itu yang paling bersinar di antara kawan-kawan buruh
yang lain. Berapa banyak kami menemui mereka, tapi belum ada yang memiliki
kemampuan seperti kau.”
“Ah, kebetulan saja belum ketemu. Pasti adalaaah selain aku.”
“Ah, kau tak percaya. Aku itu sudah bertahun-tahun
ngobok-ngobok KBN, mengorganisir buruh perempuan di sana, tapi belum ada yang seperti kau. Yang menciptakan lagu cinta, sudah banyak, Tar. Tapi yang kau ciptakan itu, lagu-lagu perlawanan, realisasi sosial. Kau juga bisa bernyanyi dan memainkan alat musik sendiri. Jarang itu. Apalagi perempuan.”
“Tari, Tari … jangan duduk di lantai. Pakai alas, pakai
alas, nanti kamu masuk angin.” Mas Tejo datang setelah makan pagi di warung, berdiri di antara kami.
Hmm ... jadi ingat waktu kami tinggal bareng di kedai, Mas Tejo bilang,“Tari, jangan kamu terus yang nyuci gelas, capek kamu. Minggir, gantian aku yang nyuci.”
Hmm ... jadi ingat waktu kami tinggal bareng di kedai, Mas Tejo bilang,“Tari, jangan kamu terus yang nyuci gelas, capek kamu. Minggir, gantian aku yang nyuci.”
Ya … mas Tejo itu sabar, penyayang. Kami jarang bertemu. Biasa bertemu kalau tidak di Lorong 20, di Enim (rumah pacar Mas Tejo), atau saat aksi, ya di Mona (sekretariat FNPBI). Dan setiap ketemu, Mas Tejo punya ciri khas,
mengusap-usap kepalaku sambil bertanya,”Gimana kabarnya, neng …” Bahkan itu
dilakukan di depan pacarnya. Tapi pacarnya tidak cemburu, karena dia tahu, hubungan kami hanya sebatas pertemanan atau persaudaraan.
Aku menyanyangi Mas Tejo seperti kakakku sendiri, karena Mas Tejo banyak membimbing dan menyemangati aku. Seperti charger, Mas Tejo terus memompa semangatku. Ketidak-percayaan diriku, mungkin dipengaruhi oleh ibuku yang tidak pernah mempercayai kemampuanku dalam olah vokal, hanya karena suaraku tidak mencapai nada-nada tinggi. Padahal, apalah artinya nada tinggi, power, vibrasi, jika lagu yang dibawakan tidak memiliki dinamika, sehingga terdengar monoton atau datar karena tidak dinyanyikan dengan hati. Sebuah lagu menjadi tidak hidup, karena tak bernyawa. Menyanyi yang sebenarnya, tidak sekedar mengeluarkan suara atau berteriak. Tetapi bagaimana mengolah suara agar terdengar indah, serta dibutuhkan penghayatan agar pesan tersampai, sehingga bisa dinikmati. Meskipun istri si pemilik Grup Keroncong Remaja yang aku ikuti sejak kelas 2 SMP, lebih menyukai vokalku dibanding dengan penyanyi perempuan lainnya, kakak-kakak seniorku. Ibu Polwan (Polisi Wanita) itu akan menyuruhku menyanyi lagi, kalau pas latihan dia kelewatan mengikutiku. Meski Band Angkatan Laut memintaku bergabung, gara-gara sekali aku diajak latihan di kapal oleh guruku yang jadi pacarku waktu SMA. Belum lagi orang-orang di kampungku yang senang mendengar suaraku. Sampai-sampai tukang warung kopi merekamnya waktu aku nyumbang satu lagu di acara Agustusan yang mengundang kelompok musik dangdut. Kata mereka, suara penyanyinya kalah sama yang nyumbang. Aku jadi malu. Atau ... waktu aku ikut lomba nyanyi di Radio Suzana. Surat berdatangan dari berbagai daerah di Jawa Timur untuk mengajakku kenalan. Kata mereka, suaraku bagus. Hah? (tanda tanya besar). Padahal cuma menyanyikan jingle iklan dan bukan aku pemenangnya. Tapi itulah, karena yang mengatakan adalah ibuku dan itu terus diulang-ulang, sehingga mematikan salah satu jaringan neuron dalam otakku. Namun sejak bertemu Mas Tejo, aku mampu mengatakan,“Ya, aku BISA!”
Aku sering curhat sama mas Tejo, tak jauh dari masalah seni dan gerakan, bahkan suatu hari aku pernah menangis di Mona dan kawan-kawan melihatnya. Sampai akhirnya, mereka menjuluki Mas Tejo sebagai bapakku.
Aku menyanyangi Mas Tejo seperti kakakku sendiri, karena Mas Tejo banyak membimbing dan menyemangati aku. Seperti charger, Mas Tejo terus memompa semangatku. Ketidak-percayaan diriku, mungkin dipengaruhi oleh ibuku yang tidak pernah mempercayai kemampuanku dalam olah vokal, hanya karena suaraku tidak mencapai nada-nada tinggi. Padahal, apalah artinya nada tinggi, power, vibrasi, jika lagu yang dibawakan tidak memiliki dinamika, sehingga terdengar monoton atau datar karena tidak dinyanyikan dengan hati. Sebuah lagu menjadi tidak hidup, karena tak bernyawa. Menyanyi yang sebenarnya, tidak sekedar mengeluarkan suara atau berteriak. Tetapi bagaimana mengolah suara agar terdengar indah, serta dibutuhkan penghayatan agar pesan tersampai, sehingga bisa dinikmati. Meskipun istri si pemilik Grup Keroncong Remaja yang aku ikuti sejak kelas 2 SMP, lebih menyukai vokalku dibanding dengan penyanyi perempuan lainnya, kakak-kakak seniorku. Ibu Polwan (Polisi Wanita) itu akan menyuruhku menyanyi lagi, kalau pas latihan dia kelewatan mengikutiku. Meski Band Angkatan Laut memintaku bergabung, gara-gara sekali aku diajak latihan di kapal oleh guruku yang jadi pacarku waktu SMA. Belum lagi orang-orang di kampungku yang senang mendengar suaraku. Sampai-sampai tukang warung kopi merekamnya waktu aku nyumbang satu lagu di acara Agustusan yang mengundang kelompok musik dangdut. Kata mereka, suara penyanyinya kalah sama yang nyumbang. Aku jadi malu. Atau ... waktu aku ikut lomba nyanyi di Radio Suzana. Surat berdatangan dari berbagai daerah di Jawa Timur untuk mengajakku kenalan. Kata mereka, suaraku bagus. Hah? (tanda tanya besar). Padahal cuma menyanyikan jingle iklan dan bukan aku pemenangnya. Tapi itulah, karena yang mengatakan adalah ibuku dan itu terus diulang-ulang, sehingga mematikan salah satu jaringan neuron dalam otakku. Namun sejak bertemu Mas Tejo, aku mampu mengatakan,“Ya, aku BISA!”
Aku sering curhat sama mas Tejo, tak jauh dari masalah seni dan gerakan, bahkan suatu hari aku pernah menangis di Mona dan kawan-kawan melihatnya. Sampai akhirnya, mereka menjuluki Mas Tejo sebagai bapakku.
“Eh Mba Tari, kok kemarin nggak datang di acara sih,
dicari-cari bapaknya lho …” Kata pacar Mas Tejo.
“Iya Tari. Dapat salam dari bapaknya.” Kata Kawan Asmawati
(Almarhumah).
Kedekatan aku dengan Mas Tejo sering dinilai salah. Seperti
seorang kawan yang semula menyangka kami pacaran. Ada juga yang menjodohkan
kami, karena dianggap aku mencintai Mas Tejo. Bahkan pacarku sempat cemburu, menganggap
aku punya hubungan yang spesial dengan Mas Tejo. Gara-gara aku tinggal dia di
kost-an sendiri saat aku membeli makanan, lalu dia buka hp-ku. Di pesan masuk terlihat,
90% adalah sms Mas Tejo yang sudah 3 tahun lalu tidak aku hapus.
Ya, aku memang mengagumi Mas Tejo, tapi tidak berkembang melebihi rasa itu. Aku menyukai karya-karyanya, cara bertuturnya melalui tulisan-tulisannya. Aku bahkan masih menyimpan Tabloid Pembebasan Edisi 19 Tahun V Juni – Juli 2006, dimana ada kumpulan puisi-puisi Mas Tejo di sana. Aku juga suka permainan gitarnya. Mas Tejo juga konsisten dari awal mengatakan bahwa semua orang itu belajar, sehingga tak perlu menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain. Dan tidak sekedar di mulut, tapi direalisasikan dalam sikapnya sehari-hari. Sekalipun, aku tidak pernah mendengar Mas Tejo merendahkan orang lain. Dan pujian-pujian yang diberikan padaku, tidak lalu membuat aku jadi besar kepala, tapi justru membuat aku semakin bertanggung jawab untuk mempertahankan atau meningkatkan kemampuanku, agar tidak mengecewakan Mas Tejo.
Ya, aku memang mengagumi Mas Tejo, tapi tidak berkembang melebihi rasa itu. Aku menyukai karya-karyanya, cara bertuturnya melalui tulisan-tulisannya. Aku bahkan masih menyimpan Tabloid Pembebasan Edisi 19 Tahun V Juni – Juli 2006, dimana ada kumpulan puisi-puisi Mas Tejo di sana. Aku juga suka permainan gitarnya. Mas Tejo juga konsisten dari awal mengatakan bahwa semua orang itu belajar, sehingga tak perlu menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain. Dan tidak sekedar di mulut, tapi direalisasikan dalam sikapnya sehari-hari. Sekalipun, aku tidak pernah mendengar Mas Tejo merendahkan orang lain. Dan pujian-pujian yang diberikan padaku, tidak lalu membuat aku jadi besar kepala, tapi justru membuat aku semakin bertanggung jawab untuk mempertahankan atau meningkatkan kemampuanku, agar tidak mengecewakan Mas Tejo.
Akhirnya, demi menjaga perasaan pacarku, aku hapus saja pesan-pesan
itu. Tapi sebelumnya, aku catat dulu di buku agendaku. Mau tahu, seperti apa sih
pesan-pesan Mas Tejo? Ini dia …
·
~ Siapkan teks lagu2mu, biar nanti bisa diketik.
Ada foto yang sdg action g ? Buat sampul albummu nanti. Minggu depan kita ketemu
& latihan lagu2mu. Ok ! Berkaryalah terus dan sukses ! (8 Mei 2006, 19:25)
·
~ Terima kasih untuk perhatiannya. Tapi g usah
datang segala, do’ain saja aku bisa pulih kembali & bisa kembali berjuang
bersama-sama lagi. Ok Tari, salamku buat kawan2 yang lain. “HIDUP RAKYAT !!” (13
Mei 2006, 19:16)
~ Jangan
lupa menulis ucapan2 terima kasih kepada ortu-mu, saudara dan kawan2 untuk disampul
kaset. Sempatkan dirimu untuk sarapan dulu, biar kuat narik suaranya nanti.
SUKSES ! (4 Juni 2006, 07:43)
· ~ Ya, ampun ! Itu to masalahnya. Tari, kamu itu
harus tahan dikritik, jadikan itu cambuk untuk terus maju. Jawab saja kritikan
mereka dengan bijak. Kamu itu dahsyat Tari, produktif ! (5 Juni 2006, 23:06)
~ Jujur, aku aja kalah produktif sama kamu dalam
hal mencipta lagu. Aku baru bikin 5 lagu, kamu punya puluhan karya. Jadi jangan
patah semangat Tari. Maju terus ! Keep alive !! (5 Juni 2006, 23:37)
· ~Ya seperti itulah kenyataan/realita kehidupan. Terkadang
tidak selalu manis seperti yang kita duga. Tapi g apa2, kamu jangan cengeng
dong ! Seniman kiri itu harus kuat ! Sekeras karang ! (5 Juni 2006, 23:47)
~ Kamu titipkan saja ke Dedy/sama Agus Broto kalau
aku belum datang, karena harus ngurus sampul CD-mu dulu biar hasilnya maksimal.
Oke ! Bendera perlawanan sudah dikibarkan, pantang untuk surut !!! (6 Juni 2006,
22:14)
~ Gimana ? Sudah kau tawarkan belum rekamanmu ke
kawan2 pas pendidikan kemarin ? Pesan untukmu: jangan takut dan jangan gampang
tersinggung dengan kritik. Jawab kalau kau mampu menjawabnya. Ok ! (12 Juni
2006, 21:27)
~ Aku minta maaf g bisa menampilkan kamu di aksi
tadi. Aku sudah daftarkan kamu di kantor gubernur, tapi kembali antrinya banyak
dan keburu sore. Maafkan Tejo ya Tari, lain waktu pasti bisa. (29 Juni 2006,
20:53)
~ G masalah kan ? Hadapi saja dengan berani. Bilang
bahwa itu kebebasan ber-ekspresi. Jangan takut dengan apa yang kau lakukan.
Kalau keyakinanmu itu benar, jalan terus ! Met’ berjuang ! (13 Oktober 2006,
22:17)
~ Gimana pentasmu di Goethe Institut kemarin
malam ? Sukseskah ? Wah semakin meningkat saja nih jam terbangmu. Okelah kalau
begitu. Tetaplah berkarya & berjuang ! (8 Desember 2006, 20:50)
· ~ Kau punya penghasilan tetap, apalagi sekarang
kau kerap dapat undangan pentas, dari situlah sumber uangmu. Ya ampun nikmat
sekali naik eksekutif ya… aku bersiap sengsara lagi dengan Kertajaya. (1
Januari 2007, 12:29)
~ Besok May Day : Hari Buruh Sedunia, kamu harus
ikut merayakan. Kita ketemuan di Bundaran HI. Sampai besok ya. Sukses ! (30
April 2007, 19:59)
~ Syukurlah kamu tetap berkarya, karena perjuangan
sangat butuh seniman2 kerakyatan yang ikhlas berjuang & membuat indah perjuangan
ini dengan karya2nya. (6 Mei 2007, 09:34)
Begitulah … bapakku tetaplah bapakku, kakakku, juga kawanku, meski Atta dan Adam memanggilnya ayah dengan manja dan Mas Tejo melayaninya dengan sabar serta penuh kasih. Mas Tejo pernah mengutarakan keinginannya untuk membeli gitar kecil seperti milikku dan mengajari anak-anaknya bermain gitar. Semoga selalu sehat dan selalu menjadi ayah yang baik. Happy Birthday …
(Sawo Kecik, 12 April 2014)
Photo Source: Tejo's Photos |
No comments:
Post a Comment