Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Friday, January 24, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 5)



Sudah dua jam lebih Zi tak berhasil memejamkan mata. Kantuknya sejak tadi sudah menyerang, tapi pikirannya tak tenang. Ada suara-suara dari dalam yang mengganggunya. Coba tak mengindahkan, tetapi suara-suara itu terus mengiang.
      
“Sekaranglah saatnya! Menunggu kapan lagi?”
      
“Sikap Mas Wi sudah jelas terbaca. Katakan sekarang juga!”
      
“Haduuuhh, masih menunggu apa lagi? Jangan menunda-nunda. Ayo beraksi!”
      
“Ingat, Zi! Kau akan menyesal jika esok tak pernah datang!”
      
Tepat pukul 2 dini hari, Zi bangun dan menyalakan komputer. Tanpa ragu-ragu lagi ia memberanikan diri mengungkapkan perasaannya melalui surat elektronik. Sebentar saja selesai. Ia tak perlu berpikir lama untuk merangkai abjad demi abjad menjadi sebuah ungkapan. Seperti ada yang menuntun jarinya. Dan sebelum isi surat itu dikirim, dibacanya sekali lagi dalam hati …

Dear, Mas Wi

Aku tak peduli Mas Wi mau bilang apa ...
Aku tak peduli orang mau bilang apa ...

Aku cuma mau bilang,


Aku sayang Mas Wi

Sayang banget … sayang banget …

Salam,

Izzi Tan Biyi

      
Surat elektronik sudah terkirim ke email Mas Wi. Tugas dari batinnya sudah tunai. Komputer dimatikan. Terasa longgar. Tak ada lagi yang berontak dari dalam dadanya. Ia kembali melanjutkan tidurnya.

***

      
Hari ini ada diskusi tentang Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. Acara itu diselenggarakan di markas pusat. Mengundang banyak orang, wartawan, juga pembicara dari luar. Beberapa hari sejak dikirimkan surat elektronik itu, Mas Wi tak kelihatan. Juga tak membalasnya. Hari ini menjadi hari yang mendebarkan baginya. Menjadi awal pertemuan pasca ia mengutarakan perasaannya. Apakah sikap Mas Wi akan berubah? Atau … sebuah pertanyaan yang belum terjawab, ketika ia tengah mempersiapkan konsumsi untuk keperluan diskusi nanti. Apapun yang terjadi, Zi sudah siap dengan segala resikonya.
      
Mas Wi datang mengenakan pakaian serba putih. Terlihat lebih fresh. Zi akhirnya lega mendapati sikap Mas Wi yang masih seperti kemarin. Masih fasih mengeja namanya, masih memberikan senyum terbaiknya. Dan tatapannya tak berubah. Dengan pakaian serba putih-nya, Mas Wi bahkan tak segan membantu Zi dan kawan-kawannya mengangkuti makanan. Sebab ini bulan puasa, beberapa dipesan dari warung dekat markas –kolak dan es buah dibungkus gelas plastik. Empat bak, masing-masing dua. Dua bak es buah, dua bak kolak. Pada pengangkutan bak kedua, sendal Mas Wi putus terinjak kaki kawan. Mas Wi menuju rak sepatu, pakai sendal yang ada di sana.
        
Tiba waktu berbuka, semua menyerbu makanan. Setelah menyantap kolak, Mas Wi ingin makan nasi, tapi tak menemukan piring. Mas Wi menunggui Zi yang sedang mencuci piring, tapi piring yang dicucinya sedang ditunggu orang. Zi coba mencari-cari piring kotor untuk Mas Wi, semua masih terpakai. Lima belas menit kemudian Zi dapat memungut di bawah kursi, dicuci untuk Mas Wi. Tapi di ruang rapat, Mas Wi sedang ada wawancara dengan seorang wartawan. Zi tak ingin mengganggu. Dan Zi lantas kecewa melihat Mas Wi meninggalkan acara sebelum usai, setelah terlihat berbicara melalui telepon sebelum Zi sempat membawakan piring beserta nasi dan lauk untuk Mas Wi berbuka.  
      
Hari-hari selanjutnya, Mas Wi jadi rajin ke markas. Meski tak bersama ketua, meski tak ada pertemuan. Pagi-pagi sudah datang, selagi yang lain masih tidur. Duduk sendirian di ruang tamu, menunggu Zi pulang dari pasar. Sekedar menyapa dan menatap mata sipitnya. Sebelum tengah hari, Mas Wi sudah menghilang. Begitu seterusnya, membuat Zi semakin penasaran, ingin segera mendapatkan jawaban itu.
      
Sebagian orang berpendapat, bahwa ungkapan sudah tidak diperlukan lagi ketika sikap seseorang sudah mampu menterjemahkan perasaannya. Zi tidak setuju. Baginya, ungkapan adalah kepastian, sedangkan sikap hanya abu-abu. Bisa jadi karena sesuatu hal, mungkin harga diri, si pelaku tidak jujur mengakuinya. Sikap dan ungkapan adalah senyawa.
      
Ungkapan tak bisa diabaikan. Bahkan dalam hubungan rumah tangga, hal itu masih dibutuhkan. Mengungkapkan perasaan tidak mengenal gender. Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk membahagiakan pasangannya. Meski hanya tiga kata: aku cinta kamu, aku sayang kamu, aku kangen kamu atau aku butuh kamu. Sebuah kejujuran yang mampu menjadi embun penyejuk jiwa.

***

      
Matanya bergerak-gerak. Ke kiri, ke kanan, memastikan tak ada yang memperhatikannya. Zi sedang mencoba mencari sandal Mas Wi yang kemarin putus. Rak sepatu berantakan tak tertata. Bertumpuk-tumpuk, saling menindih. Markas hampir tak pernah benar-benar sepi meski malam. Selalu saja ada yang lalu lalang bergantian, sebab dihuni banyak orang. Sebentar ia mengacak-acak rak sepatu, sebentar ia pergi ketika ada yang lewat. Rak sepatu dekat ruang tengah, dekat ruang rapat, dekat dapur, dekat kamar mandi. Tempat yang strategis. Bibirnya lantas tersenyum tipis. Senyum kemenangan. Sandal Mas Wi sudah ditemukan. Yang satu tertumpuk beberapa sepatu dan sandal, satu lagi di bawah kolong rak. Sandal kulit warna coklat susu segera dibawa ke kamarnya.
      
Lem alteco sudah disiapkan sebelumnya. Beli dua di warung dekat markas. Segera dioperasi alas kaki itu tengah malam. Tak lupa membasahi lap kain untuk menyapunya dari debu.

Dengan sangat teliti dan telaten dicarinya kap yang tak lagi menyatu dengan sol. Ditumpahkannya lem cair itu, direkatkan. Bibirnya sibuk memberi angin. Tapi Zi jadi panik ketika jarinya lengket pada bagian sandal yang terkena lem, luber. Beruntung bisa dicabut. Kalau kelamaan, mengering, tentu jarinya tak bisa lepas dari sandal itu. Lebih berbahaya jika menyatu kulit dengan kulit. Beberapa bulan yang lalu, kelopak mata sepupunya harus dioperasi. Lengket menyatu terciprat lem besi itu.

Jarinya jadi kasar karena lem yang mengering. Kukunya mengorek-ngorek, tapi semua lem berhasil disingkirkan. Butuh waktu beberapa hari. Dan matanya berkaca. Aroma lem cair itu begitu menyengat. Terhirup hidungnya, membuat matanya perih. Zi membuka pintu kamarnya sebentar untuk mengusir aroma itu.

Kini sandal sudah siap pakai, Zi mulai berpikir bagaimana cara mengembalikan pada pemiliknya. Kalau diserahkan langsung, ia tak punya nyali. Zi lantas berencana mengirimkan lewat paket saja, tapi ia takut kawan lain tahu. Tentu alamat dan nomor telepon harus ada. Ide terakhir hanya membungkusnya saja, lalu menitipkan pada seorang kawan di markas, dan ia tinggal pergi beberapa hari. Zi akan katakan, bahwa barang itu dari seorang lelaki yang datang ke markas mencari Mas Wi. Sebelum benda itu dibungkus serapi-rapinya, Zi mengabadikannya lewat jepretan ponselnya, dijadikan wall paper. Sepasang sandal milik pejuang yang dikasihinya.
      
Aku membayangkan Mas Wi tertawa terpingkal-pingkal ketika membuka bungkusan ini. Tubuhnya berguncang-guncang. Bahu dan perutnya naik turun. Atau paling tidak, Mas Wi tersenyum. Mas Wi, ini sandalmu sudah aku perbaiki. Jangan tanya pakai lem apa sehingga benda itu merekat kuat. Sebab tak ada lem sebagus apa pun yang bisa menandingi kasihku. Sebab lem tak bisa menumpahkan dirinya sendiri, apalagi meratakan dan memilih tempat yang dibutuhkan. Lem tak punya rasa. Aku yang punya. Sandal itu kurekatkan dengan kasih sayang …
      
***

Bocah lelaki itu berusia 4 tahunan. Kulitnya bersih, montok dan lucu. Mata, alis, bibir dan dagunya persis Mas Wi. Seperti hasil foto copy.
      
”Yaaahh, ayah mau ke manaaa …” Suaranya terdengar manja.
      
“Ayah mau ke kamar mandi sebentar.”
     
“Aaahh … enggak aaahh ... ayah nggak boleh pergiiiii …”
      
Bocah itu memeluk kaki ayahnya.
      
“Orang ayah mau pipis kok nggak boleh. Kalau ayah ngompol di sini, gimana? Nanti ayah ke sini lagi.”
      
“Nggak mauuu … nggak mauuu …”
      
Bocah itu lantas bergelantungan di kaki Mas Wi. Sekeranjang mainannya yang berserak di lantai menjadi tak penting. Aku berada tak jauh. Tersenyum. Bahagia melihat keakraban mereka. Aku suka melihat anak-anak yang dekat dengan ayahnya. Menjadi berbeda sebab tak biasa.
      
Mas … itu anak kita, mas. Ya, anak kita …
      
“Zi, materi untuk pendidikan besok sudah dibikin belum?”
      
Zi masih asik melamun. Tak mendengar pertanyaan Rini.
      
“Woy! Pagi-pagi sudah ngelamun.”
      
Teriakan Rini membuyarkan tatapan kosongnya. Zi tergeragap, kaget.
      
“Dih, ngelamunin apa tau, senyum-senyum sendiri.”
      
Zi jadi malu. Pipinya yang putih kini memerah.
      
“Tadi kamu tanya apa?”
      
“Materi untuk pendidikan besok sudah dibikin belum?”
      
“Sudah sudah. Sebentar.”
      
Zi memasuki kamarnya, mengambil beberapa lembar kertas A4 yang sudah diketik semalam, diberikan Rini.
      
“Eh iya, Zi. Kemarin ada yang cari kamu lho. Cowok yang di bengkel itu.”
      
“Ih, tau dari mana tuh orang kalau aku tinggal di sini.”
      
“Cie cieee … Zi ada yang naksir ni yeee …”
      
“Biasa aja kali. Nggak usah aneh gitu kalau ada yang naksir aku. Kayak aku manusia terburuk sedunia aja.”
      
“Yeee … Zi maraaah …”
      
Zi tak mau lagi menjawab. Ia meninggalkan Rini sendirian di ruang tamu. Sekali-kali Zi memang perlu marah di depan Rini agar tak kebiasaan merendahkan orang lain. Sebagai organiser di organisasi perempuan, seharusnya Rini paham dengan kondisi spikologis kaumnya. Perempuan itu sudah terbebani dengan lebel-lebel yang ditempelkan masyarakat. Ditambah lagi peraturan daerah yang membuat aturan tentang perempuan. Perempuan seolah tidak berhak memiliki tubuhnya sendiri. Perempuan selalu dibedakan dengan laki-laki meski secara biologis bentuk tubuh laki-laki dan perempuan memang berbeda. Tulang-tulang lelaki lebih besar. Bentuk dadanya lebih bidang. Hanya semua yang dilakukan laki-laki selalu dipantaskan, sedang perempuan tidak. Perempuan seolah tidak berhak menentukan pilihannya. Belum menikah, dicibir, dianggap tidak laku, tidak ada yang mau. Sudah menikah tidak punya anak, dibilang mandul. Istri bekerja di luar dianggap tidak nurut suami, tidak mau mengurusi rumah tangga, tega meninggalkan anak-anaknya. Ditindas atau dianiaya suami, masih disalahkan. Dianggap asal dapat laki, sudah tidak ada jodoh lagi, bodoh yang dipelihara. Sudah jadi janda, disinisi, direndahkan, dianggap momok yang menakutkan, penggoda suami tetangga, pengganggu rumah tangga orang. Ditambah lagi anggapan laki-laki bahwa janda adalah perempuan kesepian yang gampang ditiduri. Duh, kasihan sekali perempuan.
      
Tak jarang kaumnya sendiri menjadikan predikat janda sebagai bahan candaan. Dengan senyum melecehkan, mereka berbisik kepada teman-teman lelakinya, ”Itu janda lho …” atau “Paket hemat tuh.” Biasanya, perempuan yang gemar melecehkan begitu karena merasa dirinya berada di zona aman. Memiliki keluarga utuh, damai. Mereka tidak menyadari bahwa apa pun bisa terjadi atas dirinya. Jangankan esok hari, lima menit ke depan yang akan dilalui adalah rahasia. Dan ketika skenario hidupnya memaksa mereka menjadi janda, masih ingatkah apa yang pernah dilakukannya?
      
Zi justru mengangkat kedua jempolnya untuk perempuan yang mampu melepaskan diri dari penindasan pasangannya, dengan catatan, ia mampu menepis anggapan negatif masyarakat tentang janda. Membuktikan diri, bahwa tidak semua janda seperti itu. Yang masih gadis, atau bahkan yang sudah bersuami pun berpotensi menjadi penggoda lelaki, perusak rumah tangga orang.
      
Menyandang status janda atau single parents itu berat. Tidak mudah. Butuh keberanian. Berapa banyak perempuan yang mempertahankan hubungan perkawinannya yang tak sehat, melanggengkan penindasan di dalam rumah tangganya? Zi menyalutkan laki-laki yang berkenan menikahi single parents, asal lelaki itu benar-benar menjadi suami dan bapak yang bertanggung jawab, tulus mencintai anak yang bukan keturunannya. Tidak membedakan perhatian dan kasih sayang di dalam rumah tangganya. Dengan begitu, ia sudah membantu meringankan beban spikologis si anak. Tak lagi merasa minder ketika teman-temannya bercerita tentang bapaknya.
      
Tetapi masih banyak saja orang berkata, “Memang sudah tidak ada perawan lagi apa? Milih kok PaHe. Paket Hemat. Buy one get two apa Buy one get three?” Mereka lantas tertawa beramai-ramai, seolah janda adalah barang rongsokan yang tidak pantas dipilih oleh lelaki yang masih sendiri. Jika mau jujur, tak hanya janda saja yang bekas orang. Di jaman yang sudah modern ini, banyak juga gadis bekas. Juga perjaka bekas.
      
Gadis bekas, sama saja dengan janda. Sudah tidak perawan lagi. Bekas orang. Lalu siapa yang menghilangkan keperawanannya? Laki-laki bukan? Apakah laki-laki yang menertawakan janda benar-benar masih suci? Masih perjaka? Laki-laki yang pernah tidur dengan perempuan yang menjadi kekasihnya sehingga hilang keperawanannya, lalu meninggalkannya atau berpisah atas kesepakatan berdua, berarti ia telah menjadikan perempuan itu janda bukan? Dan dirinya sendiri telah menjadi duda. Bedanya mereka tidak memiliki anak dan surat nikah. Persetubuhan mereka tidak diakui negara. Kenapa bangga dengan perzinahan? Kenapa bangga dengan persetubuhan yang tidak legal secara hukum? Bukankah kelakuan mereka sama dengan binatang? Tak punya aturan. Atau laki-laki yang mendapatkan gadis bekas orang lain, bukankah ia telah mendapatkan janda juga? Kenapa menertawakan temannya yang jelas-jelas mau bertanggung jawab menikahi janda secara sah? Dan perempuan sendiri, seharusnya mereka berkaca sebelum menertawakan kaumnya yang menjanda, ketika dirinya sendiri sudah tidak perawan dan sudah berpisah dengan kekasihnya. Bukan malah bangga dengan kelakuan hewannya yang menjadikan dirinya menjadi seorang janda juga.
      
Dan baru saja, Zi ditertawakan oleh kawan sekolektifnya hanya karena Zi selalu terlihat sendiri. Bukan karena tidak ada yang mau. Beberapa kali Zi terpaksa bersikap sinis dan memasang tampang jutek pada lelaki yang tidak tanggap terhadap sikap penolakannya. Zi berusaha untuk tidak menolak secara langsung demi menjaga perasaan mereka. Ia berkaca pada dirinya. Untuk hal-hal yang berkelanjutan, memang dibutuhkan ungkapan sebagai bukti. Namun untuk yang tidak, ya tidak perlu.
      
Mereka yang terus mengejarnya, beberapa kawan di luar gerakan, juga seorang kawan seperjuangannya yang jelas-jelas sudah memiliki anak istri. Ada lagi dari lain gerakan hasil perjodohan kawannya melalui pesan singkat. Zi bersikap biasa saja. Hanya menjawab jika pria itu bertanya. Karena merasa tak direspon, lelaki itu lama-lama bosan dan mundur secara teratur. Zi lebih suka laki-laki yang tanggap seperti itu. Tidak memaksakan kehendaknya hingga Zi harus mengeluarkan tanduknya. Zi memang butuh lelaki tangguh. Lelaki yang tidak mudah menyerah. Tetapi ia harus menggunakan cara-cara yang mampu menyentuh hatinya. Menyukai seseorang itu hendaknya memahami keinginannya. Tidak hanya asal dekat, main seruduk.
      
Tentu tidak sepatutnya juga terburu-buru mengambil kesimpulan pada orang lain yang belum dikenalnya betul. Seseorang yang selalu tampak sendiri tidak selalu karena ia tak ada yang mau. Atau bahasa kasar yang sering digunakan untuk melecehkan adalah tidak laku-laku. Lalu dengan rasa iba, orang-orang di dekatnya dengan sukarela menjadi mak comblang. Menjodohkan teman-temannya yang lain yang juga masih sendiri, tanpa berpikir bahwa apa yang dilakukannya itu menyinggung perasaan. Sungguh, itu tidak perlu dilakukan kecuali diminta. Alangkah bijak jika seseorang bisa menghormati orang lain untuk mengatur hidupnya sendiri. Sendiri itu pilihan, tentu dengan berbagai alasan. Dan alasan Zi untuk memilih itu, karena ia tak mudah melupakan orang yang pernah dicintainya. Zi tak mudah jatuh cinta. Baginya, lebih baik sendiri daripada berpasangan tanpa rasa.  

~ Bersambung~


(Casablanca, 24 Januari 2014)

Theme Song: (Ronan Keating - If Tomorrow Never Comes) https://www.youtube.com/watch?v=S4kzGhDEURA

 Photo Source: Google Images


No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates