Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Wednesday, January 1, 2014

Cerpen: Mendung yang Masih Menggantung di Bumi Pertiwi


Untuk kesekian kalinya, bahkan 3 tahun berturut-turut, saya dan beberapa kawan mengadakan acara malam tahun baru-an bersama para petani yang tengah berjuang melakukan pendudukan. Menghibur mereka dengan nyanyian atau lagu-lagu perlawanan. Berharap, kami mampu membunuh kejenuhan mereka. Berharap, kami mampu membakar jiwa mereka agar tetap semangat mengahadapi kondisi yang sangat memprihatinkan.

Tahun pertama, 2011. Para petani membangun tenda tepat di depan gedung DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia). Gedung megah tempat para wakil rakyat yang katanya membela rakyatnya. Beralamat di Jl. Jenderal Gatot Subroto, Senayan - Jakarta.

Photo Source: Google Images


Tahun kedua, 2012. Para petani membangun tenda di samping gedung Kemenhut (Kementrian Kehutanan). Adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan kehutanan dan perkebunan. Beralamat di Gedung Manggala Wanabakti, Jl. Gatot Subroto, Senayan - Jakarta.

Photo Source: Google Images


Tahun ketiga, 2013. Para petani menginap di Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Adalah sebuah lembaga mandiri di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya. Berfungsi melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi dan mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia. Beralamat di Jl. Latuharhary No. 4B, Menteng - Jakarta Pusat.

Photo Source: Google Images


Tak cukup sehari atau dua hari. Bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Tak selalu datang dengan angkutan laut dan darat. Berjalan kakipun mereka tempuh hingga ratusan kilo meter dari kampung halamannya menuju Jakarta. Tak hanya laki-laki dan perempuan muda, nenek-nenek dan kakek-kakek pun, serta anak-anak ada di sana. Tidur di ruangan terbuka dengan beralaskan terpal. Memasak dan makan beramai-ramai ala kadarnya, hingga harus menunggu sumbangan dari orang-orang yang peduli ketika logistik sudah menipis. Hujan, kebanjiran, kedinginan, hingga jatuh sakit. Demi perjuangan, mereka rela meninggalkan keluarga di kampung halamannya.

Ini artinya, bahwa konflik agraria masih terus terjadi di negeri yang kita cintai ini. Hak-hak mereka dirampas. Mereka diusir dari tanah kelahirannya.

Saya jadi ingat sewaktu saya masih di Sekolah Dasar kelas 3. Duduk di sebuah bangku kayu bikinan bapak, di pelataran rumah. Berada di tengah-tengah antara ibu dan bapak malam itu, saya menyimak pembicaraan mereka.

"Bagaimana ini, pak, dengan PBB? Bulan ini sudah terakhir kita harus bayar. Kalau tidak, nanti kena denda."

"Oh ya? Aduh, bagaimana ya?" Mata bapak terlihat sedang menerawang jauh, mencari cara.

"PBB itu apa sih, bu?" Saya nyeletuk bertanya.

"PBB itu Pajak Bumi dan Bangunan." Jelas ibu.

"Terus, ibu harus bayar untuk bangunan rumah ini, gitu?"

"Iya. Tanahnya juga. Kan bumi dan bangunan."

"Tapi tanah ini kan punya nenek. Kita nggak ngontrak kok. Yang mbangun rumah ini juga nenek. Pakai uang nenek. Kenapa harus bayar ke pemerintah?" Mulut saya yang bawel, protes.

"Ya, bagaimana lagi. Sudah begitu aturannya." Jawab ibu lemah.

"Kayak jaman penjajahan aja. Kita kan hidup di Indonesia. Pemerintahnya juga orang Indonesia. Bukan pemerintah Belanda." Mulut saya masih nyerocos, tapi tak terdengar lagi jawaban dari ibu atau bapak. Mereka sama-sama diam. Sepi.

Saya lalu sadar, ternyata ada kondisi yang lebih parah dari kekecewaan saya puluhan tahun yang lalu terhadap peraturan pemerintah. Para petani itu. Mereka bahkan digusur dari tanah miliknya. Beberapa tentara atau polisi bayaran menguasai lahan produksi mereka. Rumah-rumah dibakar, pemiliknya dipukuli, bahkan ditembaki jika bertahan. 

Tetap semangat, kawan-kawan petani! Tetaplah berlawan dan setia pada slogan: Pantang Pulang Sebelum Menang!


(Casablanca, 1 Januari 2014)

Theme Song: (Tari Adinda - Duduki!) http://www.youtube.com/watch?v=PGKBYaxQvzo

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates