Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Thursday, January 9, 2014

Cerpen: Perempuan Pabrik


Suatu sore, seorang ibu bercerita kepada keponakannya tentang perempuan pabrik yang tinggal di sebelah rumahnya.

"Tadi kan aku ngajak dia tidur siang di rumah. Eh, dia ngigau. Merengek, kayak mau nangis gitu, begini: bu ... sepurane yo ... aku gak isok kirim. Yo bu ... sepurane ... aku gak isok kirim ..." (bu ... maaf ya ... aku tidak bisa kirim. Ya bu ... maaf ... aku tidak bisa kirim ...)

Ibu itu lantas tertawa terpingkal-pingkal hingga seluruh tubuhnya berguncang. Tapi ditengah-tengah tawanya, air mata si ibu jatuh dan terus jatuh, hingga beberapa kali ia mengusap pipinya yang basah.

Rupanya alam bawah sadar perempuan pabrik itu telah memunculkan apa yang sedang ia pikirkan. Sedih yang disembunyikan.

Ia memang buruh kontrak di sebuah pabrik garment yang terletak di kawasan PIK (Perumahan Industri Kecil), Penggilingan, Jakarta Timur. Masa kontraknya hanya tiga bulan telah habis seminggu yang lalu. Dua Minggu sekali, ia terima gaji. Dan kebiasaannya mengirim uang ke kampung setiap gajian tertunda, karena gaji terakhir yang ia terima digunakan untuk keperluannya sendiri sambil mencari pekerjaan lagi.

Sudah seminggu ia berjalan mengitari kawasan pabrik di KBN (Kawasan Berikat Nusantara), Jakarta Utara. Tanya sana sini, pabrik mana yang membuka lowongan kerja. Setiap ada yang bergerombol di salah satu pabrik, ia datangi. Ikut berlomba memberikan map berisi surat lamaran kerja. 

"Mbak mbak, ini mbak ... Mbak mbak, saya mbak ..."

Tak hanya puluhan tangan yang mengulur dan saling menindih, suara mereka pun berebut saling menenggelamkan.

"Sudah sudah ... sudah cukup. Yang lain nanti ya kalau ada lagi." Kata seorang karyawan yang ditugaskan mencari pekerja baru.

Jumlah pencari kerja dalam sehari bisa ratusan, menyebar di area KBN. Di sana ada seratus lebih perusahaan. Dan yang mendominasi adalah perusahaan garment --memproduksi pakaian jadi. Lebih banyak pakaian luar dengan alat produksi yang sama. Sebagian kecil saja pabrik yang memproduksi pakaian dalam, juga sweater yang menggunakan mesin yang berbeda --mesin rajut. Sebagian kecil lainnya adalah perusahaan yang memproduksi kompor, sepatu, tas kulit, wig (rambut palsu) dan accessories --kaos kaki, sarung tangan, masker (penutup hidung dan mulut). Para pemilik perusahaan pun dari berbagai negara. Ada Cina, Korea, Hongkong, India, juga Jepang. Yang dari Indonesia belum terdengar. Beberapa pemilik perusahaan bahkan mempercayakan kepada orang asing sebagai manager, kepala produksi, kepala mandor atau kepala mekanik. Tapi kebanyakan orang-orang Indonesia yang menjadi mandor atau pengawas. Mereka membantu menggenjot produksi dengan modal teriakan, kadang dibarengi dengan obeng panjang yang dipukul-pukulkan ke meja mesin, selayak memecuti sapi atau kuda.

"Ayo! Buruan buruan buruan!"

Para mandor beserta atasan-atasannya di bagian produksi memang punya keahlian menyatukan potongan-potongan kain yang sudah di-mal (berpola) menjadi sebuah pakaian yang utuh. Tetapi mereka hanya bisa mengajarkan bagaimana cara menjahit yang benar saja, agar hasil jahitannya bagus. Tidak sebagaimana tuntutan mereka agar para pekerja bisa menghasilkan jahitan yang rapih dan cepat untuk memenuhi target. Kalau mereka menjahit cepat (biasanya kalau menggantikan pekerjaan karyawan yang berhalangan masuk karena tidak ada pengganti), hasilnya pun tak serapih saat mereka mengajarkan dengan pelan dan hati-hati. Vermakan ada juga. Bisa banyak. Bisa keteteran. Tapi kalau karyawan mereka yang melakukan itu, caci maki lah yang mereka berikan. Dan kalau pekerja mampu mencapai target yang sudah ditentukan, management perusahaan akan menaikkan lagi targetnya dan terus menaikkan dengan iming-iming bonus. Sebelum diangkat menjadi mandor, mereka pun sama seperti pekerja bawahan itu. Beberapa juga pernah menangis saat keteteran tidak mampu mencapai target. Sayangnya mereka tidak berkaca diri, sehingga perlu berlaku kejam terhadap bawahannya.

Setiap pabrik memiliki kriteria masing-masing yang dijadikan syarat untuk para pencari kerja. Ada yang membatasi umur karena yang muda dianggap lebih energik. Ada yang lebih mementingkan pengalaman kerja, dengan alasan tidak membutuhkan waktu lama untuk memahami pekerjaannya. Ada yang mencari pekerja, khusus bagi mereka yang baru lulus SMU. Alasannya, karena mereka belum memiliki pengalaman, sehingga mudah diatur dan tidak banyak protes. Ada lagi yang mengharuskan pelamar mengumpulkan surat-surat asli (bukan foto copy). Biasanya ini perusahaan bonafide. Tentu dengan seleksi yang super ketat. Ada juga yang mengharamkan pencari kerja dari pabrik yang pernah memiliki sejarah demonstrasi. Perusahaan tahu dan sudah mem-black list pabrik mana saja yang pernah heboh karena aksi buruhnya. Bahkan ada pabrik yang melakukan seleksi secara fisik bagi para pelamar. Kalau kabarnya seperti ini, pasti ada saja yang nyeletuk, "Belagu banget tuh pabrik! Cuma jadi penjahit aja, kuli-kuli pabrik juga, harus cantik dan penampilannya menarik. Emang mau jadi pemain sinetron?"

Selain itu, masing-masing pabrik garment yang membuka lowongan pekerjaan juga memiliki kebutuhan yang berbeda. Ada yang hanya membutuhkan operator mesin. Apakah itu jarum I, jarum II saja, atau obras, kamput, kansai, dsb. Ada juga yang hanya membutuhkan helper (tugasnya membantu para penjahit), atau packing (tugasnya mengepak pakaian jadi) saja, tukang gosok, bagian adminstrasi dan masih banyak lagi, sehingga si pelamar menyesuaikan pengalamannya masing-masing.

Apapun itu tak pernah lepas dari faktor keberuntungan. Ada yang dalam satu sampai dua hari sudah dapat kerja. Ada yang lebih dari seminggu, bahkan berminggu-minggu. Kadang sudah lari sana sini seharian tak mendapatkan pekerjaan, ternyata saat hendak pulang bertemu mobil yang berkeliling mencari pekerja. Berteriak menawarkan pekerjaan ke setiap pelamar yang lalu lalang.

"Kamput kamput, ada yang bisa kamput nggak?"

"Ada yang bisa obras?"

"Kansai, bartex. Ada yang bisa?"

Kalau cocok dengan perusahaan yang akan mempekerjakannya dan sesuai dengan keahliannya, pelamar langsung ikut mobil, dibawa menuju pabrik yang bersangkutan. Para pelamar juga suka milih-milih perusahaan. Dari pengalaman memasuki beberapa pabrik menjadi buruh kontrak, mereka tahu pabrik mana yang managementnya bagus dan mana yang tidak. Ada pabrik yang memasang target sangat tinggi, sehingga para mandornya terkenal galak seperti srigala, yang setiap waktu menunjukkan taring-taringnya. Suasana dalam ruang produksi itu selalu tegang. Mencekam. Pun ada perusahaan yang curang, mencuri waktu dengan dalih target yang mutlak dipenuhi, membuat mereka bekerja sebelum waktunya (sebelum bel masuk) karena ada aturan skors (lembur yang tidak dibayar), semacam hukuman jika hasil pekerjaan mereka dalam sehari itu tidak mencapai target. Ada juga yang lebih kejam. Satu line yang berisi beberapa orang (satu team kerja) yang tidak mendapatkan target akan digiring, dimasukkan ke dalam ruang khusus dalam beberapa jam atau bahkan seharian. Tidak boleh ke mana-mana sampai masa hukuman mereka berakhir.   

Nelangsa, suatu rasa yang tak pernah bisa ia lupakan sepanjang hidupnya. Kepanasan, kehausan, kelaparan dan pulang tanpa hasil, sementara keuangan semakin menipis. Belum lagi sikap karyawan tetap perusahaan yang jutek saat ditanya tentang lowongan pekerjaan. Juga para penjaga yang mengusir selayak anjing, saat pelamar memasuki area pabrik.

"Hei! keluar keluar keluar! Ngelamarnya di luar saja, nggak usah pakai masuk-masuk!" Teriak satpam, lalu menutup pintu pagar.

"Ya Allah ... tidak adakah bahasa yang lebih enak didengar?" Keluhnya dalam hati saja. Darahnya tak sanggup berlari ke ubun-ubun. Emosinya tenggelam oleh rasa lelah, haus dan lapar.

Masih ada lagi catatan yang tersimpan di kepalanya. Menjadi karyawan baru, musti beradaptasi lagi dengan teman dan tempat yang baru. Tak jarang mereka dijadikan sasaran kesalahan. Setiap ada vermakan (pekerjaan yang harus diperbaiki), selalu ditujukan kepada mereka yang baru bekerja. 

Perempuan pabrik itu hanya membutuhkan sedikit waktu untuk memahami situasi. Jika ia telah mampu menguasai, siapapun mereka akan dilawannya selama dirinya benar. Tak peduli atasannya di bagian produksi atau orang kantor sekalipun, hingga suatu saat, ia pernah diancam akan dijadikan tukang sapu.

"Hei! Jangan mentang-mentang pakai seragam ya. Kamu pikir aku takut!"

Semua mata sontak tertuju padanya. Si karyawan tetap, jadi ciut nyali. Bergeming.

Pernah juga ada kejadian tertangkapnya karyawan perempuan yang mencuri baju. Satpam baru mengetahui setelah baju-baju produksi pabrik itu sudah penuh se-loker (tempat menyimpan tas karyawan). Biasanya, setiap masuk dan pulang kerja, satpam selalu memeriksa para karyawan menurut jenis kelaminnya masing-masing --satpam laki-laki memeriksa karyawan laki-laki --satpam perempuan memeriksa karyawan perempuan. Setelah terjadi kasus pencurian itu, pemeriksaan diperketat. Yang semula hanya menggunakan alat pendeteksi logam plus meraba-raba tubuh, kini saat pulang, satpam bahkan menyingkap baju karyawan perempuan hingga terlihat jelas punggung, perut beserta pusarnya, hingga tali bra mereka. Perempuan pabrik menganggap perlakuan satpam itu terlalu berlebihan, sementara beberapa satpam laki-laki di depannya dengan mata menyala menikmati pemandangan itu. Masih ada sepuluh orang lagi di barisan depannya menunggu untuk digeledah. Perempuan pabrik itu sudah tidak tahan mendengar teriakan demi teriakan karyawan perempuan yang diperlakukan kasar dan dipermalukan. Ia tak mampu lagi menahan geramnya.

"Satpam mbokne ancukk!" Umpatnya keras-keras menggunakan bahasa kampungnya. "Buka saja sekalian bajunya! Tanggung kalau cuma kelihatan setengah punggung. Cuma perempuan brengsek yang menelanjangi kaumnya sendiri di depan laki-laki!"

Hampir semua kepala bergerak mencari sumber suara. Satpam laki-laki seperti tak terima dengan protesnya. Matanya terus memelototi perempuan pabrik itu dengan garangnya. Satpam perempuan tampak malu, lalu kembali memeriksa seperti biasa. Hanya ditambah sedikit saja menyingkap pakaian mereka untuk memastikan kalau mereka tidak mengenakan pakaian produksi pabrik yang dirangkap atau diselipkan di dalam bajunya.

Julukan preman dan jagoan lantas mereka ciptakan untuk perempuan pabrik itu.

"Preman preman, memang aku pernah malakin kamu?"

Protesnya tak pernah ditanggapi. Label itu masih terus mereka tempelkan, bahkan saat perempuan pabrik itu telah habis masa kontraknya dan bekerja di lain pabrik.

"Sebentar, aku mau tanya. Kenapa sih kalian pada manggilin aku jagoan? Terus jadi aneh begitu lihat aku punya cowok. Apa siiiiihh ..."

"Penampilan kamu lah. Gaya kamu slenge'an gitu. Tak pernah dandan pula. Dan mata kamu itu, mata yang berani. Mata yang melawan. Jadi jangan salahkan kami kalau ngakak mbayangin kamu pakai rok."

Semua tertawa.

"Tolong dong bawain ini. Bawaanku sudah banyak nih, nggak ada tempat lagi." Seorang teman meminta bantuannya meloloskan makanan ke dalam pabrik.

"Enggak ah, nanti kalau aku ketangkap bakal dicurigai terus."

 "Ah, cemen kamu. Jagoan kok takut."

"Apalah arti keberanian, jika digunakan untuk melakukan kesalahan. Kita hanya jadi terdakwa yang cuma bisa diam saat dicaci-maki, tanpa bisa melawan. Kalau selama ini aku berani, itu karena aku sudah melakukan yang benar." Jawab perempuan pabrik itu, lalu pergi menuju mesin absensi. 

Bisa ditebak. Jika wajahnya terlihat ceria, langkahnya tegap dan jalannya cepat, pasti baru gajian. Bukan karena barang yang diinginkan bisa terbeli, atau nominal di ATM-nya menjadi bertambah menjadi simpanan tetap. Kebahagiaannya adalah ketenangan batinnya, ketika perempuan pabrik itu bisa mengirimkan sebagian upah kerjanya ke kampung untuk ibunya.

Jika teman-temannya berlomba memenuhi isi rumah mereka, atau jalan-jalan ke mall setiap datang gajian, tidaklah mengherankan buat dirinya. Mereka itu yang rata-rata berasal dari desa. Memiliki sawah, kebun atau empang ikan yang mampu memenuhi kebutuhan keluarga mereka di sana. Sekali waktu saja, atau pada saat lebaran mereka membagi uang untuk orang tuanya atau sanak familinya. Upah yang mereka dapatkan di perantauan, dinikmati sendiri untuk memanjakan diri memenuhi apapun keinginannya. Dari dispenser, magic com, kompor gas, DVD player, TV 21 inchi, kipas angin, ponsel keren, sampai kulkas. Dari lemari pakaian, rak piring, spring bed, permadani, bed cover, hingga pakaian yang modis mereka punya.

Rumah perempuan pabrik itu, kosong. Hanya gaung yang mendominasi ruangannya. Tapi ia suka. Tempat itu, selalu membuatnya rindu untuk kembali.

Jika teman-temannya menciptakan surga di petak-petak kamar kontrakan mereka, ia menciptakan surga di dalam jiwanya. Belum ada yang mampu membuatnya bahagia selain bisa mengirimkan uang untuk ibu dan bapaknya yang sudah tak mampu lagi bekerja. Pun ia bersyukur karena tak memiliki rasa iri atas apa yang dimiliki teman-temannya. Iri itu menyiksa diri.

Perempuan pabrik dari kampung kota itu tetap bangga menjadi warga kotanya. Bangga dilahirkan di sana, meski beras tak pernah dipanen keluarganya atau warga kampungnya. Meski sayur mayur bahkan cabai pun musti beli di pasar. Tak ada sawah mau pun kebun di kota kelahirannya.

"Mbok ya sekali-sekali libur dulu kirim ke kampungnya, nduk."

Tetangganya protes, mendapati perempuan pabrik itu mengantongi uang sebesar 50 ribu saja dari ratusan ribu gajinya yang sudah dibagi-bagi. Untuk kirim ke kampung, bayar kontrakan dan bayar pinjaman.

"Buat apa saya pegang uang banyak, budhe, tapi tidur saya nggak tenang."

"Kalau gitu, ya bayar utangnya ditunda dulu."

"Buat apa juga saya pegang uang yang bukan hak saya. Janji itu harus ditepati, budhe, karena kepercayaan itu mahal harganya. Kalau kita bayar utang sesuai dengan janji kita, kan besok-besok kita boleh ngutang lagi."

"Tapi, masak kamu cuma pegang uang segitu. Apa cukup sampai gajian lagi?"

"Ya nanti pinjam lagi ke yang lainnya, budhe. Biar cuma kebagian 50 ribu, tapi hati saya tenang kok, karena ini murni uang saya. Tidak ada hak orang lain yang saya tahan."

"Oalah nduk nduk ... yo sak karepmu." ("Oalah nak nak ... ya terserah kamu.")

Hanya panen lembur yang membuat perempuan pabrik itu bisa mengirimkan sebagian upahnya ke kampung tanpa berhutang, untuk menutupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dan teman-temannya bisa bersenang-senang membelanjakan uangnya di mall-mall atau pasar malam. Tanpa lembur, ibarat masa paceklik. Kenaikan upah menjadi tidak berarti. Ibu kost menaikkan harga sewanya sebelum gaji tambahan jatuh ke tangan. Tarif angkutan naik diikuti yang lainnya. Kenaikan upah buruh pabrik dari tahun ke tahun tak bisa melawan kenaikan harga barang-barang. Semakin sulit saja memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hanya lembur dan lembur yang membantu. Jika masa paceklik datang bisa berbulan-bulan, hingga di kalangan perempuan pabrik dan teman-temannya lahir istilah detik-detik terakhir, yaitu tiga hari menjelang gajian. Rata-rata mereka mengalami krisis keuangan, sehingga sangat sulit mencari pinjaman karena kondisi mereka pun sama. Recehan lima ratusan, dua ratusan, bahkan seratusan logam pun dicari-cari dan dikumpulkan.

Satu hari yang ditunggu saat pembayaran upah kerja tetaplah terasa lama, ketika krisis keuangan sudah mencekik leher. Perempuan pabrik itu tak lagi mampu berjalan tegap dan cepat. Ia seperti menghitung langkahnya satu-satu. Dan malam ini, perempuan pabrik itu berdoa. Do'a yang sama seperti malam-malam sebelumya, saat masa-masa sulit itu melanda.

"Gusti ... semoga sepotong roti ini mampu mengenyangkan perutku hingga esok hari ..."


(Casablanca, 8 Januari 2014)

Photo Source: Google Images

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates