Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Sunday, January 12, 2014

Cerpen: Dunia Adalah Penjara


Aku sedang menikmati makan malamku sendirian, dengan sedikit nasi dan lauk ala kadarnya. Di sampingku, seorang lelaki yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Lelaki yang tak banyak bicara dan tak terlalu suka basa basi itu, sedang serius dengan laptopnya.

"Kenapa ya bang, manusia harus bertahan hidup? Padahal, hidup itu hukuman."

Si abang menatapku. Aku santai saja. Menganggap ini pertanyaan iseng, tak berbobot. Aku melanjutkan makanku, memasukkan nasi ke dalam mulutku sesuap demi sesuap.

"Kenapa? Karena manusia tidak pernah terlepas dari persoalan? Karena manusia selalu mendapatkan ujian dan ujian yang harus diselesaikan? Karena kita selalu dihadapkan dengan rintangan demi rintangan dan harus melewatinya?" Si abang balik bertanya.

"Ya. Berbeda sebelum kita dilahirkan. Kita memang tidak mengenal apa itu bahagia, tapi kita juga tidak pernah merasakan sakit atau menderita."

Sebenarnya, aku sedang membicarakan diriku sendiri. Masalah lapar yang dihadapi setiap orang dan setiap saat, menjadi masalah buatku. Aku selalu merasa menderita, setiap kali datang rasa itu. Karena sejak kecil, aku memang paling malas kalau disuruh makan. Makan menjadi nikmat, hanya ketika aku benar-benar ingin. Sampai-sampai aku berpikir, ada pil yang bisa bikin kenyang, sehingga aku tak perlu mengunyah. Tetapi bisa jadi akan timbul masalah baru buatku, seandainya pil kenyang itu benar ada. Jika harganya mahal, dan aku tak mampu membelinya.

"Semua itu kan kesalahan dari awal. Kalau dalam kitab yang menceritakan tentang Adam dan Hawa, sebenarnya mereka itu sudah enak hidup di surga. Hanya karena Hawa tergoda bujukan ular, sehingga makan buah kuldi. Lalu Adam tergoda ajakan Hawa yang akhirnya ikut memakannya pula. Padahal itu larangan Tuhan, tapi dilanggar. Nah, akibatnya apa? Tumbuhlah sesuatu pada tubuh mereka masing-masing, sehingga terjadi perbedaan. Adam menjadi laki-laki yang ditandai dengan jakun dan buah zakarnya, sedangkan Hawa menjadi perempuan yang ditandai dengan buah dadanya. Timbullah nafsu, lalu mereka bersetubuh. Hawa akhirnya hamil, ditandai dengan perutnya yang membesar. Tuhan marah, lalu menghukum mereka. Dikeluarkan lah mereka dari surga dan ditempatkan ke dunia. Lahirlah kita-kita ini, kan gitu. Kalau bisa diibaratkan, Tuhan itu orang yang sakti, tapi kesepian. Maka dibikinlah mainan untuk menghibur dirinya. Dia bikin planet, bikin gunung, pohon, binatang, dan segala macam termasuk manusia. Nah, karena dia yang bikin, dia punya kuasa dong. Maka dia bisa semena-mena atau seenaknya memperlakukan ciptaannya. Mau diapain kek terserah dia, kan dia yang punya. Maka, kalau kita ingin mendapatkan banyak kebaikan dan keselamatan dalam hidup, kita harus baik-baikin dia. Ya kira-kiranya, gitulah ..."

Di luar dugaan, si abang mau membahas pertanyaanku panjang lebar. Seperti Ustadz yang sedang ceramah, atau Pendeta yang sedang berkhotbah. Seperti menyambungkan renunganku beberapa bulan yang lalu, sewaktu aku pulang ke kampung.

Sehari setelah hari lahirku, si jabang bayi dalam kandungan itu seperti memberi isyarat, bahwa masa kontraknya akan habis. Ia harus segera keluar dari zona nyaman, rahim si ibu. Aku diminta suami istri itu menemani mereka ke bidan. Bersama ibu hamil, aku naik taksi. Suaminya naik motor, dengan alasan, kalau butuh sewaktu-waktu pulang ke rumah, ada kendaraan.

Setelah mendaftarkan istrinya, suami si ibu hamil itu terpaksa pulang, mengganti pakaiannya yang basah kuyup kehujanan. Aku sendirian menjaga. Sebelum sang suami kembali, si ibu hamil sudah ingin melahirkan. Aku yang akhirnya menggantikannya, menunggui si ibu di ruang bersalin. Memberinya semangat, mengipasi dan mengelap keringatnya yang tak berhenti berproduksi. Seumur hidup, baru kali ini aku melihat kepala si jabang bayi keluar dari liang ibunya. Tangisnya melengking, laki-laki, montok.

"Kalau memotong tali pusat jangan begini. Jangan sejajar dengan posisi tidur bayi. Kalau laki-laki, nanti burungnya ikut kepotong. Ini anak orang. Kalau burungnya kepotong, orang tuanya marah, bisa dituntut kamu. Naikkan dulu seperti ini, baru digunting." Kata bidan memberi arahan kepada perempuan di dekatnya.

Ada tiga orang perempuan yang menangani proses persalinan itu. Pemilik rumah bersalin, assistennya, dan anak didiknya.

"Aduh, ini ari-arinya kenapa nggak mau keluar ya?" Keluh bidan.

Darah membanjiri tubuh si ibu bayi. Ia terkulai lemas, tak berdaya. Sedang aku, merasakan ngilu yang sangat, melihat apa yang dilakukan bidan itu.

"Sudah, nggak usah diurusi dulu bayi itu. Bantu aku sini. Gawat ini." Kata bidan kepada assistennya.

Terlihat kepanikan si bidan. Nafasnya ngos-ngosan. Setelah membersihkan dan membungkus si bayi dengan kain, assistennya mendekat.

"Mbak, tunggu di luar saja, mbak." Bidan memintaku.

Ada rasa was-was. Ada rasa curiga. Mau diapakan si ibu itu, sehingga aku tidak boleh tahu? Meski sebenarnya, aku juga tidak sanggup melihatnya. Seperti boneka mainan yang tergolek di tanah, pasrah diperlakukan apa saja oleh pemiliknya.

Kakiku gemetar, keluar menuju beranda rumah bidan itu, karena jantungku belum berhenti berdebar. Badanku lemas. Baru duduk, ada tukang bakso lewat. Aku panggil dan pesan semangkok, berharap bisa memulihkan tenagaku.

Seorang ibu datang, tersenyum. Setelah mendaftar, ia duduk di depanku menunggu antrian. Satu pasien lagi ia masuk, setelah sepasang suami istri yang membawa anaknya berobat.

"KB ya, mbak?" Tanyaku.

"Iya," jawabnya. "Mbak lagi nunggu lahiran?"

"Iya."

"Sudah lahir belum?"

"Sudah."

"Laki-laki apa perempuan?"

"Laki-laki."

"Tinggal di mana?" Pertanyaanya segera aku jawab, lalu ia kembali melanjutkan,"Jauh sekali sampai ke sini. Memang di dekat rumah mbak nggak ada bidan apa?"

"Ada. Cuma, dia tertarik setelah dikasih tahu tetangganya. Katanya, bidan ini sabar."

"Ya iyalah, mbak mbak. Kalau nggak sabar, ya siapa yang mau jadi pasiennya. Bidan ini kan kalau pagi dinasnya di rumah sakit bersalin swasta yang besar itu. Dan dia terkenal paling galak."

"Oh ya? Masa? Dia cerita juga tuh, kalau bidan ini suka telepon, tanya keadaannya. Perhatian banget pokoknya. Makanya dia suka."

"Ya ... itu maksudnya, biar pasiennya mau melahirkan di tempat prakteknya. Ada kan yang periksa kehamilannya di sini, tapi melahirkan di tempat lain? Jadi biar dapat dua-duanya. Dan kalau ada yang melahirkan, pastilah pemasukannya lebih besar."

"Oh ... iya ya ..."

Masuk akal juga, pikirku. Jadi ingat di awal-awal persalinan tadi. Aku sempat kena semprot. Si ibu bayi juga kena marah. Bahasanya tidak enak sekali di dengar. Sempat protes dalam hati, ngedumel sendiri. Katanya bidan sabar. Apa? Kalau ada orang yang tidak mengerti, bicara baik-baik kan bisa. Kalau saja aku tidak sedang mengantar orang yang sudah kesakitan karena mau melahirkan, pasti sudah kudamprat bidan itu. Seperti sepuluh tahun yang lalu, aku pernah memaki seorang suster rumah sakit, gara-gara ia membentak saudaraku yang baru melahirkan. Semua pasien serta pembesuk yang ada di sal rumah sakit itu, kontan menoleh ke arahku. Dan aku tak peduli.

Si mbak yang suntik KB itu masuk, aku mengembalikan mangkok bakso dan membayarnya. Lima belas menit kemudian, ia keluar.

"Ayo, mbak." Pamitnya.

"Iya ..."Jawabku.

Beranda bidan itu, kini sepi. Tinggal aku sendirian, menunggu bapak si jabang bayi datang dan proses persalinan selesai. Melihat lalu lalang orang yang lewat di depan rumah praktek bersalin itu, pikiranku mulai melayang-layang ...

Kenapa ya manusia harus dilahirkan? Pasti jawabnya, untuk melanjutkan generasi. Di dalam sana, ada seorang ibu yang sedang kesakitan karena melahirkan generasi. Tersiksa, terkapar, tak berdaya. Maka semakin banyak perempuan yang dilahirkan, semakin banyak pula yang kesakitan. Tapi tentu si ibu akan tersenyum setelah melihat bayinya. Bapaknya bangga, keluarganya menyambut dengan gembira. Semua orang bahagia mendapatkan anak-anak yang dilahirkan, tetapi bayi-bayi menangis. Apa karena ia tahu, bahwa ia adalah calon terhukum? Apakah ia telah diberitahu, bahwa ia akan diwajibkan menjawab tantangan demi tantangan untuk melanjutkan hidupnya?

Entah ... kenapa aku percaya bahwa reinkarnasi itu ada. Orang mati yang tidak mencapai kesempurnaan dalam hidupnya, tidak akan sampai ke nirwana. Ia akan dilahirkan kembali melalui bayi-bayi yang baru lahir. Aku percaya, karena aku pernah mengalami dejavu. Aku percaya, karena ada anak titisan. Biasanya, ketika anak masih dalam kandungan, si ibu mendapat mimpi dari seseorang yang ingin mengikutinya. Maka ketika lahir, baik sifat, kebiasaan atau kesukaan, bahkan cara berfikir si anak akan menyerupai seseorang dalam mimpi itu. Tetapi pertanyaan yang kemudian muncul adalah, kenapa populasi manusia terus meningkat? Lalu bayi-bayi yang lain itu, reinkarnasi dari mana? Ya, mungkin saja mereka memang bayi-bayi atau calon terhukum baru yang menjadi penghuni dunia. Tetapi jelas mereka tidak akan mengalami dejavu, karena mereka bukan termasuk dalam proses reinkarnasi.

Teringat kembali nasib si ibu di dalam sana. Apakah ia baik-baik saja? Apa ia bisa diselamatkan? Jika ia mati, pasti ada yang menangisinya. Kenapa? Kenapa orang-orang harus menangisi kematian? Ya, aku tahu jawabnya. Karena manusia mempunyai keinginan untuk memiliki. Suatu rasa yang menyiksa dan menyakiti diri sendiri. Nafsu atau keinginan lah yang membuat manusia menjadi menderita.

Aku yakin, tidak hanya mereka yang kekurangan ekonomi saja yang mengalami masalah. Meski krisis ekonomi menjadi masalah yang paling dominan menghinggapi manusia. Tetapi orang yang berlimpah hartanya, memiliki rumah selayak istana dan beberapa mobil mewah, tentu tak luput dari masalah. Tentang cinta, cemburu, pengkhianatan. Hal-hal yang berkaitan dengan perasaan, yang membuat seseorang menjadi sakit hati, tentu tak bisa dibeli dengan uang. Cinta dibayar dengan rasa memiliki yang pantas. Cemburu dibayar dengan kepedulian, keadilan, dan penguatan kepercayaan. Sedangkan pengkhianatan dibayar dengan kesetiaan.

Pernah aku merasakan damai, ketika aku tidak lagi mempunyai keinginan untuk memiliki seseorang. Tidak ada cinta, rindu, cemburu. Benar-benar terbebas dari rasa tersiksa yang menyakitkan. Indahnya ... Tapi sayang, keadaan seperti itu hanya sesaat. Seperti sifat dunia yang hanya sementara, memenjara. Aku kembali bermimpi dan memiliki keinginan yang membuatku sakit lagi.

Teringat seorang teman yang selalu berbicara tentang akhirat dan akhirat. Seolah cita-citanya hanya untuk menuju akhirat. Suatu hari ia bercerita, semalaman perutnya sakit karena terserang 'angin duduk'. Ia panik. Segala cara dilakukan agar ia tetap hidup. Aneh! Jika dalam setiap langkahnya adalah kebenaran dimana tak bertentangan dengan perintah Yang Kuasa, dan dalam kesehariannya selalu dijalankan demi akhirat, kenapa takut mati?

Ya, manusia itu adalah mainan-Nya, seperti kata si abang. Manusia hanyalah boneka-boneka kecil yang tampil dalam panggung sandiwara dan selalu bersandiwara. Ia tak akan menjadi mainan, jika ia tak dilahirkan. Ia tak akan menjadi terhukum jika ia tak dihadirkan ke dunia. Lalu haruskah kita bersyukur kepada-Nya atas kelahiran atau kehidupan kita? Seperti aku yang masih melakukan ritual yang diajarkan bapak sejak kecil, untuk selalu mengucapkan kalimat ini di akhir do'a: Kulo aturaken matursembahnuwun, Gusti, dene ngantos sak priki, kulo tasih saget ngraosaken sedoyo peparingan Panjenengan ... (Saya ucapkan terima kasih, Tuhan, karena hingga saat ini, saya masih bisa menikmati semua pemberian-Mu ...)

Hmm ... kembali aku mengingat-ingat sebelum aku menyadari kelahiranku. Manusia tidak pernah merasakan sakit saat masih menjadi air. Kita tidak pernah mengenal hitam dan putih sebelum ada. Lalu apa sebenarnya yang ditakutkan dalam ketiadaan? Bukankah kematian adalah keindahan? Karena tidak ada kebahagiaan yang sejati dan abadi, kecuali ketiadaan ... 


(Casablanca, 12 Januari 2014)

Photo Source: Google Images


No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates