Pertanyaannya tak kujawab, menahan emosi agar tak meledak, agar tak pecah perang mulut. Pertanyaan yang mengandung protes, seperti kemarahanku yang juga mengandung protes. Tapi mestinya tak perlu ditanyakan penyebabnya. Yang seperti ini bukan pertama kali. Percuma kujelaskan juga, tidak bakal ketemu. Tidak bakal nyambung. Sebab ia tak pernah melakukan seperti yang kulakukan selama ini. Ia tak tahu bagaimana rasanya. Aku yang punya malu dan aku yang tidak suka memelihara ketidakpedulian pada sekitar.
Tetiba aku ingat seorang kawan yang tinggal di Kompleks Perumahan DPR RI di Kalibata. Rumah jatah atasannya. Suatu hari aku menginap di sana. Pagi-pagi aku dengar kawan itu marah besar pada anak lelakinya yang masih SMP. Suaranya lantang menabrak-nabrak dinding hingga ke lantai atas. Menerobos celah-celah pintu kamar, masuk ke kupingku.
"Kamu punya otak nggak sih? Sudah pakai sepatu masuk-masuk rumah. Ini baru dipel! Masih basah! Kasihan emak dong (yang dimaksud pembantunya). Rumah ini gedhe, dua lantai. Emak itu ngerjain sendirian. Ngerti nggak sih kamu? Sekarang lepas sepatumu, ambil pel, bersihkan lantai yang sudah kamu kotori!"
Dan anak lelaki itu segera melaksanakan perintah ibunya.
Jelas aku jadi salut dengan kawanku itu. Meskipun ia sudah memiliki posisi yang bagus di tempat kerjanya, tentu dengan gaji yang besar pula, tapi ia masih punya empati terhadap pekerja rumah tangga. Ia bisa merasakan bagaimana capeknya melakukan pekerjaan rumah tangga itu.
Kau tahu teman, apa yang kulakukan malam itu hingga ia bertanya dengan nada protes? Membanting lima gelas keramik di atas wastafel. Tidak pecah. Sebab aku tak pernah berniat merusak barang-barang yang masih terpakai. Hanya bunyinya cukup membuat gaduh. Keramik beradu dengan keramik dan keramik beradu dengan aluminium secara bersamaan: pranggggg … menggema memecah sepi.
Begitulah kalau emosiku datang, sedang mulut enggan bicara apalagi teriak. Maka untuk meluapkan kekesalan itu akan digantikan oleh tangan dan kakiku. Membanting, melempar, menendang. Oh ya, di lain waktu aku pernah menendang panci: jeduenggggg … wueng wueng wueng wuenggg … Itu cuma sekali. Tapi beberapa kali aku melempar sendok: klontanggggg … Dan rasanya lega ...
Kau tahu kenapa? Sini, mendekatlah biar kubilangi. Kau kan sehat, masih muda, masih kuat. Masih banyak tenaga tersimpan di tubuhmu. Tidak jompo kan? Nah, jangan biasakan dirimu mengandalkan orang lain untuk melayanimu. Kau bukan anak kecil lagi kan? Lama-lama orang akan bosan dengan caramu itu. Kesabarannya bisa habis dan dia akan marah ketika merasa dirinya tertindas. Keluargamu pun bisa berbuat begitu. Istrimu mungkin. Yang seperti ini di dalam keluarga juga butuh keseimbangan. Ada saling. Ada bahagia ketika seseorang itu merasa dibutuhkan, ketika ia bisa melayani. Tapi ada juga bahagia ketika ia dipedulikan, dilayani. Jadi jangan hanya berpikir untuk kebahagiaanmu saja. Itu namanya egois. Barangkali istrimu tidak marah besar. Hanya mengeluh. Sebab ia memiliki persepsi yang salah bahwa pekerjaan rumah tangga adalah kewajiban perempuan. Dan perempuan juga wajib melayani laki-laki. Persepsi yang lahir dari doktrin-doktrin. Ia dari ibunya, ibunya dari neneknya, neneknya dari neneknya lagi. Begitu seterusnya. Dari ibu ke ibu, bertahun-tahun, mengakar kuat dan siap diturunkan pada generasinya yang akan datang. Tapi tahukah kau dibalik keluhnya? Di hatinya yang paling dalam, ia merasa ada ketidakadilan. Mengapa semua harus dibebankan pada perempuan? Sudah bekerja di luar, masih juga harus melakukan pekerjaan rumah sendirian. Belum lagi kalau punya anak, masih harus mengurusi anak juga. Belum lagi kalau anak sakit, ia harus menggendong sampai pagi. Mengerjakan pekerjaan rumah saja sudah capek, masih juga tidak dianggap kerja sebab tidak bergaji. Kecuali nanti kalau kau sudah mampu menggaji pekerja rumah tangga, kau bisa mengandalkannya untuk melayanimu. Kau tinggal menikmati bersih dan rapinya rumahmu, tinggal berangkat kerja, tinggal makan, tinggal tidur. Tapi kalau kau belum mampu, bersalinglah dan belajarlah melayani dirimu sendiri. Yin Yang …
(Negeri di Awan, 2 April 2016)
Sumber gambar: www.magic4walls.com |
No comments:
Post a Comment