Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Sunday, September 15, 2013

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 3)


Seperti biasa, Zi paling tidak betah melihat gelas atau piring kotor menumpuk di kitchen sink. Ia berniat mencucinya. Baru saja menuangkan sabun cair, tiba-tiba ada yang mendekapnya dari belakang. Otaknya mengidentifikasi dari gesekan tubuhnya, si pendekap seorang lelaki bertubuh besar. Tenggorokannya mendadak kering, ia tak mampu berteriak. Zi ingin sekali melihat, siapa yang sudah kurang ajar memeluknya secara paksa. Namun dari sisi kiri wajahnya terdorong oleh dagu si pendekap hingga lehernya terasa kaku. Kakinya ingin menendang, tetapi sudah terkunci oleh kedua kaki yang perkasa itu. Zi tetap meronta, berusaha melepaskan kedua tangannya. Darahnya mendidih, naik ke ubun-ubun, memenuhi isi kepalanya. Rasanya ia ingin menampar sekeras-kerasnya. Namun seketika emosinya luruh saat dirasakan ada cairan hangat yang menetes di pelipis kirinya. Diikuti gerakan perut yang menempel di punggungnya, mengembang dan mengempis dengan sangat cepat. Seperti orang yang terisak. Perlahan, dekapan sosok yang misterius itu merenggang. Zi bergerak cepat memutar kepalanya. Ternyata orang itu Mas Wi. Zi segera menghambur ke dalam pelukan pria yang sangat dicintainya, larut dalam kedukaan pemuda itu. Mereka menangis bersama.

"Ma-afkan … aku, Zi ..." Terbata-bata Mas Wi berkata, menahan tangisnya agar tak meledak. Sambil berusaha menata emosinya, perlahan Mas Wi melanjutkan, tetapi Zi buru-buru memotongnya. 

"Enggaaaaakkk ... aku nggak mau dengar ituuuuuu ... nggak mauuuuuu ... Mas Wi itu Mas Wi ku! Cuma Mas Wi ku! Cuma Mas Wi kuuuuu huhuhuuuuu ..."

Kali ini Zi mampu mengeluarkan suara sekencang-kencangnya. Berteriak dan terus berteriak tak memberi kesempatan Mas Wi bicara. Tangisnya pecah. Suaranya menggelegar menembus atap rumah hingga ke ujung langit.

"Zi, bangun Zi. Sudah siang. Katanya hari ini kamu mau balik ke markas pusat. Jam berapa keretamu berangkat?"

Suara Neni menyadarkannya. Yang baru dialami hanya mimpi. Pandangannya masih kabur saat menatap angka pada arloji yang tak pernah lepas dari tangannya. Zi membersihkan tai di matanya. Diusap dan diusap lagi, memaksakan pandanganya yang kabur menjadi terang.

Cepat ia melompat dari tempat tidurnya, bergegas menuju wastafel. Hanya gosok gigi, cuci muka, lalu ganti baju. Zi segera meluncur ke stasiun setelah menyambar ransel yang sudah disiapkan semalam.

Satu jam lagi keretanya berangkat. Beberapa kali Zi harus berganti angkutan karena ngetem. Memang menyebalkan kalau naik angkutan yang tiba-tiba jadi sepi penumpang. Sopir tak mau rugi sehingga harus berhenti lama untuk memenuhi kembali mobil angkutannya. Sopir juga tak mau tahu, Zi terburu-buru dikejar waktu. Bahkan seringkali sopir tak peduli dengan keselamatan para penumpangnya. Kebut-kebutan, saling mendahului diantara rekannya sendiri demi mengejar setoran hari itu. Uang menjadi lebih berharga dibandingkan nyawa manusia. Shit! Inilah potret negara kapitalis. Negeri para bedebah! 

Zi akhirnya sampai ke stasiun yang dituju. Baru saja memasuki halamannya, ia disambut oleh seorang tukang ojeg.

"Baruuu saja, neng. Mau diantar? Saya yakin bisa terkejar di stasiun selanjutnya."

Seorang tukang ojeg menawarkan jasa. Zi langsung setuju dengan harga yang diminta. Baginya tidak ada lagi waktu untuk bernegosiasi atau berpikir bahwa ongkos itu kemahalan. Yang penting uangnya cukup untuk membayar tukang ojeg itu.

Kendaraan roda dua melaju kencang. Meliuk-liuk mencari sela, melewati beberapa kendaraan yang lainnya. Zi berharap-harap cemas. Namun sejak tadi, senyum Mas Wi tak lepas mengikuti. Mengganggu konsentrasinya. Dari angkutan satu ke angkutan yang lain, hingga saat ia berada di atas motor si tukang ojeg. Zi menggeleng-gelengkan kepalanya memejamkan mata. Batinnya menyempatkan bicara. Memohon. Mas Wi, Pleaseeee ... Jangan ganggu aku. Aku sedang paniiiiik ... Ia berharap senyum Mas Wi segera enyah. Tak lagi membayanginya.

"Ayo buruan! Lima menit lagi berangkat!" Teriak penjaga stasiun.

Kereta mulai berjalan pelan, Zi berlari-lari mengejar. Sebentar saja, ia sudah masuk ke lambungnya.
      
Lega rasanya, karena usaha yang ia lakukan tak sia-sia. Perlahan, kendaraan berlokomotif itu meninggalkan stasiun, gedung-gedung tinggi dan jalanan kota. Berganti dengan persawahan, pepohonan, serta sungai-sungai yang bening. Alam pedesaan mendinginkan matanya, menentramkan jiwanya dengan warna hijau yang mendominasi. Di ujung pantai terlihat matahari bersiap membenamkan diri. Tampak pemandangan langit yang begitu indah, lukisan alam yang menakjubkan dengan perpaduan warna yang sangat memikat.
      
Sementara malam mulai datang, kereta berhenti menunggu kereta eksekutif yang akan lewat. Gerah mulai terasa karena kereta ekonomi hanya mendapatkan angin saat sedang berjalan. Seorang anak balita menangis di seberang ―samping tempat duduknya. Si Ibu sudah berusaha memberi angin dengan mengipas-ngipas, tapi anak itu masih terus menangis. Bahkan tangisnya semangkin keras terdengar. Zi yang sudah mulai dihinggapi rasa kantuk tak berhasil memejamkan matanya.
      
Gadis bermata sipit itu merasa prihatin. Atmanya turut menangis. Ia tahu, jika si orang tua mampu membeli tiket selain ekonomi, pasti anaknya tak akan tersiksa karena kegerahan. Paling tidak kelas bisnis. Meski tanpa AC, gerah tidak terasa, karena tidak sesering dan se-lama kereta ekonomi saat berhenti.
      
“Dik … kenapa sih, dik?” Zi mendekat. 
      
“Iya neng, ini kepanasan. Mana keretanya nggak jalan-jalan lagi.” Jawab si ibu.
      
“Ditete’in saja sih bu.”
      
“Sudah, neng. Tapi nggak mau. Malah ngamuk. Ini sih biang keringat. Bikin badannya jadi gatal-gatal.”
      
“Oh, panteees ...” Zi tersenyum, lalu kembali ke tempat duduknya.
      
Perempuan berkulit putih itu membuang nafasnya. Ada kegelisahan di dalam batinnya. Ya, itulah … lagi-lagi uang yang mengkotak-kontakkan manusia. Seperti saat ini. Jika ingin mendapatkan fasilitas dan pelayanan transportasi ―nyaman atau tidaknya dalam melakukan perjalanan jauh ―lagi-lagi uang yang bicara.
      
Menjadi sangat berbeda bagi yang mampu membeli tiket kereta api kelas eksekutif. Punggung tidak terasa pegal karena bangkunya bisa di setting untuk rebahan. Jaraknya pun tak terlalu dekat antara bangku yang satu dengan yang lainnya. Ada meja yang tersembunyi di gagang kursi, bisa digunakan saat makan dan dilipat kembali saat tak dibutuhkan. Tak perlu kepanasan atau kegerahan, karena ada AC. Suasananya tenang, karena tak ada satu pun pedagang yang masuk gerbong. Bahkan bangku seringkali banyak yang kosong. Kereta jalan terus, hanya berhenti di stasiun besar saja. WC selalu cukup air. Toilet bersih, aromanya harum, airnya pun bersih. Ada ruang khusus merokok, sehingga tidak mengganggu penumpang yang lain, termasuk anak-anak. Bantal, selimut, makan siang atau malam, kopi susu hangat di pagi hari, selalu tersedia. Hanya satu saja yang kurang atau bahkan terasa hilang. Kebersamaan. Penumpang kereta api kelas eksekutif cenderung bersifat individualis. Benar-benar menjadi individu yang terpisah satu sama lain. Terlihat dengan tidak adanya komunikasi meski mereka duduk bersebelahan.
      
Kereta sudah mulai berjalan. Sebentar saja suasana di dalam gerbong sudah berubah. Ada angin yang masuk melalui jendela. Semakin malam semakin dingin. Zi mulai mengenakan mantelnya.
      
Tangis si anak balita sudah tak terdengar lagi. Terlihat di kolong bangku, tertidur pulas bersama ibunya. Tapi rasa kantuk Zi tak lagi menyerang. Zi memandangi gelap di luar jendela. Ia jadi teringat pertanyaannya beberapa tahun yang lalu, setiap melihat tetangga di sekitar tempat kost-nya yang rata-rata kurang beruntung. Dengan pakaian lusuh sehabis mandi, berlomba menyuapi anaknya setiap sore sambil menggosip. Kebanyakan ibu-ibu di sana kulitnya legam, terbakar matahari. Dari pagi hingga sore, mereka mengais limbah pabrik besi yang dibuang ke lapangan depan. Mencari sisa-sisa besi yang menyatu dengan tanah, lalu dijual pada bang Afis ―pengusaha besi tua.
      
Apa sebenarnya makna dari sebuah pernikahan bagi mereka? Hanya sekedar tidur di ranjangkah? Lalu melahirkan anak agar memiliki generasi? Generasi macam apa?
      
Angannya terus mengembara. Seperti menembus ruang dan waktu, menemui sesosok lelaki mantan kekasihnya yang pergi meninggalkannya ―menikah dengan perempuan lain. Peristiwa itu memang sempat membuat sendi-sendi tulangnya terasa copot. Zi juga sempat meledakkan tangisnya di kamar, dibarengi suara musik yang diputarnya keras-keras. Tapi sedikit pun itu tak membuatnya menyesal. Meski pun Zi menyayangi kekasihnya, namun ia belum siap memilikinya. Zi belum menemukan arti dari pernikahan itu selain hanya tidur di ranjang dan melahirkan generasi yang tak sehat. Zi memiliki cita-cita, ingin menjadi perempuan yang mandiri secara financial. Tidak ingin bergantung kepada orang lain, meski dengan suaminya kelak. Saat itu, ia merasa belum memiliki kemampuan itu. Hutangnya bertumpuk, sibuk mengurusi adik-adiknya di kampung yang masih sekolah. Sebab pendidikan di negeri ini sudah diperdagangkan, maka siapa yang mampu saja yang bisa sekolah. Kecuali berani berhutang seperti dirinya, sehingga adik-adiknya bisa terus melanjutkan sekolah. Mantan kekasihnya pun tak jauh beda, hidupnya kembang kempis dari upah kerjanya. Gaji mereka setali tiga uang, keduanya sama-sama bekerja sebagai penjaga counter di salah satu mall di Jakarta.  
      
Kereta kembali berhenti. Lagi-lagi menunggu kereta eksekutif yang akan lewat. Beruntung tidak lama, karena kereta yang ditunggu segera melintas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Zi melihat sekeliling, semua penumpang sudah tertidur pulas. Sepi. Tak terdengar lagi obrolan mereka. Hanya pedagang yang lalu lalang menjajakan barang dagangannya.
      
“Es jeruk, es teh manis, yang dingin yang dingin. Es-nya, neng?” Zi menggelengkan kepala.
      
“Nasinya nasiiiii … nasi goreng, nasi rames, nasi pecel. Yang mau makan, nasinya nasiiiii ... Makan, mbak?” Zi menolak melalui isyarat tangannya.
       
“Yang anget yang anget ... mie instan, kopi susu, kopi jahe, kopi hitam ... ”
      
“Baaang … kopiii ...”
      
Zi memanggil pedagang kopi yang sudah melewati tempat duduknya. Yang dipanggil berbalik, mendekat.
      
“Yang mana, neng?”
      
“Yang ini aja, bang.” Zi menunjuk kopi kesukaannya.
      
Segelas minuman hangat itu dibawanya ke sambungan kereta. Tak ada seorang pun di sana. Zi duduk persis di samping pintu setelah memungut lembaran koran ―bekas dipakai alas tempat duduk. Zi mengeluarkan sebatang rokok, membakarnya. Dihisap perlahan, lalu di hempaskan dengan penuh perasaan. Asap putih segera terbang membawa angannya kembali berkelana. 

~ Bersambung ~


(Casablanca, 12 September 2013)

Theme Song: (Ipang - Tak'kan Ada Gantinya) http://www.youtube.com/watch?v=jvmIUBD7w50

Photo Source: Google Images

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates