Ini adalah hari ketujuh, Tari menunggu Dian di lampu merah,
perempatan terminal. Mereka biasa bertemu setiap pukul sembilan malam
setelah seharian melakukan aktivitasnya masing-masing, lalu bersama-sama
mencari tempat untuk mengistirahatkan tubuh mereka di mana saja yang
bisa mereka tempati. Lampu merah Terminal Pulo Gadung, seperti menjadi
monumen sejarah bagi sepasang anak jalanan itu. Sebuah tempat yang
menjadi awal pertemuan dalam persaingan yang tak sengaja mereka lakukan,
ketika sama-sama berprofesi sebagai pencopet.
Jarum
jam sudah bergeser menunjukkan angka sepuluh, Tari masih malas untuk
beranjak. Jalanan masih ramai dipenuhi para pekerja yang pulang malam,
menunggu angkutan yang hendak membawa pulang ke rumah mereka
masing-masing. Suara para kondektur masih terdengar riuh rendah di
seberang jalan, bersaing dengan bunyi mesin kendaraan. Terminal Pulo
Gadung, semakin malam semakin ramai. Para PSK (Pekerja Seks Komersial) mulai berdatangan
menjajakan diri di sekitar lokasi itu. Sendiri, angannya berlarian
terbawa kendaraan yang lalu lalang di dua jalur. Tatapannya kosong …
namun pikirannya terus berjalan menembus ruang dan waktu, menyusuri
jalan cerita dari awal ia bertemu hingga akhirnya bersahabat dengan
seorang anak lelaki yang bernama Dian.
Persaingan
yang tak disengaja itu terjadi ketika Dian yang sudah sejak awal
mengincar dan membuntuti calon korbannya. Namun tepat di lampu merah,
tiba-tiba Tari muncul dan lebih dulu melancarkan aksinya. Dian yang
merasa kesal karena kehilangan kesempatan akhirnya mengejar Tari.
Perkelahian terjadi setelah Dian sempat menangkap tubuh gadis kecil itu.
Namun tiba-tiba, seorang bapak muda datang melerai. Mereka lalu
membubarkan diri setelah si bapak mengancam akan memukuli keduanya, jika
perkelahian itu terus dilanjutkan.
Pada kesempatan
yang lain, di sebuah kampung dekat terminal. Tari baru saja menemukan
sebuah kardus yang terlihat masih cukup bagus, bekas tempat televisi 21
inchi. Hanya beberapa bagian terlihat busuk karena terkena air dan
dibiarkan, sehingga berjamur. "Lumayan, buat alas tidur malam ini,"
pikirnya. Karena kardus yang disimpan dicelah-celah toko, hilang saat ia
akan menggunakannya lagi. Pukul sepuluh malam waktu itu, dari kejauhan
Tari melihat Dian berlari-lari dikejar dua orang lelaki. Entah, kekuatan
apa yang membuat Tari yang memiliki sifat pendendam itu tiba-tiba
berubah pikiran. Ia merasa iba melihat Dian yang kebingungan mencari
tempat persembunyian. Namun itulah sifat baik yang Tari miliki, ia
selalu berusaha mematutkan diri terhadap kawan-kawan sesamanya. Dengan
tanpa ragu-ragu, Tari menawarkan Dian untuk masuk ke dalam kardus yang
sudah ia buka dan diletakkan tepat di samping tempat sampah.
Pertengkaran beberapa waktu yang lalu, begitu saja ia lupakan. Niat awal
untuk meninggalkan bak kotoran itu diurungkan. Tari kembali
berpura-pura mengorek-ngorek tempat sampah sambil menunggui Dian. Sampai
keadaan benar-benar aman, baru ia mengijinkan Dian keluar.
Sejak
saat itu, mereka berteman baik. Lalu bersama-sama berjanji untuk tidak
mencopet lagi, karena membahayakan diri. Mereka pun merundingkan profesi
selanjutnya yang akan digeluti, agar bisa bertahan hidup. Tari lalu
memilih untuk menjadi pengamen. Alasannya, karena selain suka menyanyi,
ia juga bisa memainkan alat musik. Tari belajar dari teman-temannya yang
menjadi pengamen. Sedangkan Dian, meskipun menyukai musik, namun ia tak
tertarik untuk mempelajarinya. Dian lebih memilih untuk menjadi
pemulung.
Uang terakhir hasil mencopet itu
akhirnya digunakan sebagian oleh Dian untuk membeli ukulele buat Tari,
sebagai tanda terima kasih atas pertolongannya waktu itu. Mereka pun
mulai melakukan aktivitasnya masing-masing di siang hari, baru bertemu
dan bersama pada malam hari. Ngobrol, makan, hingga tidur pun bersama.
Sebelumnya,
Tari hampir tak pernah bisa tidur nyenyak setiap malam. Tubuh perempuan
selalu menarik bagi laki-laki untuk disentuh. Tak terkecuali Tari,
gadis kecil dan kurus itu. Beruntung Tari mudah terbangun. Ia selalu
menyiapkan kayu balok yang diletakkan di balik kardusnya sebagai
senjata, jika tiba-tiba ada yang mengganggunya saat tertidur. Namun
sejak ditemani Dian, ia merasa aman. Tak perlu ketakutan lagi, karena
tak ada yang berani mengganggunya. Keduanya sepakat untuk tidak bergabung dengan kawan-kawannya yang lain karena sebagian besar dari mereka memiliki kebiasaan buruk, ngelem. Memabukkan diri dengan menghirup uap lem. Dari pengetahuan yang Dian dapatkan, ngelem bisa mengakibatkan kerusakan saraf dengan hilangnya kemampuan mencium dan mendengar, serta kerusakan otak yang ditandai dengan pikun atau kesulitan berpikir, kesulitan mempelajari sesuatu dan parkinson.
"Ngelem atau istilah lainnya inhalan, yaitu obat yang dihirup, merupakan senyawa organik berupa gas dan pelarut yang mudah menguap. Inhalan mengandung bahan-bahan kimia yang bertindak sebagai depresan, merusak otak dan saraf."
"Depresan itu apa sih?"
"Depresan adalah obat yang memperlambat sistem saraf pusat, mempengaruhi koordinasi gerakan anggota tubuh dan konsentrasi pikiran. Pokoknya, ngelem itu mengakibatkan kerusakan fisik dan mental yang tidak bisa disembuhkan, Ri ..."
Begitu Dian menjelaskan dengan sabar pada sahabatnya, sehingga saat Dian tak bersamanya, Tari memilih untuk sendiri. Hanya sekali waktu saja Tari bergabung, itupun hanya sekedarnya. Ia tidak ingin terbawa kebiasaan buruk mereka. Beberapa kali Tari menolak ajakan itu, mereka bahkan memaksa dirinya, menyodorkan kaleng berisi lem di dekat hidungnya.
Gerungan kucing
kawin membangunkannya. Rupanya, Tari ketiduran di samping tiang listrik.
Langit masih gelap, namun suara adzan Subuh sudah terdengar dari
mushola yang berada di gang seberang jalan. Ia lalu bergegas menuju
terminal, mencari toilet. Ada sesuatu yang berontak di dalam perutnya.
***
"Yan ... Diaan ... Diaaaaann ..."
Spontan
Tari berlari dan berteriak memanggil, ketika dari kejauhan ia melihat
sosok Dian, sahabat yang sudah lama dicarinya. Namun anak lelaki yang
membawa karung itu tak menoleh juga, bahkan saat Tari berada di jarak
yang sangat dekat. Diraihnya pundak lelaki itu dengan suka cita. Ups!
Ternyata Tari salah sangka, ketika seraut wajah yang tampak kaget
akhirnya memutarkan kepalanya. Anak lelaki itu bukan Dian. Hanya mirip
saja postur tubuhnya jika terlihat dari belakang.
"Eh, maaf, aku kira Dian."
Pernyataan
maafnya tak dijawab, anak lelaki itu hanya menatap matanya tanpa
ekspresi. Kembali ia melangkah menuju perempatan lampu merah. Sebentar
kemudian, sebuah metro mini 41 melintas di depannya. Dengan cepat Tari
berlari dan hap! Ia meloncat. Seketika tubuhnya menghilang, melesat
bersama mobil yang membawanya menuju ke Terminal Tanjung Priok.
Malam
selalu menjadi saksi, ketika mereka saling mengkisahkan cerita
hidupnya. Saat bulan meredup tertutup awan hitam, hujan, atau saat
bintang dengan genit memainkan cahayanya. Di sela-sela makan, nogkrong,
bahkan menjelang tidur, keduanya saling bertanya dan bercerita. Meski
problem kehidupan mereka berbeda, namun keduanya memiliki tekad yang
sama: Tak akan pernah kembali ke rumah.
Dian
dilahirkan dari keluarga tak mampu. Ayahnya yang putus asa tak
mendapatkan pekerjaan tetap hingga tak mampu menutupi kebutuhan
keluarga, akhirnya memutuskan untuk menjadi TKI di Malaysia. Setengah
tahun berjalan, kiriman uang dari Ayahnya lancar diterima setiap bulan.
Namun selanjutnya, tidak ada kabar lagi yang didapat. Ibunya lalu
berniat menyusul. Sambil mencari tahu keberadaan dan keadaan Ayahnya, si
Ibu akhirnya mendaftarkan diri menjadi TKW. Otomatis pengasuhan Dian
diserahkan kepada Bibi tirinya, karena Ibunya tak memiliki saudara
kandung. Dian tidak mengerti apa-apa selama ditinggal orang tuanya. Yang
ia tahu hanya Ayah dan Ibunya pergi bekerja ke luar negeri. Sikapnya
yang pendiam membuat ia berpikir dan bertanya-tanya sendiri,"Apa
sebenarnya yang terjadi pada Ayah dan Ibu? Kenapa tak juga pulang
menjengukku?". Dari kelas II hingga kelas IV SD, Dian selalu bersabar
mendapatkan perlakuan yang tak adil antara dirinya dengan ketiga anak
bibinya. Sampai suatu saat, sewaktu Dian duduk di kelas V SD semester 2,
ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan menggelandang.
Tak
berbeda dengan Tari yang hidup dalam kemiskinan. Kedua orang tuanya
masih ada, hanya berpisah karena Bapaknya menikah lagi dan lepas
tanggung jawab menafkahi keluarga. Sebagai anak dari seorang perempuan
yang temperamental, Tari kerap menjadi sasaran kemarahan Ibunya jika
sedang kesulitan dalam hal keuangan. Tagihan kontrakan setiap bulan,
pembayaran sekolah, atau kebutuhan yang lain. Sebagai buruh cuci di
rumah-rumah tetangga, ketidakmampuan itu selalu membuat Ibunya naik
darah. Hal itu mengingatkan kembali pada Bapaknya yang meninggalkan dia
dan Ibunya. Maka apapun yang dilakukan Tari tak pernah ada benarnya.
Bukan sekedar omelan yang Tari dapatkan dari Ibunya, tapi juga pukulan.
Barang apa saja yang terlihat, diarahkan ke tubuhnya. Sapu lantai pernah
patah, ember pun sempat pecah. "Minggat sana kamu! Minggat sana ke
rumah bapakmuuuu ...!" Begitu teriak Ibunya kalau sedang marah. Lalu
terdengar suara, bug bug prakkk. Tubuh mungilnya kerap diadu dengan
benda-benda yang ada di dalam rumah kontrakannya. Kejadian yang
berulang-ulang itu membuat Tari benar-benar pergi meninggalkan rumahnya
ketika baru duduk di kelas IV SD. Jalanan menjadi tumpuan harapannya. Ia
tak ingin lagi kembali menjadi beban dan masa kelam Ibunya ...
~ Bersambung ~
(Casablanca, 31 Mei 2013)
Theme Song: (Iwan Fals - Siang Seberang Istana) http://www.youtube.com/watch?v=hSmiBhLkRCg&feature=youtu.be
|
Photo Source: Google Images |