Zi meraih beberapa bendera merah putih yang tergeletak di
meja ruang tamu. Beberapa saat yang lalu digunakan dalam rapat akbar di sebuah
gedung yang tak jauh dari markasnya. Dibawanya ke dalam kamar, dilipat dan
disusunnya dengan sangat rapi. Ia lantas teringat lelaki pejuang yang sempat
memikat hatinya. Mas Wi, begitu Zi memanggil lelaki itu. Jangan bandingkan
cintanya kepada Mas Wi dengan cintanya kepada negeri ini. Sama besar.
Kawan-kawannya bilang, Zi perempuan tomboy. Tepatnya semi tomboy. Kok? Sebab tidak seperti tomboy pada umumnya. Ia masih pantas dan terlihat anggun mengenakan gaun serta high hill. Hanya saja Zi lebih suka menggunakan celana jeans. Selain tak memiliki banyak koleksi pakaian perempuan, duduknya seringkali tak rapi. Ia paling suka menaikkan kakinya. Rambutnya hitam, tebal dan lurus. Zi tak pernah memanjangkan rambutnya. Paling bertahan hanya sebatas bahu. Kulitnya putih, matanya sipit. Bentuknya indah seperti mata kucing. Tanpa bertanya orang pasti tahu kalau Zi gadis keturunan Tionghoa. Zi juga memiliki lesung pipit di kedua pipinya sehingga tampak sedap dipandang mata. Jalannya gagah menatap ke depan seperti menantang matahari. Tapi seringkali orang salah sangka melihat penampilannya, bahkan beberapa kawan perempuan takut mendekatinya. Meski kebanyakan kawannya laki-laki, Zi tergolong kaum heteroseksual.
Lelaki pejuang? Mungkin kawan-kawan di kampungnya akan tertawa jika mendengar itu. Maklum, mereka belum mengerti bahwa sebenarnya negeri ini belum sepenuhnya merdeka. Sama seperti Zi sebelum mengenal gerakan. Semua dianggapnya wajar-wajar saja, meski ia merasakan benar betapa sulit dan kerasnya menjalani hidup dari waktu ke waktu, dari pemimpin satu ke pemimpin yang lainnya. Juga menganggap pejuang itu hanya ada di jaman Jepang dan jaman Belanda.
Entah, sejak kapan Zi mulai menyukai pemuda itu. Tapi ia yakin perasaan itu muncul sejak mereka sering bertemu di markas. Dan Mas Wi kerap sekali menggodanya. Menatap matanya dengan jarak yang sangat dekat hingga ia hafal benar lekuk-lekuk wajah itu. Kalau saja Zi suka melukis, ia pasti mampu menyelesaikan lukisannya dalam waktu singkat hanya dengan memori yang ada di kepalanya.
"Jangan menatapku seperti itu, nanti aku patah hati."
"Lho, kok patah hati? Bukannya jatuh cinta?"
"Kalau aku sudah terlanjur cinta, dan ternyata Mas Wi
sudah ada yang punya kan jadinya patah hati."
Lalu Mas Wi tertawa terkekeh-kekeh.
Tapi dialog seperti itu tak pernah ada. Hanya imaginasinya yang bergerak bebas hingga ia mampu merangkai kata lalu menjadikannya kalimat, berharap itu akan terjadi. Namun berkali-kali Mas Wi menatap matanya, sekali saja ia tak mampu mengatakan itu. Lidahnya kaku, ia hanya terpaku.
"Aku heran lho sama si Widi," kata Inez di suatu siang.
Rupanya obrolan mereka yang ngalor ngidul tak jelas
pangkalnya, membawa cerita Inez pada sebuah nama yang sangat special di
hati Zi.
"Memang kenapa dengan dia?" Tanya Zi penasaran tanpa sedikit pun menunjukkan betapa ia sangat ingin tahu tentang pemuda yang dikaguminya itu.
"Orang jelek kayak gitu aja banyak banget cewek yang naksir."
"O ya? Masak sih? Kok kamu tahu?"
Zi mulai terlihat antusias, tapi ia segera menyadari. Dikendurkan
sedikit otot-otot di wajahnya agar tak terlihat tegang, kemudian tersenyum.
"Ya tahu lah, meskipun bukan kawan sekampus, tapi kami dulu kan satu kolektif waktu di Semarang."
"Berarti ceweknya banyak dong. Playboy ya?"
"Kurang tahu juga sih. Cuma banyak banget cewek-cewek yang ngejar dia, dari kampus mana aja."
"Eh Nez, ada yang bilang lho kalau wajah kamu mirip mas Wi. Katanya, kayak kakak adik."
Zi mengalihkan pembicaraan berharap pertanyaannya tadi tak
membuat Inez curiga.
"Ih enggaklah ya, masih cantikan aku kali." Jawab Inez sinis, kemudian tertawa. Mungkin malu karena sudah memuji dirinya sendiri.
Sejenak mereka diam. Merubah posisi yang semula duduk di atas kasur dan berhadapan, kini mereka merebahkan diri. Beradu kepala dan menatap langit-langit kamar.
"Zi ..."
"Hmm ..."
"Kamu pacaran aja sih sama Yana. Aku setuju banget kalau kamu sama dia. Diah juga setuju. Daripada Yana sama ceweknya itu, kami semua nggak ada yang suka dengan sikapnya yang otoriter."
"Setujunya kenapa?"
"Kalian itu cocok sekali, karena kalian memiliki kesamaan. Menyukai bidang yang sama dan satu kolektif pula."
"Ah, kamu bisa aja. Pacaran itu pakai perasaan, Nez. Meskipun kami memiliki kesamaan, tapi kalau nggak ada rasa, apa enaknya? Lagi pula, aku menganggap Mas Yana itu sudah seperti kakak sendiri. Nggak bisa itu."
Inez tak pernah tahu apa yang sedang dirasakannya setelah mendengar cerita tentang Mas Wi. Zi cemburu. Kini ia sedang berusaha menenangkan degup jantungnya.
Zi bukan type pembosan dan tak gampang jatuh cinta. Tapi sekali ia suka, tidak mudah menghapusnya. Butuh waktu bertahun-tahun untuk melupakan. Bahkan ia mampu menolak cinta beberapa lelaki yang mencoba mendekatinya, meski hubungan dengan kekasihnya sudah berakhir. Zi terlalu setia dengan perasaannya. Begitu banyak pria di gerakan, berapa banyak kawan-kawan lelakinya di luar sana, tak mampu membuatnya berpaling. Dalam hati dan pikiran Zi hanya Mas Wi, Mas Wi dan Mas Wi.
Kadang Zi berpikir, Mas Wi hanya mempermainkan perasaannya. Ia juga menyalahkan dirinya, kenapa harus Mas Wi yang dicintainya? Kenapa bukan orang di luar gerakan? Sehingga suatu saat jika ia merasa dikecewakan, hal itu tidak akan mengganggu perjuangannya karena tak terlihat di depan mata.
Zi bersyukur ketika ia ditugaskan ke luar daerah untuk menangani sebuah kasus pertanahan. Baginya ini adalah kesempatan sedikit demi sedikit mengurangi kadar rasanya kepada Mas Wi, hingga ia mampu melupakan. Sehari dua hari merasa tersiksa itu dianggapnya biasa. Toh nanti di tempat barunya, ia akan bertemu dengan kawan-kawan yang lain dan sibuk dengan aktivitasnya. Seperti yang sudah-sudah, menyelesaikan kasus itu akan menguras tenaga dan pikirannya.
Seminggu, dua minggu, hingga berganti bulan ternyata Zi masih saja tak bisa melupakan Mas Wi. Bahkan ia semakin rindu menjelang tidur ketika semua kawan-kawannya sudah dicumbui mimpi. Begitulah yang terjadi, Zi hanya mampu sejenak melupakan pemuda itu saat ia disibukkan dengan aktivitasnya di siang hari. Teringat lagi di malam hari dan seterusnya. Hingga dua bulan berlalu, selesai sudah tugasnya dan ia harus kembali ke markas lagi.
Pada umumnya orang beranggapan, bahwa kedekatan dua anak manusia yang berlainan jenis sebelum menjalin hubungan itu karena saling memiliki rasa atau ketertarikan. Bagi Zi logika itu jadi terbalik. Jika Zi terlihat akrab, bahkan sangat akrab dengan kawan-kawannya yang mayoritas lelaki itu, karena Zi tidak memiliki perasaan yang lebih. Zi memang tak sungkan-sungkan memegang tangan, pipi, mengelus rambut, atau merangkul pundak mereka. Bahkan Si Rico kerap sekali tidur di pangkuannya jika sedang sakit kepala. Berharap Zi mau memijat kepalanya. Juga Si Randy. Tiba-tiba masuk kamar, merebahkan diri di kasur sambil curhat tentang apa saja, termasuk tentang pacarnya di kampung. Randy juga kerap minta di kerok kalau lagi masuk angin. Baginya itu dianggap biasa. Justru Zi akan menjaga jarak jika ia memiliki perasaan yang special terhadap seseorang. Zi tak berani mendekat. Ia merasa serba salah.
Selama ini Zi adalah perempuan yang sangat kuat dan tabah menghadapi kenyataan sepahit apa pun. Setiap luka dan luka ia nikmati, menangis sudah pasti. Tapi ia masih mampu bersandiwara di depan banyak orang. Masih bisa tersenyum, tertawa, seolah tak terjadi apa-apa. Hanya ia butuh waktu saat malam untuk menyendiri. Mematikan lampu di kamarnya tanpa suara televisi, DVD player atau radio. Sepi. Benar-benar sepi. Atau seperti yang sudah-sudah, menghindari tempat dimana ia bisa bertemu dengan seseorang yang ingin dilupakannya. Seperti Zi meninggalkan kota kelahirannya yang tercinta.
Namun sejak bertemu dengan Mas Wi, ia merasa menjadi wanita yang sangat rapuh. Mudah putus asa. Rasa cemburu dan takut kehilangan membuat air matanya kerap jatuh saat malam. Seorang pejuang yang sangat loyal pada gerakan. Kepeduliannya juga sangat besar terhadap kawan-kawannya. Kulitnya yang bersih dan cara berpakaiannya yang selalu rapi, tampak segar dipandang mata. Mas Wi juga seorang lelaki yang dewasa. Sikapnya tenang, tak pernah terlihat dibuat-buat atau salah tingkah. Setiap kali pemuda itu mendekat dan menatap matanya sambil tersenyum, rasanya Zi ingin segera berlari menemui malaikat cinta. Meminjam sayapnya, lalu terbang menuju pelangi. Zi hanya mampu berkata dalam hati, Kau memang bukan yang sempurna, tetapi kau adalah mimpiku yang sempurna ...
Zi menerawang jauh, membiarkan angannya lepas berkelana. Begitu besar harapannya kepada kawan seperjuangannya itu. Aku ingin menjadi ibu bagi mereka, mas. Aku ingin melahirkan anak-anakmu. Zi berkata sendiri. Entah, ini malam yang keberapa, diucapkannya kalimat itu sebelum ia memejamkan mata. Tatapannya liar tak tertuju pada satu titik, sebab kemana pun arah matanya memandang, ada senyum Mas Wi di sana.
Kali ini Zi sudah benar-benar menetapkan hatinya. Mas Wi adalah pelabuhan terakhir tempat ia melabuhkan seluruh hidupnya. Cinta Zi kepada lelaki itu sebesar cintanya kepada Indonesia. Jika suatu saat negerinya pun harus terjual karena keserakahan para elit kekuasaan, ia akan tetap menggenggam cinta itu sampai mati. Begitu pun jika ternyata pelabuhan itu sudah tertutup baginya, ia tak hendak mencari yang lain dengan kapal yang akan mengajaknya pergi. Zi akan membawa cinta itu menuju keabadian. Dibiarkannya samudera menelan tubuhnya, hingga tak bersisa.
~ Bersambung ~
( Casablanca, 2 Juli 2012 )
Theme Song: (Velocitity Band - Saat Kau Rindukan) http://www.youtube.com/watch?v=jhfMYtvRPwc
Photo Source: Google Images |