Konstitusi RIS dan
UUDS 1950
Penghormatan Negara kekeluargaan Indonesia pada
kemanusiaan universal dan HAM ini semakin jelas sosoknya pada Konstitusi
Republik Indonesia Serikat 1950 (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 (UUDS 1950). Harap diingat, pada tahap ini Piagam PBB dan UDHR (Universal
Declaration of Human Rights) telah muncul menjadi rujukan dalam penyusunan
Konstitusi meskipun Indonesia baru resmi menjadi anggota PBB ke-60 pada tanggal
28 September 1950.
Dalam orientasi keluar, komitmen Indonesia pada
perdamaian dan keadilan dunia memperoleh landasan yang lebih kuat. Pada kedua
Konstitusi tersebut, persoalan ‘Perhubungan Luar Negeri’ ditempatkan pada
bagian tersendiri, Bagian V yang terdiri dari 5 pasal (dalam Konstitusi RIS)
dan 4 pasal (dalam UUDS 1950).
Ke dalam, komitmen untuk memuliakan HAM mendapatkan
kerangka pengaturan yang lebih jelas dan komprehensif. Dalam kedua Konstitusi
tersebut isu-isu menyangkut hak dasar warga Negara manusia termuat dalam suatu
piagam (bagian) tersendiri, yakni pada Bab I, Bagian V: Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan
Dasar Manusia. Terdiri dari 27 pasal (pasal 7-33) pada Konstitusi RIS serta 28
pasal (pasal 7-34) dalam UUDS 1950 yang secara mendetail meliputi ‘tiga
generasi hak asasi manusia’. Pengaturan tentang HAM ini bergandengan dengan
pengaturan tentang asas-asas kewajiban Negara dalam memenuhi hak-hak warga
tersebut. Hal ini termuat pada Bab I, Bagian VI: Asas-Asas Dasar’. Terdiri dari
8 pasal (pasal 34-41) dalam Konstitusi RIS serta 9 pasal (pasal 35-43) pada
UUDS 1950.
Berbeda dengan UUD 1945, dalam Konstitusi RIS dan UUDS
1950, pasal-pasal yang mengandung hak dasar warga yang bersifat universal. Dari
27-28 pasal tentang HAM dalam kedua Konstitusi tersebut, hanya ada 4 pasal yang
secara tersurat menyebutkan hak dasar warga Negara. Pada Konstitusi RIS, hak
dasar warga Negara terkandung dalam pasal 22,23,24,27 (1). Sedangkan pada UUDS
1950, hal itu terkandung dalam pasal 23,24,28 (1),30. Kedua Konstitusi itu
memuat hampir semua hak asasi yang terdapat dalam UDHR. Sedemikian
komprehensifnya kandungan HAM dalam kedua Konstitusi tersebut, sehingga masuk
akal jika Muhammad Yamin mengatakan, “Konstitusi RIS dan UUDS 1950 adalah
satu-satunya dari segala konstitusi yang telah berhasil memasukkan hak asasi
manusia seperti putusan UNO (United Nation Organization) itu ke dalam Piagam
Konstitusi.”
Meski demikian, setidaknya ada tiga perbedaan mendasar
dalam persoalan HAM antara Konstitusi RIS dan UUDS 1950. (Pertama) klausul
‘kebebasan bertukar agama atau keyakinan’ yang tertuang dalam pasal 18
Konstitusi RIS, ditiadakan dalam UUDS 1950. (Kedua) sebaliknya, ‘hak
berdemonstrasi dan mogok’ yang diakui dalam pasal 21 UUDS 1950, belum tercantum
dalam Konstitusi RIS. (Ketiga) kandungan pasal 33 UUD 1945 (mengenai dasar
perekonomian) ditiadakan dalam Konstitusi RIS, namun dicantumkan kembali dalam
UUDS 1950 pada bagian ‘Asas-Asas Dasar’ pasal 38. Pasal 37 (3) UUDS 1950 bahkan
melarang ‘organisasi-organisasi yang monopoli partikelir, yang merugikan
ekonomi nasional’. Seturut dengan itu, hak milik pribadi dipersoalkan melalui
pasal26 (3) yang menegaskan bahwa ‘hak milik itu adalah suatu fungsi sosial’
Selain dipengaruhi perkembangan norma-norma HAM
internasional, bias kepentingan asing (Belanda) serta suasana politik di dalam
negeri turut memberi warna pada konstitusi HAM dalam kedua Konstitusi tersebut.
Penghapusan dari Konstitusi RIS kandungan pasal 33 UUD 1945 —yang
berisi kewajiban dan hak Negara untuk mengelola common wealt —secara langsung ataupun tidak langsung merefleksikan bias
kepentingan Belanda sebagai konsekwensi Konferensi Meja Bundar. Kelak dalam
persidangan Konstituante, juru bicara beberapa partai, terutama Murba dan
Gerakan Pembela Pancasila (GPPS) mengecam beberapa ketetapan mengenai HAM yang
terdapat dalam kedua Konstitusi tersebut yang dianggapnya sebagai jaminan bagi
kepentingan modal monopoli Belanda dan untuk mempermudah perdagangan bebas.
Pasal-pasal yang digugat itu terutama pasal 7, 8 (dalam kedua Konstitusi), pasal
25 dalam Konstitusi RIS, dan pasal 26 dalam UUDS 1950.
Dengan kembalinya Indonesia ke bentuk Negara kesatuan
pasca-Mosi Integral Natsir pada 1950, membawa perubahan dalam kebatinan dan
keseimbangan keleluasaan. Peniadaan klausul ‘hak bertukar agama atau keyakinan’
dalam UUDS 1950, mencerminkan residu aspirasi kelompok Islam yang menemukan
kembali peluang untuk menyatakan keberatannya atas pengakuan hak ini yang
dianggapnya bertentangan dengan hukum Islam. Berkaitan dengan hal itu,
penekanan pada ekonomi kekeluargaan dengan membatasi aktivitas ekonomi
partikelir dan hak milik pribadi merefleksikan penguatan kembali konsepsi
Negara kekeluargaan yang sejak awal berkeberatan dengan konsepsi HAM yang
terlalu menekankan hak individu.
Komitmen pada kemanusiaan dan HAM berlanjut pada sidang
Konstituante. Seperti dicatat oleh Adnan Buyung Nasution (1995), Konstituante
memberi perhatian besar pada pertanyaan konkret, misalnya mengenai HAM di dalam
UUD baru dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan mengenai HAM dalam UUD
sebelumnya; kedua, golongan mana yang akan memerlukan perlindungan hak-hak
asasi khusus; dan ketiga, cara-cara procedural apa yang dapat ditetapkan untuk
memberi jaminan hukum bagi penghormatan HAM. Dalam perkembangannya, nyaris
tidak ada kesulitan berarti dalam mencari permufakatan antar blok politik
menyangkut ketentuan-ketentuan HAM ini.
Beberapa berharap agar kemajuan pengakuan konstitusional
atas HAM seperti terkandung dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950 dapat
diteruskan. Oei Tjoe Tat (Baperki) menyatakan harapannya agar UUD baru lebih
progresif dari UUDS 1950. Hal senada dikemukakan oleh Mang Reng Say (Partai Katolik)
dengan mengingatkan bahwa untuk menghasilkan konstitusi yang sesuai dengan
kebutuhan bangsa, Konstituante harus terbuka terhadap dunia luar. Dia juga
menekankan pentingnya jaminan pada hak minoritas dan perorangan sebagai bagian
inti demokrasi yang menentang absolutisme. Bahkan terjadi lompatan mental dalam
penerimaan kelompok Islam terhadap hak-hak perseorangan. Prof. Soehardi dari
Fraksi Katolik mengkhawatirkan kesungguhan kelompok Islam untuk menghormati HAM
dengan merujuk pada pemungutan suara dalam Majelis Umum PBB mengenai resolusi
tentang UDHR yang menunjukkan bahwa Negara Islam Saudi Arabia tidak memberi
suara. Negara-negara Muslim seperti Sudan, Pakistan, Iran dan Saudi Arabia
memang sering mengkritik Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia yang
menurut mereka gagal memahami konteks religius dan kebudayaan negara-negara non
Barat. Tahun 1981 perwakilan Iran untuk Amerika Serikat , Said
Rajaie-Khorassani mengeluarkan pendapat atas posisi negaranya mengenai
Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia dengan berkata bahwa UDHR adalah
‘sebuah pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi-Kristen yang tidak bisa
diimplementasikan oleh Muslim tanpa melalui hukum-hukum Islam’. Pengakuan
secara luas atas HAM baru dideklarasikan negeri-negeri Muslim yang tergabung
dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) melalui ‘Cairo Declaration on Human
Rights in Islam’ pada 5 Agustus 1990.
Tentang hal ini, Rusjad Nurdin dari Masjumi menyanggahnya
dengan mengatakan bahwa ‘tidaklah begitu elegan kalau kita mengatakan atau
menjatuhkan vonis terhadap suatu agama dengan alasan kesalahan-kesalahan yang
dibuat pengikut-pengikutnya’. Lebih lanjut dia katakan, “….. bahwa
perikemanusiaan dalam Islam adalah merupakan sendi utama bagi masyarakat adil
dan makmur.”
Pengakuan Rusjad Nurdin itu memang kemudian dibuktikan
oleh sikap faksi Islam dalam Konstituante. Kecuali menyangkut hak kebebasan
agama yang minta diatur dalam bagian tersendiri —sambil menunggu consensus
mengenai dasar Negara —dan juga hak murtad, faksi Islam menunjukkan sikap yang lebih
progresif dalam pengakuan terhadap hak-hak perseorangan. Suatu contoh yang bisa
diajukan adalah persetujuan faksi Islam terhadap ‘hak tidak boleh dianiaya
dan/atau diperlakukan secara kejam yang bertentangan dengan perikemanusiaan
dan/atau kehormatan manusia’. Tentang hak ini, hampir semua partai secara
eksplisit memilih rumusan: ‘Tiada seorang/seorang warga Negara jua pun akan
disiksa, diperlakukan, atau dihukum secara ganas, tidak mengenal
perikemanusiaan atau dihina’.
Muhammad Thaha bin Mohammad Nur (PSII) menyatakan keheranannya
atas persetujuan faksi Islam ini dengan menyatakan bahwa seakan-akan partai
Islam tidak mengakui hukum Qur’an mengenai ‘qishas’. Dia kemudian menyitir ayat
Qur’an: ‘Kalau ada seorang yang menghilangkan atau mengganggu kuping seseorang,
maka kupingnya harus diganggu. Kalau ada seorang yang menghilangkan mata
seseorang, maka matanya harus diganggu’. Lantas dia bertanya, “Apakah ini tidak
kejam? Ini saya tanyakan kepada kiai-kiai blok Islam.”
Tentang ‘hak murtad’, tidak disetujui oleh faksi Islam dan juga
faksi Nasrani. Dalam semangat kearifan para pendiri bangsa, keberatan golongan
keagamaan atas ‘hak murtad’ ini dihormati dalam kerangka partikularitas HAM.
Jalan tengahnya, kalau pun mau ‘murtad’ sebaiknya tidak perlu
digembar-gemborkan secara publik dan tidak sepantasnya melecehkan agama
sebelumnya.
Sementara itu, beberapa orang mengkritik UUD sebelumnya yang
(dalam judul bagian tentang HAM) hanya menyebut hak seraya tidak menyebut
kewajiban. Tahir Abubakar (PSII) menyodorkan perspektif Islam yang tidak
memisahkan antara orang dan Negara, seperti dibuktikan oleh hukum dan praktik
Islam yang mengakui adanya ‘fardhu kifayah’ (kewajiban sosial) dan ‘fardhu ain’
(kewajiban pribadi). Hal ini didukung oleh partai nasionalis yang menyesalkan
tidak adanya kewajiban warga Negara. Sabilal Rasjad menyatakan bahwa apabila
kita berbicara mengenai hak, maka tidak boleh dilupakan adanya kewajiban yang
timbul akibat hak-hak itu. Mang Reng Say setuju dengan kemestian kewajiban itu,
namun menurutnya, menambahkan kewajiban ke dalam HAM merupakan sesuatu yang
berlebihan. Pengakuan pada HAM justru terjadi karena pemerintah biasanya sadar
akan adanya kewajiban warga Negara, tetapi tidak selalu sadar akan hak-hak
mereka. UDHR sendiri tidak menyebut kewajiban di dalam judulnya, tetapi dalam
pasal 29 deklarasi ini terkandung kewajiban individu kepada masyarakat.
Pada 9 September1958, Konstituante mengadakan pemungutan suara
mengenai judul untuk bagian HAM. Mayoritas suara (352 dari 443 anggota yang
hadir) memilih judul ‘HAM dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara’. Untuk
judul ‘Hak-Hak Asasi dan Kewajiban Warga Negara’ memperoleh dukungan 86 suara.
Dan untuk judul ‘HAM dan Hak-Hak Asasi Warga Negara’ (tidak menyebutkan
kewajiban), tidak mendapatkan suara. Sekali lagi hal ini mengindikasikan
kesadaran Indonesia untuk memuliakan hak-hak individu (sebagai warga Negara dan
manusia) dengan tetap menjunjung tinggi semangat kekeluargaan.
Pada 9 Desember 1958, Panitia Persiapan Konstitusi berhasil
melengkapi keputusan mengenai rancangan pasal-pasal UUD mengenai HAM, hak dan
kewajiban warga Negara yang berisi ketentuan mengenai 35 hak dan kewajban dari
daftar: a) Delapan belas (18) hak dan kewajiban warga Negara ; b) Tiga belas
(13) hak warga Negara yang dapat diperluas hingga mencakup orang yang bukan
warga Negara sebagai HAM ; dan c) Lima (5) hak yang masih tersisa dari daftar
24 hak asasi manusia yang belum diajukan ke siding pleno untuk diputuskan
melalui pemungutan suara.
Panitia Persiapan Konstitusi telah berhasil mencapai keputusan
mengenai 22 pasal tentang HAM dalam rancangan UUD baru. Tiga belas hak dan
kewajiban lainnya masih terdapat perbedaan karena koalisi Pancasila dan Islam
di dalam panitia tersebut masih mempertahankan pasal-pasal konstitusional versi
masing-masing. Akan tetapi kedua versi mengenai 13 hak dan kewajiban itu secara
substantif tidaklah jauh berbeda dan tidak mengancam hakikat hak-hak
perorangan, oleh karena itu tidak akan menghalangi tercapainya kompromi. Akan
tetapi jalan sejarah berbicara lain. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengembalikan
ketentuan mengenai HAM seperti terkandung dalam UUD 1945.
Tetapi dengan UUD 1945 pun secara substantif tidak mengurangi
komitmen bangsa Indonesia pada persoalan kemanusiaan universal dan penghormatan
hak-hak asasi manusia. Bukan saja karena UUD ini pun telah mengandung tiga
generasi HAM, tetapi juga tersedianya rujukan sumber hukum tidak tertulis,
berupa fakta historis terjadinya kemajuan yang terus-menerus dalam pengakuan
konstitusional terhadap HAM.
Demikianlah para pendiri bangsa ini telah mewariskan
kepada kita suatu dasar falsafah dan pandangan hidup negara —yang menjiwai
penyusunan UUD —yang begitu visioner dan tahan banting (durable).
(Selesai)
|
Photo Source: Google Images |