Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Friday, June 26, 2015

' Sawo Kecik Malam Ini '


perempuanperempuan hijau dengan balitanya
berkumpul dipangkalan
menaiki sepatu karet melawan arus
aku bertanya pada debu dan polusi ibukota: apakah mereka punya mimpi yang panjang seperti aku?
bertahun-tahun
jatuh bangun dimimpi yang sama
barangkali punya
barangkali tak sempat
sebab tak pandai hatihati
seks bebas anakanak jalanan kian subur
liar
terjaga
orokorok tumbuh terlalu cepat
lalu dikawinkan
sama hijau dengan lelaki mereka
yang harihari dibelakang kemudi angkot biru


(Tebet Dalam, 24 Juni 2015)


Monday, June 1, 2015

Lahirnya Negara Kekeluargaan (Bagian 7)



Konstitusi RIS dan UUDS 1950

Penghormatan Negara kekeluargaan Indonesia pada kemanusiaan universal dan HAM ini semakin jelas sosoknya pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1950 (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Harap diingat, pada tahap ini Piagam PBB dan UDHR (Universal Declaration of Human Rights) telah muncul menjadi rujukan dalam penyusunan Konstitusi meskipun Indonesia baru resmi menjadi anggota PBB ke-60 pada tanggal 28 September 1950.

Dalam orientasi keluar, komitmen Indonesia pada perdamaian dan keadilan dunia memperoleh landasan yang lebih kuat. Pada kedua Konstitusi tersebut, persoalan ‘Perhubungan Luar Negeri’ ditempatkan pada bagian tersendiri, Bagian V yang terdiri dari 5 pasal (dalam Konstitusi RIS) dan 4 pasal (dalam UUDS 1950).

Ke dalam, komitmen untuk memuliakan HAM mendapatkan kerangka pengaturan yang lebih jelas dan komprehensif. Dalam kedua Konstitusi tersebut isu-isu menyangkut hak dasar warga Negara manusia termuat dalam suatu piagam (bagian) tersendiri, yakni pada Bab I, Bagian V: Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia. Terdiri dari 27 pasal (pasal 7-33) pada Konstitusi RIS serta 28 pasal (pasal 7-34) dalam UUDS 1950 yang secara mendetail meliputi ‘tiga generasi hak asasi manusia’. Pengaturan tentang HAM ini bergandengan dengan pengaturan tentang asas-asas kewajiban Negara dalam memenuhi hak-hak warga tersebut. Hal ini termuat pada Bab I, Bagian VI: Asas-Asas Dasar’. Terdiri dari 8 pasal (pasal 34-41) dalam Konstitusi RIS serta 9 pasal (pasal 35-43) pada UUDS 1950.

Berbeda dengan UUD 1945, dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950, pasal-pasal yang mengandung hak dasar warga yang bersifat universal. Dari 27-28 pasal tentang HAM dalam kedua Konstitusi tersebut, hanya ada 4 pasal yang secara tersurat menyebutkan hak dasar warga Negara. Pada Konstitusi RIS, hak dasar warga Negara terkandung dalam pasal 22,23,24,27 (1). Sedangkan pada UUDS 1950, hal itu terkandung dalam pasal 23,24,28 (1),30. Kedua Konstitusi itu memuat hampir semua hak asasi yang terdapat dalam UDHR. Sedemikian komprehensifnya kandungan HAM dalam kedua Konstitusi tersebut, sehingga masuk akal jika Muhammad Yamin mengatakan, “Konstitusi RIS dan UUDS 1950 adalah satu-satunya dari segala konstitusi yang telah berhasil memasukkan hak asasi manusia seperti putusan UNO (United Nation Organization) itu ke dalam Piagam Konstitusi.”

Meski demikian, setidaknya ada tiga perbedaan mendasar dalam persoalan HAM antara Konstitusi RIS dan UUDS 1950. (Pertama) klausul ‘kebebasan bertukar agama atau keyakinan’ yang tertuang dalam pasal 18 Konstitusi RIS, ditiadakan dalam UUDS 1950. (Kedua) sebaliknya, ‘hak berdemonstrasi dan mogok’ yang diakui dalam pasal 21 UUDS 1950, belum tercantum dalam Konstitusi RIS. (Ketiga) kandungan pasal 33 UUD 1945 (mengenai dasar perekonomian) ditiadakan dalam Konstitusi RIS, namun dicantumkan kembali dalam UUDS 1950 pada bagian ‘Asas-Asas Dasar’ pasal 38. Pasal 37 (3) UUDS 1950 bahkan melarang ‘organisasi-organisasi yang monopoli partikelir, yang merugikan ekonomi nasional’. Seturut dengan itu, hak milik pribadi dipersoalkan melalui pasal26 (3) yang menegaskan bahwa ‘hak milik itu adalah suatu fungsi sosial’

Selain dipengaruhi perkembangan norma-norma HAM internasional, bias kepentingan asing (Belanda) serta suasana politik di dalam negeri turut memberi warna pada konstitusi HAM dalam kedua Konstitusi tersebut. Penghapusan dari Konstitusi RIS kandungan pasal 33 UUD 1945 yang berisi kewajiban dan hak Negara untuk mengelola common wealt secara langsung ataupun tidak langsung merefleksikan bias kepentingan Belanda sebagai konsekwensi Konferensi Meja Bundar. Kelak dalam persidangan Konstituante, juru bicara beberapa partai, terutama Murba dan Gerakan Pembela Pancasila (GPPS) mengecam beberapa ketetapan mengenai HAM yang terdapat dalam kedua Konstitusi tersebut yang dianggapnya sebagai jaminan bagi kepentingan modal monopoli Belanda dan untuk mempermudah perdagangan bebas. Pasal-pasal yang digugat itu terutama pasal 7, 8 (dalam kedua Konstitusi), pasal 25 dalam Konstitusi RIS, dan pasal 26 dalam UUDS 1950.

Dengan kembalinya Indonesia ke bentuk Negara kesatuan pasca-Mosi Integral Natsir pada 1950, membawa perubahan dalam kebatinan dan keseimbangan keleluasaan. Peniadaan klausul ‘hak bertukar agama atau keyakinan’ dalam UUDS 1950, mencerminkan residu aspirasi kelompok Islam yang menemukan kembali peluang untuk menyatakan keberatannya atas pengakuan hak ini yang dianggapnya bertentangan dengan hukum Islam. Berkaitan dengan hal itu, penekanan pada ekonomi kekeluargaan dengan membatasi aktivitas ekonomi partikelir dan hak milik pribadi merefleksikan penguatan kembali konsepsi Negara kekeluargaan yang sejak awal berkeberatan dengan konsepsi HAM yang terlalu menekankan hak individu.

Komitmen pada kemanusiaan dan HAM berlanjut pada sidang Konstituante. Seperti dicatat oleh Adnan Buyung Nasution (1995), Konstituante memberi perhatian besar pada pertanyaan konkret, misalnya mengenai HAM di dalam UUD baru dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan mengenai HAM dalam UUD sebelumnya; kedua, golongan mana yang akan memerlukan perlindungan hak-hak asasi khusus; dan ketiga, cara-cara procedural apa yang dapat ditetapkan untuk memberi jaminan hukum bagi penghormatan HAM. Dalam perkembangannya, nyaris tidak ada kesulitan berarti dalam mencari permufakatan antar blok politik menyangkut ketentuan-ketentuan HAM ini.

Beberapa berharap agar kemajuan pengakuan konstitusional atas HAM seperti terkandung dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950 dapat diteruskan. Oei Tjoe Tat (Baperki) menyatakan harapannya agar UUD baru lebih progresif dari UUDS 1950. Hal senada dikemukakan oleh Mang Reng Say (Partai Katolik) dengan mengingatkan bahwa untuk menghasilkan konstitusi yang sesuai dengan kebutuhan bangsa, Konstituante harus terbuka terhadap dunia luar. Dia juga menekankan pentingnya jaminan pada hak minoritas dan perorangan sebagai bagian inti demokrasi yang menentang absolutisme. Bahkan terjadi lompatan mental dalam penerimaan kelompok Islam terhadap hak-hak perseorangan. Prof. Soehardi dari Fraksi Katolik mengkhawatirkan kesungguhan kelompok Islam untuk menghormati HAM dengan merujuk pada pemungutan suara dalam Majelis Umum PBB mengenai resolusi tentang UDHR yang menunjukkan bahwa Negara Islam Saudi Arabia tidak memberi suara. Negara-negara Muslim seperti Sudan, Pakistan, Iran dan Saudi Arabia memang sering mengkritik Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia yang menurut mereka gagal memahami konteks religius dan kebudayaan negara-negara non Barat. Tahun 1981 perwakilan Iran untuk Amerika Serikat , Said Rajaie-Khorassani mengeluarkan pendapat atas posisi negaranya mengenai Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia dengan berkata bahwa UDHR adalah ‘sebuah pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi-Kristen yang tidak bisa diimplementasikan oleh Muslim tanpa melalui hukum-hukum Islam’. Pengakuan secara luas atas HAM baru dideklarasikan negeri-negeri Muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) melalui ‘Cairo Declaration on Human Rights in Islam’ pada 5 Agustus 1990.

Tentang hal ini, Rusjad Nurdin dari Masjumi menyanggahnya dengan mengatakan bahwa ‘tidaklah begitu elegan kalau kita mengatakan atau menjatuhkan vonis terhadap suatu agama dengan alasan kesalahan-kesalahan yang dibuat pengikut-pengikutnya’. Lebih lanjut dia katakan, “….. bahwa perikemanusiaan dalam Islam adalah merupakan sendi utama bagi masyarakat adil dan makmur.”

Pengakuan Rusjad Nurdin itu memang kemudian dibuktikan oleh sikap faksi Islam dalam Konstituante. Kecuali menyangkut hak kebebasan agama yang minta diatur dalam bagian tersendiri sambil menunggu consensus mengenai dasar Negara —dan juga hak murtad, faksi Islam menunjukkan sikap yang lebih progresif dalam pengakuan terhadap hak-hak perseorangan. Suatu contoh yang bisa diajukan adalah persetujuan faksi Islam terhadap ‘hak tidak boleh dianiaya dan/atau diperlakukan secara kejam yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan/atau kehormatan manusia’. Tentang hak ini, hampir semua partai secara eksplisit memilih rumusan: ‘Tiada seorang/seorang warga Negara jua pun akan disiksa, diperlakukan, atau dihukum secara ganas, tidak mengenal perikemanusiaan atau dihina’.

Muhammad Thaha bin Mohammad Nur (PSII) menyatakan keheranannya atas persetujuan faksi Islam ini dengan menyatakan bahwa seakan-akan partai Islam tidak mengakui hukum Qur’an mengenai ‘qishas’. Dia kemudian menyitir ayat Qur’an: ‘Kalau ada seorang yang menghilangkan atau mengganggu kuping seseorang, maka kupingnya harus diganggu. Kalau ada seorang yang menghilangkan mata seseorang, maka matanya harus diganggu’. Lantas dia bertanya, “Apakah ini tidak kejam? Ini saya tanyakan kepada kiai-kiai blok Islam.”

Tentang ‘hak murtad’, tidak disetujui oleh faksi Islam dan juga faksi Nasrani. Dalam semangat kearifan para pendiri bangsa, keberatan golongan keagamaan atas ‘hak murtad’ ini dihormati dalam kerangka partikularitas HAM. Jalan tengahnya, kalau pun mau ‘murtad’ sebaiknya tidak perlu digembar-gemborkan secara publik dan tidak sepantasnya melecehkan agama sebelumnya.

Sementara itu, beberapa orang mengkritik UUD sebelumnya yang (dalam judul bagian tentang HAM) hanya menyebut hak seraya tidak menyebut kewajiban. Tahir Abubakar (PSII) menyodorkan perspektif Islam yang tidak memisahkan antara orang dan Negara, seperti dibuktikan oleh hukum dan praktik Islam yang mengakui adanya ‘fardhu kifayah’ (kewajiban sosial) dan ‘fardhu ain’ (kewajiban pribadi). Hal ini didukung oleh partai nasionalis yang menyesalkan tidak adanya kewajiban warga Negara. Sabilal Rasjad menyatakan bahwa apabila kita berbicara mengenai hak, maka tidak boleh dilupakan adanya kewajiban yang timbul akibat hak-hak itu. Mang Reng Say setuju dengan kemestian kewajiban itu, namun menurutnya, menambahkan kewajiban ke dalam HAM merupakan sesuatu yang berlebihan. Pengakuan pada HAM justru terjadi karena pemerintah biasanya sadar akan adanya kewajiban warga Negara, tetapi tidak selalu sadar akan hak-hak mereka. UDHR sendiri tidak menyebut kewajiban di dalam judulnya, tetapi dalam pasal 29 deklarasi ini terkandung kewajiban individu kepada masyarakat.

Pada 9 September1958, Konstituante mengadakan pemungutan suara mengenai judul untuk bagian HAM. Mayoritas suara (352 dari 443 anggota yang hadir) memilih judul ‘HAM dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara’. Untuk judul ‘Hak-Hak Asasi dan Kewajiban Warga Negara’ memperoleh dukungan 86 suara. Dan untuk judul ‘HAM dan Hak-Hak Asasi Warga Negara’ (tidak menyebutkan kewajiban), tidak mendapatkan suara. Sekali lagi hal ini mengindikasikan kesadaran Indonesia untuk memuliakan hak-hak individu (sebagai warga Negara dan manusia) dengan tetap menjunjung tinggi semangat kekeluargaan.

Pada 9 Desember 1958, Panitia Persiapan Konstitusi berhasil melengkapi keputusan mengenai rancangan pasal-pasal UUD mengenai HAM, hak dan kewajiban warga Negara yang berisi ketentuan mengenai 35 hak dan kewajban dari daftar: a) Delapan belas (18) hak dan kewajiban warga Negara ; b) Tiga belas (13) hak warga Negara yang dapat diperluas hingga mencakup orang yang bukan warga Negara sebagai HAM ; dan c) Lima (5) hak yang masih tersisa dari daftar 24 hak asasi manusia yang belum diajukan ke siding pleno untuk diputuskan melalui pemungutan suara.

Panitia Persiapan Konstitusi telah berhasil mencapai keputusan mengenai 22 pasal tentang HAM dalam rancangan UUD baru. Tiga belas hak dan kewajiban lainnya masih terdapat perbedaan karena koalisi Pancasila dan Islam di dalam panitia tersebut masih mempertahankan pasal-pasal konstitusional versi masing-masing. Akan tetapi kedua versi mengenai 13 hak dan kewajiban itu secara substantif tidaklah jauh berbeda dan tidak mengancam hakikat hak-hak perorangan, oleh karena itu tidak akan menghalangi tercapainya kompromi. Akan tetapi jalan sejarah berbicara lain. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengembalikan ketentuan mengenai HAM seperti terkandung dalam UUD 1945.

Tetapi dengan UUD 1945 pun secara substantif tidak mengurangi komitmen bangsa Indonesia pada persoalan kemanusiaan universal dan penghormatan hak-hak asasi manusia. Bukan saja karena UUD ini pun telah mengandung tiga generasi HAM, tetapi juga tersedianya rujukan sumber hukum tidak tertulis, berupa fakta historis terjadinya kemajuan yang terus-menerus dalam pengakuan konstitusional terhadap HAM.

Demikianlah para pendiri bangsa ini telah mewariskan kepada kita suatu dasar falsafah dan pandangan hidup negara —yang menjiwai penyusunan UUD —yang begitu visioner dan tahan banting (durable).

(Selesai) 
Photo Source: Google Images

 
Blogger Templates