Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Friday, August 7, 2015

Cerpen: Mengais Sisa-Sisa



Mendadak Rere ingin pulang. Liburan kali ini pikirannya kacau. Di mana-mana ada Dandy. Di jalan raya, di angkutan umum, di setiap dinding dan langit-langit kamar kost-nya. Pernyataan Dandy tak berhenti mengiang. 

Biasanya dengan bus ia menuju kampungnya. Tapi mendekati Lebaran, tentu di setiap terminal sudah berjubel calon penumpang mengantri tiket. Luber hingga ke jalanan. Bikin kepalanya pusing mencium bermacam aroma keringat dan merk parfum, bercampur air kencing yang dibuang sembarang. 

Bersama Raka dan Tino, ia menumpang mobil Dandy. Tujuan mereka sama. Kampung mereka sama. Bandung. Hanya Dandy di kotanya, yang lain masuk kabupaten. Mereka bertolak dari Jogja, tempat kerja mereka. Kantor cabang konsultan. Pusatnya di Jakarta. 

Masih sangat pagi, semalaman Dandy mengendarai mobilnya sendiri tanpa pengganti. “Stop! Stop! Di sini saja, Dan,” kata Raka. Dari bangku tengah ia bisa melihat Raka yang duduk di depan membuka pintu, lalu mengemasi barangnya. Rere melirik Tino yang rebah di jok belakang tak hendak bangun, apalagi turun. Ia tak beranjak. Rere dan Tino satu desa. Ini pengalaman pertamanya menumpang mobil. Ia tinggal menunggu aba-aba Tino yang tahun lalu ikut Dandy. Tino pasti tahu turun di mana, naik apa. Rere masih duduk malas menyandarkan punggungnya ketika melihat Raka kembali, membuka pintu tengah. “Hey, Re, turun. Kamu nggak boleh ikut Dandy.” Kaget, ia menatap Tino, Raka melanjutkan, “Kamu mau turun di mana, No?”

“Di depan sana. Masih jauh.”

“Ngapain jauh-jauh ke sana. Justru dari sini banyak bus ke arah Kalijati.” 

Tino bergegas turun mengambil barangnya di bagasi. Rere ikutan. Menggendong ransel di bawah joknya, menutup pintu, mendekati Raka. Bahasa Raka tak enak di telinganya.

“Kenapa kamu bicara seperti itu, Raka? Maksudmu apa? Aku kan baru kali ini numpang mobil, nggak tahu harus turun di mana. Aku nunggu Tino.” Raka terpengarah. Mulutnya sedikit terbuka, bahkan beberapa saat lupa mengedipkan mata. “Aku tahu, aku bukan siapa-siapanya Dandy. Aku tahu, Raka, aku nggak mungkin ikut Dandy ke rumahnya.” Tiba-tiba ada rasa nelangsa, Rere terus bicara meski bibirnya bergetar. “Aku numpang mobil ini karena aku ingin pulang ke rumahku. Rumah orang tuaku. Aku masih punya orang tua, Rakaaaaa ...” Tangisnya meledak. “Aku mau pulang ke rumahku huhuhu ...” Kakinya gemetar. Ransel diturunkan dari gendongan, jongkok memeluk gembolannya. Raka tak bisa berkata sepatah pun, hingga Rere menjatuhkan kepalanya pada ujung ransel. ”Aku masih punya rumaaaaah ... Aku masih punya rumaaaaahhh ...” Suaranya melemah. Air matanya meleleh ke pelipis, ke kuping. Ia terus menangis di pinggir jalan. Di trotoar. Dandy menatap heran. Anak matanya bergeser-geser. Ke Raka, ke Rere. Ke Raka lagi, ke Rere lagi.

“Kenapa nangis, Re?” 

Kak Wulan tiba-tiba masuk kamar. Rere tengah menghadapi layar komputer.

“Enggak. Barusan lihat film di Nonton Movie. Ceritanya nyentuh banget.” 

Tentu saja ia bohong. Dan kejadian di pinggir jalan raya itu tak pernah ada. Tidak ada adegan Rere yang menegur Raka, lalu ia menangis di trotoar sambil memeluk ranselnya. Pun tak ada Dandy yang keheranan melihat kejadian itu. Pernyataan Raka hanya menggantung di lehernya. Tak bisa dinetralisir. Seperti roti bantat ngumpul di satu tempat, nyangkut di tenggorokan. Mesti disorong air biar turun. Tapi air tak mampu menurunkan pernyataan Raka, hingga dadanya terasa longgar untuk bernafas. Dan rasa nelangsa baru muncul di dalam bus menuju desa kelahirannya. Desa Kalijati yang hijau, sejuk, tenang. Jauh dari keramaian kota. Sepanjang perjalanan ia ingat Raka. Bahasanya yang entah sengaja atau tidak, melukainya. Masker dikeluarkan dari saku celananya menutupi bibirnya yang bergetar, pipinya yang basah, matanya yang sembab. Menyamarkan luapan emosinya yang gagal ditahan, hingga ia tertidur. 

“Kalijati ... Kalijati ...”

Matanya terbuka mendengar nama desanya dipanggil. Cepat Rere berdiri menggendong ranselnya.

“Kamu mau ke mana?” Tino bertanya.

“Sudah sampai kan?”

“Belum. Masih jauh.”

Rere baru sadar, itu suara kondektur yang menawarkan pada calon penumpang. Bus kembali melanjutkan perjalanan. Kantuknya hilang. Rere melirik ke samping. Seorang lelaki masih pulas dekat jendela. Ia baru ingat, beberapa menit yang lalu tanpa sadar, tubuh itu dijadikan sandaran sewaktu ia ketiduran. Kepalanya selalu jatuh tiap kali lelap dalam posisi tegak. Kalau saja lelaki itu terbangun sebelum ia, tentu ia malu.

Pandangannya dibuang keluar jendela membaca setiap tulisan yang ada. Coba menerka-nerka, sudah sampai mana perjalanannya. Dan tatapannya lambat-lambat mengabur. Kosong. Teringat beberapa jam yang dilaluinya seperti mimpi.

Kamu salah, Dan. Kamu salah jika berasumsi bahwa aku tidak menghargai usahamu. Tidak menghargai proses kehidupanmu. Lalu kamu katakan aku gila hormat. Maniak perhatian. Salah. Salah besar. Aku hanya perempuan lemah yang tak sanggup mendengar suara-suara dari luar bicara tentangmu. Semua bersumber dari rasa cemburu. Cemburu pada setiap perempuan yang kau dekati. Cemburu pada perhatianmu yang luar biasa pada teman-teman kita. Hanya cemburu. Dan itu bukan salahmu. Tapi salahku. Salahku yang terlalu mencintaimu.

Ia katakan itu semalam pada lengan Dandy. Pada tangan Dandy yang menggenggam bulatan stir, yang aktif bergerak memindahkan gigi. Meski di dalam gelap, kulit Dandy tampak terang ditimpa lampu jalanan. Sesekali bercahaya tersorot lampu kendaraan yang berlawan arah. Bahkan punggung Dandy yang dibalut T-sirt hitam. Dan gelap menyembunyikan basah matanya. Dan tarikan ingus bening yang keluar dari hidungnya sebab flu, mengelabui mereka. Seperti Rere yang menangis di tengah hujan. Tak ada yang tahu sebab hujan telah menghapus jejak di pipinya. Sebab air hujan dan air mata tak ada beda. Sama-sama air. 

Kau juga bilang, aku tidak bisa menerimamu apa adanya. Tidak, Dan. Kamu salah lagi. Kamu tahu, sekecil apa pun yang melekat di tubuhmu, sangat bernilai bagiku. Bahkan potongan rambutmu, potongan kukumu. Aku ingin menyentuhnya, menyimpannya, jika merengkuhmu menjadi haram. Dan aku sanggup membersihkan kotoran yang keluar dari tubuhmu. Keringatmu, ludahmu, dakimu, muntahanmu. Apapun. Seperti aku merawati ibuku. Seperti aku melayani diriku. 

Protesnya dialihkan pada kuping Dandy. Tengkuk Dandy. Rambut Dandy yang cepak, yang sedikit panjang di atasnya berdiri kaku sebab diolesi stayling foam

Kamu tidak bisa menghentikan tingginya mimpiku untuk menghindari kekecewaanku, Dan. Tidak bisa. Tak ada seorang pun yang ingin kecewa. Tapi biarkan aku merasakan kecewaku sendiri. Biarkan kekecewaan itu menjadi guru yang akan menempaku menjadi kuat, bangun dan berdiri.  Biarkan aku berdialektika dalam kehidupanku: menegasikan yang negatif dan mengangkat kebenaran ke tingkat yang lebih tinggi. Dan ... Tak ada manusia yang bebas dari mimpi sebagaimana harapannya. Cita-citanya. Coba bayangkan jika di dunia ini tidak ada cita-cita. Tentu tak ada petani yang mau menanami sawahnya. Tentu tak ada ibu yang mau menyusui bayinya. Tanpa harapan dan impian, alangkah keringnya kehidupan. 

Matanya tak berhenti memproduksi cairan bening. Juga ingusnya yang berlomba menyentuh bibirnya. Rere keteteran menahan meski berlembar tissue membantunya. Sebentar turun, sebentar ditarik ke atas. 

Dandy tak sempat memperhatikan kejadian beberapa menit itu. Tak curiga sewaktu kedua teman lelakinya asik ngobrol, lalu saling ledek, dan Rere tak urun komentar atau sekedar melepaskan tawa seperti sebelumnya. Dandy sibuk sendiri dengan suara hatinya ...

Sebenarnya aku tak perlu mengatakan  itu, Re. Aku tidak ingin melukai perasaanmu. Tapi kamu sudah keterlaluan. Kecurigaanmu, pikiran negatifmu menjengkelkan aku. Lebih menjengkelkan lagi karena kamu tidak tahu aku sedang marah. Dulu aku sempat panik sewaktu kamu mendiamkan aku. Tapi giliran aku yang cuek kamu tak merasa, bahkan saat aku buang mukaku di depanmu. Kamu masih ingat kan, sewaktu aku teriak-teriak di dalam mobil pada Minto untuk mengambil perlengkapan kantor yang baru aku belanjakan? Kamu tahu, aku tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Aku tidak pernah berlaku kasar pada siapa pun. Dan barang-barang yang tak seberapa banyak itu, bisa aku bawa sendiri. Kamu berlari mendekati mobil. Minto datang belakangan. Jelas-jelas aku tidak mau menjawab pertanyaanmu. Tidak mau bicara denganmu. Tapi kamu masih saja bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Aku ingin kamu tahu aku marah, Re. Aku marah! Kamu itu tahu atau pura-pura tidak tahu?

Rere coba mengingat masa bahagianya. Sepanjang perjalanan menuju Bandung, ia mampu menahan diri tak mengabarkan kedatangannya. Rere berhasil membuat kejutan. Senyum abahnya, uminya. Sumringah seluruh penghuni rumah dan sambutan keluarga besarnya. Sepuluh tahun lebih ia melewatkan moment itu untuk berkumpul bersama keluarganya. Sejak peristiwa itu terjadi, dan seorang lelaki yang tak lelah menunggunya kembali. Tapi kebahagiaan itu hanya sebentar. Sebab pernyataan Raka mengganjal, dan wajah Dandy membayangi. Sesekali ia mesti sembunyi saat matanya basah. Rasa nelangsa itu masih mengikuti. Nelangsa yang dihadirkannya sendiri dari rasa tak berarti. Meski disadari, betapa sempit cara berpikirnya. Meski dipahami, tidak ada manusia yang pantas direndahkan, sebab masing-masing memiliki kelebihan. Masing-masing memiliki kemampuan di bidangnya. Setiap orang berperan dalam kehidupannya. Dan peran itu menunjukkan, setiap orang memiliki arti. Paling tidak bagi keluarganya. Tapi nelangsa tetaplah rasa nelangsa yang meminta jatuh air matanya. Meski Rere mencoba berpikir positif, Raka hanya bercanda walau mukanya tampak serius. Sebab ia yakin, tak seorang pun teman kantornya tahu hubungannya dengan Dandy yang tak lebih dari bayang-bayang. Sebab Dandy tak bersikap tegas. Menolak atau menerimanya. Tiga tahun lebih hubungan itu dijalankan tanpa kepastian. Bahkan ketika Dandy akhirnya memilih untuk kembali pada mantan istrinya, mata Dandy tetap sama. Mata yang selalu memberinya harapan. Lalu bagaimana mungkin Dandy meminta Rere memadamkan harapannya sendiri? Membunuh perasaannya sendirian?

Ke mana perginya kedamaian itu, Dan? Setiap tempat yang kusinggahi seperti tak ada ketenangan. Bahkan kelucuan Si Endut yang baru dua tahun merayakan ulang tahunnya, yang berbulan aku rindukan, hanya bisa menghiburku saat ia terjaga. Seperti obat warung yang hanya berfungsi mengurangi rasa sakit. Barangkali aku memang harus menikmatinya seperti yang lalu-lalu, meski rasa sakit itu melebihi yang sudah-sudah.
 
Lebih dari satu jam, ia hanya diam menekuri logo Windows xp. Seperti tidak ada yang menarik di sana. Games, film, artikel, berita, musik, media sosial. Semua terasa hambar. Sesekali kedua jarinya bergerak sekedar merefresh. Tapi pikirannya berlompatan, hatinya tak berhenti bersuara …

Barangkali malam itu adalah kebahagiaan terakhir yang akan terus kukenang, Dan. Saat aku tak kembali. Saat aku memutuskan resign dan menerima tawaran pekerjaan yang baru. Memoriku tentu sudah banyak menyimpan sepanjang tiga tahun itu. Pun semalam saat aku duduk di belakangmu. Aku bisa menikmati sepuas-puasnya lukisan nyata ragamu. Barangkali untuk menambah kebahagiaan itu, aku perlu berimajinasi bertemu dengan perempuan yang aku kagumi. Perempuan yang melahirkanmu, yang membuat aku sanggup mencintai anaknya sedemikian hebat, hingga untuk menjadi pasangannya adalah keajaiban. Tapi aku lantas merasa aneh. Bagaimana bisa seorang mantu tidak mencintai ibu mertuanya? Seperti cerita yang banyak kudengar. Seperti realita yang kerap kutemui. Bukankah pasangannya adalah orang yang dicintainya? Dan ketika ia menciumi pasangannya, maka ia telah menciumi seputar liang ibunya. Sebab yang dicintainya keluar dari liang ibu. Entahlah ... Semua tentu ada sebabnya. Setiap orang memiliki penilaian berdasarkan pengalamannya. Tak ada sumpah yang abadi. Tak ada janji yang berlaku selamanya. Semua memiliki batasan. Seperti sifat dunia yang relatif dan tak kekal. Seperti manusia yang bisa berubah setiap waktu, bahkan dalam hitungan detik. Seperti pesan yang pernah kuterima dari seorang lelaki pelaut itu: Cinta datang dan pergi seperti embun pagi. Cinta tidak abadi, juga tak pernah mati. Hanya waktu yang membuatnya pergi dan kembali.


(Kota Buaya, 15 Juli 2015)


Photo Source: Google Images






 
Blogger Templates