Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Saturday, March 12, 2016

Cerpen: Tetiba ...



Tetiba saja kau jadi suami mbakyuku. Ha? Kapan menikahnya? Kok aku nggak tahu? Sebagai adik yang masuk dalam daftar keluarga, harusnya aku dengar rencana itu. Bukankah hubunganku dengan si mbak baik-baik saja? Nggak pernah ada masalah. Mestinya salah satu keluarga di kampung mengabari dan memintaku pulang saat prosesi pernikahan kalian. Apa si mbak melarang sebab ia pernah kuceritai tentangmu, sehingga tak sampai hati melukai perasaanku? Entahlah ... yang kutahu kita sudah tinggal bersama di rumah kampungku. Rumah yang ditempati ibu dan anak-cucunya. Warisan nenekku. Lalu apakah aku membencimu hingga komunikasi kita jadi kaku? Enggak. Semua berjalan sewajarnya, seperti tak pernah ada sesuatu di antara kita. Apakah aku lantas ingin mati seperti sumpahku jika kau mempercayakan hidupmu pada perempuan lain? Menelan pil berbutir-butir, mulut berbusa tak sadar diri hingga mati di tempat sebab sendirian di kamar terkunci? Enggak juga. Sedikit pun tak terlintas dalam benakku. Aku senang menerimamu menjadi bagian dari keluargaku. Tapi diam-diam aku kerap mengamatimu yang sibuk mengangkuti barang-barang. Jelas aku tak membantu. Hanya jadi penonton dari jarak tertentu. Kau tahu, cintaku tak pernah mati meski aku pernah sedemikian hebat membencimu. Dan kau juga mesti tahu, mengapa pada akhirnya aku bisa menerimamu apa adanya? Sebab aku telah berproses. Aku telah melewati beberapa ujian. Mengalami syok demi syok dari kabar yang menamparku berkali-kali. Goblok! Tolol! Bego! Kau mau jatuh di lubang yang sama? Aku yakin tidak. Dulu dan kini beda situasi. Beda segalanya. Aku telah mantap dengan pilihan hidupku. Apa pun yang terjadi aku siap dengan segala resikonya.

Dan tetiba aku berada di sebuah rumah entah milik siapa. Sendiri. Tak lama kalian datang menyusul membawa banyak barang. Mbakyuku sibuk memasukkan barang-barang itu. Hei! Apakah itu rumah kalian? Aku bertanya sendiri dalam heranku. Si mbak tinggal, dan kau berencana kembali ke rumah ibu.

“Tar, mau ikut bareng nggak?” Teriakmu dari seberang rumah.

Aku menuju pintu mencari suaramu, melihatmu menuntun vixion advance merah yang siap kau kendarai. “Ya, tunggu sebentar!” Jawabku dari dalam.

Sebenarnya aku tak ingin pulang. Aku betah berada di sana. Setengah hati kuiyakan sebab aku senang bisa dekat denganmu meski beberapa saat saja. Aku lantas sibuk mencari sandalku hingga ke tanah lapang yang becek sebab beberapa tempat tergenang air. Kadang harus memanjangkan langkah, kadang harus melompat menghindari air kotor mencari tanah keras yang aman dipijak. Tanah lapang yang semula kulewati tak lagi lapang, sebab di tengah-tengahnya menggunung barang-barang rongsokan. Aku terhadang dan seperti sengaja dihadang oleh para pemulung itu. Tapi aku tak mau berhenti. Aku terus menerobos ke dalam meski dengan susah-payah. Mereka terheran-heran. Lelaki, perempuan, semua seperti bisu. Hanya mata mereka yang mengawasi setiap gerakku.  

Sandal tak ketemu, aku ingin kembali. Dengan kaki telanjang kulewati jalan-jalan kampung yang sangat panjang. Aku mengeluh, mengapa tak sampai-sampai? Aku ingat kau. Aku merasa bersalah sudah membuatmu menunggu. Di tengah perjalanan aku bertemu kawan kita. Ya, kawan seperjuangan kita, mas. Ia mengabariku bahwa ibumu meninggal dunia. Terbayang lagi wajahmu, aku ingin menangis. Ingin segera sampai dan bertanya, apa kau sudah tahu? Tapi sekali lagi aku mengeluh, mengapa tak sampai-sampai? Rasanya sudah berjam-jam sejak aku mengiyakan ajakanmu. Kembali aku merasa bersalah telah membuatmu lama menunggu. Dan aku terus berjalan. Pasrah. Aku yakin kau sudah meninggalkanku.  

Tetiba lagi kulihat si mbak sudah di depanku. Aku tak melihatmu. Dengan nada datar tanpa beban aku bertanya, “Si mas sudah pergi ya, mbak?”

“Belum tuh, masih nungguin kamu.” 

“Ha? Segitu lamanya?” Mulutku menganga.

Dan tetiba sekali lagi mataku terbuka, coba mengingat yang baru saja terjadi. Lengkap. Tak ada yang lepas tercatat dalam memoriku. Gusti, apakah arti mimpi itu? 


(Tebet Dalam, 11 Maret 2016)

Sumber gambar: www.magic4walls.com


 
Blogger Templates