Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Monday, April 3, 2017

Cerpen: Dan Air Matanya Jatuh di Stasiun Cikini


Tidak ada lagi yang perlu ditunggu. Lemah kakinya melangkah menuju stasiun seperti menyeret beban. Memasuki peron, ia memilih duduk tepat di bawah tiang besi. Ada bangunan semen dilapisi porselen sebagai pondasi, tingginya sekitar 15 sentimeter dengan lebar sekitar 10 sentimeter. Tempat duduk itu berbentuk bulat melingkari pilar. Kapasitasnya bisa empat hingga lima orang. Arah yang selalu diambil, tempat datang dan perginya kereta. Dua jalur yang berlawan arah. Sebab tak terbatas melihat penunggu KRL yang duduk berderet dengan tembok yang menjadi latarnya, atau hilir mudik para penumpang yang keluar masuk peron. Sebab matanya bebas memandang menikmati segala. Gedung-gedung pencakar langit. Hijau pepohonan yang rimbun serupa semak-belukar. Ia juga bisa menatap langit berserta awannya yang menggumpal membentuk bermacam rupa dan warna selayak lukisan, seperti tak pernah sama dari hari ke hari. Juga rel-rel yang semakin menyempit di kejauhan.

Tapi kali ini ia tak ingin menikmati itu sebagai aktivitasnya saat menunggu datangnya kereta. Tak ada keinginan berimajinasi saat matanya menatap lepas. Tak ada angan untuk disinggahkan pada sejauh matanya memandang. Tak ada. Baru meletakkan pantatnya, ia lalu memeluk erat ransel mungilnya. Ada wajahnya yang ia sembunyikan di sana. Berhari-hari ia bertahan dengan rasa tersiksa. Berhari-hari ia ingin menangis, tapi selalu digagalkan oleh harapan-harapan baru yang muncul di benaknya. Dan ketika harapan terakhir yang ia miliki ternyata tak memberikan titik terang, air matanya pun jatuh.

Belum puas meluapkan emosinya, sebuah Commuter Line tujuan Bogor telah berhenti tepat di sampingnya. Ada rasa enggan untuk pulang, tapi ia harus pulang. Sebab tak ada lagi yang perlu ditunggu. Sebab tak ada lagi harapan baru.

Di dekat pintu kereta ada bangku. Kapasitasnya untuk tiga orang. Di kanan kiri ada lelaki yang tengah tidur pulas, ia mengambil tengahnya. Di sana isak tangisnya semakin jadi. Ada gerung yang tak sanggup ditahan. Ia yakin tak seorang pun bisa mendengar. Sebab gaduh roda besi yang bekerja dan tissue yang melapisi maskernya, mampu menenggelamkan suaranya.

Lama ia coba melepas sesak dadanya dari nelangsa yang dirasa. Tiga peristiwa terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan, seperti tamparan berkali-kali. Tapi ia tak pernah menganggap itu sebuah hukuman, sebab baginya Tuhan tak pernah menghukum. Tuhan itu Maha Cinta. Hanya mencintai.

Beberapa waktu yang lalu ia dapat kabar ibunya sakit. Mbakyunya minta kiriman uang buat beli pampers ibunya, ia tak bisa mengabulkan. Dan ponselnya kembali berdering.

“Ren, tadi adik kasih uang 500 ribu suruh kirim ke rekeningmu,” kata Mbakyunya.

“Ya, beberapa hari yang lalu aku memang minta bantuan adik. Ada keperluan mendadak di luar kebutuhan. Habis, nyari pinjaman nggak dapat-dapat,” jawabnya.

“Bagaimana kalau kukirim 300 ribu dulu. Nanti aku cari pinjaman buat ganti.”

“Itu aja nggak cukup, Yu. Aku masih minta tolong Mamas carikan pinjaman, bulan depan harus kembali. Aku sendiri nggak tahu, uang segitu apa bisa bertahan sampai aku dapat kerja?”

“Soalnya aku cuma kebagian 250 ribu. Kurang banyak, Ren. Ibu sakit dari bulan kemarin nggak bisa beli obat. Itu aja, aku ngalah nggak makan siang. Ibu sudah kayak anak kecil. Makanan apa aja yang diminta harus ada. Kalau enggak, marah. Ngambek. Nggak mau makan.”

“Ya ampun, Yu … 250 ribu? Itu untuk sebulan?”

“Iya, Ren.”

“Gimana sih adik ini, masak ngasihnya cuma segitu.”

“Adik juga kasihan, baru kerja sudah kepontang-panting bayar hutang sejak tiga bulan lalu kamu nggak kirim.”

“Oalah, Yuuu Yu … ”

Suaranya tercekat, tak sanggup lagi melanjutkan obrolan pagi itu. Panggilan Mbakyunya diabaikan saja, meski masih jelas menempel di kupingnya. Ia tak mungkin bersuara sebab tangisnya sudah pasti akan meledak. Dan tentu saja ia akan jadi pusat perhatian orang-orang di sepanjang jalan.

Suara Mbakyunya tak terdengar. Dilihat layar ponselnya, panggilan sudah diakhiri. Baginya ini pilihan yang sulit. Seperti makan buah simalakama, ini dilema. Dan kepahitan itu harus ditelannya sendiri. Maafkan aku, Yu … Maafkan aku, Bu, Dik. Semua ini salahku … batinnya. 

Ia masih terkenang dirinya beberapa hari ini, seperti melihat bayangannya sendiri. Berapa kali ia harus berpura-pura seolah tak terjadi apa-apa. Seolah dirinya baik-baik saja. Padahal ia tak mampu menghitung berapa kali ia menarik nafas panjang, lalu membuangnya sekuat tenaga ditengah tawa riuh teman-temannya, setiap teringat kegagalannya. Kegagalan mencari solusi yang tuntas, juga sebuah peristiwa yang begitu membekas.

Tetiba ia tergeragap. Harusnya ia sudah turun tak lama dari lokasi tempatnya beranjak. Hanya melewati satu stasiun saja. Di sekeliling area yang dilalui Commuter Line tak dikenalinya. Ia tak tahu sedang berada di mana. Seperti terhipnotis ia tak sadar, sudah beberapa kali Commuter Line berhenti menurunkan penumpang hingga tujuannya terlewat jauh. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan kecuali meredam kepanikannya, dan dibiarkan gerbong bermesin itu membawa tubuhnya pergi hingga entah …

(Pegangsaan Timur, 30 Maret 2017)

Photo Source: http://dheanh.webnode.com/blog/
 
Blogger Templates