Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Wednesday, August 28, 2013

Cerpen: Si Sotoy Itu, Mantan Atasanku


Perempuan itu tiba-tiba mengomentari statusku di dinding facebook. Sinis. Setelah melakukan cek and ricek, aku baru tahu kalau ternyata orang yang ngeyel dan sok tahu itu adalah mantan atasanku. Banyak teman-teman yang dulu satu pabrik denganku sudah berteman di akunku. Dari bawahan sampai atasan. Cuma satu orang itu yang belum. Sudah lama aku cari akunnya, tapi tidak ketemu juga, sampai akhirnya aku lupa. Tapi rupanya, komentarnya di wall-ku saat itu, menggiring aku untuk mengetahui di mana alamat tepatnya di dunia maya. Pantas aku tidak menemukannya, karena mantan atasanku itu tidak menggunakan namanya sendiri. Ia menggunakan nama anaknya: Erika Erlangga. 

Nama pendeknya Mia. Entah, siapa nama panjangnya. Tapi dia biasa dipanggil dengan julukan Meong. Tanpa ia sadari, kehadirannya di wall-ku mengingatkan kembali luka lamaku. Pantas dia kekeh tidak setuju kalau aku mengkritisi pemerintahan. Karena selama ini, dialah 'salah satu orang Indonesia yang turut andil dalam mensukseskan penindasan di negerinya sendiri’. Orang yang dulu menindas aku dan kawan-kawanku di sana. Di sebuah pabrik garment, yang berada di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Cilincing, Jakarta Utara. 

Kalau anda sempat melihat film ‘Kisah 3 Titik’ yang mengangkat kehidupan buruh. Perlakuan mandornya itu tidak ada apa-apanya dengan Si Meong. Dia, jauh lebih kejam. Tak hanya teriakannya yang membuat kawan-kawanku menjadi sangat ketakutan dengan manusia satu ini. Tapi kata-katanya yang pedas melecehkan, hingga menyinggung ke urusan pribadi, benar-benar sangat melukai hati. Mulutnya seperti belati!

Apa yang sudah ia lakukan, sebenarnya bisa dilaporkan karena sudah termasuk dalam kategori ‘kekerasan verbal’. Sayangnya, ketika peraturan itu mulai berlaku di tempat kerja kami, Meong sudah tidak lagi bekerja di sana. Tapi entahlah, bisa jadi ia ‘kebal hukum’, karena suaminya masih memiliki hubungan keluarga dengan manager perusahaan. Itu sebabnya, ia merasa bebas menggunakan kekuasaannya untuk menindas kami. Merasa di atas angin. Merajalela …

Sebelum aku ditugaskan sebagai helper lalu water beetle, aku sebagai sewing. Helper itu istilahnya seperti pembantu. Tak ada bangku untuk mereka, karena tidak mengoperasikan mesin seperti sewing. Sewing adalah istilah untuk penjahit. Tugas helper adalah membantu memudahkan sewing melakukan pekerjaannya. Misalnya menggambar bagian yang akan dijahit, menjodohkan potongan-potongan bahan hingga menjadi satu pc pakaian, mengambilkan jarum, dan masih banyak lagi. Intinya, helper itu melayani kebutuhan para penjahit. Sedangkan water beetle tugasnya adalah melayani kebutuhan dalam line. Baik kebutuhan sewing, helper, maupun polybag yang diambil dari berbagai gudang, untuk di tempatkan di line. Kalau polybag tugasnya melipat, memasang hangtag, lalu memasukkan pakaian jadi ke dalam bungkus plastik. 

Aku jadi ingat peristiwa itu, ketika aku sempat berkonflik dengannya. Waktu itu, aku sedang mendapatkan tugas menjahit 2 proses ─meng-obras dan me-lubang kancing. Karena 2 proses itu membutuhkan mesin yang berbeda, otomatis aku mengoperasikan dua mesin, yaitu mesin lubang kancing dan mesin obras. Karena mesin lubang kancingnya sudah tua, maka seringkali error. Hal itu yang membuat aku jadi keteteran. Pekerjaanku jadi menumpuk. 

Datanglah Meong, yang menjabat sebagai technical. Dalam strukturnya, technical itu membawahi beberapa chief (atasan chief,  memimpin 10 line). Sedangkan chief membawahi beberapa assisten (atasan assisten, memimpin 5 line). Assisten itu, istilah yang digunakan perusahaan tempat kami bekerja untuk jabatan pengawas/mandor ─memimpin satu line saja. Satu line terdiri dari beberapa mesin yang berjajar memanjang dengan jumlah yang tidak tentu, tergantung proses pembuatannya.

Jika kebanyakan kawanku sangat takut dengannya baik dalam keadaan salah maupun benar, aku tidak. Aku bahkan tidak bisa diam atau tak menjawab, selama aku merasa benar. Dan ketika ia datang dengan wajah penuh emosi serta bertanya dengan ketus, akupun menjawab dengan tak kalah ketusnya. Aku katakan, bahwa beberapa mechanic tidak bisa menormalkan cara kerja mesin lubang kancing, sehingga aku harus mengakalinya sendiri. Padahal cara yang aku gunakan itu sangat riskan, karena setiap kali aku harus menarik benangnya, lalu memeganginya. Kalau aku salah mengatur waktunya, tanganku bisa kena jarum plus pisau mesin. Ia diam saja, lalu pergi. 

Aku jadi panik melihat kawan-kawanku yang di depan menganggur karena menunggu pekerjaan yang menumpuk di tempatku. Karena 1 box hanya berisi 1 pc bakal pakaian jadi, maka bertumpuk-tumpuk box di sampingku. Dan kepanikan itu, membuat aku melakukan kesalahan. Salah lubang ─di bagian yang tidak seharusnya dilubang. 

Aku diam saja, ketika Kak Betty, begitu aku memanggil assisten ku itu marah mendengar laporanku. Dia mengatakan, kalau meminta bahan itu tidak mudah, jadi aku disuruh lapor sendiri langsung ke technikal-ku. 

“Mbak …,” panggilku pada Meong, saat aku menghadap untuk mempertanggung-jawabkan kesalahanku.  

“Ada apa?”

“Saya bikin kesalahan.”

“Kesalahan apa?”

“Salah ngelubang,jawabku pasrah menerima segala hukuman.

”Hmm, akhirnya nyerahin diri juga lo,katanya sinis.

Sementara aku hanya diam. Tertunduk.  

“Udah-udah, jangan marah,Chief line-ku ─namanya Anis ─mencoba meredamkan amarah Si Meong sambil menepuk-nepuk punggungnya, lalu berkata, ”Sudah, kamu kembali kerja lagi sana.”   

Baru dapat 2 pcs jahitan lubang kancing, bel istirahat berbunyi. Kami semua keluar …

Setengah jam kemudian aku masuk sebelum bel kerja. Kami mendapatkan waktu istirahat selama 1 jam. Aku bermaksud mengerjakan pekerjaanku yang menumpuk. Rasa tak tenang, membuat aku merasa tidak perlu menunggu waktu istirahat habis. Tapi rupanya, sudah ada Meong di bangku kerjaku ─mengerjakan lubang kancing. Aku lalu duduk di sampingnya, mengerjakan bahan yang akan diobras.

Ketika bel kerja berbunyi, Meong pergi meninggalkan bangku itu dan aku menggantikannya. Tak lama, ada yang complain sambil membawa jahitan yang salah lubang. Baru saja aku berpikir dan mengingat-ingat ─aku merasa baru mengerjakan 2 pcs sebelum istirahat. Tiba-tiba, Meong yang masih berada tak jauh dari tempat dudukku mengetahui.

“Kenapa lagi? Salah lubang lagi?”

Belum sempat aku menjawab, dia sudah berteriak memanggil chief line-ku, ”Aniiiiiiiiiisss … bawa anak ini ke kantor! SP dia!”

“Kenapa sih lo bikin salah lagi? Emang gampang apa minta bahan?” Mbak Anis mengomel sambil menggelandangku ke kantor.

Setelah menanda tangani surat peringatan, aku tidak diperbolehkan lagi mengoperasikan mesin. Yang aneh, kalau sebelumnya aku mengerjakan 2 proses dengan 2 mesin, kini yang menggantikan aku ada 2 orang ─1 mesin untuk 1 orang. Benar-benar Meong tidak adil!

Aku kembali mengurai keanehan yang belum selesai kupikirkan: pada saat istirahat, Si Meong mengerjakan lubang kancing. Dan pada saat yang sama, kawan-kawan di depanku ─yang mengerjakan proses selanjutnya ─sudah standby di depan mesinnya masing-masing. Secara logika, dengan sistem box berjalan ─masing-masing box hanya diisi dengan 1 jahitan, maka pekerjaan yang tadi aku kerjakan sebelum istirahat, jelas sudah sampai ke meja QC (Quality Control). Tapi kenapa kawan yang berada tepat di depanku ─mengerjakan proses setelah lubang kancing, mengembalikan jahitan yang salah lubang ketika aku baru duduk di sana saat bel kerja? 

***

“Ri, sebenernya yang salah ngelobang kemarin itu bukan lo, tau … tapi Si Meong. Dia yang jahit waktu istirahat.”

Cerita kawanku ─yang kemarin mengembalikan jahitan salah lubang. Kawan-kawan biasa memanggilnya dengan julukan Aming, karena orangnya lucu. Dan wajahnya kebetulan mirip sekali dengan pemain film dan pelawak yang terkenal melalui acara Extravagansa itu.

“Kenapa kemarin nggak bilang, Mpok? Aku juga udah curiga tuh,jawabku.

“Ya nggak beranilah gua, Ri …” Katanya lagi.

Nasi sudah menjadi bubur. Aku sudah terlanjur mendapatkan SP (Surat Peringatan). Imbasnya, aku tidak diijinkan lagi menjahit. Jadilah aku berdiri di meja helper, membantu apa saja yang bisa kubantu.

“Tar, tolong vermakin lubang kancing dong. Banyak sekali yang rijek, dibalikin QC.” Kata Kak Ida keesokan paginya, saat mendatangiku di meja helper sambil membawa jahitan. Kak Ida adalah seorang ibu yang menggantikan pekerjaanku me-lubang kancing.

“Nggak ada kerjaanku yang kayak begitu, kak. Kalau ada satu aja yang jahitannya jelek atau kepotong pisau, nggak bakal aku jalanin ke depan. Kalaupun aku vermak, pasti jahitannya aku bongkar dulu. Nggak didobel atau ditumpuk-tumpuk macam begitu. Kerjaannya Si Meong tuh, kan sebelum ada Kak Ida, dia yang ngelubang.”

“Iya, aku tahu. Tapi aku nggak bisa vermaknya. Tolong dong, Tar …”

Kak Ida memang biasa mengoperasikan mesin bartex. Jadi aku maklumi ketika ia meminta tolong dengan wajah yang memelas, karena memang belum paham dengan mesin lubang kancing.

“Ya udah, bongkar dulu jahitannya, baru ntar aku vermakin.” Jawabku, masih di meja helper. 

“Riii … Tariii … obrasin ini dulu dooong ... Aku nggak ada kerjaan niiihh …” Teriak Mpok Aming.

“Enggak ah, orang aku nggak boleh pegang mesin kok.” Jawabku menolak.

“Sebentar aja, Tarrr … sambil nunggu orangnya datang. Biar ada yang ke depan. Biar ada yang dikejain. Lihat, pada ngganggur semua tuh nunggu kerjaan.” Teriak yang lain.

Demi line-ku. Demi kawan-kawanku yang bosan diam menunggu waktu. Demi target per-jam di papan tak mengecewakan, akhirnya aku mau. 

Setelah vermak 2 pcs jahitan lubang kancing, aku duduk di mesin obras. Sambil mengobras, aku menunggu 2 pcs lagi rijek-an lubang kancing yang akan ku-vermak. Masih dibongkar dulu jahitannya sama Kak Ida.

Sudah dapat 10 pcs yang ku-obras. Kawan-kawan mulai terlihat bersemangat lagi. Line-ku kembali hidup, karena ada kegiatan dari belakang hingga ke depan. Kami memang peduli dengan output yang tertulis di papan. Karena jika kami mampu mendapatkan sesuai target, kami akan mendapatkan bonus.

“Heh, siapa yang nyuruh lo duduk di situ?”

Tiba-tiba, aku mendengar suara di belakangku. Aku abaikan saja suara itu, dan aku terus saja mengobras.

“Heh, siapa yang nyuruh lo duduk di situ?”

Pertanyaan yang sama dari pemilik suara yang sama. Masih tetap kuabaikan. Meski aku tahu, itu suara atasanku. Tak lain dan tak bukan: Meong. Buat aku, siapa pun kamu, apa pun jabatanmu, hendaknya bersikap sopan dan menghargai sesama, jika ingin dihargai.

“Heh! Siapa yang nyuruh lo duduk di situ!”

Pertanyaannya tetap sama untuk yang ketiga kali. Hanya bedanya, nadanya lebih tinggi, volumenya lebih besar, dan ia berada tepat di sampingku. Dengan tampang penuh marah, tangannya menepuk bahuku.

Aku spontan berdiri. Menatap matanya dengan tak kalah marahnya sambil berkata, ”Nggak ada orangnya, tau!” Sebentar, aku memutar kepalaku ke arah Kak Ida dan kembali berkata, ”Sorry ya kak, vermak sendiri!”

Kebencianku pada Si Meong, bukan tanpa alasan. Meski aku tidak menafikkan kecantikan wajahnya, kulitnya yang bersih, dan tinggi serta berat badannya yang proporsional. Aku suka melihatnya secara fisik. Hanya aku tidak suka dengan sikapnya yang kerap merendahkan orang lain, terutama bawahannya. Cara memandangnya, seperti melihat kotoran. Seperti tidak ada yang sempurna selain dirinya. Aku muak! Seperti muaknya aku setelah mendengar kasak-kusuk kawan-kawan yang membicarakan dirinya.

“Halahh ... asalnya dulu juga helper ajaaaa … belagu!”

“Dia dulu waktu jadi penjahit satu line sama aku, kalau kerjaannya keteter, nangis …”

“Huh, orang kampung lagaknya kayak orang kaya. Mentang-mentang suaminya masih keluarga manager. Gaji gede. Dikira kita nggak tau apa, kerjaan suaminya ngapain aja?”

Atau seperti kejadian yang diceritakan kawanku. Sewaktu ia memberikan surat pemberitahuan tidak masuk kerja ─titipan kawan sekontrakannya. Eh, sama Meong surat itu dilempar. Dan dengan sombongnya dia berkata, ”Surat kayak gini udah nggak laku kaleee … Sekarang jamannya email …”

Hmm ... jadi lucu lihat gayanya yang sok intelek, tapi tidak sesuai dengan realitanya. Dari komentarnya di dindingku saja kelihatan, cara menulis dan bahasanya belepotan begitu. Aku lalu bertanya kepada Pak Aris, yang menjabat sebagai kepala personalia waktu itu. 

"Tidak ada peraturan yang tidak memberlakukan surat pemberitahuan. Itu cara yang menunjukkan bahwa pekerja memiliki itikad baik. Dengan begitu perusahaan jadi tahu, mereka ijin atau sakit. Sebab meskipun surat dokter menyusul, kalau tidak ada surat pemberitahuan, maka pekerja dianggap alpa pada hari itu." Begitu jawaban Pak Aris. 

Si Meong kembali mendatangi line-ku, karena tugasnya sebagai technical adalah melakukan layout untuk model baru. Baru saja dia duduk mengajarkan proses pertama ─di bangku paling belakang ─dia sudah memanggil Kak Betty. Tak tahu apa yang dia bicarakan. Tiba-tiba saja, assisten-ku itu membawa aku ke line lain.

Seperti sebelumnya, di line lain pun aku tidak mendapatkan mesin. Tetap berdiri di meja helper. Hingga satu model selesai, Si Meong datang melakukan layout di line tempatku dibuang. Tak lama, assisten di line itu memindahkan aku ke line yang lain lagi. Di line lain juga begitu, ceritanya tetap sama seperti sebelumnya. Hingga suatu saat aku mendengar Si Meong berkata pada assisten tempatku berada dengan suara yang lantang. 

“Gua nggak mau ya anak itu!”

Kata-kata itu terdengar sangat jelas di telingaku. Mataku pun menyaksikan sendiri bagaimana ekspresi wajahnya. Aku baru tahu, rupanya itu yang membuat aku selalu diombang-ambing dari line satu ke line yang lain tanpa diijinkan mengoperasikan mesin. Sebuah kebencian yang sudah sampai ke ubun-ubun nampaknya, hingga ia tak sudi melihatku. Entah, kebencian itu berdasarkan apa. Karena aku melakukan kesalahan kerja? Melawan? Atau karena dua-duanya? Kalau saja ia tahu siapa yang melakukan kesalahan kerja pada waktu itu, pasti ia malu. Sengaja aku tidak melakukan protes demi melindungi Mpok Aming yang ketakutan. Dia berpesan, agar aku tidak menceritakan itu kepada Mbak Anis.

Minggu berganti bulan, hingga ke bulan-bulan berikutnya. Aku jadi terbiasa berdiri dalam waktu lama, bahkan jika lembur hingga pukul 10 malam ─setelah awalnya merasa tersiksa. Aku tak perlu lagi sebentar-sebentar harus jongkok karena kakiku terasa berat dan pegal di punggung. Hingga suatu ketika, Kak Betty mengajak aku kembali ke line asalku. Aku lalu dihadapkan pada Si Meong yang tengah duduk di bangku mesin kamput. Ia menunjukkan proses yang harus kukerjakan saat me-layout. Rupanya, aku diijinkan mengoperasikan mesin kembali.

”Dulu aja Si Tari dibuang-buang. Sekarang, apa-apa Tari, apa-apa Tari.” Bisik Kak Betty suatu hari pada Mbak Anis dengan nada kesal. Mbak Anis tak menanggapi.

Sejak itu, Si Meong jadi sering mencariku. Mungkin Si Meong baru tahu kalau aku mampu mengoperasikan berbagai mesin: jarum I, jarum II, kamput, obras, velcro, lubang kancing, pasang kancing, bartex dan snap. Sampai-sampai aku pernah mendapatkan tugas mengerjakan 3 proses dengan dikelilingi 3 mesin. Pun, aku jadi sering dipinjamkan ke line-line lain, jika ada operator sewing yang tidak masuk. Itu yang membuat Kak Betty (mandorku) jadi sewot karena setiap saat akan kehilangan anak buahnya dan harus mencari pengganti yang butuh waktu untuk memahami pekerjaanku.

Technical itu semakin lama semakin baik, bahkan sampai saat ia mengundurkan diri. Mungkin ia telah mendapatkan hidayah, hingga menjadikannya sangat royal melemparkan senyumnya untukku. Mencoba mengakrabiku dengan candaan-candaannya. Tapi aku tetap bersikap biasa-biasa saja. Tidak lantas menjadi bangga dengan perlakuan baik atasanku itu. 

Aku ya aku. Tidak suka berpura-pura ─baik di depan saja. Kalau aku tidak suka, ya tidak suka. Lukaku masih membekas. Untuk kejadian yang menimpaku, juga sikap dan kata-katanya yang masih saja menyakiti hati kawan-kawanku. Itu sebabnya selama aku menjadi buruh, aku tidak pernah ingin menjalin hubungan ‘mesra’ dengan atasan di tempat kerjaku. Karena aku sadar, suatu saat mereka pasti akan menjadi musuhku. Karena aku tahu, kebanyakan dari mereka selalu berpihak kepada pengusaha. Alasan yang paling sering digunakan adalah ‘urusan perut’. Katanya, mencari pekerjaan itu susah. Maka apa pun kemauan Si Tuan, pasti akan dilakukan meski harus menginjak yang bawah. Kalau perlu sikut kiri - sikut kanan agar Si Tuan senang, bisa terus ‘dipakai’ dan naik jabatan. Pengalaman mengajarkanku, rasa sakit itu akan menjadi luar biasa ketika sikap yang tidak menyenangkan itu datang dari orang-orang terdekat, membuat aku tidak sanggup melawan karena tidak ingin merusak hubungan perkawanan.

Menjadi berbeda ketika kawan-kawan seperjuangan-ku di Serikat Buruh FNPBI (Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia) saat menjadi atasan. Perlu diketahui, bahwa pemberian jabatan itu tidak selalu didasarkan pada prestasi. Ada juga yang berdasarkan 'upeti' kepiawaian mengambil hati atasannya dengan cara 'menyuap atau memberikan sogokan'. Yang terakhir, jabatan juga bisa diberikan dengan tendensi menghukum. Nah, alasan yang terakhir ini, jabatan yang didapat kawan-kawan FNPBI. Mereka mendapatkan itu karena terlalu vokal dan berani melawan atasan. Hukuman berupa jabatan itu diharapkan, agar tanggung jawab yang berat itu membuat mereka tidak betah lalu mengundurkan diri, sehingga perusahaan tidak perlu mengeluarkan pesangon.

Perbedaan itu terlihat dari cara yang mereka lakukan. Jika kebanyakan orang yang menjadi atasan mengikuti sistem yang sedang berjalan di Indonesia ─menindas dan menghisap ─mereka justru melawan arus. Hal itu terjadi karena di dalam organisasi, kami disadarkan melalui pendidikan-pendidikan organisasi dan politik. Kami menjadi tahu, bahwa antara buruh dan pengusaha tidak mungkin disatukan karena memiliki kepentingan yang berbeda. Kapitalisme selalu memanfaatkan dan menyengsarakan rakyat kecil.

Berat. Sangat berat tugas kawan-kawan FNPBI yang menjadi atasan di dalam pabrik. Karena mereka pasti mendapatkan tekanan dari atasannya dengan sebuah keharusan 'memenuhi target produksi setiap hari'. Sementara mereka tidak mau menekan bawahannya untuk mendapatkan target itu. Karena itu sama saja dengan melegitimasi penindasan.

Kapitalisme, dengan kata lain ‘sistem pemilik modal’ memiliki ciri-ciri: Eksploitasi (menjual), Akumulasi (menjumlahkan) dan Ekspansi (membuka cabang). Sistem ini juga memiliki sifat: mengeluarkan modal sekecil-kecilnya, untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Jika kita mengikuti arus Kapitalisme, sama saja kita membantu mensukseskan para kapitalis. Mengumpulkan tenaga dan keringat kawan-kawan kita hanya untuk kemakmuran segelintir orang para pemilik modal. Karena upah yang didapatkan kaum buruh, jauh lebih rendah (berlipat-lipat) dari keuntungan pengusaha ─penjualan hasil produksi. Hukum di negeri ini pun menjadi semacam ‘hukum rimba’ ─siapa yang kuat dialah yang menang ─siapa yang memiliki banyak modal dialah yang berkuasa. Lalu, apa dampak dari sistem itu dalam masyarakat? Seperti kata Pak Haji Oma Irama dalam lirik lagunya, ‘yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin’.   

Aku yakin, sebagian kawan-kawan buruh menyadari bahwa mereka tengah ditindas dan dihisap. Hanya mereka selalu ketakutan untuk melakukan perlawanan. Untuk itu, mari berorganisasi, agar kita tidak sendirian. Kita berjuang bersama-sama. Sekecil apa pun yang bisa kita lakukan untuk melawan kapitalisme beserta antek-anteknya, lakukan dari sekarang!


(Casablanca, 25 Agustus 2013)  


Photo Source: Google Images

Wednesday, August 7, 2013

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 2)


Hari ini adalah ulang tahun Mas Wi. Berbagai macam makanan dan minuman hasil traktiran mas Wi terhidang di meja ruang tamu. Tapi ada sesuatu yang membuat Zi menjadi galau hingga ia tak bisa menikmati pesta kecil di markas itu bersama kawan-kawannya. Ada yang berkecamuk di pikirannya. Dan malam ini, Zi harus segera pergi ke luar kota. Ia mendapatkan tugas baru, membangun organisasi perempuan di sana.

Zi masih merasa berat untuk melangkah. Sendiri di bangku taman, mengulas kesalahannya. Selamat ya mas, semoga cepat ketemu jodohnya. Zi mencoba mengingat dan mengulang kembali ucapan yang baru saja dikatakan kepada Mas Wi. Kenapa kamu katakan itu, Zi? Kenapa? Protesnya dalam hati. Harusnya tak kamu katakan itu. Dasar bodoh! Zi memang bodoh! Zi menarik nafas dalam-dalam, lalu dihempaskan sekuat tenaga.

Awalnya Zi sekedar ingin meramaikan suasana. Mengikuti kawan-kawannya meledek Mas Wi yang masih saja sendiri. Tanpa disadari bahwa dirinya pun masih menjomblo. Baginya itu sama saja menyakiti perasaannya sendiri yang jelas-jelas tak akan rela jika Mas Wi punya kekasih.
 
Zi sedikit lega setelah menyesali kesalahan dan memaki dirinya sendiri. Ia lalu menggendong ranselnya dan memalingkan sedikit wajahnya. Dari balik kaca riben terlihat jelas Mas Wi sedang bercengkrama dengan beberapa kawannya. Dalam hati ia berkata sebelum berlalu dan hilang ditelan kegelapan.

Aku tidak sekedar akan meninggalkan gerakan, markas, juga kota dan negeri ini, mas. Aku bahkan ingin meninggalkan alam fana, jika kau mengikatkan hidupmu dengan perempuan lain ...

*****

Cuaca hari ini cukup panas. Matahari terlalu kejam menyengat kulitnya. Debu-debu jalanan yang terbang di keramaian lalu lintas menusuki hidungnya. Zi menaiki jembatan penyeberangan, berhenti sebentar, berteduh. Melihat ke bawah, matanya mengikuti kendaraan yang melaju ke depan. Kembali ke belakang, lalu ke depan hingga laju kendaraan yang diikutinya tak terlihat lagi. Begitu seterusnya membuat bola matanya tak berhenti bergerak naik turun. Beberapa saat kemudian tatapannya kosong. Angannya melayang pada pertemuan yang baru saja dilakukan dengan beberapa buruh perempuan di sekretariat dekat kawasan pabrik tempat mereka bekerja. Diskusi tentang perempuan serta memberi pencerahan menjadi tugasnya dalam membangun organisasi perempuan di kota yang sedang dikunjunginya.

Zi merasa prihatin dengan nasib kaumnya. Sepertinya di mana-mana sama. Tak hanya di pusat kota, di daerah pun begitu. Bagi perempuan yang bekerja di pabrik seperti mereka, penindasan dan penghisapan tak hanya didapatkan di tempat kerja, melainkan juga di dalam rumah, tempat yang mereka tinggali bersama suami mereka. Sebuah hunian yang seharusnya bisa menjadi tempat istirahat untuk melepaskan penat dari segala rutinitas kerja.

Banyak di antara mereka yang bekerja sendiri untuk menghidupi suami dan anak-anaknya meski pekerjaan domestik masih menjadi tanggung jawabnya. Padahal seharusnya, ketika mereka berkomitmen untuk bertukar peran, maka pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab suami. Dan kalau pun sama-sama bekerja, seharusnya lah pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab bersama. Sistem Patriarkhi benar-benar sudah mengakar, menyatu dalam jiwa setiap orang, memola pikiran dan mewujud dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sistem yang menindas perempuan itu membuat setiap orang berpikir bahwa pekerjaan domestik atau rumah tangga hanya menjadi tanggung jawab perempuan. Lalu konsep kewibawaan yang salah pun terbangun, bahwa laki-laki yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga adalah laki-laki yang tak punya wibawa. Sementara jika perempuan hanya mengurusi rumah tangga saja, tidak dianggap bekerja. Tenaga yang digunakan sejak pagi hingga malam mengurusi rumah, anak-anak dan suaminya tidak dihargai. Dianggap tak memiliki nilai apa pun sehingga tidak layak memperhitungkan gajinya. Hal itu membuat perempuan yang sudah bekerja diluar rumah masih merasa bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan rumah mereka. Masih juga perempuan tak diberi hak untuk berpendapat di dalam rumah tangganya karena tidak turut menyumbangkan materi atau tak memiliki gaji dari pekerjaannya di luar rumah. Nilai istri menjadi lebih rendah dari seorang pelacur karena pelacur saja masih mendapatkan upah dari pelayanannya di atas ranjang. Kadang lelaki yang sudah memiliki kesadaran lebih maju pun dari pendidikan-pendidikan yang mereka dapatkan di organisasi, menikmati keadaan itu. Siapa sih yang tidak mau dilayani? Mungkin begitu pikiran lelaki sehingga perjuangan menuju kesetaraan atau sosisalisme hanya sebatas retorika saja. Perempuan yang sadar pun tidak juga serta merta merubah pola pikir pasangannya. Masih banyak lelaki egois yang selalu merasa menang setelah berada dalam masa perkawinan. Ketakutan perempuan ditinggalkan pasangannya yang menjadikan ia seorang janda, dijadikan senjata oleh para suami. Tentu saja bukan karena mereka tidak mampu menghidupi diri dan anak-anaknya, tetapi predikat janda masih dianggap hina dalam masyarakat sehingga patut dijadikan bahan tertawaan untuk dilecehkan. Perjuangan perempuan menjadi sangat berat ketika aktivis laki-laki tak turut membantu dan para perempuan mengamini atau mendukung keadaan itu.

Entah, apa alasan yang sebenarnya. Mereka mengatakan, bahwa keinginan mempertahankan perkawinan mereka semata-mata demi anak-anaknya. Tak satu pun dari mereka yang jujur mengatakan, bahwa kerelaan itu dilakukan atas dasar cinta. Di satu sisi memang benar karena perceraian membawa dampak yang buruk bagi psikilogi anak. Di sisi lain, hubungan yang tak sehat seharusnya tak perlu dilanjutkan, sebab itu sama saja dengan melanggengkan penindasan dan penghisapan terhadap kaum perempuan.

Pertengkaran yang sering terjadi di dalam rumah tangga pun bisa berdampak buruk pada tingkah laku anak, sebab anak adalah seorang peniru yang baik. Seperti pengalaman kawan-kawan perempuannya dulu yang memiliki trauma terhadap lelaki karena ayahnya yang kerap menganiaya ibunya, atau suaminya yang menganiaya dirinya. Lia yang berganti nama menjadi Igo. Atau Icem yang kini menjanda dan memiliki satu anak, mengganti namanya menjadi Kamal. Kini mereka tergolong sebagai kaum homoseksual. Kepercayaan dirinya yang cukup tinggi menjadikan mereka seolah memiliki ‘burung’ atau kejantanan. Hidup bersama dengan kaumnya sendiri layaknya suami istri.

Zi juga ingat Yeni, seorang ibu muda yang tadi mengikuti pertemuan. Yeni memiliki tiga orang anak. Yang paling kecil baru 8 bulan. Yeni terpaksa mencari tukang momong karena suaminya tak mau mengurusi. Padahal suaminya tidak bekerja. Yang dilakukan setiap hari hanya keluyuran, judi dan mabuk-mabukan. Kalau sedang tidak ada lembur, Yeni harus berhutang karena gajinya hanya cukup untuk bayar kontrakan dan gaji tukang momong. Karena seringkali keteteran dalam hal keuangan, maka ia pun mencari akal. Sambil bekerja di pabrik, Yeni berjualan nasi dan lauk di lokasi tempat kerjanya. Belakangan si Yeni mendengar kabar kalau suaminya punya selingkuhan. Duh!

Kalau Sri, berdua sama-sama bekerja. Hanya suaminya tak pernah peduli dengan kebutuhan rumah tangga mereka. Hanya memikirkan dirinya sendiri. “Kalau kasih uang seenaknya, alasannya punya hutang inilah itulah, padahal banyak tetangga yang bilang kalau suamiku sering traktir teman-temannya mabok kalau malam.” Begitu Sri bercerita. “Sudah begitu, kalau ketahuan nggak mau disalahin, malah semakin marah dan suka main tangan lagi,” lanjutnya.

Banyak sekali keluhan yang ia tampung, bahkan Mbak Wati yang berprofesi sebagai pengawas pabrik itu pun tidak sanggup kalau lembur hingga larut. Rata-rata Mbak Wati pulang pukul tujuh malam. Apalagi kalau jam sepuluh malam baru keluar dari pabrik. Sampai di rumah masih harus mencuci atau menggosok pakaian, juga bebenah. Belum lagi pagi-pagi harus bangun, belanja dan masak dulu sebelum berangkat kerja. Suaminya pernah selingkuh, alasannya karena tidak pernah ada masakan di rumahnya. Selalu beli di warung.

Ya, begitulah laki-laki. Selalu memiliki kecenderungan untuk mendua. Berbagai alasan disodorkan demi memenuhi hawa nafsunya tanpa memikirkan perasaan pasangannya. Namun untuk urusan yang satu ini, perempuan juga turut andil menindas kaumnya sendiri.

Zi juga kerap mendengar perempuan yang dijadikan kambing hitam dalam sebuah hubungan perkawinan jika tak segera melahirkan keturunan. Tanpa diagnosa dokter, seorang suami dengan mudahnya memberi stigma kepada istrinya sebagai perempuan mandul. Sang suami lantas meninggalkan atau menduakannya karena yang diinginkan kebanyakan lelaki adalah keturunan yang murni dari dirinya.

Berbeda dengan perempuan. Ketika menyadari suaminya seorang lelaki yang mandul, ia rela mengadopsi anak. Demi mempertahankan hubungan perkawinan, rasa keibuan, juga rasa cinta yang membuatnya tak mau kehilangan pasangannya. Mayoritas perempuan memang memiliki tingkat kesetiaan yang lebih tinggi dibanding pria. Tak ubahnya seperti keperawanan yang selalu menjadi tuntutan kaum lelaki kepada calon istrinya, sementara mereka tak mampu menghitung berapa kali, dengan siapa dan di mana saja mereka membuang air maninya. Sungguh, ini tidak adil!

Tak jarang perempuan juga kelewat baik. Beberapa kali di selingkuhi suaminya, masih saja bisa menerima dan memaafkan. Namun kebanyakan pria terlena dengan perhatian lebih yang mereka terima. Mereka lupa berkaca. Tak hanya dicemburui, perempuan juga butuh dirindukan, di eman atau dimanja sebagai perwujudan dari rasa cinta.

Mayoritas lelaki selalu menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah hingga bisa diperlakukan sesuka hatinya. Padahal perempuan juga bisa berlaku lebih kejam dari perkiraan mereka, jika kesabarannya sudah habis. Dengan komando satu orang perempuan saja, mampu menggerakkan ribuan buruh untuk melakukan aksi mogok kerja jika perusahaan melanggar peraturan undang-undang perburuhan yang merugikan mereka. Beberapa perempuan bahkan tega membunuh suaminya dengan cara mutilasi, tentu bukan tanpa alasan. Penindasan yang sudah merasuk ke dalam tulang sumsumnya, membuat perempuan mampu melakukan hal yang paling ekstrim sekali pun.

Tapi perempuan semacam itu hanya ada beberapa. Rata-rata mereka diam saja meski jelas-jelas mengalami kekerasan dalam rumah tangganya. Hanya bisa dihitung dengan jari yang mau melaporkan kejadian itu kepada Komnas Perempuan, atau paling tidak ke Pos Polisi terdekat. Alasannya tidak tega  melihat suaminya ditahan, dipenjara.

“Neng, sedekahnya, neng …”

Seorang bapak tua menyadarkan Zi dari lamunannya. Ternyata hari sudah sore. Setelah memberikan selembar uang ribuan, Zi berjalan melanjutkan langkahnya menuruni tangga penyeberangan.

Kembali tatapannya kosong, Zi melambatkan langkahnya melewati trotoar. Sesekali memandang ke depan, sesekali melihat ke bawah. Batinnya masih terus berceloteh, mengupas kisah kaumnya yang terasa mengiris hati.

Tiba-tiba Zi teringat tetangga kontrakannya dulu, sebelum Zi masuk organisasi dan tinggal di markas. Mbak Surti namanya. Suaminya gila seks. Tiap hari selalu minta dilayani dan harus dituruti. Kalau tidak, mbak Surti diseret keluar rumah, lalu dikunci dari dalam. Pernah sekali Zi mengajak Mbak Surti tidur ke kamarnya, namun ditolak. Mbak Surti lebih memilih untuk tetap bertahan di luar. Pukul empat dini hari, pintu baru dibuka. Mbak Surti masuk, beres-beres perabotan yang berantakan karena ulah suaminya. Kebiasaan suaminya kalau marah suka banting-banting barang. Kalau sudah beres, Mbak Surti belanja di warung dekat kontrakan lalu memasak. Setelah itu baru mandi kemudian pergi ke pabrik. Dan itu terjadi berulang-ulang. Suaminya tak pernah peduli Mbak Surti yang sudah kelelahan setelah bekerja seharian, bahkan kadang lembur hingga malam. Kalau Mbak Surti keluar kerja, suaminya marah-marah dan terus mengomel. Katanya, Mbak Surti itu seorang pemalas, tidak mau kerja. Tapi anehnya bila Zi mengecam suaminya, Mbak Surti tidak terima dan membela habis-habisan. Huuuuuffftt ... perempuan perempuan ...

Tak terasa tinggal beberapa langkah lagi Zi sudah sampai di markas. Sebuah rumah sederhana, tempat ia dan kawan-kawan seperjuangannya itu tinggal.


~ Bersambung ~


(Casablanca, 28 Juli 2013)

Theme Song: (Dea Mirela - Takkan Terganti) http://www.youtube.com/watch?v=PPPM7Xq2538

Photo Source: Google Images

 
Blogger Templates