Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Thursday, September 26, 2013

Cerpen: Jika Perempuan Pulang Malam


“Pak, saya nggak mau lagi …”

“Nggak mau apa?”

“Nggak mau lagi, kalau …”

“Kalau apa? Ngomong saja, nggak apa-apa.”

“Kalau …”

Pak Aris menunggu kelanjutan kalimatku, tapi rasanya aku tidak sanggup. Seperti ada yang menggantung di sekitar tenggorokanku, menahan beban entah berapa ratus gram. Lelaki muda itu adalah kepala personalia tempatku bekerja. Dari awal memasuki kantor, aku sudah ingin menangis, tapi kutahan. Mungkin itu yang membuat aku merasa kesulitan untuk berkata.

“Kalau …”

Pria yang terkenal sabar dan halus tutur katanya itu, masih menunggu. Memandangiku, tanpa berkata apa-apa. Aku berdiri. Sebentar melihatnya, lalu menunduk menatap meja …

“Kalau, pulang malam, lagiiiiiiiiiii …”

Akhirnya, tangisku meledak juga. Kakiku gemetar, tak sanggup lagi ditegakkan. Tubuhku lunglai, terserak di lantai. Suasana kantor yang tenang sore itu, menjadi gaduh.

“Ehh … kamu kenapa ...?” Panik, Pak Aris.

“Kenapa itu paaaakk …?” Mbak Vera, staf personalia, berteriak. “Kasih bangku, pak … kasih bangku … kasihan anak itu …”

Aku masih menggerung-gerung tak ingat malu. Pak Aris buru-buru mengambil kursi lipat, meletakkan di dekatku, lalu membantuku berdiri.

“Ya sudah … ditenangkan dulu. Diatur nafasnya, baru cerita.”

Belum selesai tanya jawab, dua anak sewing (penjahit) tiba-tiba masuk kantor dan menyela pembicaraan kami. Dengan genitnya, kedua perempuan itu berbicara sambil menggoda Pak Aris. Personalia yang masih lajang itu memang suka bercanda. Orangnya asik …

“Ya sudah, kamu kerja dulu saja, ya. Nanti, biar saya urus mobilnya.” 

Tahukah kalian … betapa susahnya menceritakan hal ini. Tapi selalu saja ada yang menggangguku setiap malam menjelang tidur. Suara-suara yang entah dari mana datangnya, bergaung di telingaku …

“Kamu harus ceritakan ini!”

“Ini adalah pengalaman yang mungkin akan bermanfaat bagi orang lain, terutama kaummu, agar mereka bisa mengantisipasi.”

“Kita tidak bisa belajar hanya dari pengalaman sendiri. Perlu juga belajar dari pengalaman orang lain, karena kita tidak punya banyak waktu untuk mengalaminya sendiri.”

“Dunia ini sangat luas, populasi manusia terus meningkat, maka persoalan yang muncul pun semakin banyak dan beragam bentuknya.” 

Berhari-hari aku sempat bingung. Harus memulai dari mana? Aku tidak ingin sekedar menulis. Aku selalu ingin bagaimana sebuah pesan itu bisa tersampai dengan baik. Bagaimana agar tulisanku enak dibaca, tidak membosankan. Tapi beberapa kali aku terpaksa harus berhenti. Menangis. Beruntung aku sedang sendirian, sehingga tak perlu malu melakukannya. Tidak perlu sembunyi, karena tak ada yang tahu dan tak akan ada yang bertanya. Kubiarkan cairan bening itu membanjiri seluruh mukaku.

Aku memang tak sempat mencatat persisnya kejadian itu, bahkan tahunnya saja aku lupa. Kalau tidak salah, 2010. Seperti biasa, jika banyak order pakaian yang berkancing, aku selalu kebagian tugas memasang kancing. Karena mesin kancing jumlahnya sedikit, itu juga beberapa sudah tua ─tidak bisa bekerja cepat ─sehingga target per hari tak mencukupi. Agar pekerjaan bisa selesai sesuai jadwal yang ditentukan, maka beberapa anak ditugaskan di shift 2 ─masuk jam 4 sore ─pulang jam 12 malam. Aku termasuk yang mendapatkan tugas itu dan bukan pertama kali. Dan perusahaan selalu bertanggung jawab mengantar kepulangan kami dengan menyewa beberapa mobil antar jemput karyawan KBN (Kawasan Berikat Nusantara). Mobil yang biasa mereka gunakan, Carry dan sejenisnya.   

Waktu itu, aku sempat tidak kebagian mobil yang disewa khusus untuk mengantar karyawan yang tempat tinggalnya jauh plus sampai di depan rumah. Mobil ini satu-satunya. Yang lain hanya mengantar sampai gang saja, itu pun beda-beda jurusan. Tentu harganya juga berbeda.

“Bang, tolong dong masuk sedikit aja, sampai ngelewati lapangan itu.” Pintaku pada si sopir.

“Emang kenapa?”

“Lapangan itu gelap. Sebelahnya masih semak-semak. Suka ada orang mabok lagi.”

“Ya … nggak bisa, neng. Sewanya kan cuma sampai depan gang doang.”

“Ih abang, tinggal aku ini, terakhir. Ntar kalau udah lewat lapangan, udah, aku turun. Biasanya mobil yang lain juga mau. Biar nggak nyampe depan rumah juga, nggak pa pa.”

Dari jalan raya menuju kontrakanku memang lumayan jauh, sekitar 200 meter. Tapi jalannya lebar, sehingga mobil putar arah pun tidak masalah. Jalan itu biasa dilewati bus PPD (Pengangkutan Penumpang Djakarta) dan memang milik Perum PPD. Pool-nya, di depan kontrakanku. Aku biasa numpang kalau kebetulan mobil itu lewat.

“Nggak bisa. Yang lain juga di depan gang, ya di depan gang. Udah, ntar dilihatin dah dari sini.”

Braaaaakkk! pintu aku banting, kesal sambil nyebrang. Beberapa saat aku menoleh, mobil itu masih ada. 

“Ngapain dilihatin! Ngapain ditungguin! Rumah gua masih jauh di ujung sana! Kalau gua kenapa-napa juga loe nggak bakalan tau!” Teriakku memecah sepi di pukul 01.00.

Besoknya, aku kembali mendapati mobil yang sebelumnya selalu mengantar aku sampai di depan rumah. Mungkin ada karyawan yang pekerjaannya sudah selesai, sehingga ia masuk pagi. Aku senang karena tidak perlu ketakutan lagi melewati lapangan itu. 

Mobil mulai berjalan, melintasi jalan raya, keluar masuk lorong menurunkan satu per satu penumpangnya. Bagi karyawan perempuan yang sudah berkeluarga atau memiliki sanak famili di Jakarta, pasti akan disambut laki-laki yang tengah menunggu kepulangannya. Suami atau saudara lelakinya. Biasanya yang rumahnya memasuki gang sempit, sehingga mobil tidak bisa masuk. Ada yang menemani dengan berjalan kaki, ada yang membonceng dengan motor atau sepeda. Khawatir terjadi apa-apa dengan anggota keluarganya.

Malam itu, menjadi malam yang berbeda dari yang sudah-sudah. Biasanya aku bukan orang yang terakhir diturunkan. Dan jalanan itu tak pernah kulewati sebelumnya. Benar-benar asing bagiku. Sempat kutanya penumpang terakhir sebelum aku, katanya, itu daerah Kelapa Gading, belakang Komplek Perumahan Bea Cukai.

Mobil mulai balik arah. Tinggal aku bersama seorang pengemudi mobil yang tampak masih muda. Usianya berkisar 30 tahun lebih. Perawakannya gemuk, tapi tidak sangat. Kulitnya hitam dan tinggi badannya sekitar 170 cm.  

“Kita jangan lewat yang tadi ya? Jalannya rusak parah.” Kata si sopir. 

“Ya udah, nggak pa pa.”

“Neng, bawa hand body nggak? Ada yang rusak nih, musti dibenerin.”

“Enggak, bang.”

“Hadooooohh! pusing nih pala gua kalau begini!”

Si sopir terlihat kesal sambil melepas topinya. Aku ngeri mendengar nada suaranya yang meninggi, emosi.

“Kalau cologne gel aku bawa. Bisa nggak? Mirip kok, kayak hand body.

“Panas nggak?”

“Ya enggaklah, kan itu wangi-wangian. Nih …”

“Ya udah, entar aja. Pegang dulu.”

Mobil terus berjalan melewati rumah-rumah penduduk. Ada pos Kamling dan beberapa orang penjaga, terus dilewati. Pintu-pintu sudah tertutup rapat. Tak ada seorang pun yang terlihat nongkrong di luar.

“Neng, tau nggak, dulu di daerah sini, ada anak KBN yang diperkosa.”

“Oh ya?”

“Iya. Beritanya aja masuk koran.”

Seperti mendengar cerita horor, aku bergidik. Rumah-rumah perkampungan sudah jauh kami tinggalkan. Mobil berhenti di sebuah tempat, entah apa itu. Gelap dan sepi. Tak ada satu pun lampu penerang jalan. Mesin mobil tetap dihidupkan. Dari sorot lampunya, terlihat bedeng-bedeng ada di samping kanan. Di bagian kiri, pepohonan yang rimbun berjajar selayak hutan. Di luar sorot lampu itu, yang kulihat hanya pekat. Tak ada setitik cahaya pun yang menandai adanya kehidupan di sekitar tempat itu. Seperti kota mati. Tak ada manusia atau kendaraan satu saja yang melintas.

“Mana neng yang tadi?”

“Nih …”

“Beneran nggak panas.”

“Bener.”

“Tunggu bentar ya? Benerin ini dulu nih. Ada yang nungguin nggak di rumah?”

“Ada, kakak.” Jawabku berbohong.

Aroma wangi langsung menyebar dari cologne gel itu. Aku tiba-tiba curiga setelah mendengar suara yang aneh. Lebih aneh lagi, si sopir tetap duduk  ─tak merubah posisinya. Tak seperti orang yang sedang membetulkan sesuatu pada mobilnya, seperti yang aku kira semula. Aku menggeser tempat dudukku, yang tadinya di belakang sopir, menepi kekiri mendekati pintu. Mulai antisipasi, jika si sopir melakukan hal-hal yang tidak aku inginkan, aku akan lari.

Astaghfirullah Hal Adziiiimm … benar saja, orang itu sedang masturbasi. Menjadi sangat ketakutan, aku ingin menangis. Jadi ingat keluargaku, mereka jauh di sana. “Ibu … bapak …” Aku memanggilnya dalam hati. Ada perasaan nelangsa menyadari kesendirianku. Aku merasa seperti berada di dunia lain, seperti bayanganku tentang kematian. Sendirian, gelap, sepi, di sebuah tempat yang tak pernah ada di bumi. Tapi, apa aku bisa lari? Aku tak bisa melihat apa-apa selain gelap. Kalaupun aku dibunuh, tentu tak akan ada yang tahu.

“Neng, duduk di depan sini, neng …” Si sopir menepuk bangku di sebelahnya.

“Enggak ah, di sini aja.” Aku mencoba menjawab setenang mungkin. Pura-pura bodoh, tak tahu apa yang sedang dilakukannya. Jantungku berdegup semakin kencang.

“Nggak pa pa, duduk di depan sini.”

“Enggak.”

“Sini … nggak pa pa … ayo sini …”

Sopir itu mengarahkan tangannya ke belakang, mencoba menggapai lenganku. Aku menghindar, merapatkan seluruh anggota badanku hingga ke tempat yang paling sudut. Tapi ia terus berusaha meraih tanganku, memaksa. Wajahnya terlihat tegang dan ...

“Nggak mauuuuuuu … Aku mau jalan! Aku mau jalan! Pokoknya aku mau jalaaaaaaaaannn …”

"Iya iya iya iya." 

Teriakkanku membuatnya panik. Spontan ia tancap gas, mengantarku pulang.

“Ketakutan amat sih, kayak ngelihat setan aja.”

Ia ngedumel, aku tak menjawab. Sibuk berdo’a, semoga tak berkelanjutan. Tapi aku masih mengantisipasi. Jika ia membelokkan ke jalan lain yang bukan tujuanku, aku akan melompat dari mobil, meski resikonya aku akan mati. Menjijikkan!

Pukul 02.00, aku baru tiba. Tangisku meraung bersama lolong anjing malam itu, hingga pagi, hingga aku lelah dan tertidur.

Sejak itu, setiap pulang aku selalu diantar sopir kantor sampai depan rumah, karena aku akan mogok kerja sore jika harus ikut mobil sewa lagi. Lalu, masihkah rok atau pakaian wanita yang disalahkan? Perlu kalian tahu, aku selalu mengenakan celana jeans plus T-shirt setiap bekerja. Masih lagi dirangkap dengan seragam kerja. Jelas, otak lelaki saja yang kotor, sehingga timbul niat jahat saat melihat perempuan dalam keadaan sendiri. Dan niat jahat itu muncul, karena masih banyaknya lelaki yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Hingga tidak menutup kemungkinan, jika perempuan itu mengenakan pakaian tertutup dari kepala hingga kaki. Tak ubahnya pakaian yang digunakan perempuan-perempuan Arab yang hanya menyisakan matanya.

Kejadian itu tidak mudah dilupakan. Tiga hari berturut-turut setelahnya, aku masih terus saja teringat. Seperti berada kembali di suatu tempat di mana selalu ada tiga pemandangan yang tak pernah terpisah: Hutan, bedeng-bedeng, gelap. Dan ternyata, bahkan hingga kini pun, saat aku menuliskan kisah itu …


(Casablanca, 25 September 2013)

Photo Source: Google Images



Sunday, September 15, 2013

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 3)


Seperti biasa, Zi paling tidak betah melihat gelas atau piring kotor menumpuk di kitchen sink. Ia berniat mencucinya. Baru saja menuangkan sabun cair, tiba-tiba ada yang mendekapnya dari belakang. Otaknya mengidentifikasi dari gesekan tubuhnya, si pendekap seorang lelaki bertubuh besar. Tenggorokannya mendadak kering, ia tak mampu berteriak. Zi ingin sekali melihat, siapa yang sudah kurang ajar memeluknya secara paksa. Namun dari sisi kiri wajahnya terdorong oleh dagu si pendekap hingga lehernya terasa kaku. Kakinya ingin menendang, tetapi sudah terkunci oleh kedua kaki yang perkasa itu. Zi tetap meronta, berusaha melepaskan kedua tangannya. Darahnya mendidih, naik ke ubun-ubun, memenuhi isi kepalanya. Rasanya ia ingin menampar sekeras-kerasnya. Namun seketika emosinya luruh saat dirasakan ada cairan hangat yang menetes di pelipis kirinya. Diikuti gerakan perut yang menempel di punggungnya, mengembang dan mengempis dengan sangat cepat. Seperti orang yang terisak. Perlahan, dekapan sosok yang misterius itu merenggang. Zi bergerak cepat memutar kepalanya. Ternyata orang itu Mas Wi. Zi segera menghambur ke dalam pelukan pria yang sangat dicintainya, larut dalam kedukaan pemuda itu. Mereka menangis bersama.

"Ma-afkan … aku, Zi ..." Terbata-bata Mas Wi berkata, menahan tangisnya agar tak meledak. Sambil berusaha menata emosinya, perlahan Mas Wi melanjutkan, tetapi Zi buru-buru memotongnya. 

"Enggaaaaakkk ... aku nggak mau dengar ituuuuuu ... nggak mauuuuuu ... Mas Wi itu Mas Wi ku! Cuma Mas Wi ku! Cuma Mas Wi kuuuuu huhuhuuuuu ..."

Kali ini Zi mampu mengeluarkan suara sekencang-kencangnya. Berteriak dan terus berteriak tak memberi kesempatan Mas Wi bicara. Tangisnya pecah. Suaranya menggelegar menembus atap rumah hingga ke ujung langit.

"Zi, bangun Zi. Sudah siang. Katanya hari ini kamu mau balik ke markas pusat. Jam berapa keretamu berangkat?"

Suara Neni menyadarkannya. Yang baru dialami hanya mimpi. Pandangannya masih kabur saat menatap angka pada arloji yang tak pernah lepas dari tangannya. Zi membersihkan tai di matanya. Diusap dan diusap lagi, memaksakan pandanganya yang kabur menjadi terang.

Cepat ia melompat dari tempat tidurnya, bergegas menuju wastafel. Hanya gosok gigi, cuci muka, lalu ganti baju. Zi segera meluncur ke stasiun setelah menyambar ransel yang sudah disiapkan semalam.

Satu jam lagi keretanya berangkat. Beberapa kali Zi harus berganti angkutan karena ngetem. Memang menyebalkan kalau naik angkutan yang tiba-tiba jadi sepi penumpang. Sopir tak mau rugi sehingga harus berhenti lama untuk memenuhi kembali mobil angkutannya. Sopir juga tak mau tahu, Zi terburu-buru dikejar waktu. Bahkan seringkali sopir tak peduli dengan keselamatan para penumpangnya. Kebut-kebutan, saling mendahului diantara rekannya sendiri demi mengejar setoran hari itu. Uang menjadi lebih berharga dibandingkan nyawa manusia. Shit! Inilah potret negara kapitalis. Negeri para bedebah! 

Zi akhirnya sampai ke stasiun yang dituju. Baru saja memasuki halamannya, ia disambut oleh seorang tukang ojeg.

"Baruuu saja, neng. Mau diantar? Saya yakin bisa terkejar di stasiun selanjutnya."

Seorang tukang ojeg menawarkan jasa. Zi langsung setuju dengan harga yang diminta. Baginya tidak ada lagi waktu untuk bernegosiasi atau berpikir bahwa ongkos itu kemahalan. Yang penting uangnya cukup untuk membayar tukang ojeg itu.

Kendaraan roda dua melaju kencang. Meliuk-liuk mencari sela, melewati beberapa kendaraan yang lainnya. Zi berharap-harap cemas. Namun sejak tadi, senyum Mas Wi tak lepas mengikuti. Mengganggu konsentrasinya. Dari angkutan satu ke angkutan yang lain, hingga saat ia berada di atas motor si tukang ojeg. Zi menggeleng-gelengkan kepalanya memejamkan mata. Batinnya menyempatkan bicara. Memohon. Mas Wi, Pleaseeee ... Jangan ganggu aku. Aku sedang paniiiiik ... Ia berharap senyum Mas Wi segera enyah. Tak lagi membayanginya.

"Ayo buruan! Lima menit lagi berangkat!" Teriak penjaga stasiun.

Kereta mulai berjalan pelan, Zi berlari-lari mengejar. Sebentar saja, ia sudah masuk ke lambungnya.
      
Lega rasanya, karena usaha yang ia lakukan tak sia-sia. Perlahan, kendaraan berlokomotif itu meninggalkan stasiun, gedung-gedung tinggi dan jalanan kota. Berganti dengan persawahan, pepohonan, serta sungai-sungai yang bening. Alam pedesaan mendinginkan matanya, menentramkan jiwanya dengan warna hijau yang mendominasi. Di ujung pantai terlihat matahari bersiap membenamkan diri. Tampak pemandangan langit yang begitu indah, lukisan alam yang menakjubkan dengan perpaduan warna yang sangat memikat.
      
Sementara malam mulai datang, kereta berhenti menunggu kereta eksekutif yang akan lewat. Gerah mulai terasa karena kereta ekonomi hanya mendapatkan angin saat sedang berjalan. Seorang anak balita menangis di seberang ―samping tempat duduknya. Si Ibu sudah berusaha memberi angin dengan mengipas-ngipas, tapi anak itu masih terus menangis. Bahkan tangisnya semangkin keras terdengar. Zi yang sudah mulai dihinggapi rasa kantuk tak berhasil memejamkan matanya.
      
Gadis bermata sipit itu merasa prihatin. Atmanya turut menangis. Ia tahu, jika si orang tua mampu membeli tiket selain ekonomi, pasti anaknya tak akan tersiksa karena kegerahan. Paling tidak kelas bisnis. Meski tanpa AC, gerah tidak terasa, karena tidak sesering dan se-lama kereta ekonomi saat berhenti.
      
“Dik … kenapa sih, dik?” Zi mendekat. 
      
“Iya neng, ini kepanasan. Mana keretanya nggak jalan-jalan lagi.” Jawab si ibu.
      
“Ditete’in saja sih bu.”
      
“Sudah, neng. Tapi nggak mau. Malah ngamuk. Ini sih biang keringat. Bikin badannya jadi gatal-gatal.”
      
“Oh, panteees ...” Zi tersenyum, lalu kembali ke tempat duduknya.
      
Perempuan berkulit putih itu membuang nafasnya. Ada kegelisahan di dalam batinnya. Ya, itulah … lagi-lagi uang yang mengkotak-kontakkan manusia. Seperti saat ini. Jika ingin mendapatkan fasilitas dan pelayanan transportasi ―nyaman atau tidaknya dalam melakukan perjalanan jauh ―lagi-lagi uang yang bicara.
      
Menjadi sangat berbeda bagi yang mampu membeli tiket kereta api kelas eksekutif. Punggung tidak terasa pegal karena bangkunya bisa di setting untuk rebahan. Jaraknya pun tak terlalu dekat antara bangku yang satu dengan yang lainnya. Ada meja yang tersembunyi di gagang kursi, bisa digunakan saat makan dan dilipat kembali saat tak dibutuhkan. Tak perlu kepanasan atau kegerahan, karena ada AC. Suasananya tenang, karena tak ada satu pun pedagang yang masuk gerbong. Bahkan bangku seringkali banyak yang kosong. Kereta jalan terus, hanya berhenti di stasiun besar saja. WC selalu cukup air. Toilet bersih, aromanya harum, airnya pun bersih. Ada ruang khusus merokok, sehingga tidak mengganggu penumpang yang lain, termasuk anak-anak. Bantal, selimut, makan siang atau malam, kopi susu hangat di pagi hari, selalu tersedia. Hanya satu saja yang kurang atau bahkan terasa hilang. Kebersamaan. Penumpang kereta api kelas eksekutif cenderung bersifat individualis. Benar-benar menjadi individu yang terpisah satu sama lain. Terlihat dengan tidak adanya komunikasi meski mereka duduk bersebelahan.
      
Kereta sudah mulai berjalan. Sebentar saja suasana di dalam gerbong sudah berubah. Ada angin yang masuk melalui jendela. Semakin malam semakin dingin. Zi mulai mengenakan mantelnya.
      
Tangis si anak balita sudah tak terdengar lagi. Terlihat di kolong bangku, tertidur pulas bersama ibunya. Tapi rasa kantuk Zi tak lagi menyerang. Zi memandangi gelap di luar jendela. Ia jadi teringat pertanyaannya beberapa tahun yang lalu, setiap melihat tetangga di sekitar tempat kost-nya yang rata-rata kurang beruntung. Dengan pakaian lusuh sehabis mandi, berlomba menyuapi anaknya setiap sore sambil menggosip. Kebanyakan ibu-ibu di sana kulitnya legam, terbakar matahari. Dari pagi hingga sore, mereka mengais limbah pabrik besi yang dibuang ke lapangan depan. Mencari sisa-sisa besi yang menyatu dengan tanah, lalu dijual pada bang Afis ―pengusaha besi tua.
      
Apa sebenarnya makna dari sebuah pernikahan bagi mereka? Hanya sekedar tidur di ranjangkah? Lalu melahirkan anak agar memiliki generasi? Generasi macam apa?
      
Angannya terus mengembara. Seperti menembus ruang dan waktu, menemui sesosok lelaki mantan kekasihnya yang pergi meninggalkannya ―menikah dengan perempuan lain. Peristiwa itu memang sempat membuat sendi-sendi tulangnya terasa copot. Zi juga sempat meledakkan tangisnya di kamar, dibarengi suara musik yang diputarnya keras-keras. Tapi sedikit pun itu tak membuatnya menyesal. Meski pun Zi menyayangi kekasihnya, namun ia belum siap memilikinya. Zi belum menemukan arti dari pernikahan itu selain hanya tidur di ranjang dan melahirkan generasi yang tak sehat. Zi memiliki cita-cita, ingin menjadi perempuan yang mandiri secara financial. Tidak ingin bergantung kepada orang lain, meski dengan suaminya kelak. Saat itu, ia merasa belum memiliki kemampuan itu. Hutangnya bertumpuk, sibuk mengurusi adik-adiknya di kampung yang masih sekolah. Sebab pendidikan di negeri ini sudah diperdagangkan, maka siapa yang mampu saja yang bisa sekolah. Kecuali berani berhutang seperti dirinya, sehingga adik-adiknya bisa terus melanjutkan sekolah. Mantan kekasihnya pun tak jauh beda, hidupnya kembang kempis dari upah kerjanya. Gaji mereka setali tiga uang, keduanya sama-sama bekerja sebagai penjaga counter di salah satu mall di Jakarta.  
      
Kereta kembali berhenti. Lagi-lagi menunggu kereta eksekutif yang akan lewat. Beruntung tidak lama, karena kereta yang ditunggu segera melintas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Zi melihat sekeliling, semua penumpang sudah tertidur pulas. Sepi. Tak terdengar lagi obrolan mereka. Hanya pedagang yang lalu lalang menjajakan barang dagangannya.
      
“Es jeruk, es teh manis, yang dingin yang dingin. Es-nya, neng?” Zi menggelengkan kepala.
      
“Nasinya nasiiiii … nasi goreng, nasi rames, nasi pecel. Yang mau makan, nasinya nasiiiii ... Makan, mbak?” Zi menolak melalui isyarat tangannya.
       
“Yang anget yang anget ... mie instan, kopi susu, kopi jahe, kopi hitam ... ”
      
“Baaang … kopiii ...”
      
Zi memanggil pedagang kopi yang sudah melewati tempat duduknya. Yang dipanggil berbalik, mendekat.
      
“Yang mana, neng?”
      
“Yang ini aja, bang.” Zi menunjuk kopi kesukaannya.
      
Segelas minuman hangat itu dibawanya ke sambungan kereta. Tak ada seorang pun di sana. Zi duduk persis di samping pintu setelah memungut lembaran koran ―bekas dipakai alas tempat duduk. Zi mengeluarkan sebatang rokok, membakarnya. Dihisap perlahan, lalu di hempaskan dengan penuh perasaan. Asap putih segera terbang membawa angannya kembali berkelana. 

~ Bersambung ~


(Casablanca, 12 September 2013)

Theme Song: (Ipang - Tak'kan Ada Gantinya) http://www.youtube.com/watch?v=jvmIUBD7w50

Photo Source: Google Images

Wednesday, September 4, 2013

Cerbung: Cerita Anak - Anak Jalanan (Part 3)


Sejak tadi malam, Jakarta diguyur hujan. Menyisakan gerimis di Subuh hari, dan perlahan mereda. Hingga pukul tujuh pagi, matahari tak juga nampak. Meski begitu, Tari tetap akan melakukan aktivitasnya. Bersiap-siap ngamen, dengan harmonika mini pemberian sahabatnya. Tapi tiba-tiba hujan kembali turun dengan sangat lebatnya. Disertai angin dan guntur, menggelegar selayak dentuman meriam, juga kilatan api yang membuatnya mengurungkan niat. Beberapa ruas jalan mulai tergenang air.


Berteduh di emperan kios penjual koran dan majalah, Tari berharap hujan segera berhenti. Atau paling tidak, tak ada lagi petir dan suara gemuruh yang menakutkannya. Spontan ia mendongak. Matanya mencari-cari sesuatu. Ada yang membuat topinya basah menembus rambut, dan dingin menyentuh kulit kepalanya. Tari merangsek, menghindari bocor di atap luar.


Suasana di dalam, sepi. Hanya ada satu orang ―penjaga kios ―sedang sibuk mengikat beberapa harian surat kabar. “Ah, jadi ingat Dian. Di sini, Dian biasa mampir membaca koran gratis.” Mengamati seluruh isi ruangan, bola matanya berhenti pada hamparan koran dan majalah yang terpajang. “Koran! Majalah! Huuuuffftt …” Teringat lagi pesan Dian yang memintanya untuk banyak membaca. Satu hal yang membuatnya iri. Kenapa ia tak bisa seperti Dian yang suka sekali melahap buku-buku bacaaan, sehingga Dian lebih banyak tahu ketimbang dirinya. Tapi ia juga tak habis pikir. Dian rela menabung hanya untuk membelanjakan uangnya dengan membeli buku dan buku. Meski Dian bisa membaca buku gratis di lapak Bang Bayu, tapi kalau ada buku di luar yang ingin dibacanya, ia terpaksa harus membeli. Dan buku-buku itu, dititipkan pada Bang Bayu.


Iseng, Tari membaca judul di setiap koran dan majalah yang berjajar rapi. Memang begitu kebiasaannya. Hanya membaca judulnya saja yang tertulis besar-besar. Kalau ada yang benar-benar menarik perhatiannya, baru dilihat isinya. Itupun kalau terlalu panjang, pasti tak habis terbaca. Kemampuannya untuk berkonsentrasi membaca sangat terbatas. Tak bisa bertahan lama.


Pernah suatu hari, Dian membawakan buku untuknya. Dengan alasan tak bisa membaca di keramaian, Dian mencarikan lokasi di komplek perumahan yang sepi. Baru tiga puluh menit berlalu, Tari sudah mengeluh.


“Yan, udah ya ... besok aja dilanjut lagi ...”


“Ini kan udah sepi, Ri. Tempat yang tenang buat membaca.”


“Capeeeekkk. Nih, lihat ...” Tari menunjukkan isi bukunya. “Tiga alenia ini yang terakhir aku baca. Tapi baru sadar, ternyata cuma mataku aja yang ngeja tulisannya. Nggak ada pikiranku. Jadi aku nggak tau maksudnya apaaa …” Rengeknya manja.


“Emang pikiranmu di mana, Tariiiii …” Dian menahan kesal.


“Jalan-jalan.”


Seperti tak punya dosa, Tari melemparkan senyumnya. Kali ini matanya yang menatap manja, berharap Dian tak marah.


Kalau saja Dian tahu, sebenarnya Tari juga kesal dengan dirinya sendiri untuk urusan baca membaca. Pikirannya suka loncat-loncatan. Beberapa kali ia harus mengulang satu kalimat saja, hanya karena ia tak tahu apa yang sedang dibacanya. Merasa kesulitan mengembalikan konsentrasinya yang sedang tak di situ. Telinganya lebih peka dari pada matanya. Tari lebih mudah menangkap sesuatu dari apa yang ia dengar. Tari lebih suka diceritai. Sekali ia pernah menyelesaikan satu buku bacaan, senangnya luar biasa. 
“Hah? Ini kan Dian!”


Terkejut dengan mulut menganga dan mata membesar, menyaksikan gambar yang terpampang di sebuah harian Ibukota.


“Ratusan Pendukung PRD Kepung Gedung MK”


Begitu judul yang tertulis di atas gambar. Jantungnya berdetak kencang. Ia yakin benar, bahwa yang tertangkap kamera foto wartawan itu, Dian. Tari masih mengenalinya, meski di atas kepala Dian terikat sebuah kain merah bertuliskan GERAKAN NASIONAL PASAL 33 UUD ‘45.


Tangannya gemetar mencari uang yang terselip di kantong celananya. Segera membayar koran, berlari menerobos hujan, dan buru-buru mencari tempat yang tenang untuk membaca.


***


Beberapa kali Tari kesasar ketika mencari alamat yang ingin dituju. Karena informasi yang kurang akurat, membuatnya kemalaman sampai tujuan. Sudah pukul sembilan malam saat ditemukannya sebuah rumah berlantai tiga, di komplek perumahan elit Jakarta Selatan.  


“Sudah benar kan, ini rumahnya?” Mencocokkan kembali alamat yang tertera pada surat kabar, yang selalu dibawa-bawa. “Ini kan sudah Tebet Dalam. Kalau sebelumnya gang 3A, nah, ini gang 2G. Dan nomornya sama, satu.”


Tari masih ragu. Matanya lantas menyapu halaman depan rumah itu. “Ada dua bendera. Yang satu bendera merah putih, yang satu lagi bendera apa tau!” Dilihatnya lagi foto dalam koran itu. “Ah, di sini gambar benderanya nggak jelas.”


Tapi tiba-tiba matanya membaca tulisan yang menempel di tembok, dekat pintu pagar. “Komite Pimpinan Pusat - Partai Rakyat Demokratik. Hah! Ya! Kalau tulisan itu ada di sini. PRD, kepanjangannya Partai Rakyat Demokratik. Yes! Udah ketemu! Tapi kok sepi ya? Pintunya tertutup dan nggak ada satu orang pun yang keluar. Oh ya, kan udah malam. Ya udah, besok aja deh. Kalau ada yang keluar dari rumah itu, ntar aku tanyain, kenal nggak sama Dian yang kemarin ikut demo? Terus, aku tunjukin deh fotonya di koran ini. Siiip!”


Tak ingin kembali ke terminal, Tari berniat begadang sampai pagi. Sampai besok menemukan orang-orang yang ada di rumah itu. Sambil berjalan-jalan mencari tempat untuk melakukan niatnya, ia menemukan sebuah lapangan olahraga. Hanya beberapa langkah saja dari rumah yang ia cari. Bahkan masih bisa terlihat saat ia sudah berada di sana.


Ada beberapa bangku yang terbuat dari bangunan semen, Tari menduduki salah satunya. Sesekali tiduran, sesekali berdiri. Jalan modar mandir, bosan menunggu pagi. Baru juga setengah jam. Tapi benar, menunggu itu melelahkan. Bahkan melebihi lelahnya bekerja. Itu saja masih jelas waktunya, sampai besok pagi. Tinggal menghitung saja berapa waktu yang dibutuhkan untuk menunggu. Bagaimana kalau tanpa batas waktu? ...


Tari kembali merebahkan diri. Menghilangkan jenuh, ia ingin memainkan harmonikanya. “Hmm, Jadi ingat Dian lagi.” Harmonika itu adalah hadiah ulang tahunnya.


“Apa ini, Yan?”


“Kado untukmu. Selamat ulang tahun, ya …”


Dian melepas sebentar topi gadis kecil itu, mengacak sedikit rambutnya, lalu mengenakannya kembali. Senyum Tari mengembang, tapi lantas menghilang. Wajahnya berubah. Menunduk, sedih.


“Maafin aku, Yan. Ulang tahunmu kan udah lewat, tapi aku nggak kasih kamu kado.”


“Aku nggak butuh kado berupa barang. Kalau kamu mau kasih aku kado, cukup ikuti pesanku.”


“Apa itu?”


“Banyak membaca. Baca dan baca.”


Senyum Tari mengembang lagi, tapi kali ini senyumnya malu-malu. Hingga tersadar, bahwa ia sedang senyum-senyum sendiri di bangku lapangan itu.


Alunan lagu “Ku Lihat Ibu Pertiwi” mulai terdengar. Lagu itu mengingatkan saat mereka bersama …


Suasana komplek yang sepi, membuat suara harmonika itu terdengar jelas sekali. Menggema, hingga ke kantor KPP- PRD. 

Dian menaiki tangga, menemui Kak Rudi dan Kak Ulfa yang masih sibuk dengan pekerjaannya di Berdikari Online.


“Kak Rudi, Kak Ulfa, maaf ganggu.”


“Ada apa, Dian?” Tanya Kak Ulfa.


“Kakak dengar suara harmonika itu nggak?”


Sebentar, Kak Rudi dan Kak Ulfa menghentikan aktivitasnya. Berkonsentrasi, memasang indra pendengaran mereka.


“Ya, dengar.” Jawab Kak Ulfa. Kak Rudi hanya tersenyum, mengangguk.


“Kenapa, Dian?” Tanya Kak Rudi.


“Enggak. Mau tanya aja. Kakak tahu nggak, siapa yang biasa main harmonika malam-malam begini?”


“Tidak tahu. Karena sebelum ini, kami tidak pernah mendengar.” Suara Kak Ulfa lembut,  menjawab.   


“Kak, bisa minta tolong nggak?”


“Apa tuh?” Kak Ulfa balik bertanya.


“Bisa anterin aku keluar? Aku mau lihat, siapa yang main harmonika itu. Tapi aku takut sendirian.”


“Memangnya kenapa, Dian? Kok sepertinya kamu gelisah mendengar bunyi harmonika itu?”


“Aku ingat sahabat aku, kak. Dia suka main alat musik itu. Dan lagu itu, lagu yang paling sering kami nyanyikan.”


“Lagu Ku Lihat Ibu Pertiwi?”


Dian hanya menjawab dengan anggukan. Kak Ulfa memandang Kak Rudi yang terlihat sedang asik mengetik. Tapi Kak Ulfa yakin, Kak Rudi mendengar pembicaraannya dengan Dian, sehingga Kak Ulfa cukup memberi kode saja pada Kak Rudi.


Sepasang kekasih yang selalu kompak berdua kemana-mana itu, akhirnya sepakat mengantarkan Dian. Baru saja keluar dari pintu, Kak Ucha tiba-tiba datang menyusul dan memberi informasi. Rupanya dari tadi, Kak Ucha mengikuti perbincangan mereka.


“Ada di lapangan bunyinya loh.”


“Dari mana kau tahu, Cha?” Tanya Kak Ulfa.


“Dari lantai dua. Cuma ndak jelas orangnya.”


Mereka akhirnya bersama-sama menuju lapangan olahraga yang tak jauh dari kantor mereka.


“Tari. Kamukah itu?” Tanya Dian dari kejauhan. Dalam remang-remang terlihat, seperti gadis kecil dan kurus yang ia kenal dulu.  


Tari menghentikan permainan alat musiknya ketika mendengar ada yang memanggil namanya. Ia lalu bangkit mencari sumber suara.


“Tari.”


“Dian?”


“Ya. Kamu Tari kan?”


“Iya.”


Dian berlari mendekati gadis kecil itu.  


“Tariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii …”


“Diaaaaaaaannn …”


Jari-jari mereka saling berpagut, mereka berlompat-lompatan. Kak Rudi, Kak Ulfa dan Kak Ucha tertawa geli menyaksikan pertemuan kedua bocah yang bersahabat itu. Mereka tampak lucu. Terlihat, betapa sepasang anak jalanan itu saling merindukan.


“Ya sudah, bagaimana kalau ngobrolnya di dalam saja. Soalnya, kakak masih ada kerjaan.” Kak Rudi menawarkan usulan.


Semua sepakat. Kak Rudi, Kak Ulfa dan Kak Ucha naik ke lantai dua melanjutkan pekerjaan mereka. Tinggal Dian dan Tari di ruang tamu.


“Kok kamu bisa tinggal di sini, Yan? Gimana ceritanya?”


“Aku ketemu kakak bertiga itu tadi di lapak Bang Bayu. Mereka itu pecinta buku, pemburu buku dan kutu buku.”


“Ghaghaghaggg … julukannya lucuuu …”


“Iya … Gkgkgkgkkk …” Dian mengimbangi tawa Tari. “Tapi justru itu yang membuat kakak-kakak itu menjadi pintar, karena punya banyak pengetahuan. Jadi, kamu juga harus bisa seperti itu, Ri … Aku juga.”


“Emm … trus trus, abis ketemu ngapain?”


“Mereka ngobrol sama Bang Bayu. Lalu nanya-nanya aku. Terus, aku diajak kesini dan disekolahin.”


“Emang, kamu sekolah, Yan?”


“Iya. Di sekolahin sama partai.”


“Hem … pantes kamu jadi sombong, nggak mau nemuin aku.” Bibir Tari merengut.


“Siapa bilang? Aku pernah ke sana waktu liburan. Tapi aku nggak lihat kamu. Aku cari teman-teman kita, nggak ada. Aku tanya yang lain, jawabnya nggak tau. Aku kira ... kamu udah kembali ke rumah kamu lagi. Atau ada orang yang memungutmu menjadi anaknya.” Wajah Dian muram, mengingat kekecewaannya waktu itu.


“Oh ya?”


“He-em. Trus, dari mana kamu tahu kalau aku ada di sini?”


“Dari ini.” Tari menunjukkan korannya. “Tapi aku nggak nyangka kalau kamu ada di sini, Yan. Aku ke sini itu cuma mau tanya orang-orang di rumah ini, kenal kamu apa enggak.”


Dian mengangguk-angguk, memahami apa yang dimaksud sahabatnya itu.


“Oh ya, kamu udah tahu belum, Yan, siapa pencipta lagu Ku Lihat Ibu Pertiwi?”


“NN, atau No Name. Maksudnya, tidak diketahui siapa orangnya.”


“Ada, kok. Lagu itu asalnya dari hymne Kristen. Judulnya, What a Friend We Have in Jesus. Awalnya berupa puisi yang ditulis oleh penyair asal Irlandia pada tahun 1855. Namanya, Joseph M Scriven. Puisinya lalu dijadikan lirik lagu himne Kristen oleh Charles Crozat Converse, komponis asal Amerika Serikat pada tahun 1868.”


“Tahu dari mana kamu, Ri?”


“Dari buku.”


Waow! Hebat! Tari udah mau baca buku!”


Enggak juga.”


“Lho. Maksudnya?”


Kebetulan aja pengen baca. Kalau nggak pengen, ya enggak.”


“Iiiiihh … kamu ya, masih bandel kalau disuruh baca. Sini, mana kupingnya, biar aku jewerrr.”


Cepat Tari menutup telinganya, tapi Dian berusaha melepaskan kedua tangannya. Suasana menjadi gaduh, karena suara dan tawa mereka menggema hingga ke sudut-sudut ruangan.


“Tari ...”


Suara Kak Ulfa terdengar dari lantai dua. Seketika hening …


“Hayooo … Kak Ulfa marah. Kamu sih, berisik. Pakai teriak-teriak lagi.” Kata Dian pelan.


“Ya kamulah. Kan kamu yang mulai, pakai jewer-jewer kupingku.” Bisik Tari tak mau kalah.


“Tari, kamu tinggal di sini saja, Tar.”


Suara Kak Ulfa terdengar lagi. Dian dan Tari saling menatap, heran.


“Iya, Tar. Nanti kamu bisa sekolah sama Dian.” Kak Rudi ikut bersuara.


Sepasang anak jalanan itu reflek mendongakkan kepalanya. Ternyata Kak Ulfa, Kak Rudi dan Kak Ucha sedang berdiri di lantai atas mengamati mereka.


“Sekolah?”


“Iya, Tar. Kamu bisa sekolah lagi.” Kata Kak Ucha, lalu mengangkat kedua jempolnya.


“Yeeeeeeeee … aku sekolah lageeeeeeeee …”


Tari melompat kegirangan. Meraih tangan Dian, ia terus melompat-lompat. Malam itu, menjadi malam yang terindah sepanjang hidupnya. Sebuah kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Seperti berbulan-bulan kemarau yang dibasuh oleh hujan sehari. Seperti mimpi yang terwujud sempurna. Cicak-cicak berhenti berkejaran, lukisan-lukisan Ki Suhardi menatap riang. Matanya berbinar, wajahnya ceria. Dan Kilbong, kucing betina kesayangan Kak Ulfa ikut  tersenyum. Maniiiiisss sekali …


~ The End ~


(Casablanca, 3 September 2013) 


Theme Song: (Kulihat Ibu Pertiwi) http://www.youtube.com/watch?v=g-IGapyLK2w&feature=youtu.be

Photo Source: Google Images



 
Blogger Templates