Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Friday, October 25, 2013

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 4)



Zi sampai di markas pukul 3 dini hari. Pintu terkunci. Para penghuninya mungkin sudah tidur. Atau bisa jadi masih terjaga di ruangannya masing-masing. Beruntung Zi memiliki kunci ganda. Sengaja ia membuat duplikatnya agar bisa bebas pulang kapan saja tanpa mengganggu yang lain. Menggedor pintu saat orang tertidur, sama saja menganggu kenyamanan orang di dalamnya. Salah satu prinsip yang dimiliki Zi, berusaha untuk tidak merepotkan orang lain selama ia mampu melakukannya sendiri.


Sama halnya saat bepergian diantar teman dengan motornya. Bagi Zi itu menyenangkan. Lebih cepat sampai dalam situasi macet di sana sini. Tapi Zi berusaha untuk tak meminta kecuali dalam keadaan mendesak. Sesekali menumpang karena kebetulan satu arah atau ada yang menawarkan diri, itu tak masalah. Daripada nanti ditolak, Zi lebih memilih berpikir positif membayangkan dirinya selalu memiliki kekuatan. Kesehatan. Dengan begitu, Zi mampu berjalan kaki dengan jarak yang jauh atau naik angkutan umum. Mengandalkan orang lain adalah kebiasaan yang kurang baik. Tidak mandiri. Dan sudah selayaknya begitu. Sebagai masyarakat yang berorganisasi memang seharusnya berbeda dengan masyarakat biasa. Masyarakat yang berorganisasi semestinya menjujung tinggi kedisiplinan. Mereka yang disiapkan menjadi pemimpin mestinya mampu melayani dirinya sendiri, karena pemimpin itu melayani. Pemimpin mesti menjadi teladan menjadi pribadi yang mandiri. Membadankan diri. Tidak sekedar bicara, mengajak melalui seruan-seruannya. Maka sebelum mereka melayani banyak orang, mereka harus mampu dulu melayani dirinya sendiri. Sebagai organisasi yang ingin mewujudkan cita-cita proklamasi, membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan menuju kesetaraan, melayani diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari merupakan wujud dari cita-cita itu dengan menghapuskan penindasan dari hal yang terkecil. Mengandalkan orang lain atau meninggalkan tanggung jawab kepada orang lain selagi mampu, sama dengan melanggengkan penindasan. Apalagi jika sejak dalam pikiran sudah ada sekat-sekat antara orang yang melayani dan orang yang dilayani. Sama saja dengan menciptakan klas-klas sosial di lingkungan terkecil. Bukankah kesetaraan tidak mengenal klas? 

Sebenarnya, bekerja itu ya berjuang. Berjuang untuk mempertahankan hidup. Ada yang berjuang untuk dirinya sendiri, untuk keluarganya, atau untuk banyak orang ─pejuang kemanusiaan. Manusia yang bekerja untuk sesamanya, membela hak-hak mereka yang terampas atau membantu manusia lain yang tidak berdaya. Namun sebaik-baik orang yang bekerja adalah yang menggunakan pikiran dan tenaganya, agar otak tidak tumpul dan otot tidak kaku. Manusia yang memiliki kemampuan hendaknya bekerja untuk mewujudkan potensinya. Bekerja membuat seseorang menjadi kuat karena terasah. Bekerja itu menyenangkan dan tidak menjadi beban jika seseorang menghayati pekerjaannya.


Lihat saja orang-orang yang tenggelam dalam kemapanan. Terbiasa dimanja dengan fasilitas-fasilitas mewah tanpa usaha, membuat mereka malas bekerja dan cenderung menjadi benalu. Berhadapan langsung dengan alam akan membuatnya mudah lelah dan merasa tersiksa. Tak mau susah-susah berjalan kaki atau naik angkutan umum. Apalagi panas terik.

Zi tidak ingin melekatkan diri pada kenyamanan. Menggunakan kakinya untuk berjalan merupakan wujud rasa syukur atas kenormalan kakinya dan kesehatan yang didapatkannya. Sebagai seorang aktivis seharusnya memang begitu. Tidak tergantung dengan kendaraan bermesin. Bagaimana bisa kuat jika ototnya tidak dilatih? Jalan sedikit saja naik motor. Bawa beban tak seberapa berat, naik motor. Sedang olah raga pagi sudah tidak ada waktu. Bagaimana nanti bisa tahan menghadapi cuaca, jika selalu dihindari. Bukankah orang-orang yang berlawan seharusnya berani menantang hujan dan matahari? Bukankah mereka disiapkan untuk menjadi pemimpin yang akan berada di baris depan dalam revolusi? Sebab pemimpin seharusnya tahan banting, baik fisik maupun psikis.


Tak terasa, sudah 1 jam lebih Zi berada di kamar mandi sambil melamun. Menatap air yang turun dari kran memenuhi bak mandi. Shampo digunakan untuk menyabuni tubuhnya, sabun cair digunakan untuk mencuci rambutnya. Zi harus mengulang lagi cara mandinya yang benar.


Sedikit terasa segar setelah membersihkan tubuhnya karena pegal masih menempel di badan. Wangi sabun hanya menggantikan bau yang bercampur tak jelas dari kereta api ekonomi. Terbayang, betapa nyaman saat istirahat setelah semalaman tak bisa tidur. Baru mau menutup pintu kamar, tiba-tiba ada angin yang membawa gaduh di sudut ruangan hinggap di telinganya. Suara televisi yang masih menyalak bersahutan dengan bunyi dengkuran.


Hmm ... ini pasti televisi menonton orang. Bukan orang yang menonton televisi, gumamnya sambil pergi menuju ruang santai.

“Negara kita ini kaya raya, tapi air bayar, listrik mahal. Maka harus selalu diingat, hemat air hemat listrik!”


Wajah papanya selalu membayang dan suaranya mengiang setiap kali ia mendapati air dan listrik terbuang percuma. Maka di manapun berada, Zi selalu berusaha menjalankan pesan itu. Seperti ada rasa bersalah jika ia mengabaikannya.


Indonesia memang kaya. Apa yang dibutuhkan rakyatnya sudah tersedia. Hanya karena penguasa serakah, demi komisi yang masuk ke kantong-kantong mereka, pengelolaannya diserahkan ke perusahaan-perusahaan asing. Alasannya putra bangsa belum memiliki kemampuan untuk mengelolanya. Padahal banyak mahasiswa lulusan luar negeri yang kembali ke Indonesia dengan tujuan membangun negerinya, namun tenaganya tidak dibutuhkan. Tidak dihargai. Katanya, tidak ada pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Akibatnya, mereka menjadi pengangguran di negerinya sendiri. Mereka akhirnya kembali ke luar negeri, bekerja dan menetap di sana. Dengan demikian, kekayaan alam yang seharusnya bisa dinikmati secara gratis, diperdagangkan dengan harga yang terus melambung. Tidak hanya itu, pemerintah bergaya melakukan eksport. Dan ketika ternyata kebutuhan rakyatnya tidak tercukupi, mereka kembali melakukan import dengan harga yang jauh lebih tinggi. Padahal tanpa import, sumber daya alam Indonesia mampu mencukupi kebutuhan rakyatnya. Itu sebabnya sebagai aktivis kemanusiaan, Zi bersama kawan-kawannya tak berhenti menyerukan Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945, di samping memberi pencerahan kepada masyarakat, bahwa Indonesia harus kembali ke konstitusi sebagai cita-cita Proklamasi, bahwa kekayaan Indonesia harus dikelola oleh bangsanya sendiri untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.


Demikian halnya dengan beberapa kawannya yang tergabung dalam organisasi pecinta alam. Mereka selalu menyerukan agar masyarakat menjaga alam di sekitarnya. Menanam pohon agar air tetap tersimpan di dalam tanah. Tak kekeringan meski pun musim kemarau datang. Tidak membiarkan air kran mengalir sia-sia, karena pemanasan global telah mengurangi volume air di bumi dari waktu ke waktu. Namun sesungguhnya, meski pun aktivis kemanusiaan tidak meneriakkan tentang penghijauan atau berjuang dalam hal pelestarian alam, mereka juga seharusnya peduli dengan lingkungan sekitarnya, karena tujuan akhir dari perjuangan mereka untuk kesejahteraan manusia. Jika mereka mendukung pengrusakan lingkungan, membiarkan energi alam terbuang percuma, di mana kesejahteraan rakyat akan tercipta? Dimulai dari hal-hal kecil yang bisa dilakukan dari lingkungan terkecil −rumah atau tempat tinggal masing-masing. Masih banyak orang-orang yang tidak peduli. Meninggalkan kipas angin, televisi atau alat-alat elektronik lainnya yang tak terpakai dalam keadaan menyala. Tidak mematikan lampu saat matahari sudah mengalahkan terangnya. Membuang air cuma-cuma –pemborosan –tanpa berpikir di beberapa daerah yang kesulitan mendapatkan air.    


Suara televisi sudah tak terdengar. Tinggal bunyi dengkur yang semakin jelas tanpa saingan. Baru saja Zi membalikkan badan, ia dikejutkan lagi dengan keberadaan Mas Wi di sana. Rupanya Mas Wi seorang diri menonton TV dan ketiduran. Tak biasanya Mas Wi tidur di markas, karena ada mess yang ditempati bersama beberapa kawan lainnya.


Matanya yang sipit menatap hampir tak berkedip. Zi tersenyum. Senangnya bisa berlama-lama memandang wajah lelaki yang dicintainya dengan bebas hingga puas. Tak perlu mencuri pandang, menunggu Mas Wi lengah dengan kesibukannya. Dan astaga! Mas Wi masih mengenakan sepatu serta celana panjang, tapi tak berbaju. Mungkin kegerahan, sehingga kemejanya harus dilepas.


Muncul keinginan nakal dari dalam dirinya ketika melihat posisi Mas Wi yang tengah pasrah. Kedua kakinya selonjor terbuka dan kedua tangannya dibentangkan ke atas. Pandangannya mulai dialihkan pada sudut lengan yang ditumbuhi bulu, dimana terdapat aroma khas yang sangat ia sukai. Tempat yang sering disinggahi bakteri, sehingga timbul bau asam jika berkeringat. Tentunya tidak semua tempat itu ingin diciumnya. Hanya khusus bagi yang tercinta.


Zi menduduki karpet tepat di samping pejuang pujaannya. Satu-satunya lelaki di gerakan yang mampu mencuri hati, mengacak-acak perasaan dan menyita sebagian besar waktunya. Namanya terukir megah di ruang rindu, senyumnya selalu mengganggu. Pelan ia mendekatkan hidungnya pada ketiak Mas Wi. Aromanya langsung menyembul diantara bulu-bulu yang menumbuhi daging selayak ilalang. Dihirup sedalam-dalamnya. Sedaaaaapp, batinnya mengucap. Seperti aroma terapi, rasa letihnya sedikit berkurang. Semakin dihirup dan dihirup lagi, tubuhnya semakin terasa segar. Ups! Tangan Mas Wi bergerak turun menindih kepala Zi, hingga bibir dan hidungnya terjerembab ke dalam belantara tak berpenghuni. Beberapa saat Zi tak bisa bernafas. Spontan jantungnya berdegup kencang. Betapa takut dan malunya jika aksi mencurinya itu dipergoki Mas Wi. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dan harus siap menerima segala hukuman untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya. Zi masih tetap diam. Sedikit saja mendongakkan kepalanya sekedar memberi ruang untuk hidungnya agar mendapat oksigen.


Dengkur Mas Wi kembali terdengar beberapa detik kemudian. Zi merasa lega. Aman, pikirnya. Meski dirasa berat, Zi berusaha mengangkat lengan Mas Wi dengan sangat pelan dan hati-hati,  dikembalikan ke posisi semula. Ia segera berdiri, berlari-lari kecil, buru-buru masuk kamar. Sungguh, Zi tak ingin ketakutan yang sangat itu datang lagi untuk kedua kalinya.


Di atas kasur Zi kembali mengenang kejadian itu. Baginya, aksi yang baru saja ia lakukan tak kalah mendebarkan seperti saat menonton pertunjukan akrobat, debus atau film horor produksi import. Sebelum pergi, Zi sempat mengusapkan sebelah tangannya pada ketiak Mas Wi sebagai bekal pengantar tidur. Saat kantuk mulai menyerang dan matanya ingin terpejam, telapak tangannya dilekatkan di hidung sebelum kesadarannya benar-benar hilang. Dihirup lagi sisa-sisa aroma sejati itu, disimpan di jantung, mengalir bersama darahnya.

~ Bersambung ~


(Casablanca, 23 Oktober 2013)

Theme Song: (Musikalisasi Puisi Sapardi Djoko Damono oleh Ari & Reda - Aku Ingin)  http://www.youtube.com/watch?v=lsElF3mCZNc

Photo Source: Google Images

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates