Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Friday, November 29, 2013

Cerpen: Dengar Kesaksian


Pagi itu, seorang laki-laki yang aku kenal bernama Ainul, asal Sidoarjo, datang ke stan buku Jaker menemuiku. Ia salah satu panitia di sana.

"Eh, bener ta, onok sing ngomong jarene Fitri Nganthi Wani, anak e Widji Thukul kate teko moco puisi?" (Eh, benarkah, ada yang bilang kalau Fitri Nganthi Wani, anak Widji Thukul mau datang baca puisi?)

"Jarene seh iyo, tapi gak ngerti, sido teko opo gak." Jawab Ainul. (Katanya sih iya, tapi nggak tahu, jadi datang apa enggak)

"Ohh ..." Aku manggut-manggut.

"Iki lho tak ke'i buku. Engkok dibahas iki. Digawe diskusi," katanya. (Ini lho aku beri buku. Nanti dibahas ini. Dibuat diskusi).

Setelah memberikan buku yang berjudul "Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah", Ainul langsung pergi. Ucapan terima kasihku hanya dijawab dengan lambaian tangan. Buku itu diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

"Nanti, acaranya sampai malam lho. Kanjeng Hemas juga akan datang." Nyeletuk seorang ibu yang memiliki stan di sampingku. Menjual hasil kerajinan tangan dari sampah yang didaur ulang. Namanya Ibu Tatik.

"Oh ya?"

"Iya." Jawabnya yakin.

Sebentar kutinggalkan meja. Pergi ke depan, berniat melihat jadwal acara. Ternyata di sana sedang berkumpul: Ainul, Leendra dan Dodok. Teman-teman yang baru kukenal di acara itu. Kami bercanda saling meledek.

"Iki lho, sing mbok golek i ..." (Ini lho, yang kamu cari ...)

Tiba-tiba Ainul mengalihkan pembicaraan, sambil menunjuk anak laki-laki berambut kribo yang berada di antara mereka.

Mataku spontan fokus mengarah ke lelaki muda itu. Sekali, aku pernah melihat fotonya saat membaca berita di salah satu media online. Aku langsung tahu kalau ia anak Widji Thukul. Seperti foto copy wajah bapaknya yang ditempelkan ke mukanya. Sama persis. Tak membuang sedikitpun dari foto-foto Widji Thukul yang sering kulihat.

"Ini Fajar ya?"

"Iya."

Aku menyodorkan tangan. "Aku Tari dari Jaker." Ia menyambut, menyalami tanganku. "Oh ya, mbakmu katanya mau ke sini?"

"Nggak bisa. Ngurus anaknya." Tangannya memungut tembakau dalam kotak kaleng kecil, ditata di atas pahpir.

"Ohh, berarti kamu dong yang baca puisi? 

"Enggak. Aku bisa nulis, tapi nggak bisa baca." Kedua tangannya mulai melinting rokok.

"Ehm, kamu nyanyi ya?"

"Iya." Sebentar menunduk, sibuk dengan lintingan rokoknya, sebentar melihatku.

"Nge-band apa Solo?"

"Solo."

"Jam berapa kamu tampil?"

"Kurang tahu pastinya. Yang jelas sebelum jam istirahat."

Ini hari terakhir acara DENGAR KESAKSIAN di Gedung Perpusnas (Perpustakaan Nasional), yang diselenggarakan oleh KKPK (Koalisi Keadilan & Pengungkapan Kebenaran). Sedikit aku mendengar apa yang disampaikan oleh seorang lelaki yang duduk di samping Fajar, ketika Bu Tatik mengajakku memasuki ruang teater. Entah, siapa lelaki itu. Kata Bu Tatik, itu Paman Fajar. Bercerita tentang kedua anak Widji Thukul yang saat masih sekolah selalu diejek teman-temannya. Mengatakan, bapaknya adalah seorang penjahat. Lelaki itu lalu mendatangi sekolah mereka, menjelaskan kejadian yang sebenarnya dan meminta pihak sekolah agar membantu memulihkan nama Widji Thukul dengan menjelaskan kembali kepada para murid.

"Kepada Wani dan Fajar saya tumbuhkan keyakinan tentang alasan kenapa bapaknya diculik? Saya katakan, bapakmu diculik bukan karena orang jahat, tapi karena bapakmu orang yang berani."

Begitu, lelaki yang katanya adik Widji Thukul itu mengakhiri kesaksiannya. Fajar kemudian mengambil gitar, memetik dan mengalunkan suaranya. Hilang logat Jawa-nya yang semula terdengar sangat kental saat bicara. Bunga dan Tembok, puisi bapaknya, dilagukan dengan suara yang lepas ...

seumpama bunga
kami adalah yang tak kau kehendaki tumbuh
seumpama bunga
kami adalah yang tak kau kehendaki adanya

kau lebih suka
membangun rumah, merampas tanah
kau lebih suka
membangun jalan raya, membangun pagar besi

jika kami bunga, kaulah tembok itu
t'lah kami sebar biji-biji di tubuhmu
suatu saat kami kan tumbuh bersama
dengan keyakinan kau harus hancur

kau harus hancur !!

(Casablanca, 29 Nopember 2013)

Berikut saya lampirkan video Fajar Merah saat menyanyikan lagu Bunga dan Tembok. Saya pilih dari beberapa, dan ini yang paling keren menurutku: http://www.youtube.com/watch?v=SgJrroj44V8&feature=youtu.be

Photo Source: Google Images


Tuesday, November 12, 2013

' istrimu bukan budakmu '


ingat istrimu
hargai rasa cintanya
ia rela hidup kekurangan  

tak mampu beli pil KB
banyak anak
kepayahan
tak sempat dandan
keringat ngucur
mbagi waktu
urus suaminya
anakanaknya
rumah tinggalnya
mutar otak
ngatur uang belanja

kau ...
asik bermain api
sibuk membagi hati!



(Casablanca, 12 Nopember 2013) 




Friday, November 8, 2013

' jika '


jika saatnya tiba
aku harus pergi
hanya membawa satu cinta 

cukup memenuhi ranselku 

jika saatnya tiba
mungkin aku tak pamit denganmu
kau tak sesering lagi kutemui
mungkin langkahku terasa ringan
karena tak memiliki beban hutang
menunggu keputusanmu 


kau memilih untuk terus membisu

jika saatnya tiba
tak ada yang bisa lihat air mataku
sebab sudah kutumpahkan semalaman
tak ada yang menghalangi 

menyesali
apalagi menangisi 


jika saatnya tiba 
bisa jadi 
aku tak pamit pada siapapun ...  


(Casablanca, 8 November 2013) 





Sunday, November 3, 2013

' menunggu '


seperti dinamika dalam hidup
seperti udara yang bergerak sembarang
begitu rasaku yang tak tetap
kadang ingin menyerah
lelah
kalah
kadang merindu setengah mati
lalu berikrar
mencinta sampai mati
tibatiba ingin membenci
memaki
bodo! persetan!!

fotomu tetap tenang
tersenyum ...



(Casablanca, 29 Okt 2013) 




 
Blogger Templates