Zi tak segera beranjak dari tempat tidurnya, ketika dirasa
matanya sulit dibuka. Gara-agara menangisi Uda’ semalaman, kelopaknya menjadi
bengkak. Matanya yang sipit jadi semakin sipit, pandangannya menjadi terbatas.
Tinggal setengah centi meter saja lebar matanya yang terbuka.
Dari dalam kamar samar-samar ia mendengar suara televisi
menyampaikan berita tentang pengusiran jemaat gereja, membuat batinnya kembali
bersuara ...
Beberapa waktu yang
lalu ada larangan mendirikan gereja di wilayah tertentu. Sekarang ada lagi
pengusiran jemaat gereja saat mereka beribadah. Sebelumnya juga ada peristiwa
Cikeusik; pembantaian massal jemaat Ahmadiyah yang dianggap ajaran sesat.
Beberapa tahun yang lalu ada perang antar agama di Ambon. Dan agama yang
mayoritas merasa berkuasa. Hmm ... manusia-manusia robot yang mudah
dikendalikan. Diadu seperti domba mau saja. Dipecah belah manut, bahkan rela
mati demi membela agamanya masing-masing. Di satu sisi, mereka mengajarkan cinta kasih, di sisi lain mereka menebar kebencian. Agama itu keyakinan, tidak bisa dipaksakan. Apa yang orang yakini
tentang Tuhannya, ya itu agamanya. Kalau dihitung bisa mencapai ribuan jumlahnya. Banyak juga yang memiliki agama warisan, sebab keyakinannya
telah dibentuk sejak kecil oleh orang tuanya, seperti aku. Kenapa agama membuat manusia menjadi terkotak-kotak? Tentu karena agama telah
dipolitisasi demi membangun kekuasaan segelintir orang. Buktinya, mereka berkompetisi mencari pengikut.
Masing-masing berkampanye bahwa agamanyalah yang paling benar. Mereka lantas saling menjatuhkan, saling serang, saling bunuh. Upaya lain dengan menggambarkan kehidupan neraka di akhirat bagi manusia yang tidak menyembahnya. Neraka yang memboroskan bahan bakar.
Ini namanya bisnis ketakutan. Dengan modal menakut-nakuti, diharapkan akan semakin banyak orang yang menyembah Tuhannya. Mendatangi tempat peribatan, tak lupa disediakan kotak amalnya. Semakin banyak orang datang, semakin banyak uang didapatkan. Mereka melaksanakan ibadah bukan tulus keinginannya, melainkan karena rasa takut yang telah ditanamkan sejak kecil. Mereka datang ke tempat peribatan semata-mata demi mendapatkan pahala yang dijanjikan. Di sini terlihat, betapa orang-orang yang mengapanyekan itu telah melecehkan Tuhan dengan rasa cinta-Nya. Tuhan digambarkan sebagai pendendam, berhitung atas apa yang telah diberikannya. Ah, jadi ingat Si Ipeh. Dia pernah didatangi oleh perempuan
berjilbab besar. Diajak ke suatu tempat menaiki mobil dengan mata tertutup kain.
Sampai di tempat yang dituju, Ipeh dikenalkan dengan komunitasnya. Ditanya,
berapa upah kerjanya, lalu diwajibkan menyumbang beberapa persen dari gajinya
per-bulan. Katanya, sumbangan itu untuk jaminan masuk surga. Si Ipeh sempat
membayar selama enam bulan. Baru sadar dan berhenti mengikuti perintah mereka
setelah kutanya,”Peh, pernah tidak kamu tanya, kalau ternyata nanti kamu
tidak masuk surga, siapa yang akan bertanggung jawab? Kamu akan menuntut pada
siapa?” Jelas, di sini agama dijadikan bisnis. Selama ini, perintah Tuhan hanya disampaikan oleh pemuka agama. Jika benar yang disampaikan itu dari Tuhan, tentu mereka tidak melecehkan rasa cinta-Nya. Tuhan seperti tak ikhlas
memberikan kehidupan bagi manusia, sehingga manusia harus membayar untuk mendapatkan surga. Padahal kalau menganggap Tuhan itu Maha Besar,
maka Tuhan tidak butuh apa-apa dari manusia. Tuhan tidak butuh dimuliakan, sebab Tuhan sudah mulia. Tuhan tidak butuh disembah dan dipuji, sebab Tuhan tidak gila hormat. Tuhan tidak butuh diagungkan, sebab Tuhan sudah agung. Menjadi lucu mendengar kalimat yang sering mereka
ucapkan,”Tuhan saja memaafkan, masa manusia tidak?” Hah? Manusia kok disamakan
dengan Tuhan yang maha sempurna. Oh My God ... orang-orang yang lebih suka
meniru tanpa menelaah kalimatnya. Merasa cukup hebat hanya dengan mengikuti ucapan para pemuka agamanya, padahal tidak selalu benar. Bagiku, apapun
yang manusia lakukan tidak berpengaruh bagi-Nya. Semua yang Tuhan ciptakan semata-mata karena rasa cinta-Nya. Cinta Tuhan tak bersyarat, seperti seorang ayah yang mencintai anaknya. Jika manusia mencintai Tuhannya, tentu ia akan mencintai sesamanya. Jika tiap-tiap manusia sadar bahwa Tuhan ada di dalam dirinya, mengalir di setiap aliran darahnya, tentu mereka tidak membutuhkan lagi pemuka agama. Manusia hanya debu bagi-Nya.
Jika Tuhan dianggap butuh sesuatu dari manusia. Butuh disembah, butuh
dimuliakan, butuh dipuji, itu sama saja dengan mengecilkan Tuhan. Ya ... itu
keyakinanku. Dan keyakinan itu tidak bisa diintervensi oleh siapa pun. Itu ranah
privasi. Tinggal menghormati masing-masing keyakinan, saling mengasihi sesama, saling membantu dan tidak mengganggu hak orang lain, selesai. Belajar
berbeda dan menghargai perbedaan ...
***
Hari sudah sore. Ketika dirasa bengkak sudah berkurang, Zi
keluar membeli rokok. Kebetulan hari ini hari Sabtu, tidak ada Uda’ yang
membuatnya malu dengan mata setengah bengkak, karena akan terlihat jika benar-benar
diperhatikan.
“Hai! Heni!”
Sedikit kaget, ketika Zi memasuki markas dan mendapati Heni
berada di antara kawan-kawannya. Keduanya bersalaman.
“Bagaimana kabarmu, Zi?”
“Baik. Kamu sendiri?”
“Baik.”
“Kapan datang?” Zi meletakkan tubuhnya di sofa, dekat Heni.
“Baru saja.”
“Mau menginap di sini?”
“Tidak. Aku sudah ada kost.”
“Kapan nyarinya?”
“Kan aku sudah tiga bulan di sini. Kerja.”
“Oh ... kerja di mana?”
“Di kantor yang dulu. Ngelamar lagi dengan ijasah yang baru.
Kan aku sudah lulus S2. Biar pangkatnya naik.”
“Emm ...” Zi mengangguk.
“Oh ya, Hen, kamu masih suka ngopi kan? Aku punya kopi enak
lho, aku bawa dari Lampung.”
“Boleh.”
“Oke! Tunggu ya, aku buatkan sebentar.”
Heni adalah kawan seperjuangan yang kebetulan sekampung
dengannya. Mareka kenal dan bertemu di markas pusat. Heni sudah lama absen dari
organisasi untuk melanjutkan kuliahnya di Surabaya.
Zi datang membawa nampan berisi satu teko kopi dan beberapa
gelas. Kawan-kawannya langsung menyerbu.
“Bagaimana kabar kota kita tercinta?” Zi membakar rokok.
“Aman. Dan yang pasti, masih dingin.” Heni tertawa.
“Berarti kalau nanti sudah nggak dingin, kota kita nggak
punya nama beken lagi dong ...”
“Enggaklah. Kan masih ada nama lagi. Kota Apel.”
“Oh iya iya ...” Mereka tertawa.
Zi diam. Menikmati hangat kopi dan setiap hisapan rokoknya
sambil mendengarkan beberapa kawannya yang sedang diskusi ringan. Heni memasang
handfree, senyum-senyum sendiri.
“Hei! Kamu mendengarkan apa sih, kok senyum-senyum sendiri?”
Zi penasaran.
Heni melepas handfree-nya,”Apa?”
“Kamu mendengarkan apa?”
“Oh, lagu.”
“Kok senyum-senyum? Memang lagunya lucu?”
“Hehe ... lagu cinta, Zi.”
“Memang kenapa dengan lagu cinta? Aku tidak anti kok.
Pejuang juga manusia biasa yang bisa jatuh hati, patah hati dan terpuruk, sehingga
saat-saat tertentu, mereka ingin membuai perasaannya dengan lagu cinta. Buat
apa anti, kalau diam-diam ikut nyanyi juga. Buat apa meneriakkan lagu
perlawanan, kesetaraan, anti penindasan dan anti penghisapan, tapi tidak bisa
merealisasikan dalam kehidupannya sehari-hari? Sekedar ingin beda dengan
pemusik lain agar mendapatkan banyak simpati atau penggemar? Kalau kenyataannya
masih menindas, menghisap, membeda-bedakan atau merendahkan orang lain,
bulshit! Biasa saja. Yang penting dikonsumsi secara wajar atau proporsional dan
bisa menempatkan waktu. Tak usah juga mentang-mentang sudah menikah, lalu tidak
mau kenal lagu cinta yang melankolis. Nanti kalau datang waktunya puber kedua
atau ketiga dan tidak bisa mengendalikan perasaannya, lalu kasmaran lagi, bakal
butuh juga.”
“Ya. Ada saatnya kita turunkan bendera. Kita lipat rapi dan
kita simpan di lemari, saat mendung datang dan awan menangis. Lalu kita naikkan
kembali bendera kita saat cuaca cerah, agar ia berkibar dengan gagah berani!”
“Filosofi bendera ...”
“Iya. Dan kamu tahu nggak, Zi. Ini lagu kenanganku dengan
Widi.”
Jantung Zi mendadak seperti diguncangkan. Dadanya sedikit terasa
sakit.
“Oh ya? Kalian pernah pacaran ya?” Zi tersenyum, berusaha
bersikap netral.
“Enggak sih ... Cuma aku sempat suka sama dia. Gara-gara aku
datang ke Jakarta waktu melamar kerja, terus waktu aku mau balik ke Malang, aku
telepon dia, minta tolong dicarikan tiket bus. Dia datang, nunggu aku keluar
kantor lama sekali. Agak nggak enak juga, terus aku diantar ke terminal. Gila!
Dia mau lho susah payah ngantri tiket, desak-desakan. Nah, setelah lama nggak
ketemu, suatu saat ketemu lagi. Seru! Ya begitulah, cipika cipiki ...” Wajah
Heni terlihat sumringah.
“Terus, terus ...”
Zi masih dengan senyum palsunya, antusias mendengarkan
cerita Heni. Jantungnya semakin keras berdegup.
“Waktu aku datang lagi, beberapa kali aku hubungi dia, minta
diantar dan dijemput, dia mau lho. Nah, kebetulan waktu jalanan lagi macet, aku
dengar lagu ini. Akhirnya, jadi kenangan deh ...”
“Mas Wi memang baik. Orangnya sabar. Sangat peduli sama
kawan.”
Zi terus ber-akting, seolah menyambut kabar itu dengan suka
cita, meski batinnya mulai merintih. Harusnya cerita tentang Mas Wi tak lagi
membuatnya sakit, jika saja Uda’ tak membuatnya bimbang.
~ Bersambung ~
(Casablanca, 9 Februari 2014)
Theme Song: (Ronnie Sianturi - Melangkah Di Atas Awan) https://www.youtube.com/watch?v=u1yBqtXA9-U
|
Photo Source: Google Images |