Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Monday, May 26, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 18)



“Ya itu yang bikin aku jatuh cinta. Pas aku baru putus lagi sama pacarku. Hatiku lagi berantakan, Zi. Tapi untung aku sharing ke Sita, terus dikasih tahu tentang Widi. Jadi aku nggak mau mengembangkan perasaanku, karena pasti akan lebih sakit lagi nantinya. Tapi, ya … lagu itu sudah terlanjur jadi kenangan.” Senyum Heni terlihat getir.

“Memang Mas Wi kenapa?” Zi berharap-harap cemas menunggu jawaban itu. Heni lalu membisikkan sesuatu di telinganya. “Hah! Masak sih?” Zi terkejut. Matanya tajam menatap Heni. 

“Iya. Sudah banyak yang tahu kok.” Heni meyakinkan.

Telepon Heni berbunyi. Ada pesan masuk. Dibuka, dibaca.

“Zi, aku pamit dulu ya. Sudah ditunggu kawanku di tongkrongan. Nanti kalau ada waktu, aku main ke sini lagi.”

“Oke.”

“Kawan-kawan, aku pamit dulu ya.”

“Mau ke mana sih masih sore begini …” Salah seorang meledek.

“Ada janji sama kawan.” Heni keluar ruangan. “Dada Izzi …”

“Daaa … Hati-hati ya …”

“Yaaa …”

Zi masih berdiri di samping pintu, terpaku menatap Heni yang telah hilang dari pandangan. Sadar hanya gelap yang ia temui, matanya segera digulirkan pada bangunan taman dengan lampunya yang temaram, dan hatinya mulai bicara …

Rasanya tak percaya. Begitukah Mas Wi? Juga suka cipika-cipiki, cium pipi kanan-cium pipi kiri … bahkan dengan Heni pun. Tentu dengan perempuan-perempuan lain di luar sana. Ya Tuhan … kenapa juga berita itu masih menyakitkan? Harusnya aku sudah terbebas dari kesakitan itu ketika aku mulai mencintai Uda’. Apa karena kejadian kemarin membuat aku menjadi ragu? Ah … dua lelaki yang bersahabat itu ternyata hanya pandai memulai dengan menebar benih-benih. Dan ketika benih-benih itu tumbuh, mereka tak hendak merawatnya, apalagi memetiknya. Mereka tinggalkan begitu saja, membiarkan tanaman itu tumbuh liar tak bertuan. Mereka hanya ingin sejenak bermain-main dengan hatiku. Sikapnya seolah-olah memberi harapan, namun palsu. PHP, Pemberi Harapan Palsu. Tapi jelas mereka tak merasa bersalah, karena mereka tak pernah memberikan manifesto cintanya. Kenapa ya mereka tega melakukan itu padaku? Padahal aku tak pernah melakukan itu pada satu lelaki pun. Jika ada seseorang yang sikapnya terlihat menyukaiku sedangkan aku tidak menyukainya, tentu aku tidak akan memberikan sikap yang manis. Bagiku, itu sama saja melakukan pembiaran. Itu sama saja memupuk perasaannya. Dan ketika mulutku harus bicara mengutarakan penolakan, meski dengan bahasa sehalus apapun, aku tahu itu pasti lebih menyakitinya. Seperti tumbuhan yang sudah berbunga dan berbuah, perasaannya sudah terlanjur berkembang, namun dipaksa meniadakan. Ya … rupanya aku hanya dijadikan pilihan saat mereka bosan menjalani rutinitasnya, sedangkan aku bukanlah orang yang mudah menghapus guratan dari ukiran yang tak sembarang kupahat …

Zi mengambil gelas kopinya, juga milik Heni, berniat ke dapur mencucinya. Baru dua kali melangkah, tiba-tiba ia merasa semua menjadi gelap. Dan sebentar saja, tubuhnya tumbang menimpa meja, lalu tersungkur ke lantai.

“Hei! Zi kenapa Zi …” Teriak salah seorang.

Isi meja berantakan. Kopi tumpah, gelas-gelas jatuh. Beruntung meja terbuat dari rotan, teko dari plastik dan gelas dari bahan melamin, sehingga tidak ada yang melukai anggota badannya. Hanya sebagian tubuh dan pakaiannya saja yang kotor terkena tumpahan kopi.

“Angkat ke kamar saja … angkat ke kamar!”

Rico membawa tubuhnya dan meletakkan di atas kasur. “Minyak angin, minyak angin, ada yang punya minyak angin tidaaakk …?”

Sambil menunggu kawannya membawa minyak angin, Rico memegang pergelangan tangan Zi. “Hei! Nadinya tak berdenyut!” Teriak Rico, lalu mengalihkan tangannya. “Tidak ada udara yang keluar dari hidungnya. Hei! Zi tidak bernafas!”

“Bawa ke rumah sakit saja! Bawa ke rumah sakit saja!”

“Telepon taksi! Telepon taksi!”

“Woy! Jangan telepon, nanti lama datangnya. Lebih baik cari di jalan saja, bawa motor!”

“Kuncinya mana kunci motornya?”

“Woy! Buruan sih. Ini sudah gawat! Siapa yang bawa kunci motor, buruan jalan!”

Semua orang di markas menjadi panik. Tidak ada yang bisa bicara dengan tenang. Mereka saling teriak …

~ Bersambung ~


(Casablanca, 9 Februari 2014) 

Theme Song: (Novia Kolopaking - Aku Selalu Cinta)  http://www.youtube.com/watch?v=g5U_jTQCgPk

Photo Source: Google Images




No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates